Anda di halaman 1dari 6

Kekerasan online: Korban revenge porn dimaki, dicekik,

hingga konten intim disebar - 'Saya berkali-kali mencoba


bunuh diri'

Kasus penyebaran foto dan video intim dengan sasaran perempuan sebagai sarana untuk
mengancam semakin meningkat di Indonesia. Salah seorang yang mengaku mengalami
ancaman seperti ini selama bertahun-tahun adalah Bunga (nama samaran) . Pengalaman itu
membuatnya berada pada titik terendah dalam hidupnya. Bunga mengaku mengalami
beragam kekerasan verbal dan fisik dari mantan pacarnya, mulai dari menyebutnya sebagai
"pelacur", mencekik, hingga menyebarkan konten seksual ke sosial media sebagai bentuk
ancaman.

Tindakan kekerasan itu muncul sebagai aksi balasan yang disebut revenge


porn atau nonconsensual intimate imagesyang dilakukan pelaku karena penyintas ingin
mengakhiri hubungan.
Bunga enggan melaporkan kasus itu ke polisi karena proses hukum yang panjang
dan dianggap diskriminatif terhadap perempuan serta potensi ancaman pidana
dalam UU tentang Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Berdasarkan catatan akhir tahun Komnas Perempuan tahun 2020, terjadi lonjakan
tajam pengaduan KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber) yang juga dipengaruhi
situasi pandemi virus corona, dengan kenaikan 348% dari 490 kasus di tahun 2019
menjadi 1.425 kasus di tahun 2020. Contoh yang mengegerkan publik yaitu kasus
video seksual yang menjerat V di Garut, dan Baiq Nuril, guru honorer di Nusa
Tenggara Barat.
Kemudian, berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), dari ratusan kasus yang ditangani, hanya
sekitar 10% berujung ke pengadilan.
Tanpa kerangka hukum yang kokoh, untuk melindungi korban, menurut LBH APIK,
pelaku tidak akan terjerat dan bisa bebas begitu saja.
Dalam banyak kasus, berbagai organisasi menyebut perempuan selalu menjadi
korban.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi
solusi mendesak yang harus diundangkan dalam melindungi perempuan, kata
Komnas Perempuan.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memasukkan RUU PKS dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Sementara polisi menegaskan bahwa korban tidak perlu takut untuk melapor karena
ada prosedur penanganan oleh polisi wanita (polwan) mulai dari pemeriksaan
hingga penyembuhan trauma.
Pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (PPPA) belum memberikan komentar terkait upayanya dalam mengatasi
peningkatan KBGS.
Bunga yang kini berusia pertengahan dua puluhan tahun, mengenal mantan
pacarnya sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan menjalin hubungan yang
sangat dekat saat kuliah.
Mereka lalu melakukan hubungan seksual, kemudian merekam serta memfoto
keintiman itu.
"Saya melakukan hal sangat bodoh karena awalnya saya pikir sama dia saja, calon
suami saya, semua saya kasih. Entah mau difoto, divideo, sesenangnya dia," kata
Bunga yang merahasiakan hubungan itu ke orang tuanya.
Tidak disangka, ternyata foto dan video itu menjadi alat ancaman untuk
"mengurung" Bunga.
"Awalnya hubungan kami baik. Tapi kemudian dia melarang tidak boleh berteman,
tidak boleh ikut aktivitas kampus, pokoknya semua dibatasi, sampai akhirnya tidak
tahan dan minta putus. Kami jadi sering berhantam.
"Semakin toxic, dia bilang saya anjing, murahan, pelacur, parah banget. Masalah
kecil jadi besar," katanya.
"Seperti burung dalam sangkar, kalau saya di dalam sangkar dia baik-baik saja, tapi
kalau saya keluar, dia bisa mengamuk," ujarnya.
Bunga pun pernah mengalami kekerasan fisik. "Saat di mobil, saya minta putus, dia
tidak terima lalu mencekik saya. Kaca mobil sampai retak dilempar barang sama dia.
Saya sangat takut," tambah Bunga.
Mantan pacar selalu mengancam akan menyebarkan video dan foto intim jika Bunga
tidak menurut.
Bunga menceritakan, saat di kampus, ia pun pernah diseret ke mobil disaksikan
banyak orang.
"[Dia] sambil teriak akan menyebarkan foto-foto saya. Sudah gila apa ya? Semua
orang tahu dan lihat, saya malu banget. Terus, dia juga sering lempar kondom ke
rumah saya untuk mengancam," katanya.
Tidak bisa cerita ke keluarga ditambah mengalami kekerasan dan ancaman, Bunga
menyerah dan mencoba untuk mengakhiri hidupnya.
"Rasanya itu takut setiap hari, mau gila dan bunuh diri saja, sudah tidak sanggup
lagi. Berkali-kali saya buka pintu mobil, mau lompat, saat melaju kencang di tol. Tapi
ditahan sama dia," katanya.
"Jiwa raga saya mati, tidak bisa tidur, dan tidak tenang karena tetap harus disamping
dia," tambahnya.

 Kisah relawan penyintas kekerasan seksual di tengah pandemi, 'Pelecehan


itu kenanya di psikis, lukanya di batin'

 Ancaman 'kekerasan digital' di aplikasi kencan

 Sejumlah penyintas kasus dugaan kekerasan seksual UII Yogyakarta akan


tempuh jalur hukum: 'Saya merasa takut dan gugup'

Bunga melewati waktu empat tahun kuliah bersama dengan mantan pacarnya di
bawah tekanan.
"Setiap hari saya minta putus, tapi bukan putus, malah perilaku kasar yang muncul,
dari ucapan, tindakan hingga ancaman, jadi sulit banget," katanya.
Kekerasan terus terjadi hingga Bunga lulus kuliah dan bekerja.
"Dia datang ke kantor dan tarik-tarik saya. Saya dimarahin di mobil. Saya menangis
tapi tidak keluar air mata. Saya depresi hingga tidak bisa berucap, pandangan
kosong, di pikiran saya hanya satu, bunuh diri," kata Bunga.
"Dia selalu mengancam akan share foto dan video, kali ini ke atasan kalau saya
minta putus," katanya.
Bertahun-tahun dalam posisi tertekan, akhirnya Bunga berani mengakhiri hubungan
dengan bantuan temannya.
"Tiap malam saya menangis dan berdoa. Saya tidak sanggup lagi seperti ini, tidak
tahan lagi, bisa gila, hidup tidak jelas, tidak bisa diam. Dan akhirnya muncul
keberanian, saya putusin dan tinggalkan dia," ujarnya.
Dampaknya, Bunga mengalami teror, penguntitan, hingga ancaman dari mantan
pacarnya.
Bunga lalu mencari bantuan dan bertemu dengan LBH APIK pertengahan tahun lalu.
"Kami mengirimkan surat somasi ke dia, dan tidak lagi diteror dan diikuti, namun
hanya sementara," katanya.
Ancaman kemudian beralih ke tindakan. Foto-foto bernuansa seksual Bunga
diunggah ke sosial media.
"Baru-baru ini dia buat akun palsu dan unggah foto tubuh saya bernuansa seksual.
Di akun pribadinya, dia upload foto saya, dan menghina saya," katanya.
"Saya takut berdampak ke keluarga, lingkungan kerja saya, saya akan malu, bahkan
kehilangan pekerjaan," katanya.
Bunga pun berdiskusi dengan LBH APIK dan disarankan untuk lapor ke polisi,
namun tidak dilakukan.
"Lapor polisi itu prosesnya panjang, tidak mudah dan menyita waktu. Mayoritas polisi
juga pria jadi kurang nyaman. Lalu, perlu bukti dan saksi yang sulit dikumpulkan,
belum lagi ancaman dari pelaku, ditambah saya sendirian.
"Jadi saya memilih menerima saja sekarang. Tapi kalau situasi sangat parah
mungkin saya akan ke kantor polisi, tapi sekarang saya berusaha untuk tidak," kata
Bunga.
Semangat jiwa muda, aktif, dan ceria Bunga luntur akibat bertahun-tahun hidup
dalam intimidasi.
Bunga sekarang menjadi pribadi yang tertutup, menarik diri dari pertemanan dan
memiliki trauma jika ada yang mendekat.
"Jadi seperti ada benteng perbatasan ke orang lain, selalu curiga," tutupnya.
Pengacara publik dari LBH APIK, Husna Amin, mengatakan, pola kasus kekerasan
seperti yang dialami Bunga meningkat tajam di masa pandemi virus corona.
"Meningkat tajamnya tidak hanya 100% tapi hingga 1000%, sebelumnya hanya 54
kasus, sekarang sudah lebih dari 400 lebih, mulai dari Jabodetabek, kota kecil
hingga WNI di luar negeri. Setiap hari hampir ada 2-3 kasus datang ke LBH APIK
untuk KBGS," kata Husna yang mendampingi kasus Bunga.
Namun, kata Husna hanya 10% dari korban yang melapor kasusnya ke aparat
penegak hukum.
"Alasanya karena tidak mendapat support system baik dari keluarga atau lingkungan
dekat, proses hukum panjang dan tidak berpihak pada perempuan. Selain itu korban
juga takut dipidana karena bisa dijerat UU Pornografi dan UU ITE, seperti kasus di
Garut dan Baiq Nuril," katanya.
Padahal kata Husna, mantan pacar Bunga dapat dijerat pasal berlapis seperti
penguntitan, ancaman dan penyebaran konten pribadi, pemalsuan identitas serta
pencurian data pribadi.
Husna menyebut, hingga kini tidak ada upaya dari pemerintah dalam melindungi
perempuan yang terus dia sebut mengalami kriminalisasi.
"Tapi karena tidak ada aturan perlindungan bagi korban, si pelaku bebas begitu saja.
Fakta kekerasan hanya jadi data, tanpa solusi, dan korban akan terus berjatuhan.
Solusinya adalah melalui pengesahan RUU PKS," ujar Husna.
Kasus seperti Bunga, menurut seorang kuasa hukum kasus yang menyangkut
gambar intim, menunjukkan sikap semena-mena negara.
"Negara telah masuk ke kamar-kamar warga negaranya mengawasi apa yang
mereka lakukan, membabi-buta menyerang secara serampangan ke siapa saja."
Itu adalah ungkapan ekspresi kekecewaan Asri Vidya terhadap UU Pornografi yang
menyebabkan kliennya V, terpidana kasus video seksual di Garut, yang dia klaim
sebagai korban perdagangan manusia tetapi kini justru dipenjara.
V divonis tiga tahun penjara karena melanggar Pasal 8 UU Pornografi yang berbunyi
'setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek
atau model yang mengandung muatan pornografi'.
Asri yang membela V secara cuma-cuma atau pro bonomenggugat pasal itu ke
Mahkamah Konstitusi - walaupun akhirnya ditolak.
"Dia itu menikah siri saat 16 tahun, masih anak, dengan suami yang memiliki
kelainan seksual dan menjadi korban perdagangan manusia, diperjualbelikan ke
teman suami dan videonya dijual.
"Klien saya dipersekusi dua kali, dipenjara karena dianggap jadi model pornografi
padahal dia korban dan dicap pekerja seks di masyarakat," katanya.
Menurut Asri, UU Pornografi memiliki kekuasaan berlebih dan melanggar hak privasi
setiap warga negara.
"Kalau suami istri berciuman lalu membuat foto atau video, kemudian mereka cerai,
dan foto itu tersebar, bisa dipenjara mereka, bayangkan? Terus, siapapun bisa
melapor termasuk aparat itu sendiri," katanya.
Setelah upayanya ditolak MK, ujar Asri, kini harapan akan aturan perlindungan bagi
perempuan korban kekerasan seksual seumpama "lilin kecil yang hampir redup".
"Beban dan penyiksaan yang dialami perempuan merupakan tanggung jawab DPR
sebagai pembuat UU Pornografi yang tidak memikirkan ke depan, dan tidak
mendengar rakyat," katanya.

Mengapa tren KBGS meningkat?


Berdasarkan catatan akhir tahun Komnas Perempuan pada 2020, terjadi lonjakan
tajam pengaduan KBGS yang juga dipengaruhi situasi pandemi virus corona,
dengan kenaikan 348% dari 490 kasus di tahun 2019 menjadi 1.425 kasus di tahun
2020.
Ancaman hingga tindakan penyebaran materi bermuatan seksual milik korban dan
pengiriman materi seksual untuk melecehkan korban adalah dua jenis KBGS yang
paling banyak dilaporkan, baik oleh mantan pacar ataupun oleh akun yang anonim.
Kekerasan yang dilakukan terutama oleh mantan pacar dan mantan suami itu
mengalami peningkatan tajam dari 120 kasus di tahun 2019 menjadi 329 kasus pada
2020.
"Kekerasan ini muncul tidak lepas dari relasi tidak setara antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki menjadikan tubuh perempuan sebagai objek atau komoditas
dan teknologi mempermudah dan mempercepat itu," kata komisioner Komnas
Perempuan Siti Aminah Tardi.
Di tengah peningkatan kekerasan KBGS, kata Aminah, perangkat hukum belum
cukup melindungi korban.
"Contoh, ada sepasang pacar atau suami istri yang melakukan aktivitas seksual lalu
didokumentasikan, kemudian tersebar ke media sosial, atau juga seperti
pemerkosaan yang diunggah live streaming. Mereka berpotensi terkena UU
Pornografi walaupun ternyata adalah korban," kata Aminah.
"Ada juga kasus, korban sedang video call sama pacarnya lalu direkam bapak kos
dan diunggah ke sosial media. Sebenarnya kan tanpa izin, tapi bagaimana
menegakkannya?" tambah Aminah.
Sementara itu, SAFENET menyebut, penyebaran konten intim non-konsensual
adalah kekerasan yang paling banyak terjadi dengan motif yang bermacam-macam.
Mulai dari untuk mengintimidasi korban agar patuh (intimidasi psikis dan emosional),
memeras korban dengan motif uang, mengekspolitasi korban secara seksual untuk
mau memproduksi konten-konten menunjukkan korban telanjang (untuk dijual ke
orang lain), dan lainnya.

Apa yang harus dilakukan para korban?


Merujuk pada kasus Bunga dan korban lain yang mengalami kekerasan yang sama,
Komnas Perempuan memberikan beberapa rekomendasi, lanjut komisioner Komnas
Perempuan Siti Aminah Tardi.
Pertama, amankan barang bukti baik berupa screen shotmaupun URL. Kedua putus
komunikasi dengan pelaku untuk keluar dari kontrol. Ketiga, cari bantuan layanan
hukum dan psikologis.
"Setelah itu diskusikan dan putuskan langkah selanjutnya, baik jalur hukum, somasi
atau mediasi. Saya rekomendasikan buka website awaskbgo.id atau di Instagram
taskforcekbgo," katanya.
"Yang harus ditekankan bahwa ini bukan kesalahan korban, jangan tunduk terhadap
kontrol pelaku, dan jangan takut dengan hukum karena banyak yang akan
menemani dan membantu," katanya.

Apa solusinya dari sisi aturan?


Solusinya yang paling mendesak dari sisi aturan, menurut Aminah, adalah
pengesahan RUU PKS yang saat ini telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 di
DPR.
"Dalam RUU itu, intinya kami mendorong ketidakberlakuan Pasal 8 UU Pornografi
dan Pasal 27 UU ITE dalam RUU PKS. Artinya, perempuan yang tidak setuju konten
intim disebarluaskan adalah korban sehingga tidak boleh dikriminalisasi dengan
pasal atau tuduhan apapun," katanya.
Menurut Aminah, UU Pornografi saat ini dibentuk tanpa mempertimbangkan pola
kekerasan terhadap perempuan.
"Sepanjang ada wajah perempuan maka bisa diterapkan, padahal bisa jadi ia ada
korban. Tujuan awal UU Pornografi itu adalah untuk industri pornografi, bukan untuk
pembuatan pribadi," katanya.
"DI UU Pornografi jelas kalau untuk koleksi dan buat sendiri tidak dipidana, karena
diberlakukan untuk industri, tapi keberlakuan hukum tidak hidup di ruang hampa,"
katanya.
Sementara itu, tambahnya, untuk UU ITE kerap kali digunakan sebagai alat
pembalasan dari pelaku kekerasan seksual kepada korban, seperti yang dialami
Baiq Nuril.

DPR akan fokuskan RUU PKS


Ketua Panja RUU PKS DPR Willy Aditya mengatakan akan memprioritaskan
pembahasan RUU PKS yang menjadi prolegnas prioritas 2021.
Alasannya, tambah Willy, karena Indonesia belum memiliki instrumen hukum yang
memadai terhadap kekerasan seksual secara online, perzinahan, hubungan sejenis,
perspektif aparat penegak hukum berbasis gender, dan perlindungan terhadap
korban kekerasan seksual.
"Dengan fokus pada perspektif terhadap korban yang selama ini dianggap tabu
dalam kultur kita. Fenomena gunung es meningkat signifikan, kekerasa seksual
online perlu dikhawatirkan, itu yang paling penting," katanya.
Terkait tudingan bahwa DPR yang paling bertangung jawab terhadap munculnya
banyak perempuan yang dikrimininalisasi akibat UU Pornografi, Willy mengatakan
DPR akan melakukan perbaikan melalui RUU PKS.
"Dimana nanti tumpang tindihnya dengan RUU Pornografi, UU ITE, UU Perkawinan,
KUHP. Kami benar-benar akan melakukan hearing kepada publik secara
komprehensif dari semua pihak," katanya yang menyebut draf usulan RUU PKS
ditandatangani oleh mayoritas anggota.
Apa tanggapan polisi?
Saat dikonfirmasi mengenai alasan Bunga tidak melapor ke polisi, Kepala Divisi
Humas Mabes Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono meluruskan bahwa
polisi sudah mempunyai aturan terkait penanganan kasus tindak pidana yang
melibatkan perempuan.
"Polisi sudah mempunyai aturan bahwa dalam penanganan oleh polwan. Semua
kepala yang menangani perempuan dan anak oleh polwan, ada tim trauma
healing juga. Lalu, ruangan pemeriksaan berbeda dengan ruangan penyidikan
lainnya," kata Argo melalui pesan singkat.
Argo mengatakan, menurut data yang dimiliki polisi, keenganan korban kekerasan
seksual online melaporkan ke polisi lebih disebabkan karena rasa malu.
"Korban enggan melapor karena malu kalau aibnya ketahuan orang, yang
melakukan ada hubungan kekerabatan. Mungkin yang ditanya belum pernah lapor?
Belum pernah lapor kok sudah bisa cerita?" kata Argo.
Sementara itu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Vennetia R Dannes, belum
memberikan komentar terkait upaya pemerintah dalam mengatasi peningkatan
KBGS, khususnya kekerasan balasan seksual.
Berdasarkan survei KemenPPPA dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016,
sebanyak 33,4% perempuan usia 15-64 tahun Indonesia telah mengalami kekerasan
fisik dan atau kekerasan seksual selama hidupnya, dengan jumlah kekerasan fisik
sebanyak 18,1% dan kekerasan seksual 24,2%.
Kemudian, sebesar 42,7% kekerasan baik secara fisik dan seksual dialami oleh
perempuan yang belum menikah dimana pelaku adalah pacar, teman, rekan kerja,
tetangga, dan pelaku lainnya.

Anda mungkin juga menyukai