Anda di halaman 1dari 4

1.

Permasalahan dalam Pelaksanaan PBM


a. Kurangnya jumlah guru yang sesuai dengan bidang keilmuannya.
Guru yang dapat menjadi wali kelas pada tingkat MI biasanya memiliki latar
belakang jurusan atau bidang keilmuan PGMI maupun PGSD. Namun, jumlah guru
di MIN Kota Bukittinggi yang merupakan lulusan jurusan PGMI maupun PGSD tidak
sebanding dengan jumlah kelas yang ada.
Solusi untuk permasalahan ini adalah dengan menjadikan guru yang berlatar
belakang pendidikan PAI sebagai wali kelas. Hal ini dilakukan agar jumlah guru kelas
sesuai dengan jumlah kelas yang tersedia. Pemilihan guru PAI sebagai guru kelas
didasarkan pada pertimbangan seperti pengalaman, kecakapan dan kesiapan dari guru
yang bersangkutan. Selain itu, kepala madrasah juga meminta kesediaan dari guru
PAI untuk ditempatkan sebagai guru kelas.

b. Kegiatan PBM yang berlangsung monoton, walaupun beberapa guru telah


melaksanakan BIMTEK.
Kegiatan BIMTEK, pelatihan dan workshop untuk meningkatkan kompetensi
yang dimiliki oleh guru selalu diadakan oleh kemenag maupun lembaga pemerintahan
lain secara berkala. Kegiatan ini dapat diikuti oleh guru secara daring maupun luring.
Guru-guru di MIN Kota Bukittinggi selalu mengikuti kegiatan peningkatan
kompetensi ini secara aktif, baik secara individu maupun kolektif. Namun, hasil
positif dari diadakannya pelatihan yang diikuti oleh guru ini belum dapat dirasakan
secara optimal terutama dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini dikarenakan,
guru belum memiliki wadah dan kesempatan untuk berbagi ilmu yang sudah didapat
dari pelatihan kepada teman-teman sejawat yang ada. Selain itu, tidak s
Oleh karena itu, agar ilmu yang didapatkan dari pelatihan tidak terbuang
percuma guru diberikan kesempatan untuk melaksanakan seminar bersama teman
sejawat. Hal ini dilakukan sebagai bentuk tindak lanjut dari pelatihan yang sudah
diikuti. Guru-guru akan mengadakan pertemuan bersama pada jadwal yang
ditentukan. Pada pertemuan tersebut, guru yang sudah mengikuti pelatihan diminta
untuk menjadi narasumber. Dampak positif yang ditimbulkan kegiatan ini adalah
semua guru dapat mengetahui dan menambah wawasan terkait materi pelatihan,
walaupun tidak dapat mengikuti secara langsung. Hasil dari kegiatan ini juga dapat
dilihat dalam peningkatan proses pembelajaran yang lebih bervariasi di kelas.

c. Jumlah siswa yang tidak sebanding dengan SDM guru yang ada
Jumlah peserta didik di MIN kota Bukittinggi yang tersebar di 18 kelas tidak
sebanding dengan jumlah tenaga pengajar yang tersedia. Hal ini mengakibatkan
seluruh kegiatan yang dilakukan peserta didik tidak dapat terkontrol dengan baik.
Peserta didik yang berada di lingkungan madrasah seringkali luput dari pengawasan
guru karena jumlah yang tidak sebanding. Selain itu, banyaknya kejadian seperti
peserta didik yang mengalami perselisihan, kehilangan uang di kelas saat jam istirahat
serta apabila ada guru yang tidak masuk kelas akan sulit untuk memantaunya.
Permasalahan ini sudah dapat diatasi dengan merekrut sejumlah guru dengan
latar pendidikan yang disesuaikan dengan keperluan dan tidak terfokus hanya untuk
jurusan PAI dan PGMI saja. Langkah ini dilakukan agar kuota untuk jumlah guru
tercukupi. Selain itu, guru dengan latar pendidikan khusus seperti matematika
diharapkan juga dapat mengambil peran dalam bidang ekstrakurikuler sperti pelatih
KSM. Bertambahnya jumlah guru dapat membantu untuk mengontrol kegiatan siswa
dengan lebih baik lagi. Peningkatan pengawasan pada peserta didik di lingkungan
madrasah juga diperketat dengan melakukan pemasangan kamera CCTV di setiap
kelas dan sudut-sudut tertentu di lingkungan madrasah. Dampak positif dari adanya
kamera CCTV ini adalah guru dapat langsung menindaklanjuti permasalahan peserta
didik di lingkungan madrasah maupun pengawasan terhadap kegiatan belajar yang
berlangsung di kelas. Bagi kepala madrasah, pengawasan yang dilakukan melalui
CCTV terutama saat PBM berlangsung juga dapat menjadi acuan dalam melakukan
kegiatan supervisi sebagai masukan dalam memberikan penilaian. Namun, meskipun
pengamatan melalui CCTV sudah dilakukan, pengamatan secara langsung ke kelas
juga tetap diadakan secara berkala.

d. Kurangnya fasilitas pendukung pembelajaran seperti: laptop, infokus dan wifi.


Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di kelas cenderung
berlangsung secara konvensional. Pada era revolusi industri 4.0 ini proses
pembelajaran seharusnya sudah disesuaikan dengan perkembangan teknologi yang
ada. Namun, guru belum dapat memanfaatkan pembelajaran berbasis teknologi karena
kurangnya fasilitas pendukung pembelajaran seperti laptop, infocus maupun wifi.
Apabila hal ini dibiarkan terus menerus maka dikhawatirkan baik guru maupun
peserta didik akan tertinggal dalam pemanfaatan teknologi masa kini.
Langkah yang diambil kepala madrasah dalam hal ini adalah menyediakan
anggaran untuk melengkapi fasilitas penunjang PBM seperti laptop, infocus dan wifi.
Meskipun jumlahnya belum sesuai dengan yang diharapkan, namun pengadaan alat-
alat dan barang elektronik ini sudah dapat dirasakan manfaatnya. Peralihan proses
pembelajaran berbasis konvensional menjadi proses pembelajaran berbasis teknologi
tidak terbatas hanya pada saat PBM berlangsung. Peralihan juga dilakukan pada
proses evaluasi akhir semester. Ujian akhir semester yang biasanya hanya
dilaksanakan secara tertulis kini dialihkan menjadi ujian online dengan e-learning.
Peserta didik diminta utuk membawa gadget maupun laptop yang dimiliki ke
madrasah Bagi peserta didik yang tidak memiliki keduanya, maka dapat
menggunakan laptop yang disediakan oleh pihak madrasah. Jadi, meskipun ujian
dilaksanakan secara online peserta didik tetap melaksanakannya dalam kelas. Proses
ini dilakukan, agar apabila ada kendala yang dialami dapat segera ditindaklanjuti oleh
guru pengawas maupun operator yang bertanggungjawab. Kegiatan evaluasi akhir
dengan e-learning ini baru diterapkan untuk peserta didik kelas 4, 5 dan 6 saja. Hal ini
mengingat, peserta didik kelas rendah yang masih perlu pendampingan khusus untuk
menggunakan teknologi yang ada.
e. Kegiatan pembiasaan yang berjalan seadanya, seperti kehadiran peserta didik, Shalat
Dhuha, dan Tahfidz.
Kegiatan pembiasan bagi peserta didik di MIN Kota Bukittinggi dilaksanakan
seadanya. Kegiatan pembiasaan biasanya berupa pemeriksaan kehadiran dan
kelengkapan atribut peserta didik oleh guru, pelaksanaan Shalat Dhuha maupun
Tahfidz. Kegiatan ini belum dijadwalkan sesuai waktu yang tepat dan masih
berlangsung secara klasikal. Hal ini mengakibatkan kegiatan ini tidak secara rutin
dilaksanakan hanya tergantung pada kebijkana guru yang mengajar di kelas saja.
Selain itu kegiatan pembiasan seperti Tahfidz hanya dilakukan secara formalitas saja,
tanpa adanya target dan pengawasan yang diberikan pada peserta didik. Akibatnya,
yang menyetorkan tahfidznya hanya peserta didik yang aktif dan hafal saja. Untuk
peserta didik yang tidak hafal cenderung dibiarkan saja.
Kegiatan pembiasaan di MIN Kota Bukittinggi kini sudah diatur dan
disesuaikan jadalnya. Setiap pagi, guru-guru berjejer di depan gerbang untuk
menyambut kedatangan peserta didik sekaligus melihat kelengkapan seragam dan
atribut yang dipakai oleh peserta ddidik. Peserta didik yang terlambat akan diberikan
pengarahan dan konsekuensi yang sudah disepakati dengan peserta didik oleh guru
piket yang bertanggungjawab. Setiap hari Senin pagi, rutin diadakan upacara bendera
bila kondisi cuaca memungkinkan, jika tidak diganti dengan tahfidz maupun murathal
Al-Qur’an di dalam kelas masing-masing. Setiap hari Selasa pagi, diadakan Shlat
Dhuha secar bersama-sama di lapangan. Meskipun dilakukan secara bersama-sama,
namun guru selalu menekankan bahwa shalat dhuha sejatinya dilaksanakan secara
sendiri-sendiri. Shalat Dhuha yang dilakukan secara bersama-sama hanya
dimanfaatkan sebagai kepentingan pembelajaran, agar peserta didik terbiasa dengan
bacaan shalat dhuha terutama bagi peserta didik kelas rendah.
Setiap hari Rabu dan Kamis pagi, peserta didik melakukan penyetoran tahfidz
kepada ustadz dan ustadzah yang sudah ditunjuk sebagai penanggung jawab. Masing-
masing kelas memiliki dua guru sebagai penanggungjawab tahfidz. Peserta didik dari
satu kelas juga dibagi menjadi dua kelompok dan masing-masing kelompok
dibimbing oleh satu guru. Sistem kegiatan tahfidz yang seperti ini memudahkan guru
dalam mengamati peserta didik yang masih kesulitan dalam hafalannya maupun yang
sudah fasih dan baik bacaannya. Setiap Jum’at pagi dilaksanakan muhadharah yang
pelaksananya digilirkan dari masing-masing kelas. Pelaksanaan kegiatan ini dapat
menjadi wadah bagi peserta didik dalam menyaurkan minat dan bakat yang dimiliki
terutaa dalam bidang keagamaan maupun literasi seperti mengaji, berpuisi, pidato,
tahfidz, bercerita, menyanyi, dsb. Setiap hari Sabtu kegiatan dilakukan secra
bergantian antara senam dan pemberian materi pramuka. Pelaksanan kegiatan ini
didasarkan pada pramuka wajib yang diikuti oleh semua peserta didik.

2. Permasalahan dalam Pelaksanaan Kegiatan Ekstrakurikuler


a. Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler belum terkoordinir dengan baik dan peserta
didik belum terakomodir sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki.
Jenis kegiatan ekstrakurikuler yang ada di MIN Kota bukittinggi pada saat itu
belum banyak. Kegiatan ekstrakurikuler juga tidak dijadwalkan latihannya secara
rutin. Akibatnya, guru tidak terlalu mengenali bakat dan minat yang dimiliki peserta
didik. Selain itu, apabila ada lomba yang diadakan guru akan kesulitan dalam memilih
dan menentukan peserta didik yang akan dibawa berpartisipasi. Seringkali, peserta
didik yang dibawa oleh guru untuk mengikuti lomba hanya berdasarkan pengamatan
guru dalam kelas saja. Misalnya untuk lomba KSM, peserta didik langsung dipilih
dari yang paling pintar di kelas saja. Pemilihan peserta didik yang seperti ini tentunya
cenderung subjektif dan dirasa tidak adil.
Jenis kegiatan ekstrakurikuler pada saat ini sudah semakin beragam. Kegiatan
ektrakurikuler dinatara lain menjadi robotik, dokter kecil, KSM, drumband, hadrah,
qalam jama’i, pocil, pildacil, pramuka, jurnal dan literasi, dsb. Penambahan jenis
kegiatan ekstrakurikuler disesuaikan dengan minat dan bakat yang dimiliki oleh
peserta didik di MIN Kota Bukittinggi. Kegiatan ekstrakurikuler jurnal dan literasi
misalnya didasarkan pada banyaknya peserta didik yang hobi membaca dan menulis
cerita saat jam pembelajaran di kelas. Selain itu, penambahan ektrakurikuler robotik
yang didasarkan pada beberapa peserta didik yang gemar memanfaatkan teknologi
yang ada di sekitar mereka. Pelaksanaan kegiatan ektrakurikuler juga sudah
dijadwalkan latihannya sesuai dengan bidang masing-masing. Adanya koordinasi
yang sesuai dalam pelaksaanaan ekstrakurikuler pada saat ini memudahkan guru
untuk memilih peserta didik yang akan berpartisipasi dalam lomba. Hal iini sejalan
dengan peningkatan prestasi MIN Kota Bukittinggi di berbagai bidang baik dari segi
akademik maupun non akademik.

b. Belum tersedianya alat dan ruangan khusus untuk kegiatan ekstrakurikuler.


Pengadaan alat dan ruagan khusus untuk kegiatan ekstrakurikuler belum
terpenuhi secara keseluruhan. Banyak peralatan maupun kostum untuk penampilan
yang sudah tidak layak pakai lagi. Begitu juga dengan ruangan yang digunakan untuk
latihan maupun penyimpanan alat-alat yang belum ada. Ruangan yang digunakan
untuk peyimpanan hanya memanfatkan sisa ruangan lain. Bagian belakang ruang guru
misalnya menjadi tempat penyimpanan kostum penampilan tari dan drumband.
Gudang penyimpanan barang-barang untuk alat olahraga digunakan sebagai
penyimpanan bersama dengan lat-alat drumband. Ekstrakurikuler yang memiliki
ruangan khusu bisa dikatakan hanya UKS saja.
Pada saat ini, sudah banyak ruangan yang dapat dimanfaatkan oleh masing-
masing ekstrakurikuler. Misalnya Kesenian dan robotik yang suda memiliki ruangan
khusus tersendiri. Penyimpanan alat-alat drumband dan kostum penampilan nya pun
sudah terorganisir dan dirapikan di lemari khusus yang disediakan. Robotik yang
kegiatannya sejalan dengan pemanfatan teknologi menggunakan ruangan yang sama
dengan labor komputer, sehingga peserta didik dapat menafaatkan komputer yang ada
sebagai penunjang kegiatan.

Anda mungkin juga menyukai