Anda di halaman 1dari 5

KOMPETENSI BUDAYA

A. DEFINISI KOMPETENSI BUDAYA


Kompetensi budaya adalah konsep yang dikembangkan oleh Madeliene Leininger
yang merupakan seorang antropolog dan perawat. Teori ini cetuskan oleh Leininger
atas dasar penilain bahwa sangat penting keterlibatan budaya dalam pelayanan
asuhaan keperawatan. Leininger (1995) menyebutkan bahwa budaya adalah aspek
integral dan esensial dari manusia, dan aspek kepedulian terhadapa budaya tidak dapat
di abaikan. Budaya mewakili pengetahuan yang dipelajari, dibagikan dan
ditransmisikan tentang nilai, kepercayaan, norma dan cara hidup kelompok tertentu
yang memandu individu atau kelompok dalam pemikiran keputusan, dan tindakan
mereka dengan cara yang berpola (Leininger, 1995). Agama, gender, dan keadaan
sosial juga mempengaruhi pola budaya dan menciptakan keragaman kebutuhan ketika
diterapkan pada keperawatan dan perawatan kesehatan. Maka dari itu, perawat perlu
memiliki kompetensi budaya ketika menghadapi klien yang beragam budaya dan
tempat kerja yang memilii keberagaman budaya.
Kompetensi kultural merupakan kemampuan untuk memahami identitas dan nilai kultural
yang dianut oleh dirinya sendiri dan bagaimana identitas dan nilai-nilai itu mempengaruhi
persepsinya terhadap orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda dengannya.
Kompetensi kultural ini meliputi pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kemampuan
untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan keterampilan saat seseorang berinteraksi lintas
budaya. Kompetensi budaya adalah proses baik secara individual ataupun organisasi
(Andrews & Boyle, 2012; Wagner, 2018). Jeffreys (2010) dalam Wagner (2018).
menyebutkan bahwa kompetensi budaya adalah pembelajaran multidimensi yang
mengintegrasikan keterampilan keperawatan transcultural dalam 3 dimensi (kognitif, praktik
dan afektif).
Campinha-Bacote (2002) mendefinisikan kompetensi budaya sebagai "proses
berkelanjutan di mana penyedia layanan kesehatan terus berusaha untuk mencapai
kemampuan untuk bekerja secara efektif dalam konteks budaya klien (individu,
keluarga, masyarakat)" Proses Kompetensi Budaya dan Model Perawatan Campinha-
Bacote (2002) dibangun berdasarkan asumsi bahwa kompetensi budaya merupakan
proses yang berkelanjutan untuk menjadi dan menjadi. Campinha-Bacote (2002)
menunjukkan bahwa agar efektif, model ini "mengharuskan penyedia layanan
kesehatan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang memiliki kompetensi
budaya, bukan hanya sebagai orang yang telah memiliki kompetensi budaya"
Campinha-Bacote menggarisbawahi bahwa menghadapi keragaman budaya
merupakan prasyarat atau anteseden untuk pengembangan kompetensi budaya. Dalam
modelnya, Campinha-Bacote menjelaskan lima konsep yang saling terkait: (1)
kesadaran budaya, (2) pengetahuan budaya, (3) keterampilan budaya, (4) perjumpaan
budaya, dan (5) hasrat budaya.
Menurut Deardoff (2006), pengertian kompetensi antar budaya merujuk pada
pengelolaan interaksi yang pantas dan efektif diantara orang – orang yang setara atau
berbeda dari sisi afektif, kognitif dan orientasi perilaku pada dunia. Orientasi ini
secara normatif akan terepresentasikan dalam lingkup kebangsaan, ras, etnis, suku dan
agama. Sedangkan istilah kompetensi dimaknai sebagai suatu sikap memahami,
kepantasan, kesesuaian, keefektivan dan kemampuan beradaptasi.
Menurut Hofstede dalam Deardoff (2009), ada tiga hal yang menuntun individu
masuk dalam kompetensi antarbudaya, yaitu awareness, knowledge dan skill.
Pengetahuan dimaknai jika kita harus berinteraksi dengan orang lain, maka kita harus
memahami tentang budaya orang lain dengan belajar tentang budaya mereka.
Meskipun kita mungkin tidak pernah berbagi dengan nilai – nilai mereka, namun
paling tidak kita mendapatkan pemahaman intelektual dimana nilai –nilai mereka
berbeda dari kita. Awareness merupakan kesadaran bahwa individu membawa
kerangka mental tertentu dimana individu tersebut dibesarkan dalam lingkungan yang
berbeda, maka ia akan membawa nilai-nilai yang berbeda. Tanpa awareness ini
individu akan merasa superior dan kurang mau memahami isyarat atau petunjuk dari
budaya lain. Sebaliknya, jika individu memiliki awareness maka ia mampu bersikap
simpati dan menghargai motivasi orang lain yang sepenuhnya berbeda dengan dirinya.
Sedangkan skill adalah kemampuan individu untuk mengakui dan menerapkan simbol
– simbol dari budaya lain sehingga individu memperoleh kepuasan bergaul dalam
lingkungan yang beragam
Menurut UNESCO (2013), pengertian kompetensi mengacu pada keterampilan,
kemampuan, dan pengetahuan untuk bertindak apakah melalui kata – kata atau
tindakan yang sesuai dengan konteks tertentu. Kompetensi meliputi komponen
kognitif ( pengetahuan), aplikasi pengetahuan, aspek personal, dan etika. Individu
memiliki kapasitas pengetahuan yang bisa dicocokkan dengan kapasitas untuk
berbicara dan bertindak dengan tetap sesuai dengan konteks serta memiliki etika dan
perimbangan hak asasi manusia. Kompetensi budaya adalah kemampuan untuk dapat
berkomunikasi secara efektif dan tepat dengan orang – orang dengan beragam budaya.
Dengan demikian setiap individu ketika melakukan interaksi dan komunikasi tidak
melanggar aturan, norma, dan harapan yang berlaku dalam lingkup masyarakat
tertentu.
Menurut Fantini dan Tarmizi (2006), kompetensi budaya adalah kemampuan untuk
mahir menavigasi lingkungan yang kompleks ditandai dengan tumbuhnya keragaman
masyarakat, budaya dan gaya hidup. Mampu berinteraksi secara efektif dan tepat
dengan ornag yang berbeda bahasa dan budaya.

B. KOMPONEN KOMPETENSI BUDAYA


Menurut model Campinha-Bacote dalam Wagner (2018) menyebutkan terdapat 5
komponen komptensi budaya antara lain cultural awareness, cultural knowledge,
cultural skill, cultural encounters, dan cultural desire
a. Cultural Awareness
Kesadaran budaya adalah sikap seseorang yang dapat menghargai, memahami,
dan mengerti terhadap perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam budaya.
Menurut Machfud Gross and Maloney (2012b) terdapat 4 cara agar dapat
menumbuhkan jiwa yang sadar akan budaya yaitu: 1) Penanaman sikap
multikulturalisme sejak dini, 2) Sosialisasi budaya melalui lembaga pendidikan, 3)
Penyelenggaraan berbagai pentas budaya , dan 4) Mencintai dan menjaga budaya
yang dimiliki. Penanaman sikap untuk saling bertoleransi dan untuk saling
menghargai antar budaya merupakan fondasi awal agar seseorang mampu
menyadari akan perbedaan dari masing-masing budaya. Sikap mental akan
pentingnya saling menghargai kebudayaan diharapkan nantinya integrasi bangsa
menjadi semakin kuat karena penanaman sikap saling menghormati dan
menghargai tersebut juga sudah mendarah daging di masyarakat. Cultural
Awareness melibatkan dalam penilaian suatu kultural dan ras yang tujuannya
untuk mengidentifikasi steoreotip yang ada dalam diri seseorang yang berdampak
terhadap pelayanan keperawatan terhadap suatu budaya atau minoritas lingustik
sebuah kelompok (Wagner, 2018). Cultural Awareness adalah proses kognitif
yang berfokus di mana penyedia layanan kesehatan dapat menghargai dan peka
terhadap nilai-nilai, keyakinan, sikap, praktik, dan strategi pemecahan masalah
dari budaya pasien. Untuk meningkatkan kesadaran budaya, perawat harus
menjalani proses eksplorasi reflektif terhadap nilai-nilai budaya pribadi dan juga
sadar akan praktik budaya orang lain. Selain merefleksikan nilai-nilai budaya
sendiri, perawat yang kompeten secara budaya harus berupaya membalikkan
prasangka berbahaya, pandangan etnosentris, dan sikap yang mereka miliki.
Kesadaran budaya lebih dari sekedar kesadaran akan keberadaan budaya lain dan
melibatkan minat keingintahuan, dan apresiasi terhadap budaya lain (Campinha-
Bacote, 2018; C.A.R.E, 2022).
b. Cultural Knowledge
Pengetahuan budaya mengacu pada pencarian informasi tentang keyakinan dan
nilai budaya kesehatan untuk memahami pandangan dunia pasien. Untuk
memperoleh pengetahuan budaya, perawat secara aktif mencari informasi tentang
budaya lain, termasuk praktik umum, kepercayaan, nilai, dan adat istiadat,
khususnya budaya yang lazim dalam komunitas yang mereka layani.[16]
Pengetahuan budaya juga mencakup pemahaman latar belakang sejarah kelompok
masyarakat yang beragam secara budaya, serta variasi fisiologis dan kejadian
kondisi kesehatan tertentu dalam kelompok yang beragam budaya. Pengetahuan
budaya paling baik diperoleh melalui pertemuan budaya dengan pasien dari
berbagai latar belakang untuk mempelajari variasi individu yang terjadi dalam
kelompok budaya dan untuk mencegah stereotip (Gilson & Cherian, 2019).
Pengetahuan budaya mengacu pada pengetahuan tentang budaya kelompok dan
bagaimana keyakinan dan norma budaya mereka dapat berdampak pada persepsi
dan pengalaman mengenai kesehatan dan penyakit, serta pengaruhnya akses
terhadap layanan kesehatan dan hubungan dengan perawat dan profesional
kesehatan lainnya. Penting untuk mengetahui bagaimana etnis dan ras dapat
mempengaruhi farmakoterapi atau bagaimana budaya membentuk gaya hidup dan
perilaku terkait kesehatan lainnya (Wagner, 2018).
c. Cultural Skill
Keterampilan budaya tercermin dari kemampuan perawat untuk mengumpulkan
dan menyatukan informasi budaya yang relevan tentang pasiennya saat
merencanakan perawatan dan menggunakan keterampilan komunikasi yang
sensitif terhadap budaya. Perawat dengan keterampilan budaya memberikan
perawatan yang konsisten dengan kebutuhan budaya pasiennya dan dengan
sengaja mengambil langkah-langkah untuk menjamin lingkungan layanan
kesehatan yang aman dan bebas dari diskriminasi atau intoleransi. Misalnya,
perawat yang terampil secara budaya akan menyediakan ruang dan tempat duduk
di dalam ruangan rumah sakit pasien untuk menemani anggota keluarga ketika
dukungan ini dihargai oleh pasien (Brooks & Bloomer, 2019). Keterampilan
budaya mewakili kemampuan melakukan penilaian budaya saat bertemu dengan
klien atau keluarga (Wagner, 2018).
d. Cultural Encounters
Perjumpaan budaya adalah suatu proses dimana perawat secara langsung terlibat
dalam interaksi budaya tatap muka dan jenis pertemuan lainnya dengan klien dari
latar belakang budaya yang beragam untuk mengubah keyakinan yang ada tentang
suatu kelompok budaya dan untuk mencegah kemungkinan stereotip. Perawat
mempraktikkan kesadaran, sikap, dan pengetahuannya dengan mengulangi
perilaku kompeten secara budaya hingga menjadi terintegrasi dalam interaksi
sehari-hari. Perilaku ini mencakup komunikasi dan bahasa tubuh yang efektif dan
penuh hormat. Di antara berbagai budaya, metode komunikasi nonverbal, seperti
gerak tubuh, dapat memiliki arti yang sangat berbeda.
e. Cultural Desire
Keinginan budaya mengacu pada motivasi dan keinginan tulus untuk memahami
budaya, bukan kewajiban menghadapi keragaman budaya. Campinha-Bacote
menyatakan bahwa kepedulian merupakan anteseden dari keinginan budaya dalam
kenyataan bahwa perawat peduli terhadap orang-orang dari budaya yang berbeda.
Keinginan budaya dapat diwujudkan melalui keterbukaan terhadap keragaman
budaya dan kemauan untuk belajar dari orang lain. Campinha-Bacote menjelaskan
bahwa menjadi kompeten secara budaya adalah upaya interaktif dan
transformasional (Wagner, 2018). Keinginan budaya mengacu pada motivasi dan
komitmen intrinsik dari seorang perawat untuk mengembangkan kesadaran
budaya dan kompetensi budaya. Penyedia layanan kesehatan harus benar-benar
termotivasi untuk terlibat dalam proses pengembangan kompetensi budaya. Inti
dari keinginan adalah konsep kepedulian oleh penyedia layanan kesehatan,
memperlakukan klien dengan bermartabat, adil
DAFTAR PUSTAKA
Witt, A. J. (2016). The impact of cultural encounters on the cultural competence of
baccalaureate nursing students. CORE. https://core.ac.uk/reader/235078450
Rocmah, L. I. (2019). Kompetensi Kultural Pendidik Anak Usia Dini. Proceedings of The
ICECRS, 2(1), 97-102. https://doi.org/10.21070/picecrs.v2i1.2401
Wagner, Joan. (2018). Leadership and Influencing Change in Nursing. University of Regina:
Regina.

Open Resources for Nursing (Open RN). (n.d.). 3.4 cultural competence. Nursing
Fundamentals. https://wtcs.pressbooks.pub/nursingfundamentals/chapter/3-4-cultural-
competence/#footnote-423-14.

Lusiana, Y dkk.(2017).Bunga Rampai Komunikasi Indonesi. Yogyakarta : Buku Litera


Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai