Anda di halaman 1dari 24

TRANSKULTURAL DALAM KEPERAWATAN

Keperawatan Transkultural dan globalisasi dalam pelayanan kesehatan


            Budaya dapat didefinisikan sebagai sifat nonfisik, seperti nilai,
keyakinan, sikap dan kebiasaan yang dibagi bersama oleh sekelompok orang dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Spector, 2000). Budaya
juga menentukan persepsi tentang kesehatan, bagaimana informasi perawatan
kesehatan diterima, bagaimana hak dan perlindungan dilaksanakan, apa yang
dianggap sebagai masalah kesehatan dan bagaimana gejala serta kekhawatiran
mengenai masalah kesehatan diungkapkan, siapa yang harus memberikan
pengobatan dan bagaiman, serta jenis pengobatan apa yang harus dilakukan
(Kozier, 2010).
            Keperawatan transkultural didefinisikan oleh Leininger (2002) sebagai
penelitian perbandingan budaya untuk memahami persamaan (budaya universal)
dan perbedaan (budaya tertentu) di antara kelompok manusia. Tujuan
keperawatan transkultural adalah bentuk pelayanan yang sama secara budaya
atau pelayanan yang sesuai pada nilai kehidupan individu dan arti yang
sebenarnya. Mengetahui nilai-nilai pelayanan budaya klien, arti, kepercayaan, dan
praktiknya sebagai hubungan antara perawat dan pelayanan kesehatan
mewajibkan perawat untuk menerima aturan pelajar atau teman sekerja dengan
klien dan keluarganya dalam bentuk karakteristik arti dan keuntungan dalam
pelayanan (Leininger, 2002).
            Pelayanan kompeten secara budaya adalah kemampuan perawat
menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya yang
berbeda, serta membuat klien dan keluarganya mencapai pelayan yang penuh arti
dan suportif. Contohnya, perawat yang mengetahui tentang kebudayaan kliennya,
maka perawat memerlukan dukungan dalam menyesuaikan keadaan klien. Klien
juga membutuhkan informasi, perundingan, dan permintaan.
Kompetensi budaya adalah proses perkembangan kesadaran budaya,
pengetahuan, keterampilan, pertemuan, dan keinginan. Perawat harus bisa
mengintrospeksi tentang latar belakang dirinya. Perawat juga harus memiliki
pengetahuan yang merupakan perbandingan antar kelompok. Keterampilan budaya
termasuk pengkajian social maupun budaya yang mempengaruhi pengobatan dan
perawatan klien. Pertemuan sebagai mediapembelajaran. Keinginan sebagai
motivasi dan komitmen pelayanan.
Konflik budaya juga dapat muncul dalam proses keperawatan. Konflik
budaya yang muncul dapat berupa etnosentrisme, pemikiran bahwa cara hidup
yang dianut lebih baik dibandingkan dengan budaya lain. Hal ini menyebabkan
adanya pilihan untuk mengabaikan budaya dan menggunakkan nili-nili dan gaya
hidup mereka sebagai petunjuk dalam berhubungan dengan klien dan menafsirkan
tingkah laku mereka.
Globalisasi menyebabkan tuntutan asuhan keperawatan semakin besar.
Perpindahan penduduk dan pergeseran tuntutan keperawatan dapat terjadi.
Perawat yang tidak mampu menyesuaikan asuhan keperawatan terhadap kondisi
yang ada akan menyebabkan penurunan kualitas pada pelayanan keperawatan.
Oleh karena itu, hal ini menyebabkan  dibutuhkannnya peningkatan terhadap
profesi keperawatan. Peningkatan pengetahuan, koordinasi antar profesi atau
tenaga kerja kesehatan lain sangat diperlukan. Perawat harus lebih aktif dalam
menghadapi globalisasi terutama dalam pelayanan kesehatan.
Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural
Jika pemahaman mengenai latar belakang etnik, budaya, dan agama yang
berbeda antar klien baik, maka akan dapat meningkatkan pemberian asuhan
keeperawatan secara efektif. Kozier (2004) menjelaskan beberapa konsep yang
berhubungan dengan asuhan keperawatan transkultural ini.
a)   Subkultur
Sebuah subkultur biasanya terdiri dari orang-orang yang mempunyai suatu
identitas yang berbeda. Namun masih dihubungkan dengan suatu kelompok yang
lebih besar.
b)      Enkultural
Enkultural digunakan untuk mendeskripsikan orang yang menggabungkan
(persilangan) dua budaya, gaya hidup, dan nilai-nilai (Giger & Davidhizar, 1999).
c)      Keanekaragaman
Keanekaragaman menunjuk pada fakta atau status yang menjadikan perbedaan.
Diantaranya, ras, jenis kelamin, orientasi seksual, etnik kebudayaan, status
ekonomi-sosial, tingkat pendidikan, dan lain-lain.
d)     Akulturasi
Proses akulturasi terjadi saat seseorang beradaptasi dengan ciri budaya lain.
Anggota dari sebuah kelompok budaya yang tidak dominan seringnya terpaksa
belajar kebudayaan baru untuk bertahan. Hal ini juga dapat didefinisikan sebagai
perubahan pola kebudayaan terhadap masyarakat dominannya (Spector, 2000).
e)      Asimilasi
Asimilasi merupakan proses seorang individu berkembang identitas
kebudayaannya. Asimilasi berarti menjadi seperti anggota dari kebudayaan yang
dominan. Beberapa aspeknya, seperti tingkah laku, kewarganegaraan, ciri
perkawinan, dan sebagainya. Di sini, seseorang atau kelompok kehilangan
beberapa kebudayaan aslinya untuk kemudian membentuk kebudayaan baru
bersama dengan yang lain. Hal ini ditujukan untuk membentuk interaksi yang baik.
Ada beberapa faktor kebudayaan yang menjadi pertimbangan toleransi,
diantaranya:
1. Ras
Ras merupakan klasifikasi orang-orang yang dibagi berdasarkan
karakteristik biologis, tanda keturunan (genetik) dan corak. Orang dengan
ras yang sama, umumnya mempunyai banyak persamaan karakter. Namun,
penting untuk diketahui bahwa tidak semua orang dengan ras yang sama
memiliki kebudayaan yang sama pula.
2. Prasangka
Prasangka merupakan sebuah kepercayaan negatif atau kecenderungan
yang menyamaratakan pada satu kelompok dan hal tersebut akan menuntut
pada dakwaan. Hal ini terjadi karena orang yang berprasangka tidak
mengetahui penuh budaya orang yang diprasangkai atau orang tersebut
membuat penyamarataan pandangan berdasarkan pengalamannya dengan
seorang individu dari kelompok tersebut terhadap semua anggota
kelompok itu.
3. Stereotipe
Stereotipe adalah menyamakan seluruh anggota dari sebuah kebudayaan
atau kelompok etnik bahwa mereka semua mirip/ sama. Stereotipe
mungkin berdasarkan penyamaan yang ditemukan pada penelitian atau
mungkin tidak berhubungan dengan kenyataan. Di sini, perawat harus tahu
bahwa tidak semua orang dari kelompok tertentu memiliki kepercayaan
kesehatan yang sama, praktik dan nilai yang sama pula.
4. Diskriminasi
Diskriminasi merupakan pembedaan perlakuan individu atau kelompok
berdasarkan kategori, seperti ras, etnik, jenis kelamin, dan kelas sosial.
Terjadi jika seseorang bertindak merugikan atau menyangkal hak pokok
individu lain atau lebih.
5. Culture Shock
Culture shock adalah suatu guncangan atau ketidaknyamanan yang terjadi
sebagai respons atas pergantian/ perpindahan dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lain. Ini terjadi jika seseorang pindah dari satu lokasi
geografi ke lokasi lain atau berimigrasi ke negara baru.
Salah satu cara untuk menganalisis keyakinan adalah dengan
menggunakan heritage consistensy. Heritage consistensy  dikembangkan oleh
Estes dan Zitzaw (1980). Teori ini menggambarkan tingkat gaya hidup yang
mencerminkan konteks kultural (Potter & Perry, 2009). Hal ini memungkinkan
kita mengkaji keyakinan tentang kesehatan dengan menentukan ikatannya dengan
keyakinan tradisionalnya.
a. Budaya
Budaya menggambarkan sifat nonfisik, seperti keyakinan, sikap atau adat-
istiadat suatu masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi
selanjutnya. Budaya merupakan kumpulan keyakinan, kebiasaan, praktik,
kesukaan, norma, adat-istiadat, ketidaksukaan dan ritual yang dipelajari
dari keluarga selama sosialiasasi bertahun-tahun (Potter & Perry, 2009).
Di dalam budaya tidak hanya terbatas pada komunikasi lisan, tetapi juga
yang lain. Contoh, cara membuat kontak mata, menyentuh tubuh, dan
memegang tangan.
b. Etnisitas
Etnisitas adalah rasa identitas diri yang berkaitan dengan kelompok kultur
sosial umum dan warisan budaya (Potter & Perry, 2009). Karakteristik dari
suatu etnik mencakup bahasa dan dialek, status perpindahan, suku bangsa,
dan kepercayaan serta praktek religius. Sehingga, etnisitas sangat
kompleks, sukar dipahami dan didefinisikan dengan kurang jelas.
c. Religi
Religi adalah keyakinan dalam suatu kekuatan sifat ketuhanan atau di luar
kekuatan manusia yang harus dipatuhi dan diibadatkan sebagai pencipta
dan pengatur alam semesta ((Abramsom, 1980) dalam Fundamental
Keperawatan). Nilai religi berfungsi untuk mengklarifikasi etnisitas lebih
jauh.
Klien berasal dari budaya yang berbeda. Di dalamnya mencakup latar
belakang etnis, keagamaan, dan budaya. Konsistensi warisan budaya ini
membantu cara pemahaman terhadap klien bagaimana mereka
menginterpretasikan kesehatan atau penyakit dengan cara modern atau
tradisional.
Selain heritage consistensy,  ada 6 fenomena kultural yang diidentifikasi
oleh Giger & Davidhizar (1995). Keenam fenomena ini terdiri dari:
1. Kontrol Lingkungan
Mengacu pada kemampuan dari anggota kelompok kultural tertentu untuk
merencanakan aktivitas yang mengontrol sifat dan faktor keturunan
langsung (Giger & Davidhizar, 1995). Di dalamnya mencakup keyakinan
tradisional tentang kesehatan dan penyakit, pengobatan tradisional dan
penggunaan penyembuh tradisional. Sehingga, fenomena ini berperan
penting dalam cara klien berespons terhadap pengalaman yang
berhubungan dengan kesehatan.
2. Variasi Biologis
Seseorang dari satu kelompok kultural pasti mempunyai variasi biologis
berbeda dengan kelompok kultural lainnya. Beberapa contoh signifikan
yang dapat dijadikan pertimbangan, yaitu:
 Struktur dan bentuk tubuh
 Warna kulit
 Variasi enzimatik dan genetik
 Kerentanan terhadap penyakit
 Variasi nutrisi
3. Organisasi Sosial
Lingkungan sosial tempat seseorang dibesarkan dan bertempat tinggal
berperan penting dalam perkembangan dan identitas kultural mereka.
Proses sosialisasi ini menjadi suatu bagian warisan yang diturunkan dan
mengacu pada unit keluarga dan organisasi kelompok sosial yang dapat
diidentifikasi oleh klien.
4. Komunikasi
Perbedaan bahasa antara perawat dengan klien menjadi hal terpenting
dalam memberikan asuhan keperawatan. Perbedaan ini akan berpengaruh
pada setiap aspek dan tahapan asuhan keperawatan. Ketidakberhasilan
berkomunikasi secara efektif akan membuat penundaan dalam diagnosis
dan tindakan terhadap klien. Bahkan bisa lebih dari itu. Perawat tidak
seharusnya menganggap klien dapat memahami apa yang sudah
diucapkannya. Istilah-istilah medis harus dijelaskan dengan jelas dan
terang terutama klien yang mempunyai keterbatasan ketrampilan dalam
bahasa perawat.
5. Ruang
Ruang personal di sini mencakup perilaku individu dan sikap yang ditujukan
pada ruang di sekitar mereka. Teritorialitas merupakan suatu sikap yang
ditujukan pada area seseorang yang diklaim dan dipertahankan atau reaksi
emosional ketika orang-orang lain memasuki area tersebut. Keduanya ini
dipengaruhi oleh budaya. Perawat harus berusaha menghargai teritorial
klien. Ruang personal ini banyak berhubungan dengan aktivitas
keperawatan dan perawat harus sensitif terhadap respons klien berkenaan
dengan ruang personal ini. Misalnya, saat memberikan asuhan keperawatan
yang mengharuskan perawat menyentuh tubuh klien.
6. Orientasi Waktu
Orientasi waktu berbeda antara kelompok satu dengan yang lain. Perawat
yang mempunyai sikap yang berhubungan dengan waktu mungkin
menemukan kesulitan untuk memahami dan merencanakan asuhan
keperawatan terhadap klien yang mempunyai orientasi waktu yang
berbeda. Perbadaan orientasi waktu dapat menjadi hal penting dalam
perawatan kesehatan, seperti perencanaan jangka panjang dan penjelasan
tentang jadwal medikasi. Misalnya, penjelasan pentingnya keteraturan
minum obat pada penderita tekanan darah tinggi.
Dari banyak penjelasan di atas, asuhan keperawatan transkultural memang
sangatlah kompleks. Sebelum kita membuat perencanaan dan tindakan
perawatan, kita perlu mengetahui konsep, prinsip, fenomena, dan faktor-
faktor lain yang dapat dijadikan pertimbangan yang berhubungan dengan
budaya ini. Diharapkan, setelah kita mengetahuinya, kelak asuhan
keperawatan yang kita berikan terhadap klien akan efektif dan
berlangsung dengan lancar.
Pengkajian dan Instrumennya dalam Asuhan keperawatan Budaya
Penting bagi perawat untuk memahami bahwa klien mempunyai wawasan
pandangan dan interprestasi mengenai penyakit dan kesehatan yang berbeda,
berdasarkan keyakinan sosial-budaya dan agama klien sehingga terjalin hubungan
baik. Hubungan ini akan meningkatkan pemberian asuhan keperawatan yang aman
dan efektif secara budaya.
Karena terdapat rentang yang luas tentang keyakinan dan praktik
kesehatan yang berlatar belakang etnik, budaya, sosial dan agama dari individu,
keluarga atau komunitas. Klien dapat mengantisipasi saat mengalami suatu
penyakit dengan pendekatan modern ataupun pendekatan tradisional, dapat juga
menggunakan kedua pendekatan tersebut.
Hubungan dan komunikasi transkultular terjadi ketika setiap individu
berusaha untuk memahami sudut pandang orang lain melalui budayanya. Setelah
mencapai kultular, perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor budaya klien
sepanjang proses keperawatan.
Heritage Consistency adalah melihat akulturasi sebagai suatu
kontinum. Dengan menggunakan teori ini, dikaji tingkat diamana masyarakat
menjadi bagian dari kultur dominan dan tradisional.
o Budaya, menggambarkan sifat non-fisik, seperti nilai, keyakinan, sikap atau
adat istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan diwariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
o Etnisitas, rasa identitas diri yang berkaitan dengan kelompok sosial dan
warisan budaya.
o Religi, keyakinan dalam suatu kekuatan sifat ketuhanan atau diluar kekuatan
manusia yang harus dipatuhi dan diibadatkan sebagai pencipta dan pengatur
alam semesta (Abramsom, 1980).
Keyakinan Tradisional Tentang Kesehatan Penyakit
Keyakinan kesehatan tradisional tentang penyebab dari suatu penyakit
dapat sangat berbeda dengan model epidemiologi orang barat sehingga penting
untuk memahami epidemiologi tradisional, atau penyebab penyakit di dalam
sistem keyakinan. Dalam model epidemiologi orang barat, penyebab suatu
penyakit mungkin stress dan maladaptasi, virus, bakteri atau karsinogen. Pada
model epidemiologi tradisional, terdapat perbedaan yang sangat menonjol
tentang agens penyebab, termasuk kekosongan jiwa, mantra, mata setan dan
guna-guna yang dapat disebabkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan
untuk membuat orang lain sakit. Orang yang percaya dengan kekuatan ini harus
dihindari, termasuk iri, benci atau cemburu.
Praktik Tradisional
Pengobatan rakyat terus ada, sejalan dengan tekanan yang harus meningkat dari
pengobatan modern yang telah diturunkan dari sekolah kedokteran dan generasi
sebelumnya. Praktik rakyat dahulu hanya memiliki bagian yang telah diabaikan
oleh sistem keyakinan perawatan kesehatan modern. Berikut ini adalah
keragaman dari pengobatan rakyat tradisional (Yoder, 1972).
1. Pengobatan Rakyat Alamiah
Pengobatan rakyat alamiah adalah salah satu penggunaan lingkungan
alamiah dan menggunakan herbal, tumbuhan, mineral dan substansi hewan
untuk mencegah dan mengatasi penyakit. Umumnya pengobatan ini
ditemukan pada ramuan tradisional tradisional dan obat-obatan rumah
tangga. Aspek umum dari penggunaan herbal adalah pengetahan bahwa
segala yang terdapat di alam merupakan sumber terapi. Secara umum,
tradisi pengobatan rakyat yang menggambarkan tahun dimana herbal itu
dipetik; cara herbal itu dikeringkan; dan metode; jumlah; dan frekuensi
penggunaan.
2. Pengobatan Rakyat Magisoreligius
Salah satu contoh dari pengobatan ini adalah bentuk penyembuhan
keagamaan tidak resmi. Dalam praktik ini lues, jimat, air suci dan
manipulasi fisik digunakan dalam upaya penyembuhan penyakit.
Penggunaan Benda Pelindung
Jimat adalah benda dengan kekuatan magis. Jimat dikenal dengan perlindungan
yang dikenal oleh semua masyarakat di seluruh dunia dan berkaitan dengan
perlindungan terhadap masalah (Budge, 1978). Seseorang juga ada yang
menggunakan talisman atau benda keagamaan lainnya yang telah disucikan.
Tulisman diyakini memiliki kekuatan yang luar biasa dan dapat dipakai dengan tali
mengelilingi pinggang atau dibawa di dalam saku baju atau tas. Orang yang
mengenakan jimat atau tulisman harus diperbolehkan untuk melakukannya di
lembaga perawatan tempat ia dirawat.
Penggunaan Makanan
Banyak orang percaya bahwa sistem tubuh terjaga keseimbangannya dengan
memakan tipe makanan tertentu, sehingga terdapat banyak makanan dan
kombinasi makanan yang dianggap tabu. Seperti contoh, dipercaya bahwa
beberapa bahan makanan dapat dimakan untuk mencegah penyakit. Orang dari
banyak latar belakang etnik memakan bawang putih atau memakainya ditubuh
mereka atau menggantungkannya di rumah untuk tujuan ini.
Praktik Religius
Pendekatan tradisional lain terhadap pencegahan penyakit berpusat pada sekitar
agama termasuk praktik nseperti membakar lilin, ritual penebusan dan
sembahyang. Banyak orang percaya bahwa penyakit dapat dicegah dengan
mengikuti secara ketat aturan, moral dan praktik serta memandang penyakit
sebagai hukuman terhadap pelecehan religius.
Ramuan Tradisional
Ketika seseorang menggunakan obat-obatan yang berasal dari warisan budaya
etnokultular mereka,maka penggunaan obat-obatan ini disebut pengobatan
alternatif. Sifat farmasitis dari vegetasi tumbuhan, akar0akaran, batang, bunga,
biji dan herbal telah banyak diteliti, dicoba, dibuatkan katalog dan digunakan di
banyak Negara.
Penyembuh (Dukun)
Dalam komunitas tertentu, orang tertentu dikenal mempunyai kekuatan untuk
menyembuhkan. Dukun dianggap mendapat anugerah dari Tuhan. Banyak contoh
seseorang dengan warisan budaya konsisten terlebih dahulu berkinsultasi dengan
dukun sebelum ia berhubungan dengan pemberi perawatan kesehatan modern.
Terdapat banyak perbedaan antara dokter Barat dengan dukun tradisional
(Kaptchuk & Croucher, 1987) Hubungan antara seseorang dengan dukun sering
lebih dekat dibandingkan dengan tenaga perawatan kesehatan professional.
Orang vmenganggap dukun sebagai seseorang yang mampu memahami masalah
dalam konteks kultural, berbicara dengan bahasa yang sama, dan memiliki
pandangan yang sama tentang dunia.

Faktor Kultural dan Proses Keperawatan


 Pengkajian Komunitas
Perawat harus memberikan perawatan yang sensitif dan kompeten secara
kultular di komunitas.
 Diagnosa Keperawatan
Mengelompokkan data yang relevan dan mengembangkan diagnose keperawatan
aktual dan potensial yang berhubungan dengan kebutuhan kultular dan etnik
klien.
 Perencanaan
Perawat sekali lagi mempertimbangkan variable kultular yang berkaitan klien
yang melibatkan keluarga besar dalam proses perawatan.
 Implementasi
Perawat mengetahui perawatan seperti apa yang dianggap klien sesuai dengan
mereka dan melibatkan keluarga tentang harapan mereka.
 Evaluasi
Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan dengan menentukan sejauh mana
tujuan dan hasil yang diharapkan dari perawatan telah terpenuhi.
APLIKASI TRANSKULTURAL PADA BEBERAPA MASALAH KESEHATAN
    Aplikasi transkultural pada masalah penyakit kronik
Penyakit kronik adalah penyakit yang timbul bukan secara tiba-tiba, melainkan
akumulasi dari sesuatu penyakit hingga akhirnya menyebabkan penyakit itu
sendiri. (Kalbe medical portal) Penyakit kronik ditandai banyak penyebab. Contoh
penyakit kronis adalah diabetes, penyakit jantung, asma, hipertensi dan masih
banyak lainnya. Ada hubungan antara penyakit kronis dengan depresi. Depresi
adalah kondisi kronis yang mempengaruhi pikiran seseorang, perasaan dan
perilaku sehingga sulit untuk mengatasi peristiwa kehidupan sehari-hari.  (Andres

Otero-Forero, Queensland Transcultural Mental Health Centre).


Seseorang yang menderita depresi memiliki kemungkinan lebih tinggi
menderita penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung atau asma.
Penyebab depresi itu sendiri kompleks, terkait dengan lingkungan interaksi
seseorang maupun kepribadiaannya sendiri. Beberapa faktor penyebab umum
adalah:
• Faktor herediter • Trauma 
• Isolasi atau kesepian • Pengangguran
•  konflik Keluarga • Kesulitan penyelesaian
• Stres • Nyeri

Berbagai jenis depresi memerlukan cara yang berbeda dalam jenis


pengobatannya. Untuk depresi ringan, dapat dianjurkan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu. Dalam kasus depresi parah, dianjurkan untuk
mengkonsumsi obat dan psikoterapi. Salah satu pendekatan yang muncul menjadi
lebih umum untuk segala bentuk depresi adalah manajemen diri. Manajemen diri
mengacu pada strategi orang menggunakan untuk berurusan dengan kondisi
mereka. Dimana seseorang melibatkan tindakan, sikap atau tujuan dalam
mengambil atau membuat keputusan untuk mempertahankan dan meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan.
Pengobatan terhadap penyakit kronik yang telah dilakukan di masyarakat
saat ini amat beragam. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pengobatan
tradisional juga merupakan sub unsur kebudayaan masyarakat sederhana yang
telah dijadikan sebagai salah satu cara pengobatan. Pengobatan inilah yang juga
menjadi aplikasi dari transkultural dalam mengobati suatu penyakit kronik.
Pengobatan tradisional ini dilakukan berdasarkan budaya yang telah diwariskan
turun-temurun. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat negeri Pangean lebih memilih menggunakan ramuan dukun untuk
menyembuhkan penyakit TBC, yaitu daun waru yang diremas dan airnya
dimasak sebanyak setengah gelas.
2. Masyarakat di Papua percaya bahwa penyakit malaria dapat disembuhkan
dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan lalu memetik daun untuk
dibuat ramuan untuk diminum dan dioleskan ke seluruh tubuh.
3. Masyarakat Jawa memakan pisang emas bersamaan dengan kutu kepala
(Jawa: tuma) tiga kali sehari untuk pengobatan penyakit kuning.
Pengobatan tradisional yang sering dipakai berupa pemanfaatan bahan-bahan
herbal. Herba sambiloto menjadi sebuah contoh yang khasiatnya dipercaya oleh
masyarakat dapat mengobati penyakit-penyakit kronik, seperti hepatitis, radang
paru (pneumonia), radang saluran nafas (bronchitis), radang ginjal (pielonefritis),
radang telinga tengah (OMA), radang usus buntu, kencing nanah (gonore),
kencing manis (diabetes melitus). Daun lidah budaya dan tanaman pare juga
dijadikan sebagai pengobatan herbal. Tumbuhan tersebut berkhasiat
menyebuhkan diabetes melitus. Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri pun
masih ada negara yang meyakini bahwa pengobatan medis bukan satu-satunya
cara mengobati penyakit kronik. Misalnya, di Afrika, penduduk Afrika masih
memiliki keyakinan tradisional tentang kesehatan dan penyakit. Mereka
menganggap bahwa obat-obatan tradisional sudah cukup untuk mengganti produk
yag akan dibeli, bahkan mereka menggunakan dukun sebagai penyembuh
tradisional. Hal seperti ini juga terjadi di Amerika, Eropa, dan Asia.
Aplikasi transkultural pada gangguan nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial. Nyeri adalah alasan
utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Selanjutnya,
definisi nyeri menurut keperawatan adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang
dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu
mengatakannya. Peraturan utama dalam merawat pasien nyeri adalah bahwa
semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya belum diketahui. Keberadaan
nyeri adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien bahwa nyeri itu ada.
Aplikasi transkultural pada gangguan nyeri baik yang dilakukan oleh pasien
berdasarkan apa yang dipercaya olehnya atau yang dilakukan oleh perawat
setelah melakukan pengkajian tentang latar belakang budaya pasien adalah
sebagai berikut:
1. Dengan membatasi gerak dan istirahat. Seorang pasien yang mengalami
nyeri diharuskan untuk tidak banyak bergerak karena jika banyak
bergerak dapat memperparah dan menyebabkan nyeri berlangsung lama.
Menurut pandangan umat Islam, seseorang yang menderita nyeri untuk
mengurangi tau meredakannya dengan posisi istirahat atau tidur yang
benar yaitu badan lurus dan dimiringkan ke sebelah kanan. Hal ini menurut
sunah rasul. Dengan posisi tersebut diharapkan dapat meredakan nyeri
karena peredaran darah yang lancer akibat jantung yang tidak tertindih
badan sehingga dapat bekerja maksimal.
2. Mengkonsumsi obat-obatan tradisional. Beberapa orang mempercayai
bahwa ada beberapa obat tradisional yang dapat meredakan nyeri bahkan
lebih manjur dari obat yang diberikan oleh dokter. Misalnya, obat urut dan
tulang ‘Dapol Siburuk’ dari burung siburuk yang digunakan oleh masyarakat
Batak.
3. Dengan dipijat atau semacamnya. Kebanyakan orang mempercayai dengan
dipijat atau semacamnya dapat meredakan nyeri dengan waktu yang
singkat. Namun, harus diperhatikan bahwa apabila salah memijat akan
menyebabkan bertambah nyeri atau hal-hal lain yang merugikan penderita.
Dalam budaya Jawa ada yang disebut dukun pijat yang sering didatangi
orang banyak apabila mengalami keluhan nyeri misalnya kaki terkilir.
a. Dalam menerapkan transkultural pada gangguan nyeri harus tetap
mempertahankan baik buruknya bagi si pasien. Semua aplikasi
transkultural sebaiknya dikonsultasikan kepada pihak medis agar tidak
menimbulkan hal yang tidak diinginkan.
Aplikasi transkultural pada gangguan kesehatan mental
Berbagai tingkahlaku luar biasa yang dianggap oleh psikiater barat sebagai
penyakit jiwa ditemukan secara luas pada berbagai masyarakat non-barat.
Adanya variasi yang luas dari kelompok sindroma dan nama-nama untuk
menyebutkannya dalam berbagai masyarakat dunia, Barat maupun non-Barat,
telah mendorong para ilmuwan mengenai tingkahlaku untuk menyatakan bahwa
penyakit jiwa adalah suatu ‘mitos’, suatu fenomena sosiologis, suatu hasil dari
angota-anggota masyarakat yang ‘beres’ yang merasa bahwa mereka
membutuhkan sarana untuk menjelaskan, memberi sanksi dan mengendalikan
tingkahlaku sesama mereka yang menyimpang atau yang berbahaya, tingkahlaku
yang kadang-kadang hanya berbeda dengan tingkahlaku mereka sendiri. Penyakit
jiwa tidak hanya merupakan ‘mitos’, juga bukan semata-semata suatu masalah
sosial belaka. Memang benar-benar ada gangguan dalam pikiran, erasaan dan
tingkahlaku yang membutuhkan pengaturan pengobatan. (Edgerton 1969 : 70). Nampaknya,
sejumlah besar penyakit jiwa non-barat lebih dijelaskan secara personalistik
daripada naturalistik.
Sebagaimana halnya dengan generalisasi, selalu ada hal-hal yang tidak
dapat dimasukkan secara tepat ke dalam skema besar tersebut. Kepercayaan
yang tersebar luas bahwa pengalaman-pengalaman emosional yang kuat seperti
iri, takut, sedih, malu, dapat mengakibatkan penyakit, tidaklah tepat untuk
diletakkan di dalam salah satu dari dua kategori besar tersebut. Mungkin dapat
dikatakan bahwa tergantung situasi dan kondisi, kepercayaan-kepercayaan
tersebut boleh dikatakan cocok untuk dikelompokkan ke dalam salah satu
kategori. Misalnya, susto, penyakit yang disebabkan oleh ketakutan, tersebar
luas di Amerika Latin dan merupakan angan-angan. Seseorang mungkin menjadi
takut karena bertemu dengan hantu, roh, setan, atau karena hal-hal yang sepele,
seperti jatuh di air sehingga takut akan mati tenggelam. Apabila agen-nya
berniat jahat, etiologinya sudah tentu bersifat personalistik. Namun, kejadian-
kejadian tersebut sering merupakan suatu kebetulan atau kecelakaan belaka
bukan karena tindakan yang disengaja. Dalam ketakutan akan kematian karena
tenggelam, tidak terdapat agen-agen apa pun.
Kepercayaan-kepercayaan yang sudah dijelaskan di atas menimbulkan
pemikiran-pemikiran untuk melakukan berbagai pengobatan jika sudah terkena
agen. Kebanyakan pengobatan yang dilakukan yaitu mendatangi dukun-dukun atau
tabib-tabib yang sudah dipercaya penuh. Terlebih lagi untuk pengobatan
gangguan mental, hampir seluruh masyarakat desa mendatangi dukun-dukun
karena mereka percaya bahwa masalah gangguan jiwa/mental disebabkan oleh
gangguan ruh jahat. Dukun-dukun biasanya melakukan pengobatan dengan cara
mengambil dedaunan yang dianggap sakral, lalu menyapukannya ke seluruh tubuh
pasien. Ada juga yang melakukan pengobatan dengan cara menyuruh pihak
keluarga pasien untuk membawa sesajen seperti, berbagai macam bunga atau
binatang ternak.
Para ahli antropologi menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis shaman.
Shaman adalah seorang yang tidak stabil dan sering mengalami delusi, dan
mungkin ia adalah seorang wadam atau homoseksual.namun apabila
ketidakstabilan jiwanya secara budaya diarahkan pada bentuk-bentuk
konstruktif, maka individu tersebut dibedakan dari orang-orang lain yang
mungkin menunjukkan tingkahlaku serupa, namun digolongkan sebagai abnormal
oleh para warga masyarakatnya dan merupakan subyek dari upacara-upacara
penyembuhan. Dalam pengobatan, shaman biasanya berada dalam keadaan
kesurupan (tidak sadar), dimana mereka berhubungan dengan roh pembinanya
untuk mendiagnosis penyakit. para penganut paham kebudayaan relativisme yang
ekstrim menggunakan contoh shamanisme sebagai hambatan utama dalam
arguentasi mereka bahwa apa yang disebut penyakit jiwa adalah sesuatu yang
bersifat kebudayaan.
Dalam banyak masyarakat non-Barat, orang yang menunjukkan tingkahlaku
abnormal tetapi tidak bersifat galak maka sering diberi kebebasan gerak dalam
masyarakat mereka, kebutuhan mereka dipenuhi oleh anggota keluarga mereka.
Namun, jika mereka mengganggu, mereka akan dibawa ke sutu temapt di semak-
semak untuk ikuci di kamrnya. Sebuah pintu khusus (2 x 2 kaki) dibuat dalam
rumah, cukup untuk meyodorkan makanan saja bagi mereka dan sebuah pintu
keluar untuk keluar masuk komunitinya.
Usaha-usaha untuk membandingkan tipe-tipe gangguan jiwa secara lintas-
budaya umumnya tidak berhasil, sebagian disebabkan oleh kesulitan-kesulitan
pada tahapan penelitian untuk membongkar apa yang diperkirakan sebagai gejala
primer dari gejala sekunder. Misalnya, gejala-gejala primer yaitu yang menjadi
dasar bagi depresi. Muncul lebih dulu dan merupakan inti dari gangguan. Gejala-
gejala sekunder dilihat sebagai reaksi individu terhadap penyakitya ; gejala-
gejala tersebut berkembang karena ia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
tingkahlakunya yang berubah (Murphy, Wittkower, dan Chance 1970 : 476).
Kasus Kesehatan
Defini Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah bertambahnya jumlah gula darah di dalam tubuh
seseorang karena insulin yang dihasilkan oleh pankreas tidak cukup untuk
menyeimbangkan kadar gula yang masuk. Faktor pemicu tingginya penyakit ini
karena pola makan yang tidak sehat, kurang aktivitas gerak, merokok, serta gaya
hidup. Penyakit ini biasanya diderita oleh orang Jawa karena kebiasaan orang
Jawa yang menyukai masakan atau minuman yang manis.
Menurut WHO (1985), kadar gukosa normal dalam darah kapiler pada waktu
puasa tidak melebihi 120 mg/dl dan 2 jam sesudah makan kurang dari 200 mg/dl.
Batasan kadar glukosa darah dalam mg/dl.
Kadar Glukosa Darah
Golongan Klinik
Darah Vena Darah Kapiler Plasma Vena
Diabetes Mellitus
a. Puasa ≥120 ≥120 ≥140
b. 2 jam setelah ≥180 ≥200 ≥200
makan
Toleransi gula
terganggu
a. Puasa <120 <120 <140
b. 2 jam setelah >120 - ≤180 >120 - ≤200 >140 - ≤200
makan
Sumber: WHO (1980)
Karakteristik, Gejala dan Tanda Diabetes
Ada beberapa tanda dan gejala diabetes melitus yang dapat kita kenali sebagai
gejala umum yang terjadi pada pengidap diabetes. Meskipun demikian, tidak
semua tanda dan gejala akan dialami oleh penderita diabetes. Tanda dan gejala
diabetes adalah sebagai berikut.
1. Jumlah urin yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria).
2. Sering atau cepat haus (Polydipsia).
3. Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia).
4. Urin mengandung kadar gula yang tinggi (Glycosuria).
5. Penurunan berat badan secara mendadak.
6. Rasa kebas pada ujung saraf di telapak tangan dan kaki.
7. Cepat lelah dan lemas.
8. Mengalami rabun penglihatan.
9. Luka lambat sembuh.
10. Mudah terjangkit penyakit, terutama di kulit.
Karakteristik dibetes merupakan ciri-ciri yang dapat menggambarkan
kondisi fisik penderita diabetes melitus. Pemeriksaan dapat dilakukan pada
orang-orang yang berisiko terkena DM, seperti usia >45 tahun, BBR >120%
dengan IMT 23 kg/m2, penderita hipertensi (140/90 mmHg), mempunyai riwayat
abortus berulang-ulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi lahir >4000
gr, kolesterol HDL <35 mg/dl, atau kadar trigliserida >250 mg/dl (PERKENI,
2002).
Djokomoeljanto (2002) menjelaskan bahwa diabetes melitus dapat teradi
pada usia lebih dari 40 tahun, obesitas atau kegemukan, hipertensi, adanya
hislipdemia atau gangguaun pada lemak, terdapat luka, penyakit cardiovaskuler,
atau TBC positif yang sulit sembuh.
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang
ditandai oleh meningkatnya kadar glukosa dalam darah sebagai akibat adanya
defek sekresi insulin dan atau adanya resistensi insulin. Apabila penyakit ini
dibiarkan tidak tekendali, maka akan menimbulkan komplikasi yang dapat
berakibat fatal, termasuk penyakit jantung, ginjal, kebutaan, dan amputasi.
Terjadinya defek sekresi insulin (insulin kurang) maupun adanya gangguan
kerja insulin (resistensi insulin) mengakibatkan glukosa darah tidak dapat masuk
ke dalam sel otot dan jaringan lemak. Akibatnya, untuk memperoleh sumber
energi untuk kelangsungan hidup dan menjalankan tugasnya, otot dan jaringan
lemak akan memecah cadangan energi yang terdapat dalam dirinya sendiri melalui
proses glikogenesis dan lipolisis. Proses glikogenesis dan lipolisis yang
berlangsung terus menerus pada akhirnya menyebabkan massa otot dan jaringa
lemak akan berkurangsehingga terjadilah penurunan berat badan.
Tipe Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus dibedakan menjadi dua tipe, yaitu diabetes mellitus tipe 1
dan tipe 2. Penderita DM tipe 1 adalah jika tubuh sepenuhnya tidak dapat
memproduksi hormon insulin sedangkan penderita DM tipe 2 adalah jika tubuhnya
masih dapat memproduksi insulin, namun insulin yang dihasilkan tidak cukup atau
karena kurangnya sensitivitas jaringan tubuh terhadap insulin. Hanya 5-10% dari
penderita DM tipe 1 dan sisanya adalah penderita DM tipe 2.

Mekanisme dan Komplikasi Jangka Panjang Diabetes


Diabetes melitus secara umum terjadi karena adanya proses patogenesis.
Ini bersamaan dengan rusaknya autoimun pada sel beta di pankreas yang
menyebabkan berkurangnya produksi insulin hingga menjadi abnormal yang
menghasilkan resistensi terhadap kerja insulin. Dasar dari ketidaknormalan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein pada penderita diabetes merupakan
akibat dari berkurangnya kerja insulin pada jaringan. Berkurangnya hasil kerja
insulin adalah dari tidak cukupnya sekresi insulin dan atau kurangnya respon
jaringan terhadap insulin dalam jalur kompleks kerja hormon. Penurunan sekresi
insulin dan resistensi kerja insulin sering terjadi pada pasien yang sama, dan itu
menjadi tidak jelas apa kelainannya, jika hanya salah satu saja, penyebabnya
adalah hiperglikemia.
Gejala hiperglikemia meliputi poluiria, polidipsia, penurunan berat badan,
kadang dengan polipagia, dan penglihatan kabur. Melambatnya pertumbuhan dan
kerentanan terhadap infeksi tertentu juga dapat menyertai penderita
hiperglikemia kronik. Bahayanya, ancaman hidup dari akibat diabetes adalah
hiperglikemia dengan ketoasidosis atau sindrom hiperosmolar nonketotik.
Komplikasi jangka panjang dari diabetes meliputi retinopati dengan potensi
hilangnya penglihatan; nefropati yang menyebabkan gagal ginjal; neuropati
perifer dengan risiko ulkus kaki, amputasi, dan sendi Charcot, dan neuropati
otonom yang menyebabkan gejala gastrointestinal, Genitourinari, kardiovaskuler
dan disfungsi seksual. Glikasi protein jaringan dan makromolekul lainnya serta
kelebihan produksi senyawa poliol dari glukosa adalah salah satu mekanisme
berpikir untuk menghasilkan kerusakan jaringan dari hiperglikemia kronis. Pasien
dengan diabetes memiliki peningkatan komplikasi atherosklerosis, pembuluh
darah perifer, dan penyakit serebrovaskular. Hipertensi, kelainan metabolisme
lipoprotein, dan penyakit periodontal sering ditemukan pada penderita diabetes.
Dampak emosional dan sosial diabetes dan tuntutan terapi dapat menyebabkan
disfungsi psikososial yang signifikan pada pasien dan keluarganya.

Pola Makan dan Gaya Hidup untuk Penderita Diabetes


Pola makan pada penderita diabetes harus benar-benar diperhatikan. Baik
jadwal, jumlah, maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Kebutuhan makanan bagi
penderita penyakit diabetes tidak hanya sekedar mengisi lambung. Tetapi,
makanan tersebut harus mampu menjaga kadar gula darah penderita diabetes itu
sendiri. Mengingat, penderita diabetes biasanya memiliki kecenderungan
kandungan gula darah yang tidak terkontrol. Kadar gula darah akan meningkat
drastis setelah mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Oleh sebab itu, pola
makan dan jenis makanan penyakit diabetes ini harus diatur sedemikian rupa.
A.    Jadwal Makan
Jadwal makan yang dianjurkan bagi penderita diabetes adalah enam kali makan
dalam sehari. Dengan ketentuan tiga kali makan besar dan tiga kali makan ringan.
Hal tersebut dimaksudkan agar lambung tidak kosong dan asupan gula dalam
tubuh tetap stabil, tidak melonjak drastis dan juga tidak turun sangat rendah.
Berikut ini adalah contoh pengaturan jadwal makan penderita penyakit diabetes :
1.    Makan besar I (Sarapan pagi) : pukul 07.00
2.    Makan ringan I (Snack) : pukul 10.00
3.    Makan besar II (Makan siang) : pukul 13.00
4.    Makan ringan II (Snack) : pukul 16.00
5.    Makan besar III (Makan malam) : pukul 19.00
6.    Makan ringan III (Snack) : pukul 22.00
Jadwal makan ini harus benar-benar dipatuhi oleh penderita diabetes.
Usahakan makan tepat waktu. Mengingat jika terjadi keterlambatan atau makan
tidak teratur maka dikhawatirkan terjadi   hipoglikemia (penurunan kadar gula
darah). Gejala  hipoglikemiaini ditandai oleh timbulnya pusing, mual dan pingsan
pada penderita diabetes. Jika gejala ini terjadi maka sebaiknya penderita diberi
minum air gula untuk mengembalikan keseimbangan gula dalam darah.

B.     Porsi Makanan
   Prinsip yang harus dipegang dalam mengatur porsi makanan adalah porsi
makanan yang dikonsumsi tidak perlu banyak, namun harus sering. Oleh sebab itu,
jadwal makan diatur sedemikian rupa hingga enam kali dalam sehari. Berikut ini
adalah anjuran porsi makanan yang harus diberikan pada penderita diabetes :
1. Makan pagi : 20% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
2. Makan ringan I : 10% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
3. Makan siang : 25% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
4. Makan ringan II : 10% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
5. Makan malam : 25% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
6. Makan ringan III : 10% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari

C.     Jenis makanan
Beberapa contoh makanan yang sebaiknya dihindari oleh penderita diabetes
dan yang memicu menaikkan kadar gula darah, yaitu mie, pasta, nasi, kafein,
kentang, roti putih, the manis, dan makanan yang digoreng. Sedangkan jenis
makanan yang dianjurkan bagi penderita diabetes bersuku jawa yang menyukai
makanan manis, seperti minyak zaitun, apel, jeruk bali, kentang, stroberi, tomat,
alpukat, wortel, dan susu.
Gaya hidup yang sehat dapat dicapai dengan mengatur:
Berat badan yang seimbang
Manajemen stress
Cukup tidur
Hindari rokok
Hindari minuman beralkohol
Hindari narkoba
Olahraga yang teratur
Melakukan medical check up secara teratur
Berkonsultasi dengan dokter apabila mengalami gangguan kesehatan.

Menurut Leininger (2002), keperawatan transkultural sebagai penelitian


perbandingan budaya untuk memahami persamaan (budaya universal) dan
perbedaan (budaya-tertentu) di antara kelompok manusia. Tujuannya untuk
membentuk pelayanan yang sesuai dengan pola nilai kehidupan individu dan arti
yang sebenarnya. Sehingga apabila perawat menemukan berbagai pasien dengan
budaya yang berbeda-beda, perawat tahu dengan pendekatan apa dan bagaimana
yang akan ia gunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Clinical Practice Guidelines Management of Type 2 Diabetes Melitus 4 th  ed.  (2009).
Ministry of Health Malaysia. MOH/P/PAK/184.09(GU)
Dorland’s medical dictionary. 29th ed. Jakarta: EGC; 2006. Diabetes mellitus;
602-3
http://fk.uho.ac.id/dokumenhpeq/modul_Berat _Badan_Menurun.pdf
Kozier, B., Erb, G.,Berman,A.J., & Snyder. (2004).Fundamentals of Nursing: Concepts,
Process, and Practice. 7th Ed. New Jersey: Pearson Education, Inc.
National Diabates Institute. Signs and Symptoms of Diabetes. Diakses
dari: www.nadidiabetes.com.my 30 Desember 2014 pukul 19:15
Potter, P.A. & Perry,A.G.(2009). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and
Practice.7th Ed. St. Louis, MI: Elsevier Mosby.
Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Diabetes
melitus dapat dicegah. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1314-diabetes-
melitus-dapat-dicegah.html, 15 November 2010
R., Nicki, R., Brian, dan H., Stuart. (2010). Davidson’s Principle and Practice of
Medicine (21st  ed.)  Churchill Livingstone.
Tim Redaksi VitaHealth. Diabetes. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005;
3: 39-60

transkulturalnursing.pdf oleh Efy Afifah, S.Kp., M. Kes diakses dari staff.ui.ac.id

Anda mungkin juga menyukai