Anda di halaman 1dari 4

IMAN, ISLAM DAN KORELASI ANTARA KEDUANYA

Istilah Islam dan Iman adalah dua istilah yang akrab di telinga masyarakat muslim di belahan bumi
manapun, termasuk muslim Indonesia.

Namun, ternyata di negara kita masih banyak masyarakat yang kesulitan dalam memaknai masing-
masing dari dua istilah tersebut. Apalagi jika ditanya tentang apa hubungan antara kedua istilah itu.

Pembahasan mengenai korelasi/hubungan antara Iman dan Islam masih diperselisihkan di kalangan
ulama Ahlu Sunnah, perbedaan ini diklasifikasikan dalam dua pendapat;

PENDAPAT 1: IMAN DAN ISLAM ADALAH DUA HAL YANG BERBEDA BERDASARKAN PENEMPATANNYA

Pendapat ini diamini oleh mayoritas ulama Ahlu Sunnah. Di antaranya adalah Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-
Basri, Muhammad bin Sirrin, Az-Zuhri, Qatadah, Daud bin Abi Hind, Hamad bin Zaid, Muhammad bin
Abdurrahman bin Abi Dzi’bi, Ahmad bin Hanbal, Abu Ja’far Al-Baqir, Abdurrahman Ibnu Mahdi, Ibnu
Mu’ayyan, Abu Khaitsumah, Al-Khithabi, Al-Laalika’I, Ibnu Shalah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab dan lain
sebagainya. (Syarh Ushul Al-I’tiqad Ahli Sunnah, 4/812. Al-Iman, 343)

Mereka berhujjah dengan surat Al-Hujurat ayat 14,

‫ت األ ْع َرابُ آ َمنَّا قُلْ لَ ْم تُْؤ ِمنُوا َولَ ِك ْن قُولُوا َأ ْسلَ ْمنَا َولَ َّما يَ ْد ُخ ِل اإلي َمانُ فِي قُلُوبِ ُك ْم َوِإ ْن تُ ِطيعُوا هَّللا َ َو َرسُولَهُ ال يَلِ ْت ُك ْم ِم ْن َأ ْع َمالِ ُك ْم َش ْيًئا‬
ِ َ‫قَال‬

“Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum
beriman, tetapi katakanlah, “Kami telah tunduk,” karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan
jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala)
amalanmu.”(QS. Al-Hujurat: 14)

Ibnu Taimiyah berkata,

“Itu adalah dalil yang menunjukkan bahwa al-Islam yang tersebut dalam ayat di atas adalah Islam yang
diberi pahala, bukan Islam munafiq. Firman Allah,
‫َوِإ ْن تُ ِطيعُوا هَّللا َ َو َرسُولَهُ ال يَلِ ْت ُك ْم ِم ْن َأ ْع َمالِ ُك ْم َش ْيًئا‬

Menunjukkan jika mereka menaati Allah dan Rasul-Nya dengan keislaman itu, maka Allah akan
melimpahkan pahala atas ketaatannya tersebut. Sedangkan munafiq itu amalannya sia-sia diakhirat.
Firman Allah,

‫َولَ ِك ْن قُولُوا َأ ْسلَ ْمنَا َولَ َّما يَ ْد ُخ ِل اإلي َمانُ فِي قُلُوبِ ُك ْم‬

Kata (‫)ولَ َّما‬


َ maksudnya adalah meniadakan apa yang belum ada, sehingga menunggu sebuah pencapaian
(iman).

Potongan ayat itu menunjukkan masuknya iman ke dalam hati mereka itu merupakan suatu hal yang
ditunggu-tunggu. Karena seseorang yang baru saja masuk Islam tidak serta merta keimanan telah masuk
ke dalam hatinya, akan tetapi iman itu akan masuk setelahnya… sampai pada perkataan beliau,

‫َولَ ِك ْن قُولُوا َأ ْسلَ ْمنَا‬

Allah memerintah mereka agar mengatakan dengan istilah itu-aslamnaa-, sedangkan orang munafik
tidak diperintah dengan apapun.

Mereka juga berhujjah dengan sabda Rasulullah ketika beliau ditanya malaikat Jibril tentang makna
Islam (Al-Iman, 229), Imam Abu Amru bin Shalah memberikan ta’liq/catatan mengenai hadits tersebut,

“hadits ini menerangkan tentang fundamen keimanan, yaitu pembenaran hati, juga menerangkan
tentang fundamen Islam, yaitu pasrah dan tunduk secara zahir”. (Al-Iman, 346)

Dari hadits di atas, Ibnu Taimiyah merumuskan sebuah kaidah yang sangat menarik,
“Dalam dimensi kesendirian, Al-Ihsan itu umum. Namun ia lebih spesifik jika dibandingkan dengan Al-
Iman. Al-Iman dalam kesendiriannya itu umum, namun lebih spesifik jika dibandingkan dengan Al-Islam.
Maka, Al-Ihsan tercakup didalamnya Al-Iman, dan Al-Iman tercakup didalamnya Al-Islam. Orang muhsin
itu lebih khusus dari orang mukmin, dan orang mukmin itu lebih khusus dari orang muslim.” (Al-Iman, 6)

PENDAPAT 2: IMAN DAN ISLAM KEDUANYA SATU MAKNA

Di antara para ulama yang menukilkan pendapat ini adalah Al-Bukhari, Muhammad bin Nashr Al
Marwazi, Ibnu Abdil Barr, sebagian kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah, dan beberapa sahabat Abu
Hanifah dan Ibnu Mandah. (Fathul Bari, 1/55,115. At-Tamhid, 9/247,250. Al-Iman, 353. Al-Iman Ibnu
Mandah, 321)

Muhammad bin Nash Al Marwazi berkata,

“Al-Iman yang diserukan Allah kepada hamba-Nya, dan diwajibkan atasnya adalah Al Islam yang telah
dijadikan-Nya sebagai diin (agama), ia telah diridhai Allah untuk hamba-Nya, dan diserukan kepada
hamba-Nya. Itu merupakan kebalikan dari al Kufru yang sangat dibenci-Nya. (Al-Iman Ibnu Mandah, 321-
322)

Allah berfirman,

‫ضى لِ ِعبَا ِد ِه ْال ُك ْف َر‬


َ ْ‫َوال يَر‬

“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar: 7)

Dan masih ada beberapa dalil lagi yang mereka jadikan penguat atas pendapat mereka.

KESIMPULAN

Dari pemaparan dua pendapat di atas, Syaikh al-Wuhaibi menarik kesimpulan sebagai tarjih antara dua
pendapat tersebut sebagai berikut.
Tashdiq/pembenaran adalah pokok dari iman, kemudian al-Khudhu’ dan al-Inqiyad Sedangkan al-
Khudhu’ dan al-inqiyad adalah pokok dari dari islam, diantaranya adalah rukun Islam yang lima.

Belum ditemukan dalil nash yang menjanjikan jannah atas orang yang berstatus Islam secara mutlak,
seperti halnya dalam Iman secara mutlak.

Belum ditemukan nash yang menyatakan bahwa Iman kepada Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya (Qaulul qalbi) masuk dalam kategori Islam.

Tidak didapati nash yang menegasikan keislaman seseorang yang meninggalkan salah satu kewajiban,
atau melakukan dosa besar sebagaimana yang terdapat dalam Iman.

Dalam kondisi terpisah, keduanya bermakna sama, namun ketika keduanya disebut bersamaan maka
makna Iman berdiri sendiri dan makna Islam berdiri sendiri. Keduanya memiliki keterkaitan yang tak bisa
dipisahkan. (Nawaqidhul Iman al-I’tiqadiyah wa Dhawabitut Takfir ‘Inda Salaf, Syaikh al-Wuhaibi)

Anda mungkin juga menyukai