Anda di halaman 1dari 7

ISLAM DAN DISABILITAS

A. Konsep Islam dan Disabilitas


Islam adalah agama Allah Swt. yang diwasiatkan untuk manusia
dengan ajaran-ajarannya sebagaimana terdapat dalam pokok-pokok
dan syariatnya pada Nabi Muhammad Saw dan mewajibkan kepadanya
untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia serta
mengajak mereka untuk memeluknya (saltou, 1996: 9). Dalam
pengertian lain, Islam juga merupakan agama wahyu berintikan
ketuhanan dan keesaan Allah kepada Nabi Muhammad sebagai utusan
Allah Swt yang terakhir dan dilaksanakan untuk seluruh manusia.
Secara garis besar, ajaran Islam mengandung tiga hal pokok, yaitu
aspek keyakinan, aspek ritual dan aspek prilaku. Islam mengatur
hubungan manusia dengan tuhan, mengatur hubungan manusia
dengan manusia dan juga alam jagat raya.

Penyandang Disabilitas dalam perspektif Al-Qur’an, Hadits, dan


Ulama Mazhab diidentikkan pada istilah-stilah seperti dzawil ahat,
dzawil ihtiyaj al-khashah atau dzawil a’dzar yaikni orang-orang yang
mempunyai keterbatasan, berkebutuhan khusus, atau mempunyai
uzur. Prinsip-prinsip universalitas dalam Islam terhadap isu disabilitas
yang menjadi prinsip keagamaan dan kemanusiaan antara lain
kesetaraan/al-musawa/equality yang dijelaskan dalam Surat Al-
Hujurat: 13, keadilan/al-Adalah/justice seperti dijelaskan dalam Surat
An-Nisa: 135 dan Al-Maidah ayat 8, serta kebebasan/al-
hurriyyah/freedom sebagaimana yang tertera dalam Surat At-Taubah
ayat 105.

Secara prinsip, Islam sangat menghargai kesetaraan dan


keberagaman, seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Allah Swt
bahwa perbedaan manusia satu dengan yang lainnya adalah derajat
ketaqwaannya, sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat
13:
‫آٰي َهُّي َا النَّ ُاس ِااَّن َخلَ ْق ٰنمُك ْ ِ ّم ْن َذ َك ٍر َّو ُانْىٰث َو َج َعلْ ٰنمُك ْ ُش ُع ْواًب َّوقَ َب ۤاى َل ِل َت َع َارفُ ْوا ۚ ِا َّن‬
ِٕ ‫اَ ْك َر َممُك ْ ِع ْندَ اهّٰلل ِ َاتْ ٰقىمُك ْ ۗ ِا َّن اهّٰلل َ عَ ِلمْي ٌ َخ ِبرْي‬
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al
Hujurat: 13).

Muhammad Husain al Thabathaba’i dalam Tafsirnya al Mizan fi


tafsir al qur’an (Jilid VI, h. 134-135) menjelaskan bahwa manusia dari
segi penciptaan tidaklah ada perbedaan antara satu dengan yang
lainnya. Mereka semua sama dari asal kejadian, yaitu tanah dari diri
yang satu, yakni Adam yang diciptakan dari tanah. Oleh karena itu
tidak ada kelebihan seseorang atas orang yang lain. Maka tidak layak
jika seseorang atau satu golongan menyombongan atas seseorang
atau golongan yang lain. Penegasan Swt. dari ayat di atas adalah
manusia memiliki kedudukan yang sama. Orang yang paling mulia
disisi Allah adalah ketaqwaannya, sehingga meskipun ia adalah
seorang penyandang disabilitas jika ketaqwaannya kepada Allah lebih
tinggi maka ia akan memiliki derajat yang lebih tinggi dan mulia disisi
Allah Swt.
Islam juga secara tegas memberikan pembelaan terhadap
kaum disabilitas ini, antara lain yang termaktub dalam:
1. An-Nur ayat 61:

‫ْض َح َر ٌج َّواَل ع َٰلٓى‬ ِ ‫ج َح َر ٌج َّواَل َعلَى ْال َم ِري‬ ِ ‫ْس َعلَى ااْل َ ْعمٰ ى َح َر ٌج َّواَل َعلَى ااْل َ ْع َر‬ َ ‫لَي‬
‫ت‬ِ ْ‫ت اِ ْخ َوانِ ُك ْم اَوْ بُيُو‬ ِ ْ‫ت اُ َّم ٰهتِ ُك ْم اَوْ بُيُو‬ ِ ْ‫اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْن تَْأ ُكلُوْ ا ِم ۢ ْن بُيُوْ تِ ُك ْم اَوْ بُيُو‬
ِ ْ‫ت ٰابَ ۤا ِٕى ُك ْم اَوْ بُيُو‬
‫ت ٰخ ٰلتِ ُك ْم اَوْ َم ا‬ ِ ْ‫ت اَ ْخ َوالِ ُك ْم اَوْ بُيُ و‬ ِ ْ‫ت َع ٰ ّمتِ ُك ْم اَوْ بُيُ و‬ ِ ْ‫ت اَ ْع َم ا ِم ُك ْم اَوْ بُيُ و‬ ِ ْ‫اَخَ ٰوتِ ُك ْم اَوْ بُيُ و‬
ۗ ‫ْأ‬
‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح اَ ْن تَ ُكلُوْ ا َج ِم ْيعًا اَوْ اَ ْش تَاتًا فَ ا ِ َذا َدخ َْلتُ ْم بُيُوْ تً ا‬ َ ‫ص ِد ْيقِ ُك ۗ ْم لَي‬َ ْ‫َملَ ْكتُ ْم َّمفَاتِ َح ٗ ٓه اَو‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ك يُبَي ُِّن ُ لَ ُك ُم ااْل ٰ ٰي‬
‫ت لَ َعلَّ ُك ْم‬ َ ِ‫فَ َس لِّ ُموْ ا ع َٰلٓى اَ ْنفُ ِس ُك ْم ت َِحيَّةً ِّم ْن ِع ْن ِد هّٰللا ِ ُم ٰب َر َك ةً طَيِّبَ ةً ۗ َك ٰذل‬
ࣖ َ‫تَ ْعقِلُوْ ن‬
Artinya : Tidak ada halangan bagi orang buta, orang pincang, orang sakit,
dan dirimu untuk makan (bersama-sama mereka) di rumahmu, di
rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-
saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang
perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di
rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah
saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara
ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya,
atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagimu
untuk makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila
kamu memasuki rumah-rumah itu, hendaklah kamu memberi
salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam)
kepada dirimu sendiri dengan salam yang penuh berkah dan baik
dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya)
kepadamu agar kamu mengerti. (Surat An-Nur ayat 61).

Ayat ini secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara


penyandang disabilitas dan mereka yang bukan penyandang
disabilitas. Mereka harus diperlakukan secara sama dan diterima
secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan sosial,
sebagaimana penjelasan Syekh Ali As-Shabuni dalam Tafsir Ayatul
Ahkam (I/406):

‫َات‬ِ ‫ لَيْ َس عَىَل َأه ِْل اَأْل ْع َذ ِار َواَل عَىَل َذ ِوي الْ َعاه‬:‫ول هللا َج َّل ِذ ْك ُر ُه َما َم ْعنَا ُه‬ ُ ‫ي َ ُق‬
‫ فَ َّن هللا تَ َعاىَل يَ ْك َر ُه‬،‫(اَأْلمْع َ ى َواَأْلع َْرجِ َوالْ َم ِر ِيض) َح َر ٌج َأ ْن يَْألُك ُوا َم َع اَأْلحِص َّا ِء‬
‫ِإ‬
‫ال ِكرْب َ َوالْ ُم َت َكرِّب ِ َين َوحُي ِ ُّب ِم ْن ِع َبا ِد ِه التَّ َواضُ َع‬
Artinya: Substansi firman Allah Ta’ala (Surat An-Nur ayat 61) adalah
bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang punya uzur dan
keterbatasan (tunanetra, pincang, sakit) untuk makan bersama
orang-orang yang sehat (normal), sebab Allah Ta’ala membenci
kesombongan dan orang-orang sombong dan menyukai
kerendahhatian dari para hamba-Nya.” Bahkan dari penafsiran ini
menjadi jelas bahwa Islam mengecam sikap dan tindakan
diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. Terlebih
diskriminasi yang berdasarkan kesombongan dan jauh dari
akhlaqul karimah.

2. QS. ‘Abasa 1-11:

‫ذكَّ ُر‬kَّ kَ ‫) َأ ْو ي‬3( ‫زىَّك‬kَّ kَ‫يك ل َ َعهَّل ُ ي‬


َ ‫د ِر‬kْ kُ‫ا ي‬kk‫) َو َم‬2( ‫) َأ ْن َج َاء ُه اَأْلمْع َ ى‬1( ‫عَبَ َس َوت ََوىَّل‬
‫ك َأاَّل‬k
َ k‫ا عَلَ ْي‬kk‫) َو َم‬6( ‫) فََأن َْت هَل ُ ت ََصدَّى‬5( ‫) َأ َّما َم ِن ْاس َت ْغىَن‬4( ‫فَتَ ْن َف َع ُه ِّاذل ْك َرى‬
)10( ‫) فََأن َْت َع ْن ُه تَلَهَّى‬9( ‫) َوه َُو خَي ْىَش‬8( ‫) َوَأ َّما َم ْن َج َاءكَ ي َْس َعى‬7( ‫يَ َّزىَّك‬
)11( ‫اَّلَك هَّن َا ت َْذ ِك َر ٌة‬
‫ِإ‬
Artinya: Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling. Karena
seorang tuna netra telah datang kepadanya. Dan tahukah engkau
(Muhammad) barangkali ia ingin menyucikan dirinya (dari dosa).
Atau ia ingin mendapatkan pengajaran yang memberi manfaat
kepadanya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (para
pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memperhatikan
mereka. Padahal tidak ada (cela) atasmu kalau ia tidak
menyucikan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu
dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sementara ia
takut kepada Allah, engkau (Muhammad) malah mengabaikannya.
Sekali-kali jangan (begitu). Sungguh (ayat-ayat/surat) itu adalah
peringatan. …” (Surat ‘Abasa ayat 1-11).

Sebab turunnya Surat ‘Abasa ini berkaitan dengan salah seorang


sahabat penyandang disabilitas, bernama Abdullah bin Ummi
Maktum. Ia yang datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk
memohon bimbingan Islam namun diabaikan oleh nabi karena.
Diturunkan surat ini sebagai bentuk teguran dari Allah SWT atas
sikap Rasulullah terhadap salah satu umat. Kala itu, Nabi
Muhammad sedang berdiskusi dengan pembesar Quraisy, di antara
mereka ada Abu Jahl, ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Abas bin Abd al-Muthollib,
dan Walid bin Murighah. Diskusi tersebut dilakukan dengan harapan
kaum quraisy bisa tercerahkan dan masuk Islam.

Di tengah diskusi tersebut, datanglah seorang umat yang bernama


Abdullah bin Ummi Maktum. Ia minta diajarkan mengenai Islam dan
mengucapkannya sampai berkali-kali. Rasulullah SAW merasa
terganggu karena percakapannya menjadi terputus, akhirnya
menunjukkan tatapan tidak senang dan memalingkan wajahnya dari
Abdullah bin Ummi maktum tersebut. Dalam ayat kedua dijelaskan
bahwa Abdullah memiliki fisik yang tidak sempurna, ia terlahir
dalam keadaan buta.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Tahabari mengatakan


bahwa ketika itu Ibnu Ummi Matkum nama asli Abdullah sebenarnya
hendak membacakan ayat Al-Quran di hadapan Nabi. Sikap tidak
acuh Rasullah terhadap Abdullah pun mendapatkan teguran dari
Allah SWT.

Dalam ayat ke-3 dan 4, dapat ditafsirkan bahwa seandainya Rasul


mengetahui tujuan dari Abdullah menghampirinya, itu akan
mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi dirinya dan lebih baik
untuknya.

Hal ini didasari karena kaum Quraisy dianggap tidak memerlukan


hidayah karena keangkuhannya. Namun, Rasulullah malah lebih
memilih fokus melayani mereka dibandingkan menanggapi orang
yang benar-benar membutuhkannya seperti Abdullah.
Terlepas dari hal tersebut, Thahir bin 'Asyur menegaskan bahwa
teguran Allah ini bersifat "ta'limiyah". Artinya, ini adalah pelajaran
bagi Nabi Muhammad SAW, jika harus dihadapkan dengan situasi
yang berbeda.

Di dalam ayat ini, Rasulullah dihadapkan dengan situasi sedang


berdakwah pada kaum kafir, namun ada orang muslim yang
menghampirinya untuk diajarkan agar bisa mendalami ajaran Islam.
Situasi ini mengajarkan kita akan pentingnya mendahulukan orang
yang benar-benar membutuhkan. Dalam hal ini adalah membantu
seorang muslim untuk lebih memahami agamanya dan bisa
meningkatkan keimanannya. Sementara berdakwah kepada orang
kafir yang abai akan terasa sia-sia dan tidak mendatangkan
kebaikan dari mereka. Namun, beda persoalan jika orang kafir
tersebut bersedia untuk mendengarkan ajaran Islam, sehingga ada
harapan hidayah dan kebaikan saat menyampaikannya.

Turunnya Surat ‘Abasa ini sebagai sebuah peringatan agar beliau


Nabi memperhatikan umatnya, meskipun tunanetra. Bahkan beliau
diharuskan lebih memperhatikannya dari pada para pemuka
Quraisy. Sejak saat itu, Nabi Muhammad SAW sangat
memuliakannya dan bila menjumpainya langsung menyapa:

‫َم ْر َح ًبا ِب َم ْن عَاتَبَيِن ِفي ِه َريِّب‬


Artinya, Selamat wahai orang yang karenanya aku telah diberi peringatan
oleh Tuhanku.

Semakin jelas, melihat sababun nuzul Surat ‘Abasa ini bahwa Islam
sangat memperhatikan penyandang disabilitas, menerimanya secara
setara sebagaimana manusia lainnya dan bahkan memprioitaskannya.
3. Hadits Abu Dawud

‫هللا اَل‬
ِ َ‫ون هَل ُ ادلَّ َر َج ُة ِع ْند‬ َ ‫ َأ َّن َّالر ُج َل ل َ َي ُك‬: َ ‫هللا َصىَّل هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫قَا َل َر ُس‬
  )َ‫ َ(ر َوا ُه َأبُو د َُاود‬. َ ‫ي َ ْبلُ ُغهَا ِب َع َم ٍل َحىَّت يُبْتَىَل ِب َباَل ٍء يِف ِج ْس ِم ِه فَ َي ْبلُ َغهَا ب َِذكِل‬
Artinya, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh seseorang niscaya punya
suatu derajat di sisi Allah yang tidak akan dicapainya dengan amal,
sampai ia diuji dengan cobaan di badannya, lalu dengan ujian itu
ia mencapai derajat tersebut, (HR Abu Dawud).

Hadits ini memberi pemahaman bahwa di balik keterbatasan fisik


(disabilitas) terdapat derajat yang mulia di sisi Allah ta’ala.
4. Pendapat Imam Al-Qurthubi Berkaitan perintah shalat dalam Al-
Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 43, pemuka ulama ahli tafsir asal
Cordova Spanyol, Imam Al-Qurthubi (wafat 671 H/1273 M),
menyatakan:

ُّ ‫َواَل بَْأ َس َما َم ِة اَأْلمْع َ ى َواَأْلع َْرجِ َواَأْل َش ِ ّل َواَأْل ْق َطع ِ َوالْ َخيِص ِ ّ َوالْ َع ْب ِد َذا اَك َن لُك‬
‫ِإ‬ ‫ِإِب‬
‫َوا ِح ٍد ِمهْن ُ َم عَا ِل ًما اِب َّلصاَل ِة‬
Artinya: Tunanetra, orang pincang, orang lumpuh, orang yang terputus
tangannya, orang yang dikebiri, dan hamba sahaya tidak mengapa
menjadi imam shalat bila masing-masing dari mereka mengetahui
tatacara shalat.

Imam Al-Qurtubi dan para ulama lainnya tidak mempermasalahkan


disabilitas. Menurutnya, penyandang disabilitas  semisal tunanetra,
tunadaksa dan lainnya boleh-boleh saja menjadi imam shalat asalkan
mengetahui tatacaranya. Hal ini meniscayakan pengakuan Islam atas
peran para penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan bahkan dalam peribadahan.
5. Pendapat Imam Ar-Ramli As-Shaghir ketika menjelaskan syarat
mahram yang menemani wanita saat bepergian Imam Ar-Ramli As-
Shaghir (919-1004 H/1513-1596 M), mufti Syafi’i negeri Mesir pada
masanya ini menyatakan:

‫َو ْاشرِت َ ُاط الْ َع َّبا ِد ِ ّي الْ َبرَص َ ِفي ِه َم ْح ُمو ٌل عَىَل َم ْن اَل ِف ْطنَ َة َم َع ُه َو اَّل فَ َك ِثريٌ ِم ْن‬
‫ِإ‬
‫ور َوَأ ْدفَ ُع ِللهُّت َ ِم َو ّ ِالري َ ِب ِم ْن َك ِث ٍري ِم ْن الْ ُبرَص َ ا ِء‬
ِ ‫الْ ُع ْم َي ِان َأع َْر ُف اِب ُأْل ُم‬
Artinya, “Pengajuan syarat mampu melihat bagi mahram yang menemani wanita
saat berpergian oleh Al-‘Abbadi diarahkan dalam konteks orang yang
tidak mempunyai kecakapan. Di luar konteks itu, maka banyak tunanetra
yang lebih mengetahui berbagai permasalahan dan lebih mampu menolak
kesalahpahaman dan praduga daripada orang-orang yang bisa melihat.”

Pendapat ulama ini terang-terangan mengakui dan mengapresiasi


peran penyandang disabilitas dalam menjaga kehormatan dan
keselamatan para mahram atau keluarganya.

Anda mungkin juga menyukai