Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang santun karena dalam islam sangat menjunjung tinggi pentingnya
etika, moral, dan akhlak mulia pada pribadi manusia. Kepribadian yang baik, dengan segala
macam bentuk dan warnanya, sangat kita perlukan di setiap tempat dan waktu: dalam hubungan
kita dengan Allah. Dengan hubungan kita kepada diri kita, dan dalam hubungan kita dengan
masyarakat. Kita semua mempunyai akhlak dan perilaku yang baik di dalam hidup, dan
memperoleh ganjaran yang baik di akhirat kelak.

Adapun pertanyaan bagaimana kita menerapkan perangai dan tingkah laku yang baik di dalam
kehidupan kita, maka jawabanya adalah bahwa yang menjadi landasan kita dalam hal ini adalah
akal (hikmah), yaitu dengan menggunakannya pada jalan yang benar; kemudian agama yaitu
dengan berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya; dan juga akhlak dan kesopanan.

Imam Ali as berkata: “Akal adalah landasan yang paling kuat. Imam Ali as juga berkata: “Akal
adalah kebaikan setiap orang.” Pada kesempatan lain, Imam Ali as juga berkata: “Agama dan
kesopanan adalah buah dari akal.”[1]

Pada makalah ini akan mengupas berbagai kumpulan kaidah dan juga pandangan mengenai
kepribadian seseorang yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, dan juga perkata para ulama
modern.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari pendidikan kepribadian?

2. Bagaimana cara yang benar dalam membentuk kepribadian seorang muslim?

3. Mengapa warga muslim mesti memiliki kepribadian yang teguh?

4. Faktor apa saja yang mampu merangsang kepribadian seseorang?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian dari pendidikan kepribadian.

2. Untuk mengetahui cara yang benar dalam membentuk kepribadian seorang muslim.

3. Untuk mengetahui alasan Mengapa warga muslim mesti memiliki kepribadian yang teguh.

4. Untuk mengetahui Faktor yang mampu merangsang kepribadian


BAB II

PENDIDIKAN KEPRIBADIAN

A. Pengertian Kepribadian

Kepribadian berasal dari kata personality (bahasa Inggris) yang berasal dari kata persona (bahasa
Latin) yang berarti kedok atau topeng. Yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-
pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak, atau pribadi
seseorang. Hal itu dilakukan karena terdapat ciri-ciri yang khas yang hanya dimiliki oleh
seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, ataupun yang kurang baik.[2]

Begitu juga dengan orang Arab menyebut kepribadian dengan istilah "ٌ‫ " َش ْخ ِسيَّة‬dari kata " ٌ‫" َش ْخس‬
yang berarti orang seorang. Maka dari pengertian kedua istilah tersebut belum bisa menjawab
apa itu kepribadian karena masih bersifat umum dan kabur. Tetapi dalam bahasa Indonesia ada
istilah yang cukup menjawab, walau belum cukup gambling, yaitu istilah jati diri yang berarti
keadaan diri (sendiri) yang sebenarnya (sejati). Di sana kita dapati pengertian kepribadian
adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga
bawaan seseorang sejak lahir. Kepribadian seseorang akan berpengaruh terhadap akhlak, moral,
budi pekerti, dan etika orang tersebut ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain
dalam kehidupan sehari-hari di manapun ia berada. Artinya, etika, moral, norma, dan nilai yang
dimiliki akan menjadi landasan perilaku seseorang sehingga tampak dan membentuk menjadi
budi pekertinya sebagai wujud kepribadian orang itu.[3]

B. Ciri-ciri Kepribadian yang teguh

Al-Faqih Abu Laits berkata: “Tanda pibadi yang teguh adalah bila ia memelihara 10 hal, dengan
mewajibkannya atas dirinya;

Pertama, memelihara lidah dari menggunjing orang lain, karena firman Allah SWT:

‫ض ُك ْم بَ ْعضًا‬ َ ‫َوالَ يَ ْغ‬


ُ ‫ضبْ بَ ْع‬
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing orang lain.”

Kedua, menjauhi buruk sangka, karena Nabi SAW bersabda:

ِ ‫ب ْال َح ِد ْي‬
‫ث‬ َ ‫ِإيَّا ُك ْم َوسُوْ َء الظَّنِّ فَِإنَّهُ َإ ْك َذ‬
“Hindarilah olehmu berburuk sangka, karena berburuk sangka adalah ucapan yang paling dusta.”

Ketiga, menjauhkan diri dari memperolok-olokkan orang lain, karena firman Allah SWT:

‫خَر قَوْ هٌ ِم ْن قَوْ ٍم عَسى َإ ْن يَ ُكوْ نُوْ ا خَ ْيرًا ِم ْنهُ ْم‬


vْ ‫الَ يَ َْس‬
“Janganlah suatu kaum memperolok-olokkan kaum lain, (karena) boleh jadi mereka (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang memperolok-olokkan).”

Keempat, menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan, karena firman Allah SWT:

‫ار ِه ْم‬ َ ‫ ِم ْن َإب‬v‫قُلْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِ ْينَ يَ ُغضُّ وْ ا‬


ِ ‫ْص‬
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya.”
Kelima, kejujuran lidah, karena firman Allah SWT:

‫َوِإ َذا قُ ْلتُ ْم فَا ْع ِد لُوْ ا‬


“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil.”

Keenam, menafkahkan harta pada jalan Allah, karena firman Allah SWT:

ِ ‫َإ ْنفِقُوْ ا ِم ْن طَيِّبَا‬


‫ت َما َك َس ْبتُ ْم‬
“Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.”

Ketujuh,jangan boros, karena firman Allah SWT:

ً‫َوالَ ُتَبَ ِّذ رْ تَ ْب ِذ يْرا‬

”Dan janganlah kamu hambur-hamburkan hartamu secara boros.”

Kedelapan, janganlah ingin diunggul-unggulkan maupun dibesarkan dirinya, karena firman


Allah SWT:

َ‫ض َوالَ فَ َسا دًا َو ْال َعاقِبَةُ لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬


ِ ْ‫تِ ْلكَ ال َّد ُر ْاالَ ِخ َرةُ نَجْ َعلُهَا لِلَّ ِذ ْينَ ي ُِر ْي ُد وْ نَ ُعلُ ًّوا فِي ْاالَ ر‬
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.”

Kesembilan, memelihara shalat lima waktu, karena firman Allah SWT:

َ‫ َوقُوْ ُموْ ا هّلِل ِ قَانِتِ ْين‬v‫ت َوالصَّلو ِة ْال ُو ْسطَى‬


ِ ‫صلَو‬
َّ ‫ َعلَى ال‬v‫حا َ فِضُوْ ا‬
“Peliharalah semua shalat (mu), dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu’.”

Kesepuluh, teguh hati dalam menganut Aswaja, karena firman Allah SWT:

‫ق بِ ُك ْم ع َْن َسبِ ْيلِ ِه‬


َ ‫ي ُم ْستَقِ ْي ًما فَاتَّبِعُوْ هُ َوالَ تَتَّبِعُوا ال ُّسبُِ ُل فَتَفَ َّر‬vْ ‫اط‬ ِ ‫َوَِإ َّن ه َذا‬
ِ ‫ص َر‬
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia;
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan yang itu mencerai-beraikan
kamu dari jalan-Nya.”[4]

C. Metode meraih pribadi yang baik

1. Mementingkan pendidikan rohani

Allah SWT telah menciptakan malaikat sebagai makhluk yang hanya berdimensikan rohani, dan
binatang sebagai makhluk yang hanya berdimensikan materi. Akan tetapi, Allai SWT
menciptakan manusia sebagai makhluk yang berdimensikan rohani dan materi.

Malaikat adalah makhluk yang tidak mungkin berbuat maksiat kepada Allah SWT dan senantiasa
melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Adapun binatang adalah makhluk yang berwatakan
materi, walaupun dia mempunyai roh yang merupakan sumber hidup baginya dan juga rasa
sampai tingkat tertentu. Sedangkan manusia, Allah telah menciptakannya dengan susunan yang
memungkinkannya menerima ujian di alam dunia. Allah SWT telah menjadikannya dengan
perpaduan antara sisi rohani dan sisi materi.
Sebagaimana dituntut menaruh perhatian terhadap sisi materinya, supaya ia dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnyah, ia juga dituntut menaruh perhatian terhadap sisi
rohaninya, supaya dari satu sisi tercipta Keseimbangan, tidak terlalu condong kepada sisi materi,
dan dari sisi lain supaya ia mempunyai hubungan dengan Allah SWT dan berpegang teguh
kepada ajaran-ajaran-Nya.

Sisi rohani mempunyai peranan penting di dalam pendidikan jiwa. Oleh karena itu, kita
mendapati bahwa orang yang mempunyai hubungan yang dekat dengan Allah SWT jarang
tertimpa kelainan jiwa. Sedangkan orang mempunyai hubungan yang lemah dengan-Nya, atau
yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan-Nya, seperti orang ateis, banyak yang
tertimpa kelainan jiwa dengan berbagai akibat yang menyertainya. Bahkan lebih jauh lagi, sisi
rohani akan memantulkan pengaruh-pengaruhnya pada raga manusia, dan menjadikannya orang
yang sehat, bersemangat, dan aktif.

2. Menghitung diri dan mengawasi segala perbuatan

Rasulullah Saw bersabda: "bukan dari kalangan kami orang yang tidak menghitung dirinya
setiap hari dan malam." Sebagai manusia kita sangat mungkin berbuat dosa dan kekhilafan di
dalam hidup ini, dengan senantiasa mengawasi Perbuatan kita dan menghitung diri kita, kita
dapat menyucikan diri terus melangkah maju, menjauhi segala sesuatu yang tidak layak, menjadi
orang-orang yang mempunyai jiwa bersih, takwa, dan diridai oleih Allah SWT.

3. Melakukan introspeksi

Introspeksi adalah salah satu bentuk perhitungan diri, dan merupakan alat terpenting bagi
manusia dalam memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Bila orang tidak mempunyai penasihat
dari dalam dirinya, maka nasihat apapun tidak bermanfaat baginya. Bila orang tidak mau
menerima kritikan dari nuraninya sendiri, maka ia akan dapat menerimanya dari orang lain.
Dialah yang lebih mengenal dirinya, jauh melebihi siapapun.

Di dalam hadis-hadis Rasulullah saw terdapat kandungan berikut,"Barang siapa tidak


mempunyai penasihat dari dalam dirinya maka tidak akan bermanfaat baginya semua nasihat."

4. Menerima kritikan orang lain

Di samping melakukan introspeksi , seseorang juga harus mau menerima kritikan yang
dilontarkan orang lain. Orang yang mau menerima kritikan orang lain adalah orang yang
memiliki jiwa positif dan konstruktif. Mau menerima kritikan orang lain adalah pertanda
kelapangan dada, kesabaran, kemampuan mengendalikan diri, ke dalam akal dan hikmah.

Dari sisi kritik manusia terbagi menjadi dua kelompok:

1. Orang yang mau menerima kritik

2. Orang yang lari dan tidak mau menerima kritik.

Seorang selayaknya mendidik dirinya untuk dapat menerima kritikan objektif dari orang lain.
Karena pada yang demikian itu terdapat kebesaran jiwa, kelapangan dada, perbaikan terhadap
perbuatan dan tingkah laku, dan kemajuan di medan amal.

Sebaliknya , jika anda hendak mengkritik orang lain, kritiklah dengan kritikan yang konstruktif,
tidak menyakiti, tidak berlebihan, dan tidak didasari oleh hawa nafsu. Janganlah kritikan yang
anda lontarkan menyimpang ataupun melebar dari pokok persoalan yang sesungguhnya. Susun
dan tujukan kritik anda pada sisi yang jelas.
5. Jangan merasa puas dengan diri pribadi

Yang dimaksud dengan tidak puas di sini bukanlah seseorang harus hidup dalam keadaan gelisah
dan tidak tenang, melainkan jangan menjadikan kepuasan sebagai jalan menuju kelalaian,
penyimpangan, dan surut dari kebenaran, dan amal kebajikan.

Merasa puas dengan diri sendiri bisa membangkitkan rasa ego dan kecintaan terhadap diri yang
berlebihan, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakridaan manusia dan Allah SWT.

Imam Ali as berkata: “Orang yang merasa puas dengan dirinya [menyebabkan] banyak orang
marah dan tidak puas terhadapnya.[5]

D. Faktor Pembentuk Kepribadian

Ada tiga faktor pembentuk kepribadian.

Ali ra pernah berkata:

ِ َّ‫اس َر ُجالً ِمنَ الن‬


‫اس‬ ِ َّ‫اس َو ُك ْن ِع ْن َد الن‬ ِ ‫اس َو ُك ْن ِع ْن َد النَّ ْف‬
ِ َّ‫س َش َّر الن‬ ِ َّ‫ُك ْن ِع ْن َد هللاِ َخ ْي َر الن‬

1. Jadilah manusia paling baik di sisi Allah.

2. Jadilah manusia paling buruk dalam pandanganmu

3. Jadilah manusia biasa di hadapan orang lain.

Syah Abdul Qadir Al-Jailani berkata: “Bila engkau bertemu dengan seorang, hendaknya engkau
memandang dia itu lebih utama dari pada dirimu dan katakan dalam hatimu: Bolehk jadi dia
lebih baik dari sisi Allah daripada diriku ini dan lebih tinggi derajatnya.”

Jika dia orang yang lebih kecil dan lebih muda umurnya dari pada kamu, maka katakanlah dalam
hatimu: Boleh jadi orang kecil ini tidak banyak berbuat dosa, maka tidak diragukan lagi kalau
derajat dirinya jauh lebih baik dariku.

Bila dia orang yang lebih tua, maka hendaknya engkau mengatakan dalam hati: Orang ini telah
lebih dahulu beribadah kepada Allah daripada diriku.

Jika dia orang yang 'Alim, maka katakanlah dalam hatimu: Orang ini telah diberi oleh Allah
sesuatu yang tidak bisa aku raih, telah mendapatkan apa yang tidak bisa aku dapatkan, telah
mengetahui apa yang tidak aku ketahui, dan telah mengamalkan ilmunya.

Bila dia orang bodoh, maka katakan dalam hatimup: Orang ini durhaka kepada Allah karena
kebodohannya, sedangkan aku durhaka kepada-Nya,padahal aku mengetahuinya. Aku tidak tahu
dengan apa umurku akan Allah akhiri atau dengan apa umur orang bodoh itu akan Allah akhiri
(apakah dengan khusnul khatimah atau dengan su'ul khatimah).

Bila dia orang kafir, maka katakan dalam hatimu: Aku tidak tahu bisa jadi dia akan masuk islam,
lalu menyudahi seluruh amalannya dengan amal salih, dan bisa jadi aku terjerumus menjadi
kafir, lalu menyudahi seluruh amalanku dengan amal yang buruk."

Dalam pandangan islam semua manusia itu sama, tidak dibeda-bedakan karena status sosial,
harta, tahta, keturunan, atau latar belakang pendidikannya. Manusia yang paling mulia derajatnya
di sisi Allah adalah yang paling tinggi kadar ketakwaannya di antara mereka.

Menurut Moh. Roqib dan Nurfuadi, Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian
seseorang dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal:
2. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Faktor internal
ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan. Faktor genetis maksudnya adalah faktor
yang berupa bawaan sejak lahir dan merupakan pengaruh keturunan.

3. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar orang tersebut. Faktor eksternal ini
biasanya merupakan pengaruh yang berasal dari lingkungan seseorang misalnya keluarga, teman,
atau pergaulan.

Untuk menjadi muslim yang berkepribadian utuh, dituntut kemampuan diri untuk menjadikan
iman atau agama sebagai faktor terpenting pada dirinya, sehingga (dengannya) dapat
menghindarkan diri dari berbagai tantangan, gangguan, dan ancaman serta cobaan hidup dan
kehidupan. Untuk itu diperlukan latihan dan pendidikan yang terus menerus serta pembinaan
yang berkepanjangan.[6]

E. Prinsip Kependirian yang Baik

Hadits Hudzaifah Ibnu Yaman riwayat at-Turmudzy, tentang perlunya prinsip kepribadian dalam
kehidupan

‫ اِ َّم َعةً تَقُوْ لُوْ نَ ِإ ْن اَحْ َسنَ النَّاسُ َأحْ َسنَّا َواِ ْن ظَلَ ُموْ ا ظَلَ ْمنَا َولَ ِك ْن‬v‫ع َْن ُخ ْذ ْيفَةَ قَا َل قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ ص م الَ تَ ُكوْ نُوْ ا‬
)‫ظلِ ُموْ ا (روه الترمدى‬ ْ ُ‫ َواِ ْن اَ َساَءُوْ ا فَالَ ت‬v‫ اَ ْنفُ َس ُك ْم ِإ ْن اَحْ َسنَ النَّاسُ َأ ْن تُحْ ِسنُوْ ا‬v‫َوطِّنُوْ ا‬

Hudzaifah berkata, bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda: “Janganlah kalian menjadi
tidak berpendirian, kalian berkata, “Jika manusia berbuat baik, kamipun berbuat baik, dan jika
manusia berbuat dholim, kamipun berbuat dholim; akan tetapi tetaplah pada pendirian kalian.
Jika orang-orang berbuat kebaikan, berbuat baiklah kalian, dan jika orang-orang berbuat
kejahatan, janganlah kalian berbuat kejahatan”. (H.R. Turmudzi)[7]

Ada 2 hal yang perlu digaris bawahi dalam hadits tersebut, yaitu:

Larangan bagi umat Islam untuk ikut-ikutan, artinya manusia muslim dilarang bersifat seperti
bunglon yang pandai berubah warna dalam setiap situasi.

Perintah Nabi kepada umat Islam agar mempunyai pendirian (prinsip). Pendirian yang dimaksud
adalah pendirian yang dibangun atas dasar tauhid, yang pada gilirannya akan menciptakan
manusia yang berpribadi, tidak mudah goyah dan tidak mudah pula terpengaruh.

Pada hadits lain disebutkan bahwa manusia yang tidak mempunyai pendirian diibaratkan
seonggok buih di tengah lautan, yang akan bergerak searah gerakan angin yang menghempasnya.
Sifat inilah yang menyebabkan kehancuran umat Islam.

Meskipun demikian, Islam tidak mengajarkan kepada umatnya bukan untuk melahirkan sifat
kekakuan, sebaliknya keluwesan dalam menghadapi persoalan bukanlah menjadi indikasi
lemahnya prinsip Islam yang dimiliki.

Betapa pentingnya istiqomah dalam kehidupan karena dapat menuntun kita ke jalan yang benar
dan diridhai Allah SWT. Berpendirian atau istiqomah berarti teguh atas jalan yang lurus,
berpegang pada akidah Islam dan melaksanakan syariat dengan teguh, tidak berubah dan
berpaling walau dalam keadaan apapun.[8]
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

ü kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa
kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir.

ü Ciri-ciri Kepribadian yang teguh yaitu memelihara lidah dari menggunjing orang lain,
menjauhi buruk sangka, menjauhkan diri dari memperolok-olokkan orang lain, menahan
pandangan dari hal-hal yang diharamkan, kejujuran lidah, menafkahkan harta pada jalan Allah,
jangan boros, janganlah ingin diunggul-unggulkan maupun dibesarkan dirinya, memelihara
shalat lima waktu, teguh hati dalam menganut aswaja.

ü Metode meraih pribadi yang baik yaitu Pentingkan pendidikan rohani, Hitung diri dan awasi
perbuatan anda, lakukan introspeksi, terimalah kritikan orang lain, jangan merasa puas dengan
diri anda.

ü Menurut Imam Ali as Faktor pembentuk kepribadian ada tiga yaitu Jadilah manusia paling
baik di sisi Allah,Jadilah manusia paling buruk dalam pandanganmu, Jadilah manusia biasa di
hadapan orang lain.

ü Manusia yang tidak mempunyai pendirian diibaratkan seonggok buih di tengah lautan, yang
akan bergerak searah gerakan angin yang menghempasnya. Sifat inilah yang menyebabkan
kehancuran umat Islam.

B. Penutup

Demikianlah yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan jujul makalah
ini.

Penulis banyak berharap pembaca yang budiman sudih memberikan kritik dan saran yang
membengun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah
dikesempatan-kesempatan berikutnya.

Semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi penulis juga para pembaca yang budiman
pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Musawi,Khalil. 2002. Bagaimana Mengembangkan Kepribadian Anda. Jakarta: Lentera.

Daes,Ahmad . 1989. Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran dan Hadits. Jakarta: t.p.

Mustofa,Ahmad. 1991. Mizah Al-Hikmah. Malang: Sentosa.

Roqib, Mohammad dan Nurfuadi. 2009. Kepribadian Guru. Purwokerto: STAIN Purwokerto
Press.

Sitanggal, Anshory Umar. 1991. Terjemah Durratun Nashihin. Semarang: CV Asy Syifa’.

Sujanto,Agus. 2006. Psikologi Kepribadian. Semarang: Bumi Akasara.

Tirmidzi. 2005. Sunan Tirmidzi. Kairo: Daarul Hadits

Zuhri, Mohammad dkk. 1992. Tarjamah Sunan At-Tirmidzi. Semarang: CV. Asy-Syifa’

[1] Ahmad Mustofa, Mizah Al-Hikmah, (Malang: Sentosa, 1991), hlm. 406.

[2] Agus Sujanto, Psikologi Kepribadian, (Semarang: Bumi Akasara, 2006), hlm.189.

[3] Ahmad Daes, Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: t.p., 1989), hlm. 9.

[4] Anshory Umar Sitanggal, Terjemah Durratun Nashihin, (Semarang: CV Asy Syifa’, 1991),
hlm.294-296.

[5] Khalil Al-Musawi, Bagaimana Mengembangkan Kepribadian Anda, (Jakarta: Lentera, 2002),
hlm. 64-68.

[6] Moh. Roqib dan Nurfuadi, Kepribadian Guru, (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2009),
hlm. 28

[7] Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Kairo: Daarul Hadits, 2005), hlm. 89.

[8] Moh. Zuhri Dipl, TAFL dkk, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, (Semarang: CV Asy-Syifa’,
1992), hlm. 210.

Anda mungkin juga menyukai