Anda di halaman 1dari 17

TUGAS POKOK & FUNGSI

Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah dn tugas pembantuan di bidang Ketahana Pangan dan
Pertanian. Dalam menyelenggarakan tugas tersebut, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian
menyelenggarakan fungsi:

1. Perumusan kebijakan teknis di bidang Ketahanan Pangan dan Pertanian


2. Pelaksanaan kebijakan di bidang Ketahanan Pangan dan Pertanian.
3. Koordinasi penyediaan infrastuktur dan pendukung di bidang ketersediaan pangan, kerawanan
pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, penganekaragaman konsumsi dan keamanan
pangan.
4. Peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang ketersediaan pangan, kerawanan
pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, penganekaragaman konsumsi, dan keamanan
pangan.
5. Penyusunan program penyuluhan pertanian
6. Penataan prasarana dan sarana pertanian
7. Pengawasan mutu dan peredaran benih tanaman, benih/bibit ternaj dan hijauan pakan ternak.
8. Pengawasan peredaran sarana pertanian
9. Pembinaan produksi di bidang pertanian.
10. Pengendalian dan penanggulangan hama penyakit tanaman dan penyakit hewan
11. Pengendaliaan dan penanggulangan bencana alam
12. Pembinaan dan pengolahan pemasaran hasil pertanian
13. Penyelenggaraan penyuluh pertanian
14. Pemberian rekomendasi teknis pertanian
15. Pemantauan, pengawasan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan di bidang ketahanan
pangan dan pertanian
16. Pelaksanaan administrasi Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian.
17. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsi.

RENCANA STRATEGIS
Strategi adalah langkah berisikan program-program sebagai prioritas pembangunan daerah/
perangkat daerah untuk mencapai sasaran. arah kebijakan adalah rumusan kerangka pikir atau
kerangka kerja untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan dan mengantisipasi isu strategis
daerah/ perangkat daerah yang dilaksanakan secara bertahap sebagai penjabaran strategi.
Strategi dan arah kebijakan Dinas Pertanian Kabupaten Belitung Dirumuskan sebagai berikut:

Rencana Strategis DKPP

PROGRAM PENGEMBANGAN
TANAMAN PERKEBUNAN
Indikator kinerja dari program ini adalah produksi tanaman perkebunan sebanyak 9.3 ton ( lada karet
dan kopi )

adapun kegiatan-kegiatan dalam program ini yaitu :


1. pengembangan bibit unggul tanaman pertanian/perkebunan
2. pengendalian hama penyakit tanaman perkebunan
3. penilaian usaha perkebunan
4. pengolahan hasil tanaman perkebunan

PROGRAM PENGEMBANGAN
TANAMAN PANGAN DAN
HORTIKULTURA
Indikator kinerja kerja dari program ini yaitu produksi tanaman pangan strategis (2.723 ton gabah 
kering giling padi), produksi tanaman pangan lokal (1.748 ton), produksi tanaman hortikultura (1.322
ton), peningkatan mutu produk olahan tanaman pangan dan hortikultura (10  jumlah produk).

adapun kegiatan-kegiatan dalam program ini yaitu:

1. penyediaan benih sebar padi


2. pengembangan tanaman padi
3. pengendalian hama terpadu tanaman pangan
4. pengembangan tanaman pangan lokal
5. pengembangan tanaman hortikultura
6. pengendalian hama terpadu tanaman hortikultura
7. penyediaan sarana pengolahan hasil pertanian
8. peningkatan mutu produk tanaman pangan dan hortikultura

PROGRAM PENINGKATAN
KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI
PANGAN
Indikator kinerja dari program ini yaitu: persentase (56.64%) ketersediaan cadangan pangan, skor
pola pangan harapan ketersediaan (95%).

adapun kegiatan-kegiatan dari program ini yaitu:

1. pengembangan cadangan pangan daerah


2. pembinaan lumbung pangan
3. pembinaan desa mandiri pangan
4. analisis rasio jumlah penduduk terhadap jumlah kebutuhan pangan
5. penyusunan neraca bahan makanan (NBM)
6. pemantauan dan analisis akses harga pangan pokok
7. penguatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi
8. penyusunan peta keamanan dan kerentanan pangan
PROGRAM PENINGKATAN KONSUMSI
DAN KEAMANAN PANGAN
Indkator kerja dari program ini yaitu persentase (54.55%) peningkatan jumlah varian menu B2SA,
persentase (100%) tingkat keamanan pangan.

adapun kegiatan-kegiatan dari program ini yaitu:

1. penganekaragaman konsusmsi pangan lokal


2. peningkatan mutu dan keamanan pangan
3. pameran ketahanan pangan

PROGRAM PENGEMBANGAN
PRASARANA, SARANA DAN
PENYULUHAN PERTANIAN
Indikator dari program ini yaitu kelancaran peredaran dan penggunaan pupuk dan pestisida sesuai
ketentuan, peningkatan luas areal tanam padi (485ha), ketersediaan database mendukung
pengembangan prasarana dan sarana pertanian, jumlah kelembagaan petani, peningkatan kelas
kelembagaan kelompok tani “madya” (3), usaha pelayanan jasa asisten UPJA “profesional”

adapun kegiatan-kegiatan dalam program ini yaitu:

1. pengawalan pupuk dan pestisida


2. optimalisasi lahan sawah
3. perencanaan teknis perlindungan lahan pertanian pangan
4. pengembangan sarana dan prasarana pertanian DAK REGULER
5. peningkatan kapasitas tenaga penyuluh pertanian/perkebunan
6. pengeloalaan kelembagaan petani dan usaha pelayanan jasa alat mesin pertanian UPJA.

PROGRAM PENINGKATAN PELAYANAN


TEKNIS PERBENIHAN DAN
PERBIBITAN
Indikator dari program ini yaitu pertambahan ketersediaan bibit dan benih pertanian (10.250 bibit),
produksi bibit kultur jaringan yang berkualitas, pertambahan ketersediaan bibit peternakan (60 ekor)

Adapun kegiatan-kegiatan dalam program ini yaitu:

1. pengelolaan kebun buah dan areal sawah penangkaran padi


2. pengelolaan labolatorium kultur jaringan dan kebun Air Rembikang
3. pengelolaan labolatorium dan kebun bibit kultur jaringan
4. pengembangan ternak Ruminansia
5. pengembangan bibit ternak Ruminansia
PROGRAM KESEHATAN MASYARAKAT
VETERINER
Indikator dari program ini yaitu persentase penanganan kasus penyakit  hewan menular, persentase
penanganan penemuan kasus penyakit hewan menular (100%), persentase pelayanan penyakit
hewan.

Adapun kegiatan-kegiatan dalam program ini yaitu:

1. pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit menular hewan


2. pengelolaan puskeswan
3. pengelolaan rumah potong hewan

PROGRAM PENGEMBANGAN
PETERNAKAN DAN KESEHATAN
HEWAN
Indikator kinerja dari program ini yaitu jumlah populasi ternak besar sapi (1.827 ekor), jumlah
populasi ternak ayam (3.425.298 ekor), jumlah kelompok yang menerapkan peningkatan mutu daya
saing dan nilai tambah hasil peternakan.

Adapun kegiatan-kegiatan dalam program ini yaitu:

1. Peningkatan populasi dan mutu ternak Ruminansia


2. Pengembangan ternak unggas lokal
3. Pengembangan ternak unggas
4. Pengelolaan dan pemasaran hasil peternakan

Pengertian Ketahanan Pangan


Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi
setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi
manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam
Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No.
7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi
manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan
suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya
dapat menciptakan ketidak-stabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik
dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis
ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.

Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan
ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada
kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan
harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi
krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan
stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.

Nilai strategis beras juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok
paling penting. Industri perberasan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang
ekonomi (dalam hal penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika
ekonomi perdesaan, sebagai wage good), lingkungan (menjaga tata guna air dan
kebersihan udara) dan sosial politik (sebagai perekat bangsa, mewujudkan
ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan
gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin.

Dengan pertimbangan pentingnya beras tersebut, Pemerintah selalu berupaya


untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama yang bersumber dari
peningkatan produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin
penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya semakin besar dengan
sebaran populasi yang luas dan cakupan geografis yang tersebar. Untuk
memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, Indonesia memerlukan
ketersediaan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi
kecukupan konsumsi maupun stok nasional yang cukup sesuai persyaratan
operasional logistik yang luas dan tersebar. Indonesia harus menjaga ketahanan
pangannya.

Pengertian ketahanan pangan, tidak lepas dari UU No. 18/2012 tentang


Pangan. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa Ketahanan Pangan
adalah “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga
memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan
mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan
(food resilience) serta keamanan pangan (food safety). “Kedaulatan
Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan
kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang
sesuai dengan potensi sumber daya lokal”.

“Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi


Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan
potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat”. “Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi”.

Definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 tahun 2012 diatas merupakan


penyempurnaan dan “pengkayaan cakupan” dari definisi dalam UU No 7 tahun
1996 yang memasukkan “perorangan” dan “sesuai keyakinan agama” serta
“budaya” bangsa. Definisi UU No 18 tahun 2012 secara substantif sejalan
dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan
pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik
maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan
bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya.

Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan
terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional
yang dapat meruntuhkan Pemerintah yang sedang berkuasa. Pengalaman telah
membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan seperti kenaikan
harga beras pada waktu krisis moneter, dapat memicu kerawanan sosial yang
membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Untuk itulah, tidak
salah apabila Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan
pangan bagi masyarakat, baik dari produksi dalam negeri maupun dengan
tambahan impor. Pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketahanan
pangan menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya
sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar. Indonesia
memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi
kriteria konsumsi maupun logistik; yang mudah diakses oleh setiap orang; dan
diyakini bahwa esok masih ada pangan buat rakyat.

Ketahanan pangan kita tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri
yang musiman dan berfluktuasi karena sangat mudah dipengaruhi oleh
iklim/cuaca. Perilaku produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat
mempengaruhi ketersediaan pangan nasional. Kalau perilaku produksi yang
rentan terhadap perubahan iklim tersebut tidak dilengkapi dengan kebijakan
pangan yang tangguh maka akan sangat merugikan, baik untuk produsen
maupun konsumen, khususnya produsen berskala produksi kecil dan konsumen
berpendapatan rendah. Karakteristik komoditi pangan yang mudah rusak, lahan
produksi petani yang terbatas; sarana dan prasarana pendukung pertanian yang
kurang memadai dan lemahnya penanganan panen dan pasca panen
mendorong Pemerintah untuk melakukan intervensi dengan mewujudkan
kebijakan ketahanan pangan.

Permasalahan yang muncul lainnya di dalam distribusi. Stok pangan yang


tersedia sebagian besar di daerah produksi harus didistribusikan antar
daerah/antar pulau. Namun tidak jarang sarana dan prasaran distribusi masih
terbatas dan kadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri (kasus
pengiriman sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta yang lebih mahal daripada dari
Australia ke Jakarta; atau biaya pengiriman beras dari Surabaya ke Medan yang
lebih mahal dari pada pengiriman dari Vietnam ke Jakarta).

Dari sisi tataniaga, sudah menjadi rahasia umum akan panjangnya rantai
pasokan yang mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen
yang cukup besar dengan penguasaan perdagangan pangan pada kelompok
tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli). Sedangkan dari sisi konsumsi, pangan
merupakan pengeluaran terbesar bagi rumah tangga (di atas 50% dari jumlah
pengeluaran). Yang disayangkan adalah fenomena substitusi pangan pokok dari
pangan lokal ke bahan pangan impor.

Dengan pertimbangan permasalahan pangan tersebut di atas maka


kebijaksanaan pangan nasional harus dapat mengakomodasikan dan
menyeimbangkan antara aspek penawaran/produksi dan permintaan.
Pengelolaan kedua aspek tersebut harus mampu mewujudkan ketahanan
pangan nasional yang tangguh menghadapi segala gejolak. Pengelolaannya
harus dilakukan dengan optimal mengingat kedua aspek tersebut dapat tidak
sejalan atau bertolak belakang. (@2014)

Kementerian Pertanian Republik Indonesia


3 bahasa
 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Lihat riwayat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kementerian Pertanian
Republik Indonesia

Lambang Kementerian Pertanian

Bendera Kementerian Pertanian

Gambaran umum

Dibentuk 1 Januari 1905; 117 tahun lalu

Bidang tugas Pertanian

Slogan Maju, mandiri, modern

Susunan organisasi

Menteri Prof. Dr. Syahrul Yasin Limpo,

S.H., M.Si., M.H.

Wakil Menteri Harvick Hasnul Qolbi

Sekretaris Jenderal Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc.

Inspektur Jenderal Dr.Jan Samuel Maringka S.H.,


M.H.

Direktur Jenderal

Ditjen Tanaman Pangan Dr. Ir. Suwandi, M.Sc.

Ditjen Hortikultura Dr. Ir. Prihasto Setyanto, M.Sc

Ditjen Perkebunan Andi Nur Alamsyah, STP, MT

Ditjen Peternakan dan Kesehatan Dr. Ir. Nasrullah, M.Sc.

Hewan

Ditjen Prasarana dan Sarana Ir. Ali Jamil, M.P., Ph.D

Pertanian

Kepala Badan

Badan Karantina Pertanian Ir. Bambang, M.M.

Badan Litbang Pertanian Dr. Ir. Fadjry Djufry, M.Si.

Badan Penyuluhan dan Prof. Dr. Ir. Dedi Nursyamsi,

Pengembangan SDM Pertanian M.Agr.

Alamat

Kantor pusat Jalan R.M. Harsono No. 3

Jakarta Selatan 12550

DKI Jakarta, Indonesia

Situs web www.pertanian.go.id

Kementerian Pertanian Republik Indonesia (disingkat Kementan RI)


adalah kementerian negara di lingkungan Pemerintah Indonesia yang membidangi
urusan pertanian. Kementerian Pertanian Republik Indonesia dipimpin oleh
seorang Menteri Pertanian.[1] Sejak 23 Oktober 2019, Menteri Pertanian dijabat
oleh Syahrul Yasin Limpo.

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Departemen Pertanian didirikan pada tanggal 1 Januari 1905 berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 23 September 1904 No. 20
Staatsblaad 982 yang didasarkan pada Surat Keputusan Raja Belanda No. 28 tanggal
28 Juli 1904 (Staatsblaad No. 380). [2] Direktur Pertama Departemen Pertanian adalah
Dr. Melchior Treub.[2] Pada masa penjajahan Belanda urusan pertanian ditangani oleh
Departement van Landbouw (1905), Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel
(1911) dan Departement van Ekonomische Zaken (1934). [3] Sedangkan pada masa
pendudukan jepang, Gunseikanbu Sangyobu yang berperan dalam menangani urusan
pertanian.[3]
Sejak tanggal 19 Agustus 1945, urusan pertanian, perdagangan,
dan perindustrian berada di bawah Kementerian Kemakmuran yang merupakan kabinet
pertama Republik Indonesia setelah kemerdekaan. [2] Menteri Kemakmuran yang
pertama adalah Ir. Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo.[2]

Tugas dan fungsi[sunting | sunting sumber]


Kementerian Pertanian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang
pertanian dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Pertanian
menjalankan fungsi:

1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pertanian


2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian
Pertanian
3. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pertanian
4. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Pertanian di daerah
5. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional

Susunan organisasi[sunting | sunting sumber]


Kementerian Pertanian terdiri atas:[4]
Eselon Ia

1. Sekretariat Jenderal
2. Inspektorat Jenderal
3. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian
4. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
5. Direktorat Jenderal Hortikultura
6. Direktorat Jenderal Perkebunan
7. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
8. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
9. Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian
10.Badan Karantina Pertanian
Eselon Ib

1. Staf Khusus Menteri Bidang Kebijakan Pertanian


2. Staf Khusus Menteri Bidang Komunikasi Pembangunan Pertanian
3. Staf Khusus Menteri Bidang Kelembagaan dan Tata Hubungan Kerja
Eselon IIa

1. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian


2. Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian
3. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian
4. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

 Kementerian Pertanian (Kementan) meraih pengharagaan Digital Inovation Award (DIA)


2022 untuk kategori digital inovation for public service.[5]
 Kementerian Pertanian (Kementan) mendapatkan dua penghargaan bidang Kehumasan
pada Public Relations Indonesia Award (PRIA) 2022.[6]
 Kementerian Pertanian (Kementan) mendapatkan penghargaan dengan Predikat
Kepatuhan Tinggi Standar Pelayanan Publik dari Ombudsman 2022.[7]
 Sejarah program ketahanan pangan. Untuk memahami kondisi ketahanan pangan di
masyarakat, perlu memahami keberadaan sejarah program ketahanan pangan itu
sendiri. Secara periode, program ketahanan pangan ini meliputi tiga periode, yaitu:
program food estate era 1, program food estate era 2, dan program food estate era 3.
 Keberadaan pangan ini menjadi hal penting dalam kehidupan manusia. Atas pola pikir inilah,
dalam tataran kehidupan masyarakat ini dikenal adanya ketahanan pagan (pemerintah) dan
kedaulatan pangan (masyarakat). Keberadaan dua hal inilah menjadi penting untuk
dikedepankan saat kita bicara masalah keamanan pangan (segi kesehatan).
 Secara sederhana, ketahanan pangan itu merupakan suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari
jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sedangkan kedaulatan pangan
adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal, di mana pemenuhan hak atas
pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem
pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
 Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat kalau ketahanan pangan itu lebih menitikberatkan
pada ketersediaan pangan bagi rakyat sebagai tujuan akhir dari pembangunan pangan.
Sementara itu, kedaulatan pangan lebih menitikberatkan pada hal kemandirian pangan,
perlindungan kepada petani, dan ekosistem lokal. Program kedaulatan pangan yang ada di
masyarakat itu mengandung arti bahwa sebuah negara harus mampu mengatur produksi
dan konsumsi pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan
pasar global.
 Progam Ketahanan Pangan
 Untuk memahami kondisi ketahanan pangan di masyarakat, perlu memahami keberadaan
sejarah program ketahanan pangan itu sendiri. Secara periode, program ketahanan pangan
ini meliputi tiga periode, yaitu: program food estate era 1, program food estate era 2, dan
program food estate era 3.
 Program Food Estate Era 1
 Pada tahun 1995 melalui Keppres no 82/95, Presiden Soeharto membuat Proyek Lahan
Gambut  (PLG) sejuta hektar sawah di Kalimantan Tengah. Keberadaan program PLG itu,
akhirnya diputuskan berakhir dan gagal pada tahun 1998 melalui keppres 33/98 di masa
pemerintahan BJ Habibie.
 PLG tersebut gagal dikarenakan kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut.
Artinya program PLG itu adanya ketidaksesuaian lahan dengan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat.
 Dalam arti lain, adanya kerusakan lahan gambut itu, akhirnya memicu kerugian sosial-
ekonomi akibat kebakaran hutan. Di mana, kondisi itu memiliki beban biaya penanggulangan
bencana yang menguras keuangan negara dan semakin memiskinkan rakyat.
 Lebih jauh, bahkan keberadaan lumbung pangan menjadi gagal dibangun dan justru
sebagian wilayahnya telah berganti menjadi perkebunan sawit hingga saat ini. Ironisnya
proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR) sebesar 1,7 T yang
diperuntukkan bagi pemulihan hutan.
 Hal tersebut, terbukti dari adanya Keppres No. 80/1999 yang telah mengalokasikan dana
untuk pembayaran ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak. Termasuk, Inpres 2/2007
yang juga mengalokasikan dana sebesar 3,9 Triliun untuk melakukan rehabilitasi lahan
gambut, tetapi tidak ada kejelasan tentang penggunaannya di lapangan. Bahkan, wilayah ini
juga menjadi  wilayah prioritas kerja Badan Restorasi Gambut dengan alokasi dana
pemerintah tetapi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pengelolaan dan
pemulihan kawasan dimaksud hingga saat ini.
 Program Food Estate Era 2
 Tahap program ketahan pangan periode kedua ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Yaitu adanya program Merauke Integrated Energi Estate
(MIFEE) tahun 2010.
 MIFEE ini diterbitkan lewat Inpres No. 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi
Tahun 2008-2009, khususnya untuk mempersiapkan program MIFEE dan Inpres No. 1/2010
tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.
 Inti dari program MIFEE itu adalah membuka lahan untuk mencetak sawah 1,2 juta ha. di
Merauke, Papua. Tujuan utama program itu adalah memperkuat cadangan pangan dan
bioenergi nasional untuk memantapkan dan melestarikan ketahanan pangan nasional.
 Sejarah mencatat, ternyata tujuan program MIFEE itu tidak berhasil. Hutan sagu rakyat
menjadi rusak. Masyarakat mengalami kesulitan mencari bahan makanan seperti sagu, ikan,
dan daging rusa/babi setelah hutan-hutannya dikonversi.
 Selanjutnya ada program Food Estate Bulungan, Kalimantan utara, tahun 2011. Yaitu
program membuka lahan untuk mencetak sawah 30.000 ha. Program ini diproyeksi
membangun lahan transmigrasi di kawasan Kota Terpadu Mandiri Salim Batu.
 Program ketahanan pangan selanjutnya, yaitu program Food Estate Ketapang, Kalbar,
tahun 2013. Yaitu program membuka lahan untuk mencetak sawah 100.000 ha di Ketapang,
Kalimantan Barat. Hasilnya, hanya sekitar 0,11% lahan yang berhasil termanfaatkan.
 Secara demikian, proyek Food Estate Bulungan dan Ketapang itu tidak berhasil. Hal ini
disebabkan karena ketidaksesuaian kondisi sosial budaya serta belum tersedianya
infrastruktur pendukung.
 Program Food Estate Era 3
 Tahap ketiga terkait program ketahanan pangan yang dilakukan pada masa pemerintahan
Presiden Joko Widodo. Berikut ini, tahapan program ketahanan pangan yang dibuat, yaitu:
 Pertama, program 30.000 ha sawah di Kalimantan Tengah tahun 2020.Program ini ada
seluas 20.000 ha yang dilaksanakan di “bekas” proyek lahan gambut sejuta hektar.
 Program tersebut dilakukan berupa intensifikasi sistem pengairan yang dihidupkan kembali.
Telah dibuka, ada seluas 10.000 ha lahan baru, di Pulang Pisang (daerah transmigrasi).
 Dalam program itu, untuk percepatan seluruh kebutuhan pertanian (bibit, pupuk, alat dan
mesin pertanian) disediakan oleh pemerintah. Anggota TNI dilatih selama seminggu yang
kemudian dikaryakan menjadi petani.
 Program ini dari tahun 1982 sudah ada transmigran di Pulang Pisang. Selama 40 tahun
bertani sawah sehingga sudah terbentuk suatu budaya pertanian (sudah baku). Sejarah
membuktikan, ternyata membutuhkan waktu yang lama untuk membentuk kultur pertanian
sawah di daerah ini.
 Kedua, perkebunan singkong 31.000 ha di daerah Gunung Mas, tahun 2021. Program ini
mencetak cadangan karbohidrat (rencana u/ 120 hari). Dalam proyek ini, ditawarkan adanya
kerjasama investasi dengan Korea Selatan dengan penawaran singkong sebagai penganti
gandum. Lahan yang digunakan, setengahnya (15.000 ha) adalah dengan membuka hutan
alam.
 Faktanya, selama tahun 2021 telah dibuka 600 ha hutan alam yang menimbulkan
terlepasnya 61.000 ton karbon (bertambah efek rumah kaca). Dampaknya adalah telah
terjadi banjir di beberapa daerah yang sebelumnya tidak pernah banjir.
 Ketiga, lumbung Pangan 30.000 ha di Humbang Hasundutan, Tapanuli Selatan, Tapanuli
Utara, dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Dalam proyek ini dibuka lahan 30.000 ha di tiga
kabupaten untuk diberikan kepada petani yang belum memiliki lahan untuk diolah.
 Pada konteks ini, petani di kontrak, diberi lahan 3 ha, serta diberikan alat-bahan kebutuhan
pertanian termasuk bibit dan pupuk. Jenis tanaman yang ditanam harus yang bibitnya
diberikan oleh pemerintah.
 Selain itu, pola cocok tanam juga harus menurut aturan pemerintah. Hasil panen dibeli oleh
koperasi (yang juga menentukan harga). Faktanya, ternyata hasil panen tidak sesuai dengan
perkiraan (rencana 1 hektar lahan kentang menghasilkan panen 10 ton, ternyata hanya 3
hektar lahan kentang baru menghasilkan 10 ton).
 Fakta lainnya, pengelolaan pengadaan alat, bahan, bibit, dan pupuk dalam proyek ini
diserahkan pada korporasi swasta. Bibit yang diberikan untuk keperluan industri, bukan
pemenuhan pangan rakyat. Akibatnya, petani memilih untuk menjual ke pasar karena harga
lebih baik. Akhirnya, pemerintah sebaiknya berpikir tentang bagaimana melakukan
modernisasi pertanian tanpa harus membangun. Tapi, lebih memanfaatkan terhadap
pertanaian yang sudah ada. (Rohmansyah W. Nurindra/AD).

Ketahanan pangan
41 bahasa

 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Lihat sumber
 Lihat riwayat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Artikel ini bukan mengenai Keamanan pangan.


Pertumbuhan produksi pangan per kapita selalu meningkat sejak tahun 1961. Sumber: Food and Agriculture
Organization.

Kuburan massal anak-anak yang meninggal karena kelaparan di Afrika Timur

Peta kerawanan pangan ekstrem.[1]

Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk


mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika
penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.
[2]
 Ketahanan pangan merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan pada masa
depan atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan,
gangguan perkapalan, kelangkaan bahan bakar, ketidak stabilan ekonomi, peperangan,
dan sebagainya. Penilaian ketahanan pangan dibagi
menjadi keswadayaan atau keswasembadaan perorangan (self-sufficiency) dan
ketergantungan eksternal yang membagi serangkaian faktor risiko. Meski berbagai
negara sangat menginginkan keswadayaan secara perorangan untuk menghindari
risiko kegagalan transportasi, namun hal ini sulit dicapai di negara maju karena profesi
masyarakat yang sudah sangat beragam dan tingginya biaya produksi bahan pangan
jika tidak diindustrialisasikan.[3] Kebalikannya, keswadayaan perorangan yang tinggi
tanpa perekonomian yang memadai akan membuat suatu negara memiliki kerawanan
produksi.
World Health Organization mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan,
yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan
pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan
dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi
maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan
adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat
secara proporsional. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari
ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang. [2]
Kebijakan sebuah negara dapat mempengaruhi akses masyarakat kepada bahan
pangan, seperti yang terjadi di India. Majelis tinggi India menyetujui rencana ambisius
untuk memberikan subsidi bagi dua pertiga populasi negara itu. Rancangan Undang-
Undang Ketahanan Pangan ini mengusulkan menjadikan pangan sebagai hak warga
negara dan akan memberikan lima kilogram bahan pangan berharga murah per bulan
untuk 800 juta penduduk miskinnya.[4]

Sejarah
Ketahanan pangan adalah sebuah kondisi yang terkait dengan ketersediaan bahan
pangan secara berkelanjutan. Kekhawatiran terhadap ketahanan pangan telah ada
dalam sejarah. Sejak 10 ribu tahun yang lalu lumbung telah digunakan di Tiongkok
dengan kekuasaan penggunaan secara terpusat di peradaban di Tiongkok
Kuno dan Mesir Kuno. Mereka melepaskan suplai pangan di saat terjadinya kelaparan.
Namun ketahanan pangan hanya dipahami pada tingkat nasional, dengan definisi
bahwa negara akan aman secara pangan jika produksi pangan meningkat untuk
memenuhi jumlah permintaan dan kestabilan harga. Definisi baru mengenai ketahanan
pangan dibuka pada tahun 1966 di World Food Summit yang menekankan ketahanan
pangan dalam konteks perorangan, bukan negara. [5][6]

Pilar ketahanan pangan


Ketersediaan
Kambing dapat menjadi sebuah solusi permasalahan ketahanan pangan global karena mudah dipelihara

Ketersediaan pangan berhubungan dengan suplai pangan melalui produksi, distribusi,


dan pertukaran.[7] Produksi pangan ditentukan oleh berbagai jenis faktor,
termasuk kepemilikan lahan dan penggunaannya; jenis dan manajemen tanah;
pemilihan, pemuliaan, dan manajemen tanaman pertanian; pemuliaan dan manajemen
hewan ternak; dan pemanenan.[8] Produksi tanaman pertanian dapat dipengaruhi oleh
perubahan temperatur dan curah hujan. [7] Pemanfaatan lahan, air, dan energi untuk
menumbuhkan bahan pangan sering kali berkompetisi dengan kebutuhan lain.
[9]
 Pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat berubah menjadi pemukiman atau hilang
akibat desertifikasi, salinisasi, dan erosi tanah karena praktik pertanian yang tidak
lestari.[9]
Produksi tanaman pertanian bukanlah suatu kebutuhan yang mutlak bagi suatu negara
untuk mencapai ketahanan pangan. Jepang dan Singapura menjadi contoh bagaimana
sebuah negara yang tidak memiliki sumber daya alam untuk memproduksi bahan
pangan namun mampu mencapai ketahanan pangan. [3][10]
Distribusi pangan melibatkan penyimpanan, pemrosesan, transportasi, pengemasan,
dan pemasaran bahan pangan.[8] Infrastruktur rantai pasokan dan teknologi
penyimpanan pangan juga dapat mempengaruhi jumlah bahan pangan yang hilang
selama distribusi.[9] Infrastruktur transportasi yang tidak memadai dapat menyebabkan
peningkatan harga hingga ke pasar global. [9] Produksi pangan per kapita dunia sudah
melebihi konsumsi per kapita, namun di berbagai tempat masih ditemukan kerawanan
pangan karena distribusi bahan pangan telah menjadi penghalang utama dalam
mencapai ketahanan pangan.[10]
Akses
Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli dan besarnya
alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada suatu individu dan rumah tangga. [7] PBB
menyatakan bahwa penyebab kelaparan dan malagizi sering kali bukan disebabkan
oleh kelangkaan bahan pangan namun ketidakmampuan mengakses bahan pangan
karena kemiskinan.[11] Kemiskinan membatasi akses terhadap bahan pangan dan juga
meningkatkan kerentanan suatu individu atau rumah tangga terhadap peningkatan
harga bahan pangan.[12] Kemampuan akses bergantung pada besarnya pendapatan
suatu rumah tangga untuk membeli bahan pangan, atau kepemilikan lahan untuk
menumbuhkan makanan untuk dirinya sendiri.[13] Rumah tangga dengan sumber daya
yang cukup dapat mengatasi ketidakstabilan panen dan kelangkaan pangan setempat
serta mampu mempertahankan akses kepada bahan pangan. [10]
Terdapat dua perbedaan mengenai akses kepada bahan pangan. (1) Akses langsung,
yaitu rumah tangga memproduksi bahan pangan sendiri, (2) akses ekonomi, yaitu
rumah tangga membeli bahan pangan yang diproduksi di tempat lain. [8] Lokasi dapat
mempengaruhi akses kepada bahan pangan dan jenis akses yang digunakan pada
rumah tangga tersebut.[13] Meski demikian, kemampuan akses kepada suatu bahan
pangan tidak selalu menyebabkan seseorang membeli bahan pangan tersebut karena
ada faktor selera dan budaya.[12] Demografi dan tingkat edukasi suatu anggota rumah
tangga juga gender menentukan keinginan memiih bahan pangan yang diinginkannya
sehingga juga mempengaruhi jenis pangan yang akan dibeli. [13] USDA menambahkan
bahwa akses kepada bahan pangan harus tersedia dengan cara yang dibenarkan oleh
masyarakat sehingga makanan tidak didapatkan dengan cara memungut, mencuri, atau
bahkan mengambil dari cadangan makanan darurat ketika tidak sedang dalam kondisi
darurat.[14]
Pemanfaatan
Ketika bahan pangan sudah didapatkan, maka berbagai faktor mempengaruhi jumlah
dan kualitas pangan yang dijangkau oleh anggota keluarga. Bahan pangan yang
dimakan harus aman dan memenuhi kebutuhan fisiologis suatu individu. [12] Keamanan
pangan mempengaruhi pemanfaatan pangan dan dapat dipengaruhi oleh cara
penyiapan, pemrosesan, dan kemampuan memasak di suatu komunitas atau rumah
tangga.[7][8] Akses kepada fasilitas kesehatan juga mempengaruhi pemanfaatan pangan
karena kesehatan suatu individu mempengaruhi bagaimana suatu makanan dicerna.
[8]
 Misal keberadaan parasit di dalam usus dapat mengurangi kemampuan tubuh
mendapatkan nutrisi tertentu sehingga mengurangi kualitas pemanfaatan pangan oleh
individu.[10] Kualitas sanitasi juga mempengaruhi keberadaan dan persebaran penyakit
yang dapat mempengaruhi pemanfaatan pangan [8] sehingga edukasi mengenai nutrisi
dan penyiapan bahan pangan dapat mempengaruhi kualitas pemanfaatan pangan. [10]
Stabilitas
Stabilitas pangan mengacu pada kemampuan suatu individu dalam mendapatkan
bahan pangan sepanjang waktu tertentu. Kerawanan pangan dapat berlangsung secara
transisi, musiman, ataupun kronis (permanen).[8] Pada ketahanan pangan transisi,
pangan kemungkinan tidak tersedia pada suatu periode waktu tertentu. [12] Bencana
alam dan kekeringan mampu menyebabkan kegagalan panen dan mempengaruhi
ketersediaan pangan pada tingkat produksi. [8][12] Konflik sipil juga dapat mempengaruhi
akses kepada bahan pangan.[12] Ketidakstabilan di pasar menyebabkan peningkatan
harga pangan sehingga juga menyebabkan kerawanan pangan. Faktor lain misalnya
hilangnya tenaga kerja atau produktivitas yang disebabkan oleh wabah penyakit. Musim
tanam mempengaruhi stabilitas secara musiman karena bahan pangan hanya ada pada
musim tertentu saja.[8] Kerawanan pangan permanen atau kronis bersifat jangka panjang
dan persisten.[12]
Stabilitas pangan merupakan taraf tertinggi dari tingkatan kepemilikan atau penguasaan
pangan. Urutan tingkatan yang dimaksud mulai dari yang terendah sampai yang
tertinggi adalah pertama: ketahanan pangan, kedua: kemandirian pangan, dan ketiga:
ketangguhan atau stabilitas pangan. [butuh rujukan]
Tantangan untuk mencapai ketahanan pangan

Erosi tanah; angin meniupkan lapisan tanah atas yang kering

Degradasi lahan
Lihat pula: Desertifikasi

Pertanian intensif mendorong terjadinya penurunan kesuburan tanah dan penurunan


hasil.[15] Diperkirakan 40% dari lahan pertanian di dunia terdegradasi secara serius. [16] Di
Afrika, jika kecenderungan degradasi tanah terus terjadi, maka benua itu hanya mampu
memberi makan seperempat penduduknya saja pada tahun 2025. [17]
Hama dan penyakit
hama dan penyakit mampu mempengaruhi produksi budi daya tanaman dan
peternakan sehingga memiliki dampak bagi ketersediaan bahan pangan. Contoh
penyakit tanaman Ug99, salah satu tipe penyakit karat batang pada gandum dapat
menyebabkan kehilangan hasil pertanian hingga 100%. Penyakit ini telah ada di
berbagai negara di Afrika dan Timur Tengah. Terganggunya produksi pangan di wilayah
ini diperkirakan mampu mempengaruhi ketahanan pangan global. [18][19][20]
Keanekaragaman genetika dari kerabat liar gandum dapat digunakan untuk
memperbarui varietas modern sehingga lebih tahan terhadap karat batang. Gandum liar
ini dapat diseleksi di habitat aslinya untuk mencari varietas yang tahan karat, lalu
informasi genetikanya dipelajari. Terakhir varietas modern dan varietas liar disilangkan
dengan pemuliaan tanaman modern untuk memindahkan gen dari varietas liar ke
varietas modern.[21][22]
Krisis air global

Kanal irigasi telah menjadikan kawasan padang pasir yang kering di Mesir menjadi lahan pertanian

Berbagai negara di dunia telah melakukan importasi gandum yang disebabkan oleh
terjadinya defisit air,[23] dan kemungkinan akan terjadi pada negara besar seperti China
dan India.[24] Tinggi muka air tanah terus menurun di beberapa negara dikarenakan
pemompaan yang berlebihan. China dan India telah mengalaminya, dan negara
tetangga mereka (Pakistan, Afghanistan, dan Iran) telah terpengaruh hal tersebut. Hal
ini akan memicu kelangkaan air dan menurunkan produksi tanaman pangan.[25] Ketika
produksi tanaman pangan menurun, harga akan meningkat karena populasi terus
bertambah. Pakistan saat ini masih mampu memenuhi kebutuhan pangan di dalam
negerinya, namun dengan peningkatan populasi 4 juta jiwa per tahun, Pakistan
kemungkinan akan melirik pasar dunia dalam memenuhi kebutuhan pangannya, sama
seperti negara lainnya yang telah mengalami defisit air seperti Afghanistan, Ajlazair,
Mesir, Iran, Meksiko, dan Pakistan.[26][27]
Secara regional, kelangkaan air di Afrika adalah yang terbesar dibandingkan negara
lainnya di dunia. Dari 800 juta jiwa, 300 juta penduduk Afrika telah hidup di lingkungan
dengan stres air.[28] Karena sebagian besar penduduk Afrika masih bergantung dengan
gaya hidup berbasis pertanian dan 80-90% penduduk desa memproduksi pangan
mereka sendiri, kelangkaan air adalah sama dengan hilangnya ketahanan pangan. [29]
Investasi jutaan dolar yang dimulai pada tahun 1990an oleh Bank Dunia telah
mereklamasi padang pasir dan mengubah lembah Ica yang kering di Peru menjadi
pensuplai asparagus dunia. Namun tinggi muka air tanah terus menurun karena
digunakan sebagai irigasi secara terus menerus. Sebuah laporan pada tahun 2010
menyimpulkan bahwa industri ini tidak bersifat lestari. [30] Mengubah arah aliran air sungai
Ica ke lahan asparagus juga telah menyebabkan kelangkaan air bagi masyarakat
pribumi yang hidup sebagai penggembala hewan ternak. [31]
Perebutan lahan
Kepemilikan lahan lintas batas negara semakin meningkat. Perusahaan Korea
Utara Daewoo Logistics telah mengamankan satu bidang lahan yang luas
di Madagascar untuk mebudidayakan jagung dan tanaman pertanian lainnya untuk
produksi biofuel. Libya telah mengamankan 250 ribu hektare lahan di Ukraina dan
sebagai gantinya Ukraina mendapatkan akses ke sumber gas alam di Libya. China
telah memulai eksplorasi lahan di sejumlah tempat di Asia Tenggara. Negara di
semenanjung Arab telah mencari lahan di Sudan, Ethiopia, Ukraina, Kazakhstan,
Pakistan, Kamboja, dan Thailand. Qatar berencana menyewa lahan di sepanjang
panyai di Kenya untuk menumbuhkan sayuran dan buah, dan sebagai gantinya akan
membangun pelabuhan besar dekat Lamu, pulau di samudra Hindia yang menjadi
tujuan wisata.[32][33][34]
Perubahan iklim
Fenomena cuaca yang ekstrem seperti kekeringan dan banjir diperkirakan akan
meningkat karena perubahan iklim terjadi. [35] Kejadian ini akan memiliki dampak di sektor
pertanian. Diperkirakan pada tahun 2040, hampir seluruh kawasan sungai Nil akan
menjadi padang pasir di mana aktivitas budi daya tidak dimungkinkan karena
keterbatasan air.[36] Dampak dari cuaca ekstrem mencakup perubahan produktivitas,
gaya hidup, pendapatan ekonomi, infrastruktur, dan pasar. Ketahanan pangan pada
masa depan akan terkait dengan kemampuan adaptasi budi daya bercocok tanam
masyarakat terhadap perubahan iklim. Di Honduras, perempuan Garifuna membantuk
meningkatkan ketahanan pangan lokal dengan menanam tanaman umbi tradisional
sambil membangun metode konservasi tanah, melakukan pelatihan pertanian
organik dan menciptakan pasar petani Garifuna. Enam belas kota telah bekerja sama
membangun bank benih dan peralatan pertanian. Upaya untuk membudidayakan
spesies pohon buah liar di sepanjang pantai membantu mencegah erosi tanah.[37]
Diperkirakan 2.4 miliar penduduk hidup di daerah tangkapan air hujan di sekitar
Himalaya.[38] Negara di sekitar Himalaya (India, Pakistan, China, Afghanistan,
Bangladesh, Myanmar, dan Nepal) dapat mengalami banjir dan kekeringan pada
dekade mendatang.[39] Bahkan di India, sungan Ganga menjadi sumber air minum dan
irigasi bagi 500 juta jiwa.[40][41] Sungai yang bersumber dari gletser juga akan terpengaruh.
[42]
 Kenaikan permukaan laut diperkirakan akan meningkat seiring meningkatnya
temperatur bumi, sehingga akan mengurangi sejumlah lahan yang dapat digunakan
untuk pertanian.[43][44]
Semua dampak dari perubahan iklim ini berpotensi mengurangi hasil pertanian dan
peningkatan harga pangan akan terjadi. Diperkirakan setiap peningkatan 2.5% harga
pangan, jumlah manusia yang kelaparan akan meningkat 1%. [45] Berubahnya periode
dan musim tanam akan terjadi secara drastis dikarenakan perubahan temperatur dan
kelembaban tanah.[46]
Lihat pula

Anda mungkin juga menyukai