Anda di halaman 1dari 109

PERANAN CT-SCAN SPN DALAM MENDIAGNOSA

KELAINAN

KARYA TULIS ILMIAH


Diajukan sebagai syarat mendapatkan gelar Ahli Madya
Kesehatan

RAMDANI
19.01.078

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK RONTGEN


FAKULTAS KESEHATAN DAN KETEKNISIAN MEDIK
UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG
2022
PERANAN CT-SCAN SPN DALAM MENDIAGNOSA
KELAINAN

KARYA TULIS ILMIAH


Diajukan sebagai syarat mendapatkan gelar Ahli Madya
Kesehatan

RAMDANI
19.01.078

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK RONTGEN


FAKULTAS KESEHATAN DAN KETEKNISIAN MEDIK
UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG
2022

2
HALAMAN PERSETUJUAN
PERSETUJUAN SIAP UJIAN SIDANG KTI
Judul : PENGUKURAN DOSIS RADIASI PADA PHANTOM
DI CT-SCAN
Nama : Ramdani
NIM : 19.01.078

Siap dipertahankan di depan tim penguji


Pada : 14, Agustus 2022

Menyutujui,
Pembimbing

(Lucky Restyanti Wahyu Utami, S. Tr.Rad, M. Tr.Kes)

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul KTI : PERANAN CT-SCAN SPN DALAM MENDIAGNOSA


KELAINAN

Nama : Ramdani
Nim : 19.01.078

Telah dipertahankan di depan tim penguji


Pada : 14, Agustus 2022

Mengetahui,

1. Ketua Penguji : ( )

2. Anggota Penguji : ( )

Mengetahui,

Dekan Ketua
Fakultas Kesehatan dan Keteknisian Program Studi Diploma III Teknik
Medik Rontgen

(Dr. Didik Wahyudi, S.KM, M.Kes.) (Nanik Suraningsih, S.ST, M.Kes.)


NIDN : 0602047902 NIDN : 06111278

iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ramdani
Tempat, tanggal lahir : Wakinamboro, 6 Januari 2002
NIM : 19.01.078
Prodi : Diploma III Teknik Rontgen Universitas Widya Husada
Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahawa :
1. Laporan tugas akhir ini dengan judul “Peranan CT-Scan SPN Dalam
Mendiagnosa Kelainan” adalah hasil karya saya, dan di dalam naskah ini tidak
terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
mendapatkan gelar A.Md.Rad, di suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat
karya atau pendapat karya atau yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain baik sebagian atau keseluruhan, kecuali secara tertulis atu dikutip dalam
naskah ini dan diterbitkan dalam sumber atau daftar pustaka
2. Apabila ternyata dalam naskah laporan akhir ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur plagiat, saya bersedia laporan tugas akhir ini digugurkan dan gelar
akademik yang telah saya peroleh dibatalkan, serta diproses dengan ketentuan
hukum yang berlaku
3. Laporan tugas akhir ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk
dipergunakan sebagaimana mestinya.

Semarang, 14 Agustus 2022

Penulis

Ramdani

iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ramdani
Tempat,Tanggal lahir : Wakinamboro, 06 Januari 2002
Alamat : Kab. Buton Selatan, Kec. Siompu, Prov. Sulawesi
Tenggara, Jln Batuawu, Dusun Batuawu
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : WNI
Nomor Handphone : 081340101160
Email : ramdaniram372@gmail.com
Riwayat Pendidikan :
No Riwayat Pendidikan Tahun Masuk dan Tahun
Lulus
1 SDN 1 Wakinamboro 2007-2013
2 SMPN 1 Siompu 2013-2016
3 SMAN 1 Siompu 2016-2019
4 Program Diploma III Teknik
Rontgen Universitas Widya Husada 2019-2022
Semarang

v
HALAMAN PERSEMBAHAN

Saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya, pada setiap pihak yang

terkait karena penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul

“Peranan CT-Scan SPN dalam Mendiagnosa Kelain” tanpa mengurangi rasa

hormat, saya mempersembahkan karya ini untuk :

1. Orang Tua serta Keluarga yang selalu memberikan dukungan serta doa

kepada saya dalam menulis Karya Tulis Ilmiah ini.

2. Kakak dan adik-adik ku tercinta, terima kasih karena memberikan semangat

dalam bentuk sehatnya kalian semoga awal dari kesuksesan saya ini dapat

membanggakan dan membantu kalian.

3. Dosen Pembimbing Karya Tulis Ilmiah Ibu Lucky Restyanti Wahyu Utami, S.

Tr.Rad, M. Tr.Kes, selaku dosen pembimbing saya yang baik, sabar dan

bijaksana, serta pas respon ketika di hubungi, terikma kasih karena telah

memberi semangat, serta atas membantuannya, motivasinya, nasehatnya dan

ilmu yang diberikan kepada saya dengan rasa tulus dan ikhlas.

4. Teman-teman satu pulau yang dan sudah berjuang bersama dalam 3 tahun

ini. Terima kasih selalu memberikan dukungan dan semangat dalam

mengerjakan Karya Tulis Ilmiah ini.

5. Teman-teman satu bimbingan dengan Ibu Lucky Restyanti Wahyu Utami, S.

Tr.Rad, M. Tr.Kes,. Terima kasih sudah berjuang bersama-sama dari awal

penulisan hingga terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini.

6. Teman-teman satu angkatan khususnya Prodi DIII Teknik Rontgen. Terima

kasih karena sudah menemani dari awal masuk kuliah hingga akan selesainya

pendidikan di Universitas Widya Husada Semarang.

vi
MOTTO
“Hatiku tenang karena mengetahui apa yang melewatkanku tidak akan pernah
menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untuku tidak akan pernah
melewatkanku”
(Umar bin khattab)

“Jangan takut gagal karena dengan kegagalan kita menjadi kuat dan tangguh”
(Penulis)

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan segala rahmat yang
dilimpahkan-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
dengan judul “Pengukuran Dosis Radiasi Pada Phantom Di CT-Scan”
Karya Tulis Ilmiah disusun untuk memenuhi mata kuliah Tugas Akhir
Program Studi Diploma III Teknik Rontgen Universitas Widya Husada Semarang,
dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini tidak akan lepas dalam segala bantuan
dan bimbingan drai berbagai pihak. Untuk itu, penulis juga mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Hargianti Dini Iswandari, Drg, MM, Rektor Universitas Widya Husada
Semarang.
2. Dr.Didik Wahyudi, S.KM, M.Kes. Dekan Fakultas Kesehatan dan keteknisian
Medis Universitas Widya Husada Semarang.
3. Nanik Suraningsih, S.ST, M.Kes Ketua Program Studi Diploma II Teknik
Rotngen Universitas Widya Husada Semarang.
4. Lucky Restyanti Wahyu Utami, S. Tr.Rad, M. Tr.Kes. Pembimbing dalam
penulisan dan penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
5. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Diploma III Teknik Rontgen
Universitas Widya Husada Semarang.
6. Bapak, Ibu, serta Adik-adikku yang selalu memberi dukungan dan sebagai
penyemangatku selama ini.
7. Temen-temen Seperjuangan Diploma III Teknik Rotngen Universitas Widya
Husada Semarang.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terlibat
membantu dan mendukung dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah Studi Literatur
ini.

viii
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan Karya Tulis
Ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun
dari pembaca, agar bisa lebih sempurna. Penulis juga berharap Karya Tulis Ilmiah
Studi Literatur ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Semarang, Juli 2022


Penulis

Ramdani

ix
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN...........................................................................................
PERSETUJUAN SIAP UJIAN SIDANG KTI.................................................................
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN...................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP...........................................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN.........................................................................................
MOTTO..............................................................................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................................
DAFTAR TABEL..............................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................................
DAFTAR ISTILAH...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................
1.1. Latar Belakang...................................................................................................
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................
1.3. Tujuan Penelitian...............................................................................................
1.4. Manfaat Penelitian.............................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................
2.1. Dasar-Dasar Teori..............................................................................................
2.2. Teknik Pemeriksaan CT-Scan...........................................................................
2.3. Kerangka Teori.....................................................................................................
2.4. Pertanyaan Penilitian.........................................................................................
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................................
3.1. Rancangan Penelitian.........................................................................................
3.2. Metode Pengumpulan Data...............................................................................
3.3. Alur penelitian....................................................................................................
3.4. Pengolahan dan Analisis Data...........................................................................
BAB IV HASI PENELITIAN............................................................................................
4.1. Seleksi Artikel.....................................................................................................
4.2. Pemaparan Jurnal..............................................................................................
BAB V PEMBAHASAN....................................................................................................
5.1 Persamaan dan Perbedaan Jurnal....................................................................

x
5.2 Kelebihan dan Kekurangan Jurnal...................................................................
5.3 Analisis Jurnal....................................................................................................
BAB VI PENUTUP............................................................................................................
6.1 Kesimpulan.........................................................................................................
6.2 Saran...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................................

xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Nasal
Gambar 2.2 Anatomi Nasal Cavity
Gambar 2.3 Sinus Maxila
Gambar 2.4 Sinus Ethmoid
Gambar 2.5 Sinus Spenoid
Gambar 2.6 Sinus Frontal
Gambar 2.7 Oateomeatal Complex Coronal Sectional
Gambar 2.8 Kerangka Teori
Gambar 3.1 Alur Penelitian
Gambar 4.1 CT-Scan Potongan Coronal Compeks Osteomeatal
Gambar 4.2 CT-Scan Potongan Axial Sinus Spenoid
Gambar 4.3 CT-Scan Potongan Sagital
Gambar 4.4 CT-Scan Potongan Coronal Dan Axial Deviasi Septum Nasal
Gambar 4.5 CT-Scan Potongan Coronal DNS
Gambar 4.6 Sinusitis Frontal Kanan Osteoma
Gambar 4.7 CT-Scan Potongan Coronal Dan Axial

xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Variasi Anatomi dan Frekuensinya
Tabel 4.2 Distribusi Keseluruhan Variasi Anatomi di SPN
Tabel 5.1 Persamaan dan Perbedaan Litaratur
Tabal 5.2 Kelebihan dan Kelemahan Literatur

xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Formulir Ekstraksi
Lampiran 2 : Computed tomography anatomy of the paranasal sinuses and
anatomical variants of clinical relevants in Nigerian adults
Lampiran 3 : Retrospective Study of Ct Evaluation of Paranasal Sinuses
Pathologies in Bhaskar Medical College and Hospital
Lampiran 4 : Evaluation of Anatomical Variations in Nose and Paranasal
Sinuses by using Multidetector Computed Tomography

xiv
xv
DAFTAR ISTILAH
Anterior : Depan (lebih dekat ke depan)
Axial : Potongan melintang searah poros.
Computed Tomography Dose : Indeks paparan radiasi yang biasa digunakan
dalam X-Ray computes tomography
Computed Tomography Scan : Salah satu sarana penunjang diagnosis yang
menggunakan gabungan dari sinar-X dan
computer untuk mendapatkan citra atau gambar
berupa variasi irisan tubuh manusia
Coronal : Adalah bidang vertikal yang melalui tubuh,
letaknya tegak lurus terhadap bidang median
atau sagital, membagi tubuh menjadi bagian
depan (frontal) dan belakang (dorsal).
Distal : Bawah (lebih jauh dari batang tubuh atau
pangkal
Feet First : jenis pemeriksaan tertentu. Posisi dalam
pemeriksaan CT Scan dimana kaki yang terlebih
dahulu masuk kedalam gantry.
FOV (Field of View) : Adalah diameter maksimal dari gambaran yang
akan direkonstruksi.
Gantry : Adalah perangkat CT yang melingkar sebagai
rumah dari tabung sinar-x, Data Acquisition
System, dan detector array
Head first : Posisi dalam pemeriksaan CT Scan dimana
kepala yang terlebih dahulu masuk kedalam
gantry.
HU (Hounsfield Unit) : Adalah satuan dari nilai pelemahan sinar-X
setelah melewati objek yang nilai tersebut
menggambarkan perbedaan organ.
kV : Tegangan tabung atau satuan beda potensial
yang diberikan antara anoda dan katoda

xvi
Lateral : Luar (menjauh dari bidang median)
Medial : Dalam (lebih dekat kebidang median)
Posterior : Belakang (lebih dekat ke belakang)
Proksimal : Atas (lebih dekat dengan batang tubuh)
Prone : Adalah posisi tiduran dalam keadaan tengkurap
Radiodiagnostik : Pemanfaatan radiasi pengion dengan pesaawat
sinar-X untuk diagnostik
Range : Adalah perpaduan atau kombinasi dari beberapa
slice thickness.
Sagital :
Scanogram : Adalah gambaran lapangan organ secara
keseluruhan yg dipergunakan untuk menentukan
lokasi atau mengatur potongan yang akan dibuat.
Slice : Irisan
Slice : Irisan
Slice Thickness : Tebalnya irisan atau potongan dari obyek yang
diperiksa
Supine : Adalah tubuh berbaring terlentang
Supperior : Atas (Lebih dekat pada kepala)

Studi Literatur Review : Uraian tentang teori, temuan, dan bahan


penelitian lainnya yang diperoleh dari bahan
acuan untuk dijadikan landasan kegiatan
penelitian
Window level : Adalah nilai tengah dari sebuah rentang window
width.
Window width : Adalah suatu rentang nilai CT number yang
digunakan untuk memberikan nuansa keabu –
abuan pada layar.

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sinus paranasal merupakan rongga berisi udara yang terletak di
tulang frontal, ethmoid, dan sphenoid dari cranium dan tulang maxilla dari
wajah, karena pembentukannya dari mukosa hidung dan berlanjut ke fossa
hidung (Long, et al. 2016). Sinus paranasal terdiri dari 4 bagian berdasarkan
tulang yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis, dan sinus
sphenoidalis (Lampignano dan Kendrick, 2018).
Nasal dan sinus paranasalis adalah organ yang berperan penting
sebagai garis terdepan pertahanan tubuh pada saluran nafas terhadap
mikroorganisme dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di
dalamnya. (Abul-Kasim Kat all, 2011,Shindy at all 2015)
Variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis seperti sel frontal, sel
agger nasi, bula ethmoid, processus ucinatus, concha bullosa, deviasi
septum, dan sel haller merupakan salah satu faktor penyebab gangguan
drainase hidung dan sinus paranasalis. Variasi anatomi tersebut dapat
menyebabkan obstruksi terhadap Kompleks Osteomeatal (KOM) dan
mengganggu pembersihan mukosilia. (Abul-Kasim K at all, 2011,Shindy at
all 2015)
CT-Scan merupakan metode yang baik untuk evaluasi struktur
anatomi karena dapat memperlihatkan dengan jelas struktur cavum nasi dan
sinus paranasalis seperti kondisi kompleks osteomeatal, kelainan anatomi,
visualisasi ada atau tidaknya jaringan patologis di sinus dan perluasannya.
(Aghdas, 2018, Akdis at all 2015).
Pemeriksaan CT-Scan mampu memberikan gambaran struktur
anatomi pada area yang tidak tampak melalui endoskopi. Pemeriksaan ini
sangat baik dalam memperlihatkan sel-sel ethmoid anterior, dua pertiga
atas cavum nasi dan resessus frontalis. Pada daerah ini CT Scan dapat
memperlihatkan lokasi faktor penyebab sinusitis kronik yaitu KOM.
(Aghdas, 2018, Akdis at all 2015). CT-Scan merupakan proses dari

1
menciptakan bidang tomography cross-sectional dari setiap bagian tubuh.
Dimana tabung x-ray yang berputar pada bagian tubuh yang sedang
diperiksa (Long, et al. 2016). CT-Scan sinus paranasal digunakan untuk
melihat yang deviasi nasal septum, agger nasi cell, dan perluasan sinus
sphenoid ke nasal septum posterior (Shpilberg dan Daniel, 2015).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian didapatkan bahwa gambaran
variasi anatomi pada CT-Scan sinus paranasal adalah deviasi septum.
Berdasarkan hasil penelitian Budiman JB dkk, variasi anatomi terbanyak
adalah septum deviasi pada 33 pasien (70,2%), concha bulosa pada 3 pasien
(6,4%), sel haller, sel agger nasi. Sedangkan pada hasil penelitian yang
dilakukan oleh, Emilya J dkk, ditemukan variasi anatomi yaitu septum
deviasi sebanyak pada 80 pasien (67,2%), bula ethmoid pada 32 pasien
(26,9%) kemudian diikuti oleh prosessus unsinatus pada 25 pasien (21%),
concha bulosa pada 15 pasien (12,6%), sel haller pada 8 pasien (6,7%), sel
agger pada 7 pasien (5,9%) dan sel frontal pada 5 pasien (4,2%). Penelitian
lain yang dilakukan oleh (Fadda G dkk), septum deviasi merupakan variasi
yang paling sering ditemukan yaitu 58,5%, concha bulosa 49,3% dan bulla
etmoid 32,8%. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dapat
ditemukan lebih dari satu gambaran variasi anatomi atau bahkan tidak ada.
Jurnal pertama yang ditulis oleh Regina Chinwe Onwuchekwa, Nengi
Alazigha, dengan judul “Computed tomography anatomy of the paranasal
sinuses and anatomical variants of clinical relevants in Nigerian adults, 30
November 2016”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan
anatomi sinus paranasal yang digambarkan oleh computed tomography dan
untuk menggambarkan varian yang tidak hanya menjadi predisposisi
sinusitis kronis tetapi dapat menyebabkan komplikasi pada operasi
sinonasal endoskopik. Sinus paranasal adalah sekelompok ruang berisi
udara yang mengelilingi rongga hidung. Sinus paranasal mulai berkembang
dari koana primitif pada usia kehamilan 25-28 minggu. Tiga tonjolan
muncul dari dinding lateral hidung dan berfungsi sebagai awal
perkembangan sinus paranasal. Penelitian ini menggunakan studi prospektif

2
yang dilakukan di perguruan tinggi. 110 pasien tanpa gejala sinus paranasal
yang datang untuk studi Computed Tomography kepala dan memberikan
persetujuan untuk scan bagian koronal dari sinus paranasal yang akan
diambil selain bagian aksial kepala dimasukkan dalam penelitian.
Pemeriksaan CT-Scan dilakukan dengan mesin GE Hispeed-NX/I Base-
2002 Dual Slice Helical Computed tomography. Ada 48 perempuan dan 62
laki-laki. Di antara 229 kasus varian anatomi yang diamati. Varian anatomi
yang paling umum adalah pneumatisasi turbinat hidung tengah (32,73%).
Diikuti oleh sel agger nasi 23,64%, sel Haller 20,91%, deviasi septum
20,18% dan septasi sinus sphenoid (18%).
Pada jurnal kedua yang ditulis oleh Mallikarjun M. Devareddy, Shilpa
Devakar, dengan judul “Evaluation of Anatomical Variations in Nose and
Paranasal Sinuses by using Multidetector Computed Tomography (2019)”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi varian yang dapat
mengganggu aliran udara bebas sinus paranasal dengan menyebabkan
penyempitan atau obstruksi total dan dapat menyebabkan sinusitis berulang.
Varian anatomi dapat menyebabkan komplikasi intrakranial dan intraorbital
selama prosedur seperti Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Oleh
karena itu pengetahuan tentang anatomi normal dan varian sinus paranasal
membantu dalam diagnosis serta dalam menghindari komplikasi bedah.
Penelitian ini dilakukan di rumah sakit dan pusat penelitian fakultas
kedokteran Navodaya, Raichur. 100 pasien dari Jan-2017 hingga Jun-2018
dipelajari. 100 pasien dalam sampel dirujuk dari OPD THT dan bangsal,
untuk CT-Sscan Sinus Paranasal (SPN). Merek pesawat CT-Scan SPN
menggunakan GE Brivo CT385 16 irisan gambar MDCT ditinjau dalam
algoritma tulang dan jaringan lunak. Deviasi septum hidung adalah variasi
yang paling umum pada 62 (62%) diikuti oleh concha bullosa pada 32
(32%). Variasi lain yang ditemukan adalah bulla ethmoidal pada 30 (30%)
pasien, paradoxical middle turbinate pada 9 (9 (9%), Frontal sekat sinus
pada 26 (26%). Concha bullosa pada 20 (20%), sel Agger Nasi yang
menonjol pada 26 (26%), sel Haller pada 16 (16%), sel Onodi pada 6 (6%),

3
sel supra-orbital pada 4 (4%) Sinus maksilaris septa pada 15 (15%) dan
pneumatisasi crista galli pada 9 (9%) pasien.
Pada jurnal ketiga yang ditulis oleh Dr.Humsene Kamathum (dkk),
dengan judul “Retrospective Study of CT Evaluation of Paranasal Sinuses
Pathologies in Bhaskar Medical Collage and Hospital (2020)” jurnal ini
membahas terkait penelitian yang dilakukan oleh Dr.Humsene Kamathum
(dkk), yang melibatkan 50 pasien dalam kelompok usia 10 hingga 60 tahun
dengan usia rata-rata 30 tahun dengan rasio wanita dan pria dengan jumlah
pasien yang lebih besar pada kelompok usia 20-40 tahun. Sebagian besar
pasien mengalami sakit kepala 56%, diikuti dengan penurunan sekret
hidung 52%, sumbatan hidung 34% dan epistaksis 8%. Sinus yang paling
sering terkena adalah sinus maksilaris 86%. Septum hidung menyimpang
tercatat pada 24 pasien yang lebih umum ke sisi kanan. Concha bullosa
tercatat pada 14 pasien, yang unilateral pada 11 pasien dan bilateral pada 3
pasien. 56% kasus memiliki sinusitis, polip ditemukan pada 32%, sinusitis
jamur 18%, papiloma terbalik 2%. Selama Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS), 4 pasien ditemukan memiliki keterlibatan tulang berupa
erosi atau destruksi, 4 pasien terdeteksi memiliki keterlibatan tulang pada
CT-Scan.
Maka berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik dan ingin
membahas dan mengkaji lebih dalam serta mengangkatnya menjadi studi
literatur Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PERANAN CT-SCAN SINUS
PARANASAL (SPN) DALAM MENDIAGNOSA KELAINAN”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang di ambil
penulis adalah:
Bagaimana peranan CT-Scan SPN dalam mendiagnosa kelainan yang
terjadi menurut Regina Chinwe Onwuchekwa, Nengi Alazigha (2016),
Mallikarjun M. Devareddy, Shilpa Devakar (2019), Dr.Humsene
Kamathum, (dkk) (2020).

4
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah studi literatur ini adallah
untuk mengetahui Bagaimana peranan CT-Scan SPN dalam mendiagnosa
kelainan yang terjadi menurut Regina (2016), Mallikarjun (dkk) (2019),
Dr.Humsene (dkk) (2020).
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari karya tulis ilmiah ini adalah:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil dari karya tulis ilmiah ini dapat menambah pengetahuan,
kepustakaan, informasi, wawasan, dan referensi bagi pembaca pada
umumnya untuk meneliti lebih dalam mengenai peranan CT-Scan
SPN dalam mendiagnosa kelainan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan
wawasan bagi radiografer khususnya mahasiswa prodi DII Teknik
Rontgen Uiversitas Widya Husada Semarang mengenai peranan CT-
Scan SPN dalam mendiagnosa kelainan.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar-Dasar Teori


2.1.1.Anatomi Nasal cavity
Nasal merupakan salah satu organ penting yang berfungsi dalam
proses respirasi. Nasal dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu nasal
luar dan nasal dalam. Nasal berbentuk piramid dan dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan. Nasal terletak menonjol pada garis
tengah di antara pipi dengan bibir atas. Bagian puncak hidung disebut
juga dengan apeks nasi. Ujung atasnya yang sempit bertemu dengan
dahi di glabela dan disebut dengan radiks nasi. Kedua lubang hidung
disebut nares dan dipisahkan oleh sekat tulang rawan kulit yang
disebut kolumela. Titik pertemuan antara kolumela dengan bibir atas
dikenal sebagai dasar hidung. Bagian bibir atas membentuk cekungan
dangkal memanjang dari atas ke bawah yang disebut filtrum.
Permukaan lateral berakhir membulat di bawah membentuk ala nasi.
(Abul-Kasim K at all, 2011,Shindy at all 2015).
Rangka nasal bagian luar dibentuk dari dua os nasal, prosesus
frontal os maksila, sepasang kartilago lateralis inferior atau kartilago
alar mayor, kartilago lateralis superior dan tepi anterior kartilago
septum nasi. Pada tulang tengkorak, bentuk hidung yang menyerupai
buah pir dibentuk oleh apertura piriformis, di garis tengahnya ada
penonjolan yang disebut spina nasalis anterior. Tepi superior dan
lateral apertura piriformis dibentuk oleh os nasal dan prosesus frontal
os maksila serta bagian dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris
maksila. (Abul-Kasim K at all, 2011,Shindy at all 2015).
Nasal bagian dalam terdiri dari septum nasi membagi kavum
nasi menjadi dua bagian. Septum dibentuk oleh penampang sagital
yang terdiri dari bagian tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh

6
mukosa respiratori. Mukosa septum menghubungkan kolumela
dengan katilago kuadrangular. Bagian superior dan posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid. Bagian anterior
dibentuk oleh kartilago septum kuadrilateral, premaksila dan
kolumela membranosa. Bagian inferior dibentuk oleh os vomer, krista
maksila dan os palatina serta bagian posteriornya dibentuk oleh krista
sphenoid. Dasar nasal dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan
prosesus horizontal os palatum. Atap hidung dibentuk oleh kartilago
lateralis inferior, os nasal, prosesus nasalis os frontal, corpus os
etmoid dan corpus os sphenoid. Sebagian besar atap rongga hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa. (Aghdas, 2018, Akdis at all 2015).
Dinding lateral hidung dibentuk oleh permukaan dalam maksila,
os lakrimalis, konka superior dan media, konka inferior dan medial
pterigoideus. Di antara konka-konka tersebut terdapat celah sempit
yang disebut meatus yaitu meatus inferior, media dan superior dimana
merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis. Kadang-kadang
didapatkan konka ke empat yang disebut konka suprema. (Aghdas,
2018, Akdis at all 2015).

2
1 3
4
15 5

14
6
13

12

11
8 7
10 9

Gambar 2.1 Anatomi nasal (Anghdas, 2018, Akdis at all 2015)

7
Keterangan:
1. Frontal sinus 9. Soft plate
2. Cribriform plate of 10. Hard plate
ethmoid bone
3. Sphenoid sinus 11. Anterior naris
4. Sella turcica 12. Vestibule
5. Choana 13. Anterior tubinate
6. Pharingeal tonsil 14. Superior turbinate
7. Opening of auditory 15. Superior turbinate
8. Uvula

Sumber perdarahan untuk nasal secara garis besar berasal dari


etmiod anterior dan posterior yang merupakan percabangan dari
oftalmika dari karotis interna dan sfenopalatina yang merupakan
percabangan dari maksilaris interna dari karotis eksterna. Bagian
anterior dan superior septum serta dinding lateral hidung mendapatkan
perdarahan dari etmoid anterior. (Aghdas, 2018, Akdis at all 2015)
1
2
Keterangan:

7 1. Ethmoid sinuses
4 2. Crista gali
31 3. Zigomaticum
6 4. Midlle & inferior
turbinates
5. Maxila
6. Maxilary sinus
7. Orbita
5

Gambar 2.2 Anatomi Nasal cavity (Aghdas, 2018, Akdis at all 2015)

Persarafan pada hidung berasal dari oftalmikus dan maksila yang


merupakan percabangan dari trigeminus. Saraf sensoris bagian depan

8
dan atas rongga hidung berasal dari etmoidalis anterior cabang dari
nasosiliaris yang berasal dari oftalmikus. Dinding lateral kavum nasi
mendapat serabut saraf dari cabang nasalis palatina, etmoidalis dan
sebuah cabang nasal yang kecil berasal dari alveolaris superior.
Septum nasi dipersarafi oleh n.etmoidalis cabang dari oftalmikus dan
nasopalati cabang dari maksilaris yang merupakan cabang dari
trigeminus. (Aghdas, 2018, Akdis at all 2015).
Hidung memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai organ yang
berperan dalam proses penciuman/penghidu, pernapasan dan
perlindungan. Ketiga fungsi tersebut dibantu oleh struktur anatomi
yang rumit didalam rongga hidung yang membentuk suatu permukaan
yang luas. Lipatan mukosa, silia, dan kelembaban didalam rongga
hidung akan terlibat dalam proses pernapasan untuk menyaring
kotoran yang masuk bersama udara pernapasan dan akan
meningkatkan kemampuannya dalam hal proteksi sebelum udara
pernapasan tersebut masuk ke dalam saluran napas bagian bawah.
(Aghdas 2018, Lupoi at all 2012, Wang at all 2011 )
Banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan sistem sekresi
rongga sinus dan sinus paranasalis berperan dalam proses pengaturan
suhu dan kelembaban didalam rongga hidung sebelum udara
pernapasan tersebut dialirkan ke saluran napas bagian bawah. Suhu
udara yang melalui hidung diatur berkisar 370C. (Aghdas 2018, Lupoi
at all 2012, Wang at all 2011).
Singkatnya, pusat penghidu berada diantara traktus sinonasal.
Secara anatomi, neuroepitelium penghidu tersebar disepanjang bagian
superior rongga hidung, berlokasi diantara septum dan permukaan
medial konka superior. Neuroepitelium penghidu juga terdapat
dibagian anterior yaitu disebelah atas konka media dan di bagian
inferior di sebelah bawah lamina kribiformis. Daerah ini disebut juga
sebagai olfactory cleft. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dapat
melalui hidung atau dari retronasal. Stimulasi pada hidung tercetus

9
sebagai akibat peranan indera penghidu, ketika stimulasi retronasal
memainkan peranan pada sensasi rasa selama mengunyah makanan.
Sehingga fungsi hidung adalah juga untuk membantu indera pengecap
membedakan rasa. (Aghdas 2018, Lupoi at all 2012, Wang at all
2011).
Secara normal mukosa sinonasal tersusun dari lapisan epithelial,
lamina propria, submukosa dan periostium. Pada sel epithelial hidung
terdapat silia, sel kolumnar dengan berbagai ukuran sel goblet. Sebuah
lapisan tipis tidak mengandung sel terdiri dari membrana basalis
dipisahkan oleh lapisan epithelial dari lamina propria yang tebal. Di
bawah epithelium terdapat limfosit, sel plasma, dan makrofag. Partikel
debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh rambut yang terdapat di vestibulum nasi, silia,
palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. (Aghdas
2018, Lupoi at all 2012, Wang at all 2011 ).
2.1.2. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah serangkaian rongga yang mengelilingi
rongga hidung. Ada empat pasang sinus paranasal yaitu, maksila,
frontal, sinus etmoid dan sfenoid. (Alt Ja at all,2015, Banglawala at all
2015). Sinus paranasal merupakan rongga berisi udara yang
berbatasan langsung dengan rongga hidung. Sinus paranasalis dibagi
menjadi dua kelompok yaitu anterior dan posterior. Sinus maksila,
sinus frontal dan sinus etmoid anterior merupakan kelompok anterior
dan ostium dari sinus- sinus ini terletak di dalam meatus media.
Sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid merupakan
kelompok posterior dan ostium dari sinus-sinusnya terletak di dalam
meatus superior. (SImopoulus at all 2012, Soler at all 2013, Walsh at
all 2014).
a. Sinus Maksila

10
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar.
Dinding anterior terbentuk dari permukaan maksila. Dinding
posterior berbatasan dengan fossa pterigopalatina. Dinding medial
merupakan dinding lateral dari kavum nasi, lantai sinus adalah
prosesus alveolaris dan dinding superior sebagai lantai orbita.
Nervus infraorbital melewati lantai orbita keluar ke bagian anterior
maksila melalui formen infraorbita. (Aghdas 2018, Lupoi at all
2012, Wang at all 2011).
Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi
infundibulum etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu
massa. Ukuran standar volume sinus maksila pada orang dewasa
adalah sekitar 15 ml dan secara kasar bentuknya menyerupai
piramid. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid (Lachanas V, 2014, Leung 2014).

1 1
Keterangan:
1. Si
nu
2
s

Maksila
2. Roots of2 upper molars

Gambar 2.3 Sinus Maksila, (Botrager’s, 2018)


b. Sinus Ethmoid
Sinus ethmoid terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon. Sinus ethmoid di bagi oleh lamina basalis menjadi sinus
ethmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid

11
posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus ethmoid
anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, sedang sel-sel sinus
ethmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya.
Sel ethmoid yang terbesar disebut bula ethmoid. Di daerah ethmoid
anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum,
bermuara ke ostium sinus maksila. Atap sinus ethmoid atau fovea
ethmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral
sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan di bagian
belakang sinus ethmoid posterior berbatasan dengan sinus
sphenoid. (Lachanas V, 2014, Leung 2014).

Keterangan:
1
1.
1.
1.
1.
1.
Sinus Ethmoid

Gambar 2.4 Sinus Ethmoid ( Botrager’s 2018)


c. Sinus Spenoid
Sinus sphenoid terletak dalam os sphenoid terbagi 2 oleh
septum intersfenoid. Di sebelah superior terdapat fosa serebri
media dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri
karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior di daerah pons. (Barros at all,2012, De Conde at
all 2014).

12
Sinus sphenoid merupakan sinus paranasal yang terletak
paling posterior, yaitu di dalam tulang sfenoid di belakang sinus
etmoid posterior. Pneumatisasi tulang sfeniod terjadi selama usia
anak-anak dan prosesnya berlangsung cepat setelah usia 7 tahun
dan berhenti terbentuk pada usia 12 hingga 15 tahun. Sinus sfenoid
memiliki banyak hubungan penting dalam hal neurovaskular. Saat
sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral
tulang sphenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga
sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa.
Bagian inferior adalah atap nasofaring. Bagian lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna. Sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons. (Barros at all,2012, De Conde at all 2014).

Keterangan:
1. Sin
1
us

Sphenoid

Gambar 2.5 Sinus Sphenoid ( Botrager’s 2018)


c. Sinus Frontal
Sinus frontal mempunyai variabilitas tinggi dalam
perkembangan, jumlah dan ukuran. Bagian dari sinus ini yang

13
meluas ke meatus medius membentuk yaitu resesus frontalis.
Sekret dari sinus frontal mengalir ke dalam resesus frontalis,
kemudian ke meatus medius. (Lachanas V, 2014, Leung 2014).
Sinus frontal jarang terbentuk sebelum tahun ke dua kehidupan.
Pada saat ini, sinus frontal sangat lambat menginvasi os frontal dan
sinus ini memiliki bentuk serta ukuran yang bervariasi. Dinding
anterior sinus frontal terdiri dua buah tulang dan dinding
posteriornya terdiri dari sebuah lempeng tulang yang kompak.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di
resesus frontal yang berhubungan dengan infudibulum etmoid.
(Farhoods at all 2016, Fokkens at all 2012, Naido at all 2013).

1 1

Keterangan:
1. Sinus Frontal

Gambar 2.6 Sinus Frontal ( Botrager’s 2018)


Fungsi sinus paranasal yaitu sebagai pertahanan tubuh
terhadap kontaminasi sinus dari infeksi akibat paparan dengan
lingkungan luar melalui tiga mekanisme yaitu, terbukanya
kompleks ostiomeatal, transport mukosilia dan produksi mukus
yang normal. (De Conde at all 2014, Juanda 2017).

14
Kompleks ostiomeatal merupakan celah pada dinding lateral
rongga hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina
papirasea. Dibentuk oleh prosesus unsinatus, infundibulum
ethmoid, hiatus semilunaris, bula ethmoid, ager nasi dan resesus
frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat
ventilasi dan drainase dari sinus- sinus yang letaknya di anterior
yaitu sinus maksila, ethmoid anterior, dan frontal. (De Conde at all
2014, Juanda 2017).
Kompleks ostiomeatal merupakan suatu unit yang
menghubungkan antara meatus media dan kelompok sinus bagian
anterior. Jika terjadi deformitas anatomi atau proses penyakit, hal
tersebut akan menyebabkan terjadinya obstruksi ostium sinus,
stasis silia dan infeksi sinus. (Hamilos 2011, Hastan at all2011).
Varian anatomi yang tampak dalam pemeriksaan CT-Scan
SPN ( ) adalah sebagai berikut :

1. Resessus frontal
Menurut (Pranita 2015, Rosenfeld at all 2015, Rudmik at
all 2016) resessus frontal adalah bagian paling anterior dan
superior dari sinus ethmoid yang berhubungan dan merupakan
drainase dari sinus frontal yang dibatasi oleh :
a. Bagian medial oleh bagian vertical konka media.
b. Bagian lateral oleh lamina papirasea.
c. Dinding anterior oleh bagian posterior sel agger nasi.
d. Dinding posterior oleh bagian anterior bulla ethmoid.
Anatomi resessus frontal sangat kompleks dengan
beberapa variasi anatomi yang mengelilingi resessus frontal
yang bisa menyebabkan sumbatan aliran sinus frontal. (Barros at
all,2012, De Conde at all 2014).

15
Kompleksitas variasi anatomi sel-sel di sekitar resesus
frontal dapat berupa sel frontal, sel agger nasi, bulla ethmoid,
perlekatan bagian superior prosesus uncinatus dan konka media
bullosa. Struktur tersebut membentuk dinding dan dasar resessus
frontal. Dinding lateral resessus frontal adalah lamina papirasea,
dinding medial oleh bagian vertical konka media (bagian paling
anterior dan superior), dinding anterior oleh sel agger nasi,
dinding posterior oleh bulla ethmoid. (Pranita 2015, Rosenfeld
at all 2015, Rudmik at all 2016).
Ukuran resessus frontal ditentukan oleh ukuran sel-sel
sekitarnya misalnya jika bulla ethmoid membesar ke anterior
dan sel agger nasi membesar ke posterior maka resessus frontal
akan sangat menyempit dan akibatnya duktus frontonasal
tersumbat. Processus uncinatus adalah tulang tipis yang dapat
melekat pada tiga tempat yaitu pada bagian superior dapat
melekat ke lamina papirasea, dasar tengkorak atau ke concha
media, di bagian inferior dapat melekat ke processus ethmoid
concha inferior dan di bagian lateral dapat melekat ke lamina
papirasea dan area frontanella. Bulla ethmoid adalah bagian
anterior dari air cell ethmod anterior yang melekat ke lamina
papirasea. Perlekatan superior processus uncinatus dalah
struktur anatomi yang terdapat pada resessus frontal. (Pranita
2015, Rosenfeld at all 2015, Rudmik at all 2016).
Sel frontal adalah variasi anatomi pada pneumatisasi
ethmoid anterior yang jarang, sel tersebut menutupi dan
menekan bagian atas resessus frontal dan meluas ke dalam
lumen ostium frontal di atas level sel agger nasi. (Lachanas V,
2014, Leung 2014).
2. Sel agger nasi
Agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari
sel-sel ethmoid. Terletak agak ke anterior dari perlekatan

16
anterosuperior konka media dan anterior dari resessus frontal.
Bila berpneumatisasi akan menonjol pada dinding lateral cavum
nasi. Karena letaknya sangat dekat dengan resessus frontal, sel
ini merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal.
Dengan membuka sel ini akan memberi jalan menuju resessus
frontal. Terlihat pada potongan koronal yang paling anterior.
Selagger nasi ini terdapat lebih dari 90% penderita. (Lachanas
V, 2014, Leung 2014).
3. Bulla ethmoid
Bula ethmoid merupakan sel ethmoid terbesar, terletak
dibelakang prosessus unsinatus dan dipisahkan dengan
prosessus unsinatus oleh hiatus semilunaris, ke lateral dengan
lamina papirasea dan ke posterosuperior dengan sinus lateralis.
Terlihat paling baik pada potongan coronal (Barros at all,2012,
De Conde at all 2014).
Bula ethmoid yang sangat besar dapat menekan
infundibulum ethmoid, sehingga mengganggu drainase dari
ostium sinus maksila ke meatus medius. Penelitian yang
dilakukan oleh Lioyd menemukan variasi ini sebanyak 17 %
namun bila dibandingkan dengan variasi anatomi lainnya
memiliki korelasi yang lebih rendah dalam hubungannya
sebagai penyebab sinusitis. (Barros at all,2012, De Conde at all
2014).
Bula ethmoid merupakan sel ethmoid terbesar, terletak
dibelakang prosessus unsinatus dan dipisahkan dengan
prosessus unsinatus oleh hiatus semilunaris, ke lateral dengan
lamina papirasea dan ke posterosuperior dengan sinus lateralis.
Terlihat paling baik pada potongan coronal (Barros at all,2012,
De Conde at all 2014).
Bula ethmoid yang sangat besar dapat menekan
infundibulum ethmoid, sehingga mengganggu drainase dari

17
ostium sinus maksila ke meatus medius.Penelitian yang
dilakukan oleh Lioyd menemukan variasi ini sebanyak 17 %
namun bila dibandingkan dengan variasi anatomi lainnya
memiliki korelasi yang lebih rendah dalam hubungannya
sebagai penyebab sinusitis. (Barros at all,2012, De Conde at all
2014).
Processus uncinatus merupakan lempeng tulang tipis dan
melengkung yang merupakan perluasan dari tipe posterior os
lakrimalis. Sebagai batas anterior hiatus semilunaris dan
merupakan dinding medial infundibulum ethmoid. Perlekatan
processus uncinatus paling banyak ke lateral yaitu pada lamina
papirasea, tetapi dapat juga ke sentral pada basis cranii dan
dapat ke medial pada concha media. Processus uncinatus
tampak jelas pada potongan coronal. (SImopoulus at all 2012,
Soler at all 2013, Walsh at all 2014).
4. Sel Haller
Sel Haller merupakan sel-sel ethmoid anterior yang
mengalami pneumatisasi pada sebelah medial atap sinus
maksila, di bawah dari lamina papirasea dan lateral dari
prosesus unsinatus. Apabila sel Haller ini besar mengakibatkan
penyempitan infundibulum ethmoid dan menekan ostium dari
atas. Kondisi ini dapat menyebabkan drainase sinus maksila
tidak lancer sehingga dapat menimbulkan sinusitis maksilaris.
(SImopoulus at all 2012, Soler at all 2013, Walsh at all 2014)
menyebutkan sel haller ini dapat ditemukan pada pemeriksaan
CT Scan antara 10-45%.
5. Concha bulosa
Pneumatisasi concha medial disebut concha bulosa, dapat
terjadi unilateral mapun bilateral. Concha bulosa dapat
mengakibatkan penekanan pada prosesus unsinatus sehingga

18
dapat menimbulkan obstruksi pada meatus medius dan hy.
(Abul-Kasim K at all, 2011,Shindy at all 2015).
Penelitian yang dilakukan Stamberger dan Wolf
menemukan keluhan sinusitis. Bila ditemukan dengan variasi
anatomi lain seperti processus unsinatus bengkok ke medial atau
bulla ethmoid yang besar, concha bullosa yang kecil saja sudah
dapat menyebabkan penyempitan yag bermakna pada meatus
medius. (Abul-Kasim K at all, 2011,Shindy at all 2015)
6. Deviasi Septum Nasi
Deviasi septum adalah suatu keadaan dimana septum nasi
berpindah dari garis tengah. Deviasi septum nasi dapat
disebabkan antara lain oleh:
a. Trauma, beberapa kasus dengan deviasi septum nasi
diakibatkan oleh trauma langsung pada hidung dan biasanya
berasosiasi dengan struktural nasal lainnya. Pasien yang
mengalami deviasi septum nasi dengan riwayat trauma
biasanya mengalami nyeri pada hidung.
b. Birth moulding theory (efek kompresi pada hidung selama
masa intrauterine dan selama proses kelahiran).
c. Faktor herediter

1
11

10
2
9
3
8

7 4
6
5

19
Gambar 2.7 Osteomeatal Complex Coronal Sectional

View (Botrager’s 2018)

Keterangan:

1. Nasal Cavities
2. Infundibulum
3. Middle Nasal Meatus
4. Inferior Nasal Meatus
5. Nasal Septum
6. Inferior Nasal Concha
7. Maxillary Sinus
8. Middle Nasal Concha
9. Uncinate Process
10. Ethmoid Bulla
11. Ethmoid Sinus
2.2.3 Patologi Sinus Paranasal
Indikasi pada pemeriksaan CT Scan sinus paranasal sebagai berikut:
1. Sinusitis
Sinusitis terjadi jika penyumbatan menghalangi pembukaan
sinus paranasal sehingga menyebabkan lendir yang menumpuk
pada rongga itu. Penyumbatan ini memungkinkan bakteri dan virus
berkembang biak sehingga menyebabkan infeksi dan peradangan.
Gejala sinusitis termasuk keluarnya cairan hidung, nyeri atau
tekanan pada wajah, demam, dan berkurangnya fungsi indra
penciuman (Khasnavis, 2018).
Karena hubungan erat antara hidung dan sinus paranasal,
infeksi mukosa nasal (rinitis) dapat menyebar melalui mukosa ke
sinus paranasal dan menyebabkan sinusitis. Obstruksi saluran
drainase sekunder akibat pembengkakan mukosa membuat sinus
menjadi tempat berkembangnya bakteri. Penyebab sinusitis lainnya
meliputi: pembengkakan concha, polip, tumor, dan deviasi septum.
Sinusitis paling sering terjadi pada Sinus maksilaris, diikuti oleh
sinus ethmoid dan sinus frontalis. Sinusitis yang paling jarang
terjadi adalah infeksi pada sinus sphenoid. Sinusitis dapat terbagi

20
menjadi tiga yaitu sinusitis akut (<1 bulan), sinusitis subakut (1-3
bulan) dan sinusitis kronis (> 3 bulan) (Widya & Plas, 2016).
Berdasarkan berapa lama gejala berakhir, sinusitis
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Sinusitis Akut
Sinusitis akut adalah peradangan sinus yang berlangsung
kurang dari 4 minggu. Dalam sebagian besar kasus, penyebabnya
adalah infeksi virus saluran pernapasan atas seperti flu biasa.
Sedangkan bakteri sinusitis terjadi berkisar antara 0,5-2% pada
kasus sinusitis, organisme yang paling umum adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella, Staph, aureus,
dan anaerob. Penyebab antara lainnya adalah jamur, alergi, atau
reaksi autoimun. Sebagian besar jamur bersifat aspergillus,
cenderung terjadi pada orang yang sedang mengalami penurunan
kekebalan imun.
b. Sinusitis (Rhinosinusitis)
Rhinosinusitis adalah infeksi pada sinus yang berlangsung
setidaknya 12 minggu. Alergi dan asma adalah dua kondisi yang
paling sering terlihat pada pasien dengan sinusitis kronis. Risiko
sinusitis lebih tinggi dengan asma yang parah. Orang dengan
kombinasi polip dihidung berisiko sangat tinggi untuk sinusitis
kronis. Faktor risiko lain adalah berenang, merokok, dan polusi
udara.
2.2.4 Computed Tomography Scan (CT-Scan)
CT-Scan adalah alat tomogram yang dikendalikan dengan
komputer. Pada CT-Scan, komputer digunakan untuk mengganti
peranan film-kaset dan peranan kamar gelap dengan cairan cairan
developer dan fiksirnya. Konstruksi pesawat pertama dibuat dan
dipublikasikan oleh Hounsfield, yang kemudian dianugerahi Nobel.
(Kartoleksono, 2005; Lange et al, 1996).

21
Pada CT-Scan, sinar X dengan kolimator sempit mengiris tubuh
secara transversal dengan arah tangensial. Gambaran intensitas sinar
dicatat oleh detektor di belakangnya. Irisan linier tersebut diulang
dengan berbagai sudut, irisan yang mengenai seluruh tubuh disebut
(spatial distribution) dapat dikalkulasi dan rekaman grafik serta data
diolah oleh komputer menjadi matrix grey scale yang bervariasi (nilai
attenuasi bermacam-macam) yang digambarkan dalam monitor video.
CT-Scan mampu menampilkan perbedaan resolusi kontras dari
masing-masing bagian tubuh yang diiris baik normal maupun obesitas,
CT Scan mampu membedakan struktur jaringan lunak hanya dengan
perbedaan densitas yang kecil saja. (Hamdy et al, 2006).
Informasi CT Scan bergantung pada jumlah foton yang dicatat
oleh detector. Informasi tersebut dipindahkan melalui jumlah elemen
gambar (spatial resolution) dan nilai densitas yang jelas. Karena
jumlah foton dibatasi oleh dosis radiasi yang dieksposkan ke pasien,
peningkatan resolusi densitas sesuai dengan spatial resolution yang
rendah atau sebaliknya peningkatan spatial resolution sesuai
penurunan resolusi densitas. Densitas sesuai objek diukur dalam
Hounsfield unit (HU) yaitu koefisien absorbsi linier dan berhubungan
dengan nilai attenuasi X-ray jaringan terhadap air. Hounsfield unit
berkisar dari nilai -1000 (udara), 0 (air), dan +1000 (tulang). (Lange et
al, 1996; Hofer 2005).
Komponen CT-Scan (Bontrager, 2018) Sistem CT-Scan terdiri
dari 3 komponen utama, gantry, komputer, dan konsol operator.
Sistem ini menggunakan perangkat komputerisasi yang sangat tinggi
dan pencitraan yang kompleks.
1. Gantry
Gantry terdiri dari tabung sinar-X, array detector dan
kolimator. Tergantung pada spesifikasi teknis unit, gantry biasanya
dapat miring 30° condong ke arah depan dan belakang, sesuai
kebutuhan pemeriksaan CT-Scan yang akan dilakukan. Bagian

22
tengah dari gantry disebut aperture, yang secara elektronik terkait
dengan gerakan gantry atau terkontrol selama scanning. Bagian
tubuh pasien yang akan di scanning diletakkan pada aperture.
a. Tabung Sinar-X
Konstruksi dan sistem operasi tabung sinar-X pada CT-
Scan mirip dengan tabung sinar-X pada radiografi umum.
Namun, modifikasi desain sering diperlukan untuk memastikan
bahwa tabung mampu menahan tambahan kapasitas panas
karena lamanya waktu penyinaran.
b. Detector Array
Adalah komponen padat dan terdiri dari fotodioda
ditambah dengan bahan kristal scintilasi (kadmium tungstate
atau kristal keramik oxide). Detektor padat mengubah energi
transmisi sinar-X yang berupa cahaya, menjadi energi listrik
yang kemudian diubah menjadi sinyal digital. Bahan
detectorarray akan mempengaruhi dosis yang diterima pasien
dan efisiensi unit CT-Scan.
c. Perangkat Kolimator
Collimation pada CT-Scan sangat penting karena
mengurangi dosis pasien dan meningkatkan kualitas gambar.
Generasi sekarang CT-Scan umumnya menggunakan satu
colimator-prepatient (pada tabung sinar-X), yang membentuk
dan membatasi sinar. Ketebalan irisan ditentukan oleh ukuran
baris detektor yang digunakan.
d. Meja Pemeriksaan (couch)
Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk memposisikan
pasien.Meja ini biasanya terbuat dari fiber karbon. Dengan
adanya bahan ini maka sinar-X yang menembus pasien tidak
terhalangi jalannya untuk menuju ke detector. Meja ini harus
kuat dan kokoh, mengingat fungsinya untuk menopang tubuh
pasien selama meja bergerak ke dalam gantry.

23
2. Komputer
Komputer pada CT-Scan membutuhkan dua tipe software
yang sangat canggih, satu untuk sistem operasi dan satunya untuk
aplikasi. Sistem operasi mengelola perangkat keras, sedangkan
aplikasi mengelola preprocessing, rekonstruksi citra, dan berbagai
macam operasi pasca pengolahan.
3. Konsol Operator
Komponen yang ada pada konsol operator meliputi keyboard,
mouse, dan monitor tunggal atau ganda tergantung pada sistem.
Konsol operator memungkinkan operator untuk mengontrol
parameter pemeriksaan/protokol, dan memanipulasi gambar yang
dihasilkan. Protokol yang ditentukan sebelumnya proses scanning
pada setiap prosedur meliputi faktor eksposi (kV dan mAs), Pitch,
FOV, slice thickness, tabel indeks, rekonstruksi algoritma dan
tampilan window. Parameter ini dapat dimodifikasi oleh operator
berdasarkan kondisi dan riwayat klinis pasien.
2.2.5 Parameter CT-Scan
CT-Scan dibagi menjadi beberapa parameter diantaranya
sebagai berikut:
1. Slice Thickness
Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari
obyek yang diperiksa. Nilainya dapat dipilh antara 1 mm-10 mm
sesuai dengan keperluan klinis. Ukuran yang tebal akan
menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah sebaliknya
ukuran yang tipis akan menghasilkan detail yang tinggi. Jika
ketebalan meninggi maka akan timbul artefak (Bushong S.C.,
2017). Dengan nilai slice thickness yang semakin tebal maka
ukuran voxel akan semakin besar sehingga kontras resolusi yang
dihasilkan akan meningkat, sedangkan spatial resolusi dan noise
akan menurun. Sebaliknya jika slice thickness semakin tipis maka
ukuran voxel akan semakin kecil sehingga kontras resolusi yang

24
dihasilkan akan menurun, sedangkan spatial resolusi dan noise
akan meningkat (Bushong, 2013).
2. Pitch
Pitch adalah jangka waktu yang berhubungan dengan suatu
kecepatan dan jarak. Pada CT-Scan helical, Pitch di definisikan
sebagai jarak (mm) pergerakan meja CT-Scan selama satu putaran
tabung sinar-X.Pitch dihitung untuk menghitung pitch rasio, yang
mana merupakan suatu rasio pada Pitch untuk slice thickness/beam
collimation (Bushong S.C., 2017).
3. Faktor Eksposi
Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap eksposi meliputi tegangan tabung (KV), arus tabung (mA)
dan waktu eksposi (s).Besarnya tegangan tabung dapat dipilih
secara otomatis pada tiap-tiap pemeriksaan (Bushong S.C., 2017).
4. Field Of View (FOV)
FOV adalah diameter maksimal dari gambaran yang akan
direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada
rentang 12-50 cm. FOV yang kecil akan meningkatkan resolusi
karena FOV yang kecil mampu mereduksi ukuran pixel, sehingga
dalam rekonstruksi matriks hasilnya lebih teliti. Namun bila ukuran
FOV lebih kecil maka area yang mungkin dibutuhkan untuk
keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi (Bushong S.C.,
2017).
5. Rekonstruksi Matriks
Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari
picture element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar.
Rekonstruksi matriks ini merupakan salah satu struktur elemen
dalam memori komputer yang berfungsi umtuk merekonstruksi
gambar. Pada umumnya matriks yang digunakan berukuran 512 x
512 yaitu 512 baris dan 512 kolom. Rekonstruksi matriks
berpengaruh terhadap resolusi gambar. Semakin tinggi matriks

25
yang dipakai maka semakin tinggi resolusinya (Bushong S.C.,
2017).
6. Rekonstruksi Algoritma
Rekonstruksi algoritma adalah prosedur metematis yang
digunakan dalam merekonstruksi gambar. Penampakan dan
karakteristik dari gambar CT-Scan tergantung pada kuatnya
algorithma yang dipilih. Semakin tinggi resolusi algorithma yang
dipilih maka semakin tinggi resolusi gambar yang akan dihasilkan.
Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti tulang, soft
tissue, dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas
pada layar monitor (Bushong S.C., 2017).
7. Window Width
Window width adalah rentang nilai computed tomography
yang dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam TV
monitor. Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar
melalui rekonstruksi matriks dan algorithma maka hasilnya akan
dikonversi menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama CT
Number. Nilai ini mempunyai satuan HU (Hounsfield Unit).Dasar
pemberian nilai ini adalah tulang mempunyai nilai +1000 HU
kadang sampai +3000 HU. Sedangkan untuk kondisi udara nilai ini
adalah -1000 HU. Diantara rentang tersebut merupakan jaringan
atau substansi lain dengan nilai berbeda-beda pula tergantung pada
tingkat perlemahannya. Dengan demikian penampakan tulang
dalam monitor menjadi putih dan penampakan udara hitam.
Jaringan dan substansi lain akan dikonversi menjadi warna abu-abu
yang bertingkat yang disebut Gray Scale. Khusus untuk darah yang
semula dalam penampakannya berwarna abu-abu dapat menjadi
putih jika diberi media kontras Iodine (Bushong S.C., 2017).
8. Window Level
Window level adalah nilai tengah dari window yang
digunakan untuk penampilan gambar. Nilainya dapat dipilih dan

26
tergantung pada karakteristik perlemahan dari struktur obyek yang
diperiksa. Window level menentukan densitas gambar yang akan
dihasilkan (Bushong S.C., 2017).
9. Gantry Tilt
Gantry tilt adalah sudut yang dibentuk antara bidang vertikal
dengan gantry (tabung sinar-X dan detektor). Rentang penyudutan
antara-30 sampai +30 derajat. Penyudutan gantry bertujuan untuk
keperluan diagnosa dari masing-masing kasus yang dihadapi.
Disamping itu bertujuan untuk mengurangi dosis radiasi terhadap
organ-organ yang sensitif (Bushong S.C., 2017).
2.2. Teknik Pemeriksaan CT-Scan
Menurut (M M. Devareddy dan Shilpa D. 2019). teknik pemeriksaan
CT-Scan kepala secara singkat adalah sebagai berikut:

1 Posisi pasien : Terlentang untuk bagian aksial atau


tengkurap dengan leher diperpanjang
untuk bagian koronal.

2 Posisi objek : Sejajar dengan langit-langit keras untuk


bagian aksial dan tegak lurus untuk langit-
langit keras untuk bagian koronal.

3 Area scanning : Skull base sampai dengan vertex

4 Tipe scanning : Axial


5 Cakupan objek : Coronal margin posterior sinus sphenoid
ke anterior, batas sinus frontalis dan aksial
langit-langit keras ke margin atas dari
sinus frontalis.
6 Exposure : 120 kvp, 130 mas, 1,5 detik waktu
pemindaian..
7 Bone Window : Window width= 4000 HU Window level =
500HU, Soft tissue window: Window
width =90 HU Window level = 40HU.

27
8 FOV : 22 cm
9 Scan slice : Slice thickness 5 mm untuk bagian koronal
thickness dan aksial. 3 mm diambil pada osteomeatal
dengan bagian koronal.

Menurut Lampignano dan Kendrick (2018), teknik pemeriksaan CT-


Scan kepala secara keseluruhan hampir sama, hanya terdapat persiapan
pasien seperti melepas benda-benda logam di sekitar kepala (anting-anting,
penjepit rambut, dll) dan gigi palsu dengan tujuan agar tidak menimbul
artefak pada hasil scan. Selain itu untuk memastikan bahwa kepala tidak
rotasi dan miring, disebutkan bahwa dilihat dari Midsagital Plane (MSP)
pasien yang sudah tegak lurus dengan lantai. Sedangkan untuk memastikan
tidak adanya rotasi dengan cara dilihat dari kedua sisi kepala kanan dan kiri
yang saling simetris. Apabila keadaan pasien gelisah, sebaiknya diberikan
sedasi agar pemeriksaan dapat berlangsung dengan baik. Sedasi adalah
penggunaan obat anastesi untung menghasilkan penurunan tingkat
kesadaran, sehingga menimbulkan rasa mengantuk dan menghasilkan rasa
cemas tanpa kehilangan komunikasi lisan.

28
2.3. Kerangka Teori
Berikut adalah kerangka teori yang diambil dalam penilitian ini
berdasarkan berbagai sumber :

Anatomi

Varian anatomi yang tampak pada


pemeriksaan CT-Scan SPN

Resesus Sel Bulla Sel Concha Defiasi


Frontal angger
etmoid haller bolusa septum
nasi

Patologi SPN

Modalitas CT-Scan dan Teknik Pemeriksaan CT-Scan


SPN

Gambar 2.8 kerangka teori

29
2.4. Pertanyaan Penilitian
Pertanyaan penelitian dalam Karya Tulis Ilmiah ini adalah :
2.6.1. Bagaimana peranan CT-Scan SPN dalam mendiagnosa kelainan yang
terjadi menurut Regina Chinwe Onwuchekwa, Nengi Alazigha (2016),
Mallikarjun M. Devareddy, Shilpa Devakar (2019), Dr.Humsene
Kamathum, (dkk) (2020) ?
2.6.2. Apa kelebihan dan kekurangan dari ketiga kajian teori yang digunakan
dalam Karya Tulis Ilmiah ini ?
2.6.3. Apa persamaan dan perbedaan dari ketiga kajian teori yang digunakan
dalam Karya Tulis Ilmiah ini?

30
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian Karya Tulis Ilmiah studi literatur ini dibagi
menjadi dua bagian, yaitu :
3.1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan
Karya Tulis Ilmiah ini menggunakan penelitian kualitatif metode studi
literatur atau studi pustaka (library research).
3.1.2 Waktu penelitian
Waktu penelitian Karya Tulis Ilmiah studi literaur ini
dilaksanakan pada bulan September 2020 – Agustus 2021.
3.2. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penulisan ini berasal dari penulisan yang
sudah dilakukan dan diterbitkan dalam jurnal online internasional. Dalam
melakukan penulisan ini, penulis melakukan pencarian jurnal yang
dipublikasikan di internet menggunakan Google Scholar. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode
pengambilan data studi literatur. Penulisan dengan studi literatur adalah
penulisan yang persiapannya sama dengan penulisan lainnya akan tetapi
sumber dan pengumpulan data dengan mengambil data di pustaka,
membaca, mencatat dan mengolah bahan penulisan. Ada beberapa Literatur
yang di dapatkan penulis tetapi penulis hanya mengambil 3 jurnal yang
sesuai dengan tema yang diambil oleh penulis. Dalam penelitian kriteria
jurnal yang ditentukan penulis adalah sebagai berikut : jurnal yang sudah
terakreditasi, sesuai dengan tema penulis dan tahun terbit 10 tahun terakhir,
dan jika tidak sesuai dengan ketentuan kriteria penulis inginkan maka jurnal
tersebut tidak digunakan.

31
Literature Riview ini dimulai dengan materi atau jurnal hasil
penulisan yang secara sekuensi diperhatikan dari yang paling relevan, dan
cukup relevan. Kemudian membaca jurnal atau abstrak setiap jurnal terlebih
dahulu untuk memberikan penilaian apakah permasalahan yang dibahas
sesuai dengan yang hendak dipecahkan sesuai dengan tema yang diangkat.
Mencatat poin-poin penting dan relevansinya dengan permasalahan
penelitian.
Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam mengumpulkan data
yaitu sebagai berikut :
3.2.1 Kriteria kelayakan
Kriteria kelayakan Literatur yang digunakan ditentukan dengan
kriteria inklusi di mana:
a. Jumlah literatur yang digunakan 3 jurnal , sumber literatur
menggunakan jurnal untuk bab II dan sebagai acuan dalam
pembahasan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga
jurnal.
b. Literature dan jurnal dengan ketentuan tahun terbit 10 tahun
terakhir. Jurnal yang digunakan diterbitkan pada tahun 2016, 2019,
dan 2020.
c. Literatur dari jurnal merupakan riset asli yang telah dikaji dan
dituliskan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dari situs
journal yang sudah terakreditasi minimal skala nasional.
3.2.2 Sumber Informasi
Sumber informasi yang digunakan bisa dari jurnal. Dalam
penelitian ini penulis melakukan pencarian jurnal melalui data base
online yaitu google scholar. Google scholar merupakan situs Literatur
ilmiah. Dari google scholar penulis menemukan 3 jurnal yang sesuai
dengan tema yang akan diangkat.
3.2.3 Pemilihan Literatur
Literatur yang digunakan penulis dalam penelitian ini
menggunakan jurnal yang sudah di publikasikan dan sudah

32
terakreditasi minimal skala nasional dan jurnal yang digunkan
minimal 10 tahun terakhir.

3.2.4 Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan secara manual dengan formulir
ekstrasi sesuai dengan isi jurnal yang digunakan dalam penelitian. Isi
dari formulir ekstrasi meliputi: tipe artikel, nama peneliti, tahun terbit
jurnal, judul, negara, tujuan penelitian, kata kunci, metodologi
penelitian dan hasil penlitian atau temuan. (Formulir ekstrasi terdapat
pada Lampiran).
3.3. Alur penelitian
Dalam penelitian Karya Tulis Ilmiah ini penulis mencari sumber atau
bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian yang sesuai dengan tema
yang diangkat yaitu peranan CT-Scan SPN dalam mendiagnosa kelainan.
Pencarian sumber melalui database online yang sudah terakreditasi. Setelah
mencari sumber yang akan digunakan dalam penelitian, penulis akan
membuat statement atau rumusan masalah yang sesuai topik yaitu
“Bagaimana peranan CT-Scan SPN dalam mendiagnosa kelainan yang
terjadi menurut Regina Chinwe Onwuchekwa, Nengi Alazigha (2016),
Mallikarjun M. Devareddy, Shilpa Devakar (2019), Dr.Humsene
Kamathum, (dkk) (2020) ?”.

33
Berikut dapat dilihat pada penjelasan gambar bagan 3.1 alur penelitian.

Rumusan Masalah :
Bagaimana peranan CT-Scan SPN dalam mendiagnosa kelainan
yang terjadi menurut Regina Chinwe Onwuchekwa, Nengi
Alazigha (2016), Mallikarjun M. Devareddy, Shilpa Devakar
(2019), Dr.Humsene Kamathum, (dkk) (2020) ?

Melakukan Kajian Terhadap Pustaka Google Scholer

Reduksi Berdasarkan Kelayakan

Reduksi Berdasarkan Kriteria Inklusi

Reduksi Berdasarkan Kesamaan, Perbedaan Dan


Metode Yang Digunakan

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Gambar Bagan 3.1 Alur Penelitian

34
Peranan CT-Scan SPN Dalam Mendiagnosa
3.4. Pengolahan dan Analisis DataKelainan
Penulis mengumpulkan data dengan cara melakukan kajian terhadap
beberapa pustaka yang sesuai dengan topik. Hasil data dari reduksi
berdasarkan kriteria tertentu yang sudah terkumpul kemudian dilakukan
Regina Chinwe Onwuchekwa, M. Devareddy,
Nengi Alazigha,pengolahan
Computeddan analisaDevakar,
dengan melalui Shilpa Dr.Humsene
beberapa tahapan Kamathum
sebagai berikut : (dkk),
Evaluation of Retrospective Study of CT
tomography anatomy of the Review
1. Literature Anatomical Variations in Nose Evaluation of Paranasal
paranasal sinuses and and Paranasal Sinuses by
Penelitian ini menggunakan beberapa jurnal Sinuses
anatomical variants of clinical dengan Pathologies
berbagai in
using Multidetector Computed Bhaskar Medical Collage and
relevants in Nigerian adultsmetode,
macam 30 tujuan dan hasil. Sehingga
Tomography (2019). tidak dapat dihindari terdapat
Hospital (2020).
November 2016.
beberapa metode maupun tujuan yang dinyatakan secara berulang
sehingga diperoleh data sangat kompleks dan belum sistematis, maka
peneliti perlu melakukan literature review yang sesuai dengan tema yang
akan diangkat. Merangkum data merupakan bentuk analisis untuk
mempertajam, memilih, memfokuskan, membuang dan menyusun data
ke arah pengambilan kesimpulan.
2. Penyajian Data
Data disajikan dalam bentuk tulisan berupa tabulasi maupun
ringkasan jurnal. Tujuan penyajian data yaitu untuk menggabungkan
informasi yang telah dikutip dari jurnal. Pada langkah ini peneliti
berusaha menyusun data yang relevan sehingga menjadi informasi yang
dapat disimpulkan dan dapat memiliki makna.

35
BAB IV
HASI PENELITIAN

4.1. Seleksi Artikel


Jurnal yang digunakan pada penelitian studi literatur ini yaitu
berjumlah tiga jurnal yang berjudul peranan CT-Scan SPN dalam
mendiagnosa kelainan. Literatur ini didapatkan dari situs yang sudah
terakreditasi yaitu google scholar. Jurnal-jurnal tersebut direduksi dengan
menggunakan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dapat dibagi
menjadi dua macam. Kriteria pertama adalah kelengkapan artikel dan
bahasa. Artikel ilmiah atau jurnal yang dipilih adalah artikel yang
diterbitkan dalam bahasa inggris atau bahasa Indonesia. Kelengkapan jurnal
dianggap utuh jika memuat judul, nama pengarang, penerbit, abstrak, serta
terdapat isi artikel yang lengkap hingga daftar pustaka. Kriteria kedua
adalah relevensi artikel yang dipilih adalah artikel yang membahas tentang
peranan CT-Scan dalam mendiagnosis kelainan SPN. Terkait kelayakan
literatur penulis menggunakan jurnal yang dipublikasikan dalam 10 tahun
terakhir yaitu 2016, 2019, dan 2020.
4.2. Pemaparan Jurnal

Pemaparan dari jurnal yang digunakan dalam penelitian ini adalah


sebagai berikut:
4.2.1. Pemaparan jurnal pertama
Jurnal Regina Chinwe Onwuchekwa, Nengi Alazigha (2016)
“Computed Tomography Anatomy Of The Paranasal Sinuses And
Anatomical Variants Of Clinical Relevants In Nigerian Adults”.
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan anatomi sinus
paranasal yang digambarkan oleh computed tomografi dan untuk
menggambarkan varian yang tidak hanya menjadi predisposisi

36
sinusitis kronik tetapi dapat menyebabkan komplikasi pada operasi
sinonasal endoskopik.
2. Pendahuluan
Sinus paranasal adalah sekelompok ruang berisi udara yang
mengelilingi rongga hidung, yang mulai berkembang dari koana
primitif pada usia kehamilan 25-28 minggu. Tiga tonjolan muncul
dari dinding lateral hidung dan berfungsi sebagai awal
perkembangan sinus paranasal. Proyeksi anterior membentuk
Agger nasi, proyeksi inferior atau maxiloturbinate membentuk
turbinat inferior dan sinus maksilaris, sedangkan proyeksi superior
atau ethmoidoturbinate membentuk sel udara ethmoidal dan
saluran drainase yang sesuai. Sinus mencapai ukuran dewasa pada
usia remaja. Evaluasi radiologis sinus paranasal sangat penting
dalam menggambarkan lokasi dan luasnya penyakit sinonasal dan
dalam merencanakan intervensi bedah. Radiografi polos, computed
tomography dan magnetic resonance imaging diterapkan dalam
mengevaluasi sinus.
Radiografi sinus paranasal standar dapat dengan mudah
menunjukkan penyakit sinus maksilaris atau frontal tetapi tidak
sepenuhnya menggambarkan sinus ethmoid karena tumpang tindih
struktur. Peran pencitraan resonansi magnetik terbatas tetapi dapat
memberikan informasi tentang infeksi jamur sinus paranasal dan
membedakan mukosa yang menebal dari retensi cairan. Computed
tomography dianggap sebagai metode pilihan dalam
menggambarkan sepenuhnya anatomi normal dan anatomi varian
dari sinus paranasal dan sangat berguna dalam perencanaan pra-
operasi dan tindak lanjut pasca operasi dalam kasus
intervensindonasal. Perkembangan sinus paranasal terutama labirin
ethmoid dikaitkan dengan variasi anatomi. Beberapa di antaranya
adalah umum sementara yang lain jarang. Pengenalan varian ini
penting bagi ahli rinologi dan radiologi. Kedekatan sel-sel sesekali

37
ini ke jalur drainase utama sinus paranasal dapat mengurangi
pembersihan mukosiliar, sehingga menjadi predisposisi proses
inflamasi dan menyebabkan komplikasi bedah endoskopik
endonasal.
3. Metode Penelitian
Regina Chinwe Onwuchekwa, Nengi Alazigha secara
retrospektif mencari database radiologi untuk semua kasus
pemindaian tomografi terkomputasi dari sinus paranasal yang
diperoleh di departemen Radiologi institusi kesehatan selama
periode tiga tahun (Maret 2011 hingga Februari 2014). Para pasien
dirujuk untuk CT-Scan karena gejala klinis merujuk ke daerah
sinonasal. Sebanyak 365 studi CT-Scan berturut-turut dari sinus
paranasal, diidentifikasi pasien dengan trauma wajah, patologi
sinus paranasal positif, tumor kepala dan leher dan operasi
sebelumnya dikeluarkan. Dari 365 studi CT-Scan, 255 pasien
dikeluarkan, sehinnga total pasien menjadi 110 peserta, terdiri dari
62 laki-laki dan 48 perempuan dengan rentang usia antara 18 tahun
dan 82 tahun.
a. Teknik Pemeriksaan CT-Scan

1) Merek CT-Scan : GE Hispeed-NX/I Base-2002


Dual Slice Helical Computed
tomography
2) Posisi pasien :
Untuk potongan coronal pasien
tengkurap dengan kepala
hiperekstensi di sofa pemindai,
sedadangkan untuk potongan
axial pasien diposisikan dalam
posisi terlentang.
2) Irisan dan : Coronal dan axial, bagian koronal
ketebalan irisan adalah 5 mm dengan indeks tabel

38
4 mm, bagian aksial adalah 3 mm
yang diambil setiap interval 3
mm.
3) Faktor Eksposi :
KVP adalah 125, mAs adalah 450
dan waktu pemindaian adalah 5
detik.
4) Area Scenogram : Untuk coronal Potongan diambil
untuk potongan dari sinus frontal anterior ke sinus
coronal dan axial sphenoid posterior, dan untuk
axial potongan diambil dari
palatum durum sampai ke atap
sinus frontalis.
5) Angulasi gantry :
Gantry tegak lurus terhadap
garis infraorbitomeatal (IOML).

b. Anatomi sinus paranasal


1) Sinus maksilaris
Sinus maksilaris berbentuk piramida dengan puncak di
prosesus zigomatikus tulang rahang atas dan dasar di dinding
lateral hidung. Di belakang dinding posterior terdapat fossa
infratemporal dan pterygopalatine. Atap sinus adalah lantai
orbit. Dasar sinus adalah bagian alveolus dari maksila.
Ukuran sinus dewasa bervariasi. Beberapa besar dan meluas
ke prosesus zigomatikus rahang atas dan ke dalam prosesus
alveolaris sehingga akar gigi molar dan premolar terletak
tepat di bawah lantai atau menonjol ke dalamnya.

39
Gambar 4.1 CT-Scan koronal menunjukkan kompleks
osteomeatal dan rongga hidung. (1) Sinus maksilaris, (2)
ostium maksila, (3) infundibulum, (4) bulla ethmoidalis,
(5) turbinat hidung tengah, (6) prosesus uncinated, (7)
turbinat hidung inferior, (8) hiatus semilunaris, ( 9)
septum hidung.
2) Sinus ethmoid
Tulang ethmoid adalah struktur kompleks halus yang
terdiri dari empat bagian: lamina horizontal yang disebut
pelat cribriform, pelat tegak lurus, dan dua massa lateral yang
disebut labirin. Dinding lateral labirin membentuk dinding
medial orbit dan ini disebut lamina papyracea itu adalah
tulang setipis kertas. Setiap labirin ethmoidal terdiri dari
beberapa sel udara berdinding tipis, sangat bervariasi diatur
dalam tiga kelompok, cluster anterior, tengah dan posterior.
Sel-sel ethmoid anterior dan tengah hanya terbuka pada
aperture atau ostianya yang mengalir melalui infundibulum
ke meatus media di dinding lateral rongga hidung. Di bagian
belakang labirin, dinding sel udara ethmoidalis posterior
dilengkapi dengan fusi proses orbital tulang palatine dan
tulang sphenoid. Ostia sel udara posterior bermuara ke
meatus superior. Konka hidung superior dan tengah menonjol
dari dinding medial sinus ethmoid.
3) Sinus sphenoid

40
Dua sinus sphenoid menempati tulang sphenoid.
Septum adalah tulang tipis yang hampir tidak berada di
tengah. Aspek posterior sinus sphenoid mungkin bersepta.
Sinus sphenoid dikenal sebagai rongga tubuh manusia yang
paling bervariasi, yang membuatnya sulit untuk mendekati
dan menilai sinus.4Sinus dikelilingi oleh struktur vital seperti
arteri karotis interna (ICA), saraf optik (ON), dan kanal
vidian (VC). Ukuran sinus bervariasi tergantung pada tingkat
pneumatisasi. Ostium berada di dinding anterior dan ini lebih
baik ditunjukkan pada gambar CT aksial. Setiap ostium
bermuara ke resesus sphenoethmoidalis di belakang concha
superior yang merupakan drainase umum untuk sinus
sphenoid dan sel-sel ethmoid posterior.

Gambar 4.2 CT-Scan aksial menunjukkan sinus sphenoid dan


reses sphenoethmoidal (2), labirin ethmoidal (1).
4) Sinus frontal
Terletak di ruang diploe antara tabel luar dan dalam
tulang frontal. Kedua sinus biasanya tidak sama dalam
ukuran dan luas dan dipisahkan oleh septum tulang di garis
tengah. Kadang-kadang, salah satunya berukuran sangat kecil
atau mungkin tidak ada. Sinus mengalir melalui resesus
frontal yang merupakan struktur berbentuk jam pasir dan

41
biasanya mengalir ke meatus media pada 62% atau ke
infundibulum ethmoid pada 38%.

2 4

Gambar 4.3 CT-Scan potongan sagital dari sinus paranasal


(1)sinus frontal, (2) sinus ethmoidal, (3) resesus frontal, (4)
dan sinus sphenoidal (bintang).
4. Hasil Penelitian
Dari 110 peserta yang termasuk dalam penelitian, ada 229
varian anatomi yang tercatat (Tabel 4.1). Varian anatomi yang
paling umum adalah pneumatisasi turbinat hidung tengah 32,73%,
sel agger nasi 23,64%, sel Haller 20,91%, deviasi septum 20,18%
dan septasi sinus sphenoid (18%).
Tabel 4.1 Variasi anatomi tulang dan frekuensinya.

Varian Number of patients (%)


Frontal sinus
Extended 1(0.91%)
Hypoplastic 4(3.64%)
Maxillary sinuses
Septation 7(6.36)
Hypoplasia 1(0.91)
Extended 3(2.73)
Sphenoid sinuse
Septation 20(18.18)
Extensions 12(10.91)
Anterior clinoid pneumatisation 7(6.36)
Onodi cells 8(7.27)
Ethmoid sinuse
Supra orbital cells 7(6.36)
Frontal cells 14(12.73)
Agger nasi 26(23.64)
Haller’s cells 23(20.91)

42
Turbinates
Superior turbinate pneumatisation 7(6.36)
Agenesis of both nasal turbinates 1(0.91)
Middle turbinate pneumatisation 36(32.73)
Inferior turbinate pneumatisation 1(0.91)
Hypoplastic inferior turbinate 16(14.55)
Paradoxical middle turbinate 2(1.82)
Fusion of septum and inferior turbinate 1(0.91)
Nasal septum

Deviation of nasal septum 23(20.91)


Crista galli/septal pneumatization 9(8.18)

5. Kesimpulan
Computed tomography adalah standar emas dalam
pemeriksaan radiologis sinus paranasal, baik untuk diagnosis lesi
sinonasal atau penilaian sebelum dan sesudah pembedahan.
Kemampuannya dalam menggambarkan varian anatomi pada sinus
paranasal melindungi terhadap cedera iatrogenik pada struktur
penting di sekitar sinus paranasal dan penyakit berulang dari sel
ekstramural. Computed tomography berperan penting pada
pemeriksaan sinus paranasal untuk potongan aksial, koronal dan
sagital.
4.2.2. Pemaparan jurnal kedua
Mallikarjun M. Devareddy, Shilpa Devakar “Evaluation of
Anatomical Variations in Nose and Paranasal Sinuses by using
Multidetector Computed Tomography”.
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengkaji variasi
anatomi sinus paranasal dan hubungannya dengan Patologi sinus
paranasal..
2. Pendahuluan
Sinus paranasal (SPN) adalah udara yang mengandung ruang
di tengkorak. SPN ini meringankan tengkorak, melembabkan
udara dan memberikan resonansi suara. Sinus paranasal adalah
sinus maksilaris, ethmoid, frontal, dan sphenoid. Pengetahuan yang

43
tepat tentang anatomi sinus paranasal sangat penting untuk klinis.
Dengan munculnya Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)
dan pencitraan Computed Tomography (CT), perhatian besar telah
diberikan pada anatomi daerah paranasal. Berbagai modalitas
pencitraan tersedia untuk evaluasi sinus paranasal. Radiografi
konvensional memberikan informasi yang berguna pada penyakit
sinus maksilaris dan frontal tetapi memiliki peran terbatas dalam
evaluasi rongga hidung, sinus ethmoid dan sinus sphenoid.
Radiografi konvensional tidak menggambarkan kompleks
osteomeatal. Computed tomography multi-detektor memberikan
rincian tulang, jaringan lunak dan udara di sinus paranasal dan
penggambaran anatomi yang akurat, varian anatomi dan tingkat
patologi di dalam dan sekitar sinus paranasal. Penggambaran yang
akurat dari lokasi anatomi dan penyakit di sinus paranasal
disediakan oleh bagian aksial, pemindaian koronal langsung dan
rekonstruksi sagital.
Penyakit radang sinus paranasal merupakan masalah
kesehatan yang sering dijumpai. Secara tradisional, modalitas
pilihan dalam evaluasi patologi sinus adalah radiografi polos.
Penekanan klinis dan radiografik diberikan terutama untuk sinus
frontal dan maksilaris. Belakangan ini, terbukti bahwa sinusitis
terutama merupakan diagnosis klinis. Pencitraan dilakukan untuk
mendokumentasikan luasnya penyakit dan untuk memberikan
gambaran anatomi sistem sinonasal yang akurat. Pencitraan
menyediakan peta jalan untuk memandu prosedur fess. Saat ini,
computed tomography (CT) adalah modalitas pilihan untuk
evaluasi pencitraan morfologi. Sebagian besar pasien dengan
penyakit inflamasi sinonasal awalnya diobati secara medis tetapi
seringkali penyakitnya tidak sembuh. Pasien dengan penyakit
persisten memerlukan intervensi bedah. Perawatan bedah untuk
penyakit sinus inflamasi refrakter telah mengalami perubahan

44
signifikan dalam dua dekade terakhir. Kemajuan ini disebabkan
oleh peningkatan pemahaman tentang jalur pembersihan mukosiliar
di rongga hidung dan PNS, peningkatan endoskopi yang langsung
mengakses rongga hidung dan portal drainase sinus ethmoid dan
gambar CT resolusi tinggi yang memberikan tampilan anatomi dan
variasi yang akurat. Penelitian bertujuan untuk mengkaji variasi
anatomi sinus paranasal dan hubungannya dengan Patologi sinus
paranasal.
3. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan studi observasional
prospektif berbasis rumah sakit. penelitian ini dilakukan dirumah
sakit dan di kampus kedokteran Navodaya, Raichur. 100 pasien
dari Januari-2017 hingga Juni-2018 dipelajari. Semua pasien
tersebut dirujuk dari OPD THT dan bangsal untuk CT-Scan SPN.
Pasien menjadi sasaran CT-Scan SPN menggunakan GE Brivo
CT385 16 - slice. Gambar ditinjau dalam algoritma tulang dan
jaringan lunak untuk variasi.

1 Merek CT-Scan : GE Brivo CT385 16 - slice


)
2 Posisi pasien : Terlentang untuk bagian aksial dan
) Terlentang/tengkurap dengan leher
diperpanjang untuk bagian koronal
3 Angulasi : Sejajar dengan langit-langit keras
) untuk bagian aksial Tegak lurus
dengan
langit-langit keras untuk bagian
koronal
4 Ketebalan : 5mm untuk bagian koronal dan
) aksial. 3mm diambil di unit
osteomeatal pada bagian koronal.

45
5 Cakupan Koronal dari margin posterior sinus
) sphenoid ke margin anterior sinus
frontal.
Aksial dari palatum durum sampai
batas atas sinus frontalis.
6 Eksposur 120 kvp, 130 mas, waktu pemindaian
) 1,5 detik
7 Jendela tulang Lebar jendela = 4000 HU Tingkat
) jendela = 500HU
8 Jendela jaringan Lebar jendela =90 HU Tingkat
) lunak jendela = 40HU

4. Hasil Penelitian
Di antara 100 pasien yang dipilih untuk studi variasi sinus
paranasal 49 (49%) adalah laki-laki dan 51 (51%) perempuan.
Mayoritas subjek, pasien berada di usia kelompok 20-40 tahun.
Tabel 4.2 Distribusi keseluruhan varian anatomi di PNS

Variasi anatomi Tidak ada kasus Presentase (%)


Septum hidung menyimpang 62 22.0
Concha bulosa 32 11.0
Bulla ethmoidalis 30 10.0
Agger nasi cell 26 9.2
Sekat sinus frontalis 26 9.2
Sel Haller 16 5.6
Septasi sinus maksilaris 15 5.3
Hipoplasia sinus frontalis 15 5.3
Sekat sinus sfenoid 13 4.6
Turbin tengah paradoksikal 9 3.2
Pneumatisasi Crista galli 9 3.2
Agenesis sinus frontalis 7 2.4
sel onodi 6 2.1
Pneumatisasi turbin yang unggul 5 1.7
Sel supraorbita 4 1.4
Hipoplasia sinus maksilaris 3 1.0
Hipoplasia sinus sfenoid 2 0,7
Pneumatisasi turbinat inferior 1 0,3
Total 281 100

46
Gambar 4.4 Potongan koronal & aksial menunjukkan deviasi
septum hidung kanan dengan taji tulang
Sinus bedah endoskopi telah memberikan peran penting
untuk MDCT sinus paranasal baik sebagai alat diagnostik dan
sebagai bagian penting dari perencanaan pra operasi. Variasi
tersebut mengkompromikan jalur drainase yang sudah menyempit
dan menghasilkan obstruksi yang signifikan. CT-Scan telah
menggantikan radiografi konvensional sebagai modalitas
pencitraan pilihan untuk penilaian penyakit paranasal. CT-Scan
menentukan detail anatomi, varian anatomi, distribusi, dan luas
penyakit
5. Kesimpulan
CT scan mengevaluasi jaringan lunak dan detail tulang
hidung dan sinus paranasal. Karena anatomi yang kompleks,
evaluasi radiografi sinus paransal memiliki keterbatasan utama dan
karenanya CT hemat biaya adalah pemeriksaan yang paling umum
dan banyak digunakan untuk mempelajari berbagai penyakit PNS.
Berbagai macam penyakit yang mempengaruhi rongga sinonasal
dapat dideteksi oleh CT dengan akurasi tinggi dalam diagnosis
kondisi inflamasi dan komplikasinya. Ini juga merupakan modalitas
yang sangat sensitif untuk deteksi, lokalisasi yang akurat dan
penentuan tingkat yang tepat dari neoplasma sinus paranasal;
karenanya sangat penting untuk evaluasi pra operasi. Berbagai
varian anatomi penting juga dapat dengan mudah dideteksi pada
CT sinus paranasal.

47
4.2.3. Pemaparan jurnal ketiga
Jurnal Dr.Humsene Kamathuml, Dr.N.Ramya Sree, dkk (2020),
“Retrospective Study of Ct Evaluation of Paranasal Sinuses
Pathologies in Bhaskar Medical College and Hospital”. Jurnal ini
berskala internasional yang dipublikasikan oleh Journal of Dental and
Medical Sciences (IOSR-JDMS) Volume 19, Issue 6 Ser.2 (June.
2020)
1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui peran dan kemanjuran CT scan pada
penyakit sinus paranasal dan mempelajari berbagai varian
fisiologis.
2. Pendahuluan
Radiologi kepala dan leher, mirip dengan subspesialisasi
radiologi lainnya, dimulai dengan penemuan sinar-X pada tahun
1895 oleh Wilhelm Konrad Roentgen (1845-1923). Penyelidik
awal lainnya adalah Caldwell (1870-1918), yang menjadi terpesona
oleh sinar-X, pada 2 tahun setelah penemuan Roentgen. Pada tahun
1903, dia menulis salah satu buku teks pertama tentang radiologi
diagnostik dan terapeutik. Ketertarikannya pada radiologi kepala
dan leher tercermin dari pemandangan sinus paranasal yang masih
menyandang namanya, "pandangan Caldwell," yang merupakan
penggambaran sinus ethmoid dan frontal yang mencakup kedua
orbit. Pada tahun 1914, Waters dan Waldron, dua ahli radiologi
Inggris, memperkenalkan proyeksi yang mendefinisikan sinus
paranasal dan tulang wajah untuk keuntungan yang lebih besar.
Saat ini, pemandangan perairan masih digunakan untuk survei
penyakit sinus dan fraktur wajah.
Pencapaian bersejarah yang penting terjadi pada tahun 1972
dengan diperkenalkannya computed tomography (CT) oleh
Godfrey Hounsfield dari Inggris Raya. Dasar untuk CT-Scan

48
didasarkan pada persamaan matematika yang telah dirumuskan
pada tahun 1963 dan 1964 oleh Cormack, seorang Profesor Fisika
di Universitas Tufts di Boston. Perkembangan CT-Scan spiral
dalam beberapa tahun terakhir memungkinkan waktu pemeriksaan
yang lebih singkat dan bagian yang lebih tipis, dengan kemampuan
rekonstruksi tiga dimensi. CT-Scan baris multi-detektor dengan
ketebalan bagian sekecil 0,5 mm dan kemampuan akuisisi 16
gambar per detik memiliki resolusi spasial yang sangat baik.
Penyakit sinus paranasal merupakan masalah kesehatan yang
utama. Sebagian besar waktu pemeriksaan fisik tidak spesifik dan
evaluasi radiologis telah diandalkan sebagai bantuan dalam
mengkonfirmasikan diagnosis. Secara tradisional, radiografi polos
adalah modalitas pilihan dalam evaluasi sinus paranasal. Dalam
beberapa tahun terakhir, karena kemajuan teknologi dalam
pencitraan, CT-Scan telah menggantikan radiografi konvensional
sebagai modalitas diagnostik utama dan juga berkontribusi dalam
perubahan pendekatan terapeutik. Radiografi polos standar masih
memiliki peran yang terbatas dalam pencitraan sinus paranasal dan
digunakan sebagai teknik awal sebelum penerapan CT-Scan.
Penyempurnaan teknologi CT-Scan telah memecahkan masalah
tradisional yang sulit dalam mengidentifikasi lesi sinus paranasal.
Ini juga memungkinkan peningkatan akurasi dalam mengevaluasi
jaringan lunak di sekitar sinus. Peningkatan resolusi jaringan yang
ditawarkan CT-Scan dibandingkan film biasa memungkinkan
evaluasi perubahan halus jaringan lunak, tulang, dan ruang yang
mengandung udara. Kemampuan CT-Scan untuk mencitrakan
detail tulang serta jaringan lunak adalah keuntungan terbesar
dibandingkan modalitas radiografi sebelumnya. Selanjutnya, CT-
Scan koronal dan aksial telah secara dramatis meningkatkan
pencitraan anatomi sinus paranasal. CT-Scan dengan sangat baik
menampilkan arsitektur tulang dan penutup mukosanya serta

49
saluran udara sempit dari kompleks osteomeatal. CT-Scan secara
akurat menggambarkan batas antara sinus paranasal, orbit dan
kompartemen intrakranial dan juga hubungan antara saraf optik,
sinus kavernosus, arteri karotis dan saraf kranial dan vidian kelima
ke sinus sphenoid. Media kontras membantu mengevaluasi
vaskularisasi dan karakteristik peningkatan kontras dari lesi,
memberikan petunjuk tentang histologi dan tingkat kelainan.
3. Metode Penelitian
Total 50 pasien di antaranya 17 laki-laki dan 33 perempuan
yan dipelajari. Kelompok usia pada pasien tersebut bervariasi dari
10 hingga 60 tahun. Pasien merupakan kiriman dari poliklinik
Departemen THT kedepartemen Radiologi, Sekolah Tinggi
Kedokteran Bhaskar dan rumah sakit. Pasien dipilih berdasarkan
gejala dan temuan klinis yang menunjukkan lesi yang melibatkan
sinus paranasal seperti sakit kepala, sumbatan hidung, sekret
hidung, anosmia, sekret postnasal, dan epistaksis. Semua
pemeriksaan dilakukan pada pemindai tomografi terkomputasi GE
16 Slice.

1) Merek pesawat : GE 16 Slice


2) Posisi pasien : Untuk irisan axial pasien
ditempatkan pada posisi
terlentang dan scan plane
diorientasikan sejajar dengan
palatum durum dan memanjang
dari palatum durum sampai batas
atas sinus frontalis.
: Irisan koronal dilakukan dengan
menempatkan pasien dalam posisi
tengkurap dan bidang scan
diorientasikan tegak

50
lurus terhadap palatum durum dan
memanjang dari margin posterior
sinus sphenoid hingga margin
anterior sinus frontal.
4) Ketebalan irisan : Untuk kedua bagian aksial dan
koronal adalah 5mm.
5) Arus tabung : 440mAs, dan 120kV, waktu
pemindaian 2,7 detik.
6) Rekonstruksi gambar : panjang jendela 400 dan jendela
selebar mungkin.
4. Hasil Penelitian
Penelitian kami melibatkan 50 pasien dalam kelompok usia
10 hingga 60 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun. Pasien dengan
jenis kelamin perempuan dan laki-laki, jumlah pasien laki-laki
lebih banyak pada kelompok usia 20-40 tahun. Sebagian besar
pasien mengalami sakit kepala 56%, diikuti dengan penurunan
sekret hidung 52%, sumbatan hidung 34% dan epistaksis 8%. Sinus
yang paling sering terkena adalah sinus maksilaris 86%. Septum
hidung menyimpang tercatat pada 24 pasien yang lebih umum ke
sisi kanan. Concha bullosa tercatat pada 14 pasien, yang unilateral
pada 11 pasien dan bilateral pada 3 pasien. 56% kasus memiliki
sinusitis, polip ditemukan pada 32%, sinusitis jamur 18%,
papiloma terbalik 2%. Selama FESS, 4 pasien ditemukan memiliki
keterlibatan tulang berupa erosi atau destruksi, 4 pasien terdeteksi
memiliki keterlibatan tulang pada CT-Scan.

51
Gambar 4.5 CT-Scan koronal menunjukkan DNS ke kiri, turbinat
hidung inferior kanan hipertrofi dan OMC kanan obliterasi karena
penebalan mukosa. Septum tulang yang tidak lengkap terlihat
timbul dari dinding lateral sinus maksilaris kiri.

Gambar 4.6 Sinusitis frontal kanan dengan osteoma

Gambar 4.7 Potongan aksial dan koronal CT-Scan SPN


menunjukkan polip Antro-choanal - lesi kepadatan jaringan lunak
di sinus maksilaris kiri yang meluas melalui OMC yang melebar ke
dalam rongga hidung.

Gambar 4.8 Sinusitis maksila, ethmoid dan sphenoid bilateral

52
Variasi anatomi yang tampak:
5. Kesimpulan
CT-Scan mengevaluasi jaringan lunak dan detail tulang
hidung dan sinus paranasal. Karena anatomi yang kompleks,
evaluasi radiografi sinus paransal memiliki keterbatasan utama dan
karenanya CT hemat biaya adalah pemeriksaan yang paling umum
dan banyak digunakan untuk mempelajari berbagai penyakit SPN.
Berbagai macam penyakit yang mempengaruhi rongga sinonasal
dapat dideteksi oleh CT-Scan dengan akurasi tinggi dalam
diagnosis kondisi inflamasi dan komplikasinya. Ini juga merupakan
modalitas yang sangat sensitif untuk deteksi, lokalisasi yang akurat
dan penentuan tingkat yang tepat dari neoplasma sinus paranasal;
karenanya sangat penting untuk evaluasi pra operasi. Berbagai
varian anatomi penting juga dapat dengan mudah dideteksi pada
CT-Scan sinus paranasal.

53
Ekstraksi Jurnal
Nama Tahun Judul Tujuan penelitian Metode penelitian kesimpulan
peneliti
Regina 8 Agustus Computed Tujuan dari penelitian ini adalah 110 pasien tanpa gejala sinus paranasal Computed tomography adalah standar
Chinwe 2016 tomography untuk menunjukkan anatomi yang datang untuk studi computed emas dalam pemeriksaan radiologis
Onwuchekwa, anatomy of sinus paranasal yang tomography kepala dan memberikan sinus paranasal, baik untuk diagnosis
Nengi the paranasal digambarkan oleh computed persetujuan untuk scan bagian koronal dari lesi sinonasal atau penilaian pra dan
Alazigha sinuses and tomography dan untuk sinus paranasal yang akan diambil selain pasca bedah. Kemampuannya dalam
anatomical menggambarkan varian bagian aksial kepala dimasukkan dalam menggambarkan varian anatomi pada
variants of anatomi yang tidak hanya penelitian. Pemeriksaan CT dilakukan sinus paranasal melindungi terhadap
clinical menjadi predisposisi sinusitis dengan mesin GE Hispeed-NX/I Base-2002 cedera iatrogenik pada struktur penting
relevants in kronis tetapi dapat Dual Slice Helical Computed tomography. di sekitar sinus paranasal dan penyakit
Nigerian menyebabkan komplikasi pada Ada 48 pasien perempuan dan 62 pasien berulang dari sel ekstramural.
adults operasi sinonasal endoskopik. laki-laki. Di antara 229 kasus varian anatomi
yang diamati. Varian anatomi yang paling
umum adalah pneumatisasi turbinat hidung
tengah (32,73%). Diikuti oleh sel agger nasi
23,64%, sel Haller 20,91%, deviasi septum
20,18% dan septasi sinus sphenoid (18%).
Mallikarjun M. Juli- Evaluation of Untuk mengkaji variasi anatomi Studi observasional prospektif berbasis Computed Tomography dari sinus
Devareddy, September Anatomical sinus paranasal dan rumah sakit ini dilakukan di rumah sakit dan paranasal telah meningkatkan
Shilpa Variations in hubungannya dengan Patologi di kampus kedokteran Navodaya Raichur. visualisasi anatomi sinus paranasal dan
2019
Devakar Nose and sinus paranasal. 100 pasien dari Januari-2017 hingga Juni- telah memungkinkan akurasi yang lebih
Paranasal 2018 dipelajari. Semua 100 pasien dalam besar dalam mengevaluasi penyakit
Sinuses by sampel dirujuk dari OPD THT dan bangsal sinus paranasal. Kehadiran varian
using untuk CT PNS. Pasien menjadi sasaran CT anatomi tidak menentukan asal penyakit
Multidetector scan PNS menggunakan GE Brivo CT385 tetapi variasi ini dapat mempengaruhi
Computed 16 -slice. Gambar ditinjau dalam algoritma pasien untuk komplikasi intro-op. Ahli
Tomography tulang dan jaringan lunak untuk variasi. radiologi harus memperhatikan varian
dan memberikan peta jalan kepada ahli
bedah dan membantu menghindari
kemungkinan komplikasi.

54
Dr.Humsene 06 Juni Retrospective Untuk mengetahui peran dan Total 50 pasien di antaranya 17 laki-laki dan CT-Scan mengevaluasi jaringan lunak
Kamathum 2020 Study of Ct kemanjuran CT scan pada 33 perempuan dipelajari. Kelompok usia dan detail tulang hidung dan sinus
(dkk) Evaluation of penyakit sinus paranasal dan bervariasi dari 10 hingga 60 tahun. Pasien paranasal. Karena anatomi yang
Paranasal mempelajari berbagai varian adalah kiriman dari klinik. Pasien keluar dari kompleks, evaluasi radiografi sinus
Sinuses fisiologis. Departemen THT ke departemen Radiologi, paransal memiliki keterbatasan utama
Pathologies in Sekolah Tinggi Kedokteran Bhaskar dan dan karenanya CT hemat biaya adalah
Bhaskar rumah sakit. Pasien dipilih berdasarkan pemeriksaan yang paling umum dan
Medical gejala dan temuan klinis yang menunjukkan banyak digunakan untuk mempelajari
College and lesi yang melibatkan sinus paranasal. berbagai penyakit SPN. Berbagai
Hospital Semua pemeriksaan dilakukan pada macam penyakit yang mempengaruhi
pemindai tomografi terkomputasi GE 16 rongga sinonasal dapat dideteksi oleh
Slice. CT-Scan dengan akurasi tinggi dalam
diagnosis kondisi inflamasi dan
komplikasinya

55
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Persamaan dan Perbedaan Jurnal


Berdasarkan analisis data yang dilakukan oleh penulis menggunakan
kajian literatur terhadap tiga jurnal dengan topik “Perana CT-Scan SPN
Dalam Mendiagnosa Kelainan”, terdapat persamaan dan perbedaan pada
masing-masing jurnal.
Tabel 5.1 Persamaan dan Perbedaan Litaratur

Nama Peneliti Judul Jurnal Persamaan Perbedaan


dan Tahun
Regina Chinwe Computed 1. Menggunakan modalitas 1. Penggunaan
Onwuchekwa, tomography pencitraan CT-Scan KV dan mAs
Nengi anatomy of 2. Menggunakan merek CT- bervariasi.
Alazigha, 2016 the Scan yang sama yaitu 2. Pasien memiliki
paranasal merek GE (General diagnosa yang
sinuses and Electric) berbeda-beda.
anatomical 3. Membahas tentang 3. Jurnal 1
variants of peranan CT-Scan dalan menggunakan
clinical mendiagnosis kelainan pongan axial
relevants in dan menjelaskan tentang dan coronal
Nigerian varian anatomi dari dan ketebalan
adults pemeriksaan SPN. irisan 5mm
4. Pemeriksaan CT-Scan untuk coronal
dilakukan dirumah sakit. dan 3mm untuk
5. Jenis kelamin pasien axial.
yang diteliti yaitu laki-laki
dan perempuan.
6. Pasien yang diteliti
umurnya berbeda-beda.
7. Potongan yang
digunakan sama yaitu
axial dan coronal.
Mallikarjun M. Evaluation of 1. Menggunakan modalitas 1.Penggunaan
Devareddy, Anatomical pencitraan CT-Scan KV dan mAs
Shilpa Devakar Variations in 2. Menggunakan merek CT- bervariasi.
(2019) Nose and Scan yang sama yaitu 2.Jurnal 2
Paranasal merek GE (General menggunakan
Sinuses by Electric). potongan axial
using 3. Membahas tentang dan coronal dan
Multidetector peranan CT-Scan dalan ketebalan
Computed mendiagnosis kelainan irisanya sama
Tomography dan menjelaskan tentang yaitu 5mm
varian anatomi dari
pemeriksaan SPN.
4. Pemeriksaan CT-Scan

56
dilakukan dirumah sakit.
5. Jenis kelamin pasien
yang diteliti yaitu laki-laki
dan perempuan.
6. Pasien yang diteliti
umurnya berbeda-beda.
7. Potongan yang digunakan
sama yaitu axial dan
coronal.

Dr.Humsene Retrospectiv 1. Menggunakan modalitas 1. Penggunaan


Kamathum e Study of Ct pencitraan CT-Scan KV dan mAs
(dkk) 2020 Evaluation of 2. Menggunakan merek CT- bervariasi.
Paranasal Scan yang sama yaitu 2. Jurnal 3
Sinuses merek GE (General menggunakan
Pathologies Electric). potongan axial
in Bhaskar 3. Membahas tentang dan coronal dan
Medical peranan CT-Scan dalan ketebalan
College and mendiagnosis kelainan irisanya sama
Hospital dan menjelaskan tentang yaitu 5mm
varian anatomi dari
pemeriksaan SPN.
4. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan dirumah sakit.
5. Jenis kelamin pasien
yang diteliti yaitu laki-laki
dan perempuan.
6. Pasien yang diteliti
umurnya berbeda-beda.
7. Potongan yang digunakan
sama yaitu axial dan
coronal.

5.2 Kelebihan dan Kekurangan Jurnal


Berdasarkan anlisis data yang dilakukan penulis menggunakan kajian
literatur terhadap empat jurnal dengan topik “Perana CT-Scan SPN Dalam
Mendiagnosa Kelainan” terdapat kekurangan dan kelebihan pada masing-
masing jurnal.
Tabal 5.2 Kelebihan dan Kelemahan Literatur
Nama Peneliti Judul Kelebihan Kekurangan
dan Tahun Jurnal
Regina Chinwe Computed 1. CT-Scan merupakan Diagnosa dari ketiga
Onwuchekwa, tomography modalitas jurnal tidak
Nengi Alazigha, anatomy of
2016 the
pemeriksaan dipaparkan secara
paranasal radiologi yang dapat jelas.
sinuses and memberikan
anatomical gambaran anatomi-
variants of

57
clinical anatomi, varian
relevants in anatomi, dan
Nigerian
adults
diagnosa yang
sangat detail.
2. Memaparkan teknik
pemeriksaan dari
CT-Scan SPN
3. Memaparkan faktor
eksposi dari
pemeriksaan CT-
Scan SPN yaitu 125
KV dan 450 mAs
dan waktu pemindai
adalah 5 detik.
Mallikarjun M. Evaluation of 1. CT-Scan merupakan Diagnosa dari ketiga
Devareddy, Anatomical modalitas jurnal tidak
Shilpa Devakar Variations in
(2019) Nose and
pemeriksaan dipaparkan secara
Paranasal radiologi yang dapat jelas.
Sinuses by memberikan
using gambaran anatomi-
Multidetector anatomi, varian
Computed
Tomography
anatomi, diagnosa-
diagnosa yang
sangat detail.
2. Memaparkan teknik
pemeriksaan dari
CT-Scan SPN
3. Memaparkan faktor
eksposi dari
pemeriksaan CT-
Scan SPN yaitu 125
KV dan 450 mAs
dan waktu pemindai
adalah 5 detik.
Dr.Humsene Retrospectiv 1. CT-Scan merupakan Diagnosa dari ketiga
Kamathum (dkk) e Study of Ct modalitas jurnal tidak
2020 Evaluation of
Paranasal
pemeriksaan dipaparkan secara
Sinuses radiologi yang dapat jelas.
Pathologies memberikan
in Bhaskar gambaran anatomi-
Medical anatomi, varian
College and
Hospital
anatomi, diagnosa-
diagnosa yang
sangat detail.
2. Memaparkan teknik
pemeriksaan dari

58
CT-Scan SPN
3. Memaparkan faktor
eksposi dari
pemeriksaan CT-
Scan SPN yaitu 125
KV dan 450 mAs
dan waktu pemindai
adalah 5 detik.

5.3 Analisis Jurnal


Berdasarkan hasil dari kajian literatur yang telah dilakukan oleh
penulis yaitu tentang Peranan CT-Scan, SPN dalam Mendiagnosa Kelainan,
maka penulis ingin mengkaji lebih lanjut berdasarkan literatur dengan
rumusan masalah yaitu Bagaimana Peranan CT-Scan SPN dalam
mendiagnosa kelainan yang terjadi.
Dari hasil analisis ketiga jurnal yang digunakan dalam penelitian ini,
ketiga jurnal sama-sama membahas tentang peranan CT-Scan SPN dan
membahas anatomi-anatomi, varian anatomi, dan diangnosa yang ada pada
pemeriksaan CT-Scan SPN.
Pada jurnal pertama yang berjudul Computed Tomography Anatomy
Of The Paranasal Sinuses And Anatomical Variants Of Clinical Relevants
In Nigerian Adults, secara retrospektif mencari database radiologi untuk
semua kasus pemindaian tomografi terkomputasi dari sinus paranasal yang
diperoleh di departemen Radiologi institusi kesehatan selama periode tiga
tahun (Maret 2011 hingga Februari 2014). Para pasien dirujuk untuk CT-
Scan karena gejala klinis merujuk ke daerah sinonasal. Sebanyak 365 studi
CT-Scan berturut-turut dari sinus paranasal, diidentifikasi pasien dengan
trauma wajah, patologi sinus paranasal positif, tumor kepala dan leher dan
operasi sebelumnya dikeluarkan. Dari 365 studi CT-Scan, 255 pasien
dikeluarkan, sehinnga total pasien menjadi 110 peserta, terdiri dari 62 laki-
laki dan 48 perempuan dengan rentang usia antara 18 tahun dan 82 tahun.
Dari 110 peserta yang termasuk dalam penelitian ini, ada 229 varian
anatomi yang tercatat. Varian anatomi yang paling umum adalah

59
pneumatisasi turbinat hidung tengah 32,73%, sel agger nasi 23,64%, sel
Haller 20,91%, deviasi septum 20,18% dan septasi sinus sphenoid (18%).
Pada jurnal kedua yang berjudul Evaluation of Anatomical Variations
in Nose and Paranasal Sinuses by using Multidetector Computed
Tomography penelitian ini menggunakan studi observasional prospektif.
Penelitian ini dilakukan dirumah sakit dan di kampus kedokteran
Navodaya, Raichur. 100 pasien dari Januari-2017 hingga Juni-2018
dipelajari. Semua pasien tersebut dirujuk dari OPD THT dan bangsal untuk
CT-Scan SPN. Pasien menjadi sasaran CT-Scan SPN menggunakan GE
Brivo CT385 16 - slice. Gambar ditinjau dalam algoritma tulang dan
jaringan lunak untuk variasi. Di antara 100 pasien yang dipilih untuk studi
variasi sinus paranasal 49 (49%) adalah laki-laki dan 51 (51%) perempuan.
Mayoritas subjek, pasien berada di usia kelompok 20-40 tahun.
Pada jurnal ketiga yang berjudul Retrospective Study of Ct Evaluation
of Paranasal Sinuses Pathologies in Bhaskar Medical College and Hospital.
Total 50 pasien di antaranya 17 laki-laki dan 33 perempuan yan dipelajari.
Kelompok usia pada pasien tersebut bervariasi dari 10 hingga 60 tahun.
Pasien merupakan kiriman dari poliklinik Departemen THT kedepartemen
Radiologi, Sekolah Tinggi Kedokteran Bhaskar dan rumah sakit. Pasien
dipilih berdasarkan gejala dan temuan klinis yang menunjukkan lesi yang
melibatkan sinus paranasal seperti sakit kepala, sumbatan hidung, sekret
hidung, anosmia, sekret postnasal, dan epistaksis. Semua pemeriksaan
dilakukan pada pemindai tomografi terkomputasi GE 16 Slice.
Penelitian kami melibatkan 50 pasien dalam kelompok usia 10 hingga
60 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun. Pasien dengan jenis kelamin
perempuan dan laki-laki rasio. jumlah pasien laki-laki lebih banyak pada
kelompok usia 20-40 tahun. Sebagian besar pasien mengalami sakit kepala
56%, diikuti dengan penurunan sekret hidung 52%, sumbatan hidung 34%
dan epistaksis 8%. Sinus yang paling sering terkena adalah sinus maksilaris
86%. Septum hidung menyimpang tercatat pada 24 pasien yang lebih umum
ke sisi kanan. Concha bullosa tercatat pada 14 pasien, yang unilateral pada

60
11 pasien dan bilateral pada 3 pasien. 56% kasus memiliki sinusitis, polip
ditemukan pada 32%, sinusitis jamur 18%, papiloma terbalik 2%. Selama
FESS, 4 pasien ditemukan memiliki keterlibatan tulang berupa erosi atau
destruksi, 4 pasien terdeteksi memiliki keterlibatan tulang pada CT-Scan.

Sesuai dengan judul yang diangkat oleh penulis yaitu “Peranan CT-
Scan SPN Dalam Mendiagnosis Sebuah Kelainan”. Menurur Regina
Chinwe Onwuchekwa, Nengi Alazigha (2016), Mallikarjun M. Devareddy,
Shilpa Devakar, (2019), dan Dr.Humsene Kamathum (dkk) (2020). Jurnal
pertama oleh Regina Chinwe Onwuchekwa, Nengi Alazigha (2016),
dijelaskan bahwa Computed tomography adalah standar emas dalam
pemeriksaan radiologis sinus paranasal, baik untuk diagnosis lesi sinonasal
atau penilaian sebelum dan sesudah pembedahan. Kemampuannya dalam
menggambarkan varian anatomi pada sinus paranasal, melindungi terhadap
cedera iatrogenik pada struktur penting di sekitar sinus paranasal dan
penyakit berulang dari sel ekstramural. Sedangkan menurut, Mallikarjun M.
Devareddy, Shilpa Devakar, (2019), dijelaskan bahwa CT-Csan adalah
modalitas pencitraan pilihan untuk evaluasi variasi anatomi sinus paranasal.
CT-Scan memberikan variasi anatomi lebih rinci dan mengevaluasi anatomi
sekecil apapun dari SPN. Computed Tomography dari sinus paranasal telah
meningkatkan visualisasi anatomi sinus paranasal dan telah memungkinkan
akurasi yang lebih besar dalam mengevaluasi penyakit sinus paranasal.
Sedangkan menurut, Dr.Humsene Kamathum (dkk) (2020), dijelaskan
bahwa CT-Scan mengevaluasi jaringan lunak dan detail tulang hidung dan
sinus paranasal. Karena anatomi yang kompleks, evaluasi radiografi sinus
paransal memiliki keterbatasan utama dan karenanya CT hemat biaya adalah
pemeriksaan yang paling umum dan banyak digunakan untuk mempelajari
berbagai penyakit SPN. Berbagai macam penyakit yang mempengaruhi
rongga sinonasal dapat dideteksi oleh CT-Scan dengan akurasi tinggi dalam
diagnosis kondisi inflamasi dan komplikasinya.

61
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dari ketiga jurnal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa CT-Scan pada pemeriksaan SPN sangat berperan
penting, baik untuk mengevaluasi variasi anatomi, mengevaluasi jaringan
lunak, mengevaluasi diagnosa dari SPN, dan memberikan gambaran yang
sangat detail pada tulang SPN. CT-Scan adalah standar emas dalam
pemeriksaan radiologis sinus paranasal, baik untuk diagnosis lesi sinonasal
atau penilaian sebelum dan sesudah pembedahan. Kemampuannya dalam
menggambarkan varian anatomi pada sinus paranasal melindungi terhadap
cedera iatrogenik pada struktur penting di sekitar sinus paranasal dan
penyakit berulang dari sel ekstramural. CT-Scan juga dapat memberikan
gambaran sinus paranasal dalam bentuk tiga dimensi yaitu gambar aksial,
koronal dan sagital.
6.2 Saran
Sebaiknya pada pemeriksaan CT-Scan, khusunya untuk mengetahui
peranan CT-Scan dalam mendiagnosis sebuah kelainan, sebaiknya
menggunakan pesawat CT-Scan yang memiliki slice yang tinggi, misalnya
128 slice. Karena CT-Scan yang memiliki slice yang tinggi, dapat
menghasilkan kualitas gambar yang sangat baik dengan kontras yang lebih
tajam, waktu pemeriksaan yang singkat, dan dosis radiasi yang diterima dari
pasien lebih rendah jika dibandingkan dengan CT-Scan yang slicenya
rendah.

62
DAFTAR PUSTAKA
Abul-Kasim K, Strombeck A, Sahlstrand-Johnson P. (2011) Low-dose computed
tomography of the paranasal sinuses: radiation doses and reliability
analysis. Am J Otolaryngol.

Aghdas, (2018). Sinuses paranasalis, radiologic anatomy. The patient health.

Akdis CA, Bachert C, Cingi C, et al. (2013) Endotypes and phenotypes of chronic
rhinosinusitis: a PRACTALL document of the European Academy of Allergy
and Clinical Immunology and the American Academy of Allergy, Asthma &
Immunology. The Journal of allergy and clinical immunology.

Alt JA, DeConde AS, Mace JC, Steele TO, Orlandi RR, Smith TL. (2015) Quality
of Life in Patients With Chronic Rhinosinusitis and Sleep Dysfunction
Undergoing Endoscopic Sinus Surgery. JAMA Otolaryngol Head Neck
Surg.

Banglawala SM, Schlosser RJ, Storck T, Morella K, Chandra R, Khetani J, et al.


(2015) Qualitative development of the Sinus Control Test: a survey
evaluating sinus symptom control. Int Forum Allergy Rhinol.

Barros E, Silvia A, Sousa Vieira A. (2012) Prevalence and characteristic of


rhinosinusitis at primary health care in Portugal. Rev Port ORL.

DeConde AS, Mace JC, Bodner TE, et al. (2014) SNOT-22 quality of life
domains differentially predict treatment modality selection in chronic
rhinosinusitis. Int Forum Allergy Rhinol.

Farhood Z, Schlosser RJ, Pearse ME, Storck KA, Nguyen SA, Soler ZM. (2016)
Twenty-two-item Sino-Nasal Outcome Test in a control population : a
cross-sectional study and systemic review. Int Forum Allergy
Rhinol.Fokkens w, Lund Vm Bachert C, Clement P, Hellings P, Holmstrom

63
M, Jones N, et al.(2012) European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps. Rhinology.

Hamilos D.(2011) Chronic rhinosinusitis: epidemiology and medical


management. J Allergy Clin Immunol.

Hastan D1, Newson RB, dkk. (2011) Chronic rhinosinusitis in Europe-an


underestimated disease. Allergy.

Johnson JT, Rosen CA, editor.(2014) Bailey’s Head and Neck Surgery
Otolaryngology. 5Th Edition. Vol-1. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins.

Juanda, (2017). Scoring SNOt-22. Symptoms and outcome sinonasal statements.


Indonesia.

Walsh WE and Kern RC. (2014) Sinonasal Anatomy and Physiology. Dalam:
Bailey BJ and Johnson JT, penyunting. Head & Neck Surgery
Otolaryngology. 5Th Edition. Vol-1. Philadelpia: Lippincott Williams &
Wilkins; Pages: 359-370.

64
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
FORMULIR EKSTRAKSI JURNAL 1
Tipe Artikel Jurnal Mesir Ilmu Telinga, Hidung, Tenggorokan
dan Sekutu
Nama Peneliti Regina Chinwe Onwuchekwa, Nengi Alazigha
Tahun Terbit Jurnal 2016
Judul Computed tomography anatomy of the paranasal
sinuses and anatomical variants of clinical
relevants in Nigerian adults
No ISSN/ISBN doi.org/10.1016/j.ejenta.2016.11.001
Cekupan Jurnal Internasional
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menunjukkan anatomi sinus paranasal yang
digambarkan oleh computed tomography dan
untuk menggambarkan varian yang tidak hanya
menjadi predisposisi sinusitis kronis tetapi dapat
menyebabkan komplikasi pada operasi sinonasal
endoskopik.
Kata Kunci Paranasal sinuses Computed tomography Nasal
turbinate Ostiomeatal complex Radiologic
anatomy
Metodologi Sinus paranasal adalah sekelompok ruang berisi
Penelitian udara yang mengelilingi rongga hidung. Sinus
paranasal mulai berkembang dari koana primitif
pada usia kehamilan 25-28 minggu. Tiga tonjolan
muncul dari dinding lateral hidung dan berfungsi
sebagai awal perkembangan sinus paranasal.
Bahan dan metode:Ini adalah studi prospektif
yang dilakukan di perguruan tinggi. 110 pasien

65
tanpa gejala sinus paranasal yang datang untuk
studi computed tomography kepala dan
memberikan persetujuan untuk scan bagian
koronal dari sinus paranasal yang akan diambil
selain bagian aksial kepala dimasukkan dalam
penelitian. Pemeriksaan CT dilakukan dengan
mesin GE Hispeed-NX/I Base-2002 Dual Slice
Helical Computed tomography.
Hasil Penelitian Ada 48 perempuan dan 62 laki-laki memberikan
rasio laki-laki perempuan 1:1.3. Di antara 229
kasus varian anatomi yang diamati. Varian
anatomi yang paling umum adalah pneumatisasi
turbinat hidung tengah (32,73%). Diikuti oleh sel
agger nasi 23,64%, sel Haller 20,91%, deviasi
septum 20,18% dan septasi sinus sphenoid (18%).

66
FORMULIR EKSTRAKSI JURNAL 2
Tipe Artikel Jurnal Bedah dan Radiologi Kedokteran Kontemporer.
Nama Peneliti Mallikarjun M. Devareddy1, Shilpa Devakar
Tahun Terbit Jurnal 2019
Judul Evaluation of Anatomical Variations in Nose and
Paranasal Sinuses by using Multidetector Computed
Tomography
No ISSN/ISBN 2565-4810
Cekupan Jurnal Internasional
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui peranan CT-Scan dalam
mengevaluasi variasi anatomi darin SPN.
Kata Kunci Tomografi Komputer; Sinus Paranasal, Septum Hidung,
Concha Bulosa
Metodologi Penelitian dilakukan di rumah sakit dan pusat penelitian
fakultas kedokteran Navodaya, Raichur.100 pasien dari
Penelitian
Jan-2017 hingga Jun-2018 dipelajari. Semua 100 pasien
dalam sampel dirujuk dari OPD THT dan bangsal untuk
CT PNS. Pasien menjadi sasaran CT scan PNS
menggunakan GE Brivo CT385 16 irisan gambar
MDCT ditinjau dalam algoritma tulang dan jaringan
lunak.
Hasil Penelitian Deviasi septum hidung adalah variasi yang paling umum
pada 62 (62%) diikuti oleh concha bullosa pada 32
(32%). Variasi lain yang ditemukan adalah bulla
ethmoidal pada 30 (30%) pasien, paradoxical middle
turbinate pada 9 (9 (9%), Frontal sekat sinus pada 26
(26%). Concha bullosa pada 20 (20%), sel Agger Nasi
yang menonjol pada 26 (26%), sel Haller pada 16
(16%), sel Onodi pada 6 (6%), sel supra-orbital pada 4
(4%) Sinus maksilaris septa pada 15 (15%) dan
pneumatisasi crista galli pada 9 (9%) pasien.

67
FORMULIR EKSTRAKSI JURNAL 3
Tipe Artikel Journal of Dental and Medical Sciences
Nama Peneliti Dr.Humsene Kamathum, Dr.N.Ramya Sree, Dr.Dantoori
Pandu, Dr.Manoj Sundara Setty
Tahun Terbit Jurnal 2020
Judul Retrospective Study of Ct Evaluation of Paranasal
Sinuses Pathologies in Bhaskar Medical College and
Hospital
No ISSN/ISBN 2279-0853
Cekupan Jurnal Internasional
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui peran dan kemanjuran CT scan pada
penyakit sinus paranasal dan mempelajari berbagai
varian fisiologis.
Kata Kunci Kepala, Leher, sinus paranasal, rongga sinonasal
Metodologi Total 50 pasien di antaranya 17 laki-laki dan 33
Penelitian perempuan dipelajari. Kelompok usia bervariasi dari 10
hingga 60 tahun. Pasien dikirim dari poliklinik pasien
luar Departemen THT ke departemen Radiologi,
Sekolah Tinggi Kedokteran Bhaskar dan rumah sakit.
Pasien dipilih berdasarkan gejala dan temuan klinis yang
menunjukkan lesi yang melibatkan sinus paranasal.
Semua pemeriksaan dilakukan pada pemindai tomografi
terkomputasi GE 16 Slice
Hasil Penelitian Penelitian kami melibatkan 50 pasien dalam kelompok
usia 10 hingga 60 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun.
Pasien dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki,
jumlah pasien laki-laki lebih banyak pada kelompok usia
20-40 tahun. Sebagian besar pasien mengalami sakit
kepala 56%, diikuti dengan penurunan sekret hidung

68
52%, sumbatan hidung 34% dan epistaksis 8%. Sinus
yang paling sering terkena adalah sinus maksilaris 86%.
Septum hidung menyimpang tercatat pada 24 pasien
yang lebih umum ke sisi kanan. Concha bullosa tercatat
pada 14 pasien, yang unilateral pada 11 pasien dan
bilateral pada 3 pasien. 56% kasus memiliki sinusitis,
polip ditemukan pada 32%, sinusitis jamur 18%,
papiloma terbalik 2%. Selama FESS, 4 pasien
ditemukan memiliki keterlibatan tulang berupa erosi
atau destruksi, 4 pasien terdeteksi memiliki keterlibatan
tulang pada CT-Scan.

69
Lampiran 2

70
71
72
73
74
75
76
77
Lampiran 3

78
79
80
81
82
83
Lampiran 4

84
85
86
87
88
89
90
91

Anda mungkin juga menyukai