Anda di halaman 1dari 160

PELAKSANAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH

(KASUS PADA SUATU SATUAN KERJA DI JAWA TIMUR)

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan


Mencapai Gelar Magister

oleh:
IKA ARDIYANTO
136020300111032

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
ii
iii
iv
RIWAYAT HIDUP

Ika Ardiyanto, lahir di Pati, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 8 Nopember

1980. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Sumitro dan Prihatin.

Pendidikan SD Negeri 1 Kalidoro Pati (1986-1992), SMP Negeri 1 Pati (1992-

1995), SMU Negeri 1 Pati (1995-1998), Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi

Universitas Brawijaya Malang (1998-2003), Program Studi Magister Akuntansi

Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang (2013-

2015). Pengalaman kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Kota

Kediri dan ditempatkan pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kediri

sejak tahun 2010 sampai sekarang.

Malang, 26 Agustus 2015

Penulis

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan


segala hormat kepada :

Allah SWT, Tuhan yang telah menggetarkan hati sanubariku untuk benar-
benar tunduk sesuai keyakinan agama Islam. Saya bukan keturunan santri tetapi
meyakini Islam sebagai agama yang sempurna sampai akhir jaman.

Rosululloh Muhammad SAW, manusia sempurna yang sudah ditakdirkan


Tuhan sebagai sebagus-bagus panutan dan pimpinan dari seluruh nabi sekaligus
satu-satunya yang memberi syafaat di hari akhirat.

Bapak Sumitro dan Ibu Prihatin, kedua orang tuaku yang menjadi lantaran
saya hidup di dunia dan jimat hidup yang selalu mendoakanku. Bapak H. Asnawi
dan Ibu Hj. Nurul Choiriyah, mertuaku yang bersedia memberikan putrinya untuk
menjadi isteriku.

Guru-guruku yang pernah memberi ilmu dan manfaat walaupun hanya


dengan sebuah kata dan budi pekerti yang baik.

Nurisnaini Komariana Haniifa, isteriku, isteriku dan isteriku selalu. Tak


terasa sudah hampir sewindu kita lalui dalam canda tawa, suka dan duka. Terima
kasih mau menjadi pendamping hidupku walaupun saya sadar bukan yang
sempurna tetapi akan berusaha menjadi yang tersayang untukmu seorang.

Adikku Teguh Budiarto dan Verania Cartra Dewi, ipar- iparku Mbak Ula,
Mas Hasan, Icha, Fani dan Teguh. Keponakanku Syafa, Dhanan, Hasbi dan
Muzaky.

Drs. Ali Djamhuri M.Com., Ph.D., CPA., Ak selaku Ketua Program


Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya atas
pertolongan dan bimbingannya kepada saya serta Angkatan Batch I Star
Brawijaya.

Prof. Dr. Unti Ludigdo, SE., M.Si., Ak selaku Pembimbing I, terima kasih
atas pencerahan etika, etnometodologi dan Pancasila kepada saya.

vi
Noval Adib, SE., M.Si., Ak., Ph.D selaku Pembimbing II, terima kasih atas
bimbingannya kepada saya.

Dr. M. Achsin, SE., SH., MM., M.Ec.Dev., Ak.,CPA selaku Penguji I, terima
kasih atas kritik, saran dan yang terpenting kehadirannya pada Ujian Akhir disela-
sela kesibukan beliau.

Dr. Aji Dedi Mulawarman,SP., MSA selaku Penguji II, terima kasih atas
penjelasan, diskusi dan buku “Yang Oetama” sebagai kenang-kenangan Bapak
kepada saya. Bapak adalah dosen yang nyentrik, nyeleneh dan luar biasa bagi
saya.

Dosen-dosen yang telah mengajar kami Batch I dari matrikulasi sampai


Ujian Tesis.

Grup Maknyak Institut, Hendra “Acong Muke Gile” Sahputra, Ari Bowo
Leksono “Tersenyum”, Ficky “Sastrawan Tampan” Susilo AW, Kangmas Roy
“Otobiografi” Alfan Tandianto, Rusman “Naib Wakatobi”, Adit “Jamur Ketua Kelas”
dan Hapri “Kelana” Mokoagow. Sahabat, setelah semuan yang kita lakukan di
warung mulai ngobrol dan diskusi diluar kelas, semoga dilain waktu dapat
bertemu lagi.

Geng Pemkot Kediri, Den Mas Arif “IT”, Eka Setya “Doraemon”
Wicaksana dan Widya Retno “DKP” Puspasari. Saya tidak tahu sepuluh tahun
lagi karir kita di Pemkot Kediri, yang saya tahu dua tahun ini kita lalui dengan
sebaik-baiknya.

Sahabat-sahabat Batch I: Eka “Meongg” Sangaji, Frita “Lotion” Ayu, Eka


Findi “Itje” Tresnawati, Mbakyu Benedicta “Richa”, Hana “Mebel”, Nyoto “Susu
Bantal” Setiono, Bayu Sakti “Mengkilap”, Hafid Ahabun “Cepu Pororo”, Rosari
Luhlike “Bau Sapi”, Riza Mutaqin “Uhuiiiii” dan Ari “Pandalungan” Susanti. Kita
semua adalah satu grup yang istimewa dan gila. Dua tahun ini memberikan
pengalaman yang tak terlupakan bagi saya, semoga kita semua sukses selalu.

Guru, sahabat dan seperjuangan di Pusat Studi Peradaban Nusantara:


Sang Guru Sejati, Dr. Moh. Fadli, Dr. Jasim Hamidi, Kang Zunaedi, Mustofa, Azis,
Daniar Supriyadi dan semua yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

vii
Rahmad “Bajul” Akbar Hakiki, terima kasih untuk menemani melekan
sampai pagi dalam susah dan senang di Malang dan Kediri.

Pemerintah Kota Kediri yang “mengijinkan” untuk Tugas Belajar serta


tidak lupa Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang telah saya susahkan.

STAR BPKP, terima kasih, thank you, kamsia dan matur nuwun atas
program beasiswanya.

Sahabat-sahabatku juru parkir, bagian pengajaran dan administrasi,


terima kasih atas bantuannya selama ini.

Komik silat koleksiku yang menemani selama 2 tahun kuliah spesial Khun
Lung, Chin Yung, Tjan ID, Kho Ping Ho, SD. Liong, Gan KH, Gan KL dan masih
banyak yang belum saya sebutkan. Game Zynga Poker dan Bilyard yang
membuatku jadi gila. Kopi dan rokok teman setia yang menemaniku di
keheningan malam dan siang. Tidak lupa Radio Wijangsongo, Celestine Movies
dan MNC Sport yang menemaniku mengerjakan tugas dan tesis.

Malang, 26 Agustus 2015

Penulis

viii
ABSTRAK

Ika Ardiyanto, Program Magister Akuntansi Universitas Barawijaya. 2015.


Pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Kasus Pada Suatu Satuan
Kerja di Jawa Timur). Ketua Komisi Pembimbing: Unti Ludigdo. Anggota Komisi
Pembimbing: Noval Adib.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami pelaksanaan Sistem Pengendalian


Intern Pemerintah (SPIP) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008.
Penelitian ini dilakukan pada suatu Satuan Kerja di Jawa Timur dengan
etnometodologi sebagai metodenya. Hasil penelitian ini menjelaskan realitas
yang terjadi terkait dengan pengaturan keuangan dalam birokrasi politik, bantuan
keuangan partai politik, dilema etika dan peran inspektorat yang cuma
menyalahkan. Teori keagenan digunakan untuk menjelaskan perilaku oportunistik
yang dilakukan oleh prinsipal dan agen dalam pelaksanaan SPIP. Budaya
“ngrosak” merupakan realitas yang diterima Satuan Kerja dalam mengakomodasi
pihak-pihak eksternal dan internal dalam pelaksanaan SPIP.

Kata Kunci: Pelaksanaan, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP),


Etnometodologi, Satuan Kerja

ix
ABSTRACT

Ika Ardiyanto: Postgraduate degree at Faculty of Economics and Business,


Brawijaya University, 2015. Implementation of Government Internal Control
System (Case at a District in East Java). Supervisor: Unti Ludigdo. Co-
supervisor: Noval Adib.

This research aims to understand the implementation of Government Internal


Control System (SPIP) according to Government Regulation (PP) No. 60 of 2008.
The research was conducted at a district in East Java. This study is a qualitative
research in the interpretive paradigm. The ethnomethodology was employed as a
research method. The results of this study describes the reality of what happened
related to financial arrangements in the political bureaucracy, financial assistance
of political parties, an ethical dilemma, and the role of the inspectorate who just
blame. The agency theory is used to comprehend the opportunistic behavior
conducted by the principal and the agent in the implementation of SPIP. Culture
"ngrosak" is an accepted practice to accommodate external and internal parties
in the implementation of SPIP.

Key word: Implementation, Government Internal Control System (SPIP),


Ethnomethodology, District

x
KATA PENGANTAR

Ungkapan syukur saya panjatkan kepada Allah SWTsehingga tesis yang

berjudul: PELAKSANAAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH

(Kasus Pada Suatu Satuan Kerja Di Jawa Timur) dapat diselesaikan dengan

baik. Penelitian ini membahas seputar pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern

(SPIP) dengan memakai pendekatan etnometodologi. Pertautan antara SPIP

dengan pihak intern dan ekstern menjadi menarik dalam tataran praktik

sesungguhnya di birokrasi. Saya menyadari dan menyetujui bahwa tesis yang

baik adalah tesis yang cepat diselesaikan. Saya menyadari masih ada banyak

kekurangan baik dari tulisan, isi dan penyajian. Oleh karena itu kritik dan saran

yang membangun penulis harapkan agar dapat bermanfaat.

Malang, 26 Agustus 2015

Penulis

xi
xii
xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Indeks Persepsi Korupsi Negara-Negara


ASEAN Tahun 2012-2015 2
Tabel 1.2 Ikhtisar Hasil Temuan BPK Semester I Tahun
2014 4
Tabel 1.3 Sosialisasi SPIP Pada Pemerintah Daerah dan
Kementerian/Lembaga 7
Tabel 1.4 Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Jenis
Perkara Tahun 2008-2013 8
Tabel 1.5 Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan
Instansi/Lembaga Tahun 2008-2013 8
Tabel 2.1 Definisi Sistem Pengendalian Intern 13
Tabel 2.2 Sistem Pengendalian Intern Di Berbagai
Negara 18
Tabel 5.1 Bantuan Keuangan Partai Politik Berdasarkan
Perolehan Suara Pemilu Tahun 2009 76

Tabel 5.2 Bantuan Keuangan Partai Politik Berdasarkan


Perolehan Suara Pemilu Tahun 2009 77
Tabel 5.3 Check List Administrasi Bantuan Keuangan
Partai Politik 81

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 COSO Enterprise Risk Management 16


Gambar 2.2 Unsur-Unsur SPIP 20
Gambar 2.3 Sistem Pengendalian Intern Pemerintah 21
Gambar 6.6 Mekanisme Bantuan Keuangan Partai 74
Politik

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Pengendalian intern merupakan subyek yang menjadi perhatian luas dan

sering diperdebatkan. Beberapa tahun terakhir ini sering terjadi permasalahan-

permasalahan yang terkait dengan kegagalan pengendalian internal sektor publik

yang terjadi di dunia dan Indonesia. Kasus government shutdown (lumpuhnya

pemerintahan) terjadi di Amerika Serikat ditandai dengan bangkrutnya Kota

Detroit (2013), Jefferson County (2011), Orange County (1994), Stockton (2012)

dan San Bernadino County (2012) walaupun Amerika Serikat diyakini memiliki

sistem pengendalian internal yang ketat dan auditor internal yang kinerjanya

dijadikan acuan bagi negara lain. Nasution (2007) menyebutkan beberapa

kelemahan dalam sistem keuangan negara Indonesia di era Orde Baru yaitu: (1)

kelemahan desain dan pelaksanaan sistem pengendalian intern, (2)

ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, (3) penyimpangan

keuangan negara yang semrawut, (4) tidak adanya informasi tentang aset dan

hutang negara, dan (5) pengungkapan laporan keuangan pemerintah yang tidak

konsisten dan tidak memadai.

Indikasinya antara lain Indonesia dikategorikan sebagai salah satu negara

yang memiliki tingkat korupsi tinggi di dunia dengan rangking 107 serta skor 34

berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi tahun 2014 (http://www.transparency.org).

Tabel Indeks Persepsi Korupsi di beberapa negara Asia Tenggara tahun 2012 -

2014 yang dapat dilihat pada tabel 1.1 sebagai berikut:

1
2

Tabel 1.1 Indeks Persepsi Korupsi Negara-Negara ASEAN


Tahun 2012-2015
Indeks Persepsi Korupsi
Negara 2012 2013 2014
Rangking Skor Rangking Skor Rangking Skor
Singapura 5 87 5 86 7 84
Malaysia 54 49 53 50 50 52
Thailand 88 37 102 35 85 38
Filipina 105 34 94 36 85 38
Indonesia 118 32 114 32 107 34
Vietnam 123 31 116 31 119 31
Timor Leste 113 33 119 30 133 28
Laos 160 21 140 26 145 25
Kamboja 157 22 160 20 156 21
Myanmar 172 15 157 21 156 21
Sumber : Corruption Perspective Indeks Tahun 2012,2013 dan 2014 yang diunduh di
www.transparancy.org

Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dalam kegiatan

meliputi: pengelolaan anggaran baik di pusat maupun daerah, BUMN/BUMD

termasuk perbankan, sumber daya alam, sumber daya manusia/tenaga kerja dan

pelayanan publik. Bentuk-bentuk korupsi pada umumnya berupa:

penyalahgunaan wewenang, pembayaran fiktif, kolusi, biaya perjalanan dinas

yang fiktif, suap/uang pelicin, pungutan liar, penyalahgunaan fasilitas kantor,

imbalan tidak resmi, pemberian fasilitas secara tidak adil, bekerja tidak sesuai

ketentuan dan prosedur, tidak disiplin waktu, komisi atas transaksi jual/beli yang

tidak disetor ke kas negara, menunda/ memperlambat pembayaran proyek,

pengumpulan dana taktis, penyalahgunaan anggaran, menerima hadiah,

menerima sumbangan.

Sebenarnya modus-modus dalam sub sistem yang korup seperti yang

Nielsen (2013) katakan tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di Asia,

Amerika Latin, Mediterania dan Amerika Utara. Kasus korupsi yang beroperasi

biasanya dilakukan dengan 12 (dua belas) modus yang hampir sama (Nielsen,

2013, 126-141) yaitu: 1) Hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan dan


3

bersifat parasit dalam jaringan korupsi; 2) Pemerasan oleh pemerintah dan

pejabat menjadi masalah yang jauh lebih besar dari suap; 3) Perilaku korupsi

terkait dengan perilaku produktif, biasanya hasil dari korupsi digunakan untuk

membangun usaha seperti hotel, karaoke, pabrik dan lain sebagainya; 4)

Jebakan untuk pelanggaran terhadap orang-orang reformis yang menentang

korupsi; 5) Koruptor atau jaringannya menjadi lebih menarik, orangnya menjadi

bermurah hati, menyenangkan dan cerdas dengan melakukan derma, sedekah,

membantu sesama dari hasil korupsi; 6) Hukum yang tidak realistis (mencari

celah hukum) untuk menghasilkan peluang pemerasan; 7) Adanya link (jaringan)

antara partai politik, kepolisian, kejaksaan peradilan dan legislatif; 8) Adanya link

korupsi antara partai politik dan penerbit laporan yang berpotensi sebagai

"watch-dog" dan penelitian institusi seperti audit, media jurnalistik, universitas,

dan asosiasi profesi tujuannya untuk tidak mempublikasikan atau melakukan

penelitian terhadap kasus korupsi; 9) Dana kampanye dari calon reformis yang

mencalonkan diri sering bermasalah; 10) Partisipasi atau keterlibatan ditawarkan

kepada seorang reformis yang menolak korupsi sekaligus persiapan untuk

menyerangnya bila ternyata menolak untuk diajak korupsi secara bersama-sama;

11) Konflik insentif principal-agent sektor publik mengakibatkan misregulation

dan relaksasi pengawasan; 12) Program penyelamatan nasional atau

internasional untuk mempertahankan sistem yang korup serta memaksa langkah-

langkah penghematan di kelas menengah dan bawah biasanya dengan turut

campurnya IMF dan bank dunia yang memaksakan regulasi di suatu negara.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan selama

semester I Tahun 2014 pada pemerintah pusat, pemerintah daerah serta BUMN

dan lainnya berupa temuan SPI sebanyak 5.948 kasus dan temuan

ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebanyak

7.173 kasus senilai Rp10,92 triliun yang dapat dilihat pada tabel 1.2 dibawah ini :
4

Tabel 1.2
Ikhtisar Hasil Temuan BPK Semester I Tahun 2014

Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2014 yang diunduh di www.bpk.go.id

Kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-

undangan sering mengakibatkan kerugian daerah dan kelemahan administrasi.

Jenis kerugian daerah, seperti kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang,

belanja tidak sesuai atau melebihi ketentuan, dan kelebihan pembayaran selain

kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang. Sedangkan kelemahan

administrasi, seperti pertanggungjawaban tidak akuntabel (bukti tidak

lengkap/tidak valid), penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan

bidang pengelolaan perlengkapan atau Barang Milik Daerah, dan kepemilikan

aset tidak/belum didukung bukti yang sah.

Usaha pemerintah untuk mengatasi berbagai kelemahan dan

penyimpangan tersebut di atas dilakukan dengan melakukan reformasi di bidang

keuangan negara dengan ditetapkannya tiga paket perundang-undangan di

bidang keuangan negara, yaitu Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan Negara. Undang-undang

keuangan negara yang baru tersebut membawa implikasi ditetapkannya suatu

sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih transparan, akuntabel, dan


5

terukur. Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara memerintahkan pengaturan lebih lanjut

mengenai sistem pengendalian intern pemerintah secara menyeluruh dengan

Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan ini, Pemerintah telah menerbitkan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian

Intern Pemerintah yang dilandasi pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian

Intern dapat memberikan keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan

organisasi secara efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan,

pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-

undangan yang berlaku.Tujuan dibentuknya Sistem Pengendalian Intern menurut

Bastian (2006:450) adalah untuk: (1) menjaga kekayaan organisasi, (2)

mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, (3) mendorong efisiensi, dan

(4) mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen.

Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) diadopsi dari sebuah

konsep yang mencoba mengaitkan terjadinya perubahan bertahap terhadap

sistem pengendalian intern. Konsep ini telah disempurnakan berdasarkan

pengalaman selama menjalankan dan mempelajari sistem pengendalian intern.

Konsep SPIP diadopsi dari sebuh grup studi: The Committee of Sponsoring

Organization of the Treadway Commission (COSO), berdasarkan publikasi

laporan Internal Control-Integrated Framework (September 1992). Prinsip-prinsip

pengendalian intern versi COSO (Moeller, 2007) adalah berusaha meningkatkan

kinerja dan tata kelola organisasinya menggunakan Manajemen Risiko

Terpadu (Enterprise Risk Management), Pengendalian Intern (Internal

Control) dan Pencegahan Kecurangan (Fraud Detterence).

Sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008

telah dikenal Sistem Pengendalian Intern Pemerintah melalui Instruksi Presiden

Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat


6

yang menggunakan pengawasan melekat atau sistem pengendalian

manajemen. Pelaksanaan pengendalian disini lebih menitikberatkan pada

komponen peraturan, sistem, prosedur atau kebijakan yang dikeluarkan

oleh pemerintah (hard control). Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor Kep/46/M.PAN/4/2004 diuraikan bahwa

Pengawasan melekat yang merupakan padanan istilah pengendalian

manajemen atau pengendalian intern, dan selanjutnya disebut WASKAT

adalah segala upaya yang dilakukan dalam suatu organisasi untuk mengarahkan

seluruh kegiatan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien

dan ekonomis, segala sumber daya dimanfaatkan dan dilindungi, data dan

laporan dapat dipercaya dan disajikan secara wajar, serta ditaatinya segala

ketentuan yang berlaku. Pengawasan Melekat masih merupakan tools dan

bersifat statis serta tidak bisa mengikuti perkembangan jaman, terutama

perkembangan teknologi dan informasi, sehingga belum mampu menciptakan

tata kelola yang baik dan tata kelola yang bersih.

Terkait dengan pelaksanaan penerapan PP 60 tahun 2008 tentang SPIP,

BPKP mempunyai tiga peran baru yaitu pengawasan intern terhadap

akuntabilitas keuangan Negara, reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat

dan Daerah, dan pembinaan penyelenggaraan SPIP. Ada 5 tahap dalam proses

penyelenggaraan SPIP (Laila, 2009) yaitu sosialisasi dan diklat, melakukan

pemetaan/diagnostic assessment untuk memperoleh area perbaikan (area of

improvements) terhadap unsur-unsur SPIP yang dipetakan dan melakukan

perbaikan yang diperlukan terhadap unsur-unsur tersebut melalui bimbingan dan

konsultasi, instansi pemerintah perlu segera membangun dan memperbaiki

infrastruktur untuk penyelenggaraan SPIP pada organisasinya, melakukan

internalisasi terhadap infrastruktur yang dibangun dan diperbaiki dengan

mewujudkan dalam keseharian semua yang diperlukan dalam


7

menyelenggarakan SPIP, pengembangan berkelanjutan melalui learning by

doing karena kondisi yang dihadapi setiap instansi pemerintah selalu dinamis

dan terus menimbulkan perubahan yang akan memerlukan pengembangan yang

berkelanjutan sehingga SPIP yang dibutuhkan setiap instansi pemerintah dapat

berlangsung secara baik.

Sampai dengan tahun 2013 Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) melalui Satgas PP SPIP telah melakukan Sosialisasi

SPIP terhadap 61 Kementerian/Lembaga dan 392 Pemerintah Daerah dengan

rincian peserta pada tabel 1.3 sebagai berikut:

Tabel 1.3
Sosialisasi SPIP Pada Pemerintah Daerah dan Kementerian/Lembaga

Sumber: www.bpkp.go.id

Sejak dikeluarkannya PP 60 tahun 2008 tentang SPIP yang berlaku

efektif tanggal 28 Agustus 2008 sampai sekarang terdapat fenomena menarik

yaitu ternyata masih ditemukan maraknya kasus korupsi yang terjadi di


8

Indonesia. Data yang diperoleh dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari

tahun 2008-2013 terdapat Tindak Pidana Korupsi (TPK) berdasarkan jenis

perkara yang disajikan pada tabel 1.4 sebagai berikut:

Tabel 1.4
Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2008-2013
No Jenis perkara 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah
1 Pengadaan Barang dan jasa 18 16 16 10 11 9 80
2 Perizinan 3 1 3 7
3 Penyuapan 13 12 19 25 34 50 153
4 Pungutan 3 1 4
5 Penyalahgunaan Anggaran 10 8 5 4 3 30
6 TPPU 7 7
Jumlah 47 37 40 39 48 70 281
Sumber: Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi 2012 dan 2013 yang diunduh di
www.kpk.go.id

Tindak Pidana Korupsi (TPK) ternyata dilakukan oleh beberapa instansi

baik pusat maupun daerah dengan rincian pada tabel 1.5 sebagai berikut :

Tabel 1.5 Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Instansi / Lembaga


Tahun 2008-2013
No Instansi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah
1 DPR RI 7 10 7 2 6 2 34
2 Kementerian / Lembaga 13 13 16 23 18 46 129
3 BUMN / BUMD 2 5 7 3 1 18
4 Komisi 2 2 1 5
5 Pemerintah Provinsi 5 4 3 13 4 29
6 Pemkab/Pemkot 18 5 8 7 10 18 66
Jumlah 47 37 40 39 48 70 281
Sumber: Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi 2012 dan 2013 yang diunduh di
www.kpk.go.id

Maraknya skandal korupsi baik di pusat maupun di daerah menunjukkan

bahwa SPIP masih belum efektif dalam memberikan keyakinan memadai atas

tercapainya tujuan organisasi. Kasus pelanggaran atas SPIP mayoritas dilakukan

pemerintah daerah dan kota yaitu sebesar 4.701 dari 5.948 kasus (Ikhtisar Hasil

Pemeriksaan Semester I Tahun 2014).

. Penelitian-penelitian yang mengambil sistem pengendalian intern di

sektor publik lebih banyak berfokus pada menganalisis baik secara kuantitatif
9

(lebih dominan) atau kualitatif berfokus pada laporan formal dari institusi

pemerintah. Kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa masih banyak

fenomena korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, penyelewengan anggaran

bahkan dilakukan oleh negara yang mempunyai sistem pengendalian intern yang

kuat (Huefner, 2011). Penelitian kuantitatif cenderung untuk menguji teori bahwa

sistem pengendalian intern berpengaruh terhadap transparansi laporan

keuangan pemerintah (Sari, 2010) dan laporan hasil pemeriksaan BPK (Mulyani

dan Suryawati, 2011). Kepatuhan terhadap aturan yang telah ditetapkan di

berbagai negara seperti Amerika Serikat, Hungaria, Italia, Malaysia, Rumania

dan Indonesia tentang sistem pengendalian intern dapat dijelaskan oleh

beberapa peneliti (Wallace, 2010; Reginato, Paglietti dan Fadda, 2011; Wilopo,

2006; Pratiwi, 2012).

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dengan

menggunakan pendekatan etnometodologi untuk melihat pemahaman dari

aparatur pemerintah dalam menjabarkan sistem pengendalian intern.

Pemahaman dari aparatur menjadi sangat penting karena tingkat pendidikan

yang beranekaragam di satuan kerja menimbulkan pemahaman yang berbeda

terhadap sistem pengendalian intern dan akan tercermin pelaksanaannya dalam

kegiatan pengendalian intern yang dilakukan sehari-hari dan berulang-ulang.

Fenomena keseharian atas perilaku aparatur pemerintah dalam melaksanakan

sistem pengendalian intern akan mencerminkan praktik sesungguhnya

penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 sekaligus kritik

pelaksanaannya. Penelitian ini menjadi menarik karena Sistem Pengendalian

Intern Pemerintah (SPIP) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008

yang diadopsi dari sektor privat untuk dilaksanakan di birokrasi yang tidak bebas

dari nilai. Birokrasi pemerintahan Indonesia yang dipengaruhi faktor politik,


10

budaya, sosial berhadapan dengan reformasi birokrasi yang menjunjung tinggi

akuntabilitas dan keterbukaan publik terhadap kinerja aparatur pemerintah.

1. 2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini terletak pada upaya untuk memahami arti Sistem

Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) sehingga dapat diketahui makna dan

pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada salah satu Satuan

Kerja di Jawa Timur sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

1. 3. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang terdiri dari lima

unsure saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Pelaksanaan SPIP di Satuan

Kerja perlu dicermati dalam praktiknya mengingat masih banyak perilaku

menyimpang dari aparatur pemerintah. Unsur lingkungan pengendalian pada

SPIP diarahkan pada penciptaan perilaku positif dan kondusif oleh seluruh

pimpinan Instansi Pemerintah dan pegawai sehingga sistem pengendalian intern

dapat diterapkan. Unsur kedua sampai dengan unsur kelima, fokus perhatian

diarahkan pada penyelenggaraan sistem pengendalian intern sebagai proses

yang melekat sepanjang kegiatan. Pertanyaan yang diajukan sebagai

permasalahan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut “Bagaimanakah

pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menurut Peraturan

Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 pada suatu Satuan kerja di Jawa Timur ?”.

1. 4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian yang telah dipaparkan di

atas, maka penelitian ini bertujuan untuk memahami pelaksanaan Sistem


11

Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menurut Peraturan Pemerintah Nomor

60 Tahun 2008 pada suatu Satuan Kerja di Jawa Timur.

1. 5. Kontribusi Penelitian Pada Perkembangan Teori

Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif sehingga dapat

memberikan kontribusi terhadap pemahaman makna dan pelaksanaan Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menurut Peraturan Pemerintah Nomor

60 Tahun 2008. Kontribusi penelitian bagi pengembangan teori sebagai berikut:

1. Mengetahui arti dan pemaknaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

(SPIP) dengan latar belakang bahwa sumber daya di daerah yang

cenderung lebih rendah mungkin memaknai SPIP tidak seperti yang

diharapkan dalam kondisi normatifnya.


2. Aspek perilaku manusia (behaviour) dalam pelaksanaan SPIP sesuai

regulasi pemerintah. Keunikan yang didapat dari penelitian ini adalah makna

pemahaman atas SPIP dari Satuan Kerja serta tindakan yang dilakukan

sehari-hari atas pelaksanaan SPIP apakah sesuai yang diharapkan

pemerintah untuk melakukan kontrol di instansi pemerintah.


3. Mengetahui perubahan perilaku aparatur negara di instansi pemerintah

dengan diterapkannya SPIP dan dijadikan objek pemeriksaan oleh Badan

Pemeriksa Keuangan sebagai auditor eksternal pemerintah.

1. 6. Kontribusi Penelitian Pada Praktik

Kontribusi penelitian pada praktik adalah untuk memberikan masukan

kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap regulasi yang telah

dikeluarkan dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya manusia di daerah

yang rendah. Kontribusi selanjutnya bagi pembuat regulasi untuk

mempertimbangkan dalam mengadopsi konsep sektor privat agar tidak

dipaksakan didalam sektor publik tanpa melihat kondisi riil di pemerintahan.


BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2. 1. Pengertian Pengendalian Intern

Sistem pengendalian intern dipandang sebagai sesuatu yang bersifat

dinamis karena tidak terlepas dari perkembangan metode pengelolaan sumber

daya manusia yang ada dalam organisasi. Penelaahan ulang atas alat-alat

pengendalian seiring dengan meningkatnya kualitas sumber daya manusia dan

pengendalian intern mengalami perubahan konsep dari ketersediaan alat

pengendalian menjadi konsep untuk mencapai tujuan. Definisi dari sistem

pengendalian intern dikemukakan oleh beberapa organisasi yang berfokus pada

pengembangan sistem pengendalian intern yang diringkas dalam tabel 2.1

dibawah ini:
Tabel 2.1
Definisi Sistem Pengendalian Intern
Organisasi Definisi
The Committee “An internal control is a process, affected by an entity’s board of
of Sponsoring directors, management and other personnel, designed to provide
Organization’s reasonable assurance regarding the achievement of objectives in
of the Treadway (1) effectiveness and efficiency of operations (2) Reliability of
Commission financial reporting and (3) compliance with applicable laws and
(COSO) regulations”.
The International “Internal control is an integral process that is effected by an
Organization of entity’s management and personnel and is designed to address
Supreme Audit risks and to provide reasonable assurance that in pursuit of the
Institutions entity’s mission, the following general objectives are being
(INTOSAI) achieved: executing orderly, ethical, economical, efficient and
effective operations, fulfilling accountability obligations, complying
with applicable laws and regulations and safeguarding resources
against loss, misuse and damage”.
Federal “An integral component of an organization’s management that
Government provides reasonable assurance that the following objectives are
United States being achieved: effectiveness and efficiency of operations,
General reliability of financial reporting and Compliance with applicable
Accounting laws and regulations”.

13
14

Office (GAO)

American “Internal control comprises the plan of organization and all of the
Institute of coordinate methods and measures adopted within a business to
Certified Public safeguard its assets, check accuracy and reliability of its
Accountant accounting data, promotes operational efficiency and encourage
adherence to prescribed managerial policies”.
Sumber : Data sekunder yang diolah

Secara umum sistem pengendalian intern digunakan untuk mengurangi

kehilangan atas pendapatan, penggunaan yang berlebihan sumber daya dan

mengantisipasi biaya. Tujuan utama dari pengendalian intern termasuk a)

keandalan laporan keuangan, b) operasional yang efektif dan efisien, c)

kepatuhan terhadap hukum dan perundang-undangan. Selain itu tujuan dari

pengendalian intern (Abbas dan Iqbal, 2012) dapat dikategorikan melalui

performance objectives, information objectives dan compiance objectives.

Performance objectives berfofus pada penjagaan aset, efesiensi operasi dan

manajemen resiko. Information objectives memerlukan keakuratan pencatatan

dan kecukupan dalam pengungkapan sedangkan compliance objectives berfokus

pada ketaatan kepada hukum, perundang-undangan dan kebijakan intern yang

relevan terhadap organisasi.

Kerangka sistem pengendalian intern yang sering dipakai oleh organisasi

baik organisasi privat maupun sektor publik adalah kerangka kerja pengendalian

intern COSO yang didesain untuk memuaskan kebutuhan semua kelompok yang

berhubungan dengan sistem pengendalian intern, yaitu manajemen entitas,

auditor eksteren dan intern, manajemen keuangan, akuntan manajemen, serta

pemegang otoritas (pasar modal). Konsep COSO telah digunakan secara luas di

Amerika Serikat dan telah diadopsi berbagai pihak baik organisasi profesi

internasional maupun organisasi korporat/privat serta organisasi sektor publik.

Sejarahnya diawali pada tahun 1985 didirikan The Committee of Sponsoring


15

Organization’s of the Treadway Commission (COSO) merupakan organisasi

independen yang peduli dengan upaya peningkatan kualitas laporan keuangan

melalui tata kelolausaha yang baik dan pengendalian intern yang efektif. COSO

menciptakan metode untuk membantu proses pengendalian intern yang

digunakan oleh organisasi di seluruh dunia. Olach dan Shayamini (2009)

mengemukakan bahwa COSO telah digunakan sebagai acuan oleh 5 (lima)

organisasi profesional Amerika diantaranya adalah American Institute of Certified

Public Accountant (AICPA), American Accounting Association (AAA), Institute of

Managerial Accountants (IMA), Institute of Internal Auditors (IIA) dan Financial

Executives International (FEI).

COSO pada tahun 1992 berhasil membuat Control Integrated Framework

yang isinya antara lain rumusan pengertian pengendalian interen sebagai

proses yang dilakukan oleh manajemen dan personil lain dalam organisasi yang

dirancang untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa akan terdapat

perbaikan dalam pencapaian tujuan-tujuan: efektivitas dan efisiensi operasi,

keandalan pelaporan keuangan, dan kepatuhan terhadap peraturan yang

berlaku. Tujuan pengendalian intern dari COSO lebih lanjut membahas tentang

definisi pengendalian intern, best practices internal audit dalam melaksanakan

aturan, internal audit sebagai bagian integral dari proses manajemen resiko serta

fungsi audit dalam melaksanakan tugas serta mengkomunikasikan temuan audit.

Pengendalian intern versi COSO merupakan suatu kerangka internal control

dengan mengintegrasikan semua aspek operasi dan keuangan perusahaan,

termasuk antara pimpinan (top executives) maupun pegawai (employees), tujuan

dan risiko usaha, serta meliputi semua unit kegiatan organisasi.

COSO bekerjasama dengan Pricewaterhouse Coopers memulai proyek

untuk mengembangkan kerangka kerja manajemen risiko untuk mengevaluasi

dan meningkatkan efektivitas ERM. Kerjasama ini membuahkan hasil pada tahun
16

2004 dengan dirilisnya COSO ERM – Integrated Framework yang menuntut

perusahaan untuk dapat menentukan terlebih dahulu sasaran perusahaan dalam

empat kategori meliputi unsur strategis, operasi, pelaporan dan pemenuhan

terhadap hukum serta regulasi yang berlaku. Manajemen risiko dari COSO ERM

terdiri dari delapan komponen meliputi : lingkungan internal (internal

environtment), penetapan sasaran (objective setting), identifikasi kejadian (event

identification), penilaian resiko (risk assesment), perlakuan resiko (risk response),

aktivitas pengendalian (control activities), informasi dan komunikasi (information

and communication) serta pemantauan (monitoring) seperti yang terlihat pada

gambar 2.1:

Gambar 2.1 COSO Enterprise Risk Management

Sumber: COSO Enterprise Risk Management – Integrated Framework


(Executive Summary)

Selain internal control framework dari COSO, terdapat beberapa alternatif

internal control framework yang digunakan oleh perusahaan dan internal audit di

dunia seperti Canadian Institute of Chartered Accountant (CICA) menerbitkan

Criteria of Control Framework (CoCo), IT Governance Institute and The


17

Information Systems Audit and Control Association menerbitkan Control

Objectives for Information and Related Technology (COBIT). CICA pada tahun

1995 mengeluarkan Guidance on Control yang menjelaskan CoCo framework

dan pengendalian intern secara lebih mendalam dengan mendesain, menilai

serta melaporkan pengendalian intern yang telah dilakukan. Babon (2009 : 78-

79) serta Olach dan Weeramantri (2009 : 11) menjelaskan konsep CoCo meliputi

20 kriteria dalam 4 (empat) kategori meliputi : Purpose, Commitment, Capability,

dan Monitoring and Learning. COBIT lebih berfokus pada sistem informasi yang

berbasis teknologi komputer dan digunakan untuk lebih mengandalkan kualitas,

relibialitas dan kontrol teknologi informasi.

Pengendalian intern di sektor publik bertujuan untuk meningkatkan

kapasitas manajemen keuangan dan administrasi dengan meminimalisasi

perilaku penggunaan fiskal yang berdampak pada pemborosan, ketidaksesuaian

anggaran dan korupsi (Baltaci dan Yilmaz, 2006). Desentralisasi fiskal telah

diterapkan beberapa negara berkembang seperti Argentina, Cina, Indonesia,

Bosnia, Colombia, India dan Filipina yang dilaksanakan oleh pemerintah lokal

untuk meningkatkan pelayanan publik dan perluasan kewenangan untuk

mengelola anggarannya sendiri. Ironisnya, perluasan kewenangan anggaran dan

kekuasan kepada daerah tanpa dibarengi dengan penguatan sistem manajemen

keuangan publik dan pelayanan masyarakat yang berakibat pada masalah

ketidakseimbangan fiskal, akuntabilitas yang lemah, pembagian keuntungan

politik dan penurunan pelayanan publik. Berikut ini disajikan sistem pengendalian

intern pemerintah daerah di berbagai negara dalam tabel 2.2 sebagai berikut:
18

Tabel 2.2
Sistem Pengendalian Intern Di Berbagai Negara
Negara Sistem Pengendalian Intern di Masalah Yang Timbul dari
Pemerintahan Lokal Lemahnya Pengendalian
Intern
Argentina Kurangnya perangkat hukum Tingkat utang yang tinggi di
dan perundang-undangan serta pemerintah daerah dan
tidak ada kemauan politis untuk kegagalan dalam memberikan
meningkatkan sistem pelayanan kepada
pengendalian intern masyarakat.
Bosnia Kurangnya sistem pengendalian Penyalahgunaan, penipuan
intern dan audit dan penyimpangan anggaran;
korupsi yang meluas;
kesalahan dan
penyalahgunaan dana publik;
ketidakpuasan publik terhadap
lembaga-lembaga pemerintah.
Cina Ex ante kontrol belanja dan Masalah umum dalam
audit kepatuhan kepatuhan terhadap hukum
dan perundang-undangan;
ketidakpatuhan terhadap
praktik perpajakan
Colombia Kerangka hukum yang tidak Kelalaian, korupsi, dan
jelas untuk mendefinisikan penyalahgunaan dana publik.
fungsi dan tanggung jawab
lembaga kontrol fiskal; dan
mekanisme pengendalian intern
tidak efektif
India Ketidakefisienan kontrol dan Kasus yang sering terjadi
praktik audit,aturan pembukuan penyelewengan,
yang kuno, kurangnya informasi penyalahgunaan dan
yang tepat waktu dan dapat kecurangan; penyimpangan
diandalkan; fokus pada audit dan malpraktik dalam
kepatuhan, dan tidak memadai pengadaan; kurangnya
tindak lanjut temuan audit. kepatuhan terhadap peraturan
dan prosedur lain.
Indonesia Sistem kontrol dan audit yang Tindakan tidak etis dan tidak
lemah ekonomis karena korupsi yang
meluas, manajemen kas yang
tidak efisien, dan praktik-
praktik kolusi dalam
pengadaan.
19

Filipina Lemahnya lingkungan Kurangnya kepatuhan


pengendalian intern, audit terhadap hukum, aturan dan
internal tidak ada, dan perundang-undangan;
kurangnya informasi keuangan kecurangan dan
yang tepat waktu. penyimpangan; dan
pembayaran yang terlalu tinggi
atas pembelian dan
pengadaan publik.
Sumber: Keeping An Eye on Subnational Governments: Internal Control and Audit at Local Levels
(Baltaci dan Yilmaz, 2006) yang diolah.

2. 2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

Ciri khas dari penerapan konsep New Public Management adalah

mentransfer pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam sektor privat

ke sektor publik pada birokrasi modern. Salah satu contohnya yaitu penerapan

sistem pengendalian intern yang familiar di sektor privat untuk dimasukkan dalam

sektor publik. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) merupakan adopsi dari COSO Internal

Control Framework dengan penyesuaian-penyesuaian yang sesuai dengan

kebutuhan dan karakteristik pemerintahan di Indonesia. Pembentukan SPIP di

Indonesia merujuk pada Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara pasal 12

yang menyatakan bahwa “Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau

kinerja, pemeriksa melakukan pengujian dan penilaian atas pelaksanaan

Sistem Pengendalian Intern pemerintah”. Lembaga negara yang bertugas

untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di

Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menurut PP 60 Tahun

2008 terdiri dari lima unsur meliputi Lingkungan Pengendalian, Penilaian

Resiko, Kegiatan Pengendalian, Informasi dan Komunikasi serta

Pemantauan. Lingkungan pengendalian dibentuk oleh perilaku dari orang-orang


20

di dalam organisasi yang mendukung pengendalian internal dan memengaruhi

kesadaran mereka akan pentingnya pengendalian dalam mencapai tujuan

organisasi. Penilaian risiko merupakan kegiatan penilaian atas kemungkinan

kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran Instansi Pemerintah.

Kegiatan pengendalian dikembangkan pada kegiatan pokok instansi pemerintah

dan didasarkan pada hasil penilaian risiko yang telah dilakukan untuk

memberikan keyakinan yang memadai bahwa tujuan instansi pemerintah dapat

dicapai. Informasi dan komunikasi penting bagi pengendalian yang efektif,

keandalan dan relevansi informasi baik yang bersumber dari dalam maupun dari

luar harus diidentifikasi, ditangkap, diproses, dan dikomunikasikan kepada pihak

yang membutuhkan. Pemantauan merupakan proses penilaian atas mutu kinerja

Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan proses yang memberikan keyakinan

bahwa temuan audit dan evaluasi lainnya segera ditindaklanjuti. Sub unsur dari

kelima unsur SPIP tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaan penerapannya di

instansi pemerintah yang dijelaskan pada gambar 2.2 sebagai berikut :

Gambar 2.2 Unsur-Unsur SPIP

Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 yang diolah.


21

Tujuan yang ingin dicapai dengan penerapan SPIP adalah untuk

mencapai kegiatan yang efektif dan efisien, laporan keuangan yang dapat

diandalkan, pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap peraturan

perundang-undangan. Perpaduan antara 5 (lima) unsur dan tujuan yang ingin

dicapai dalam Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dapat dilihat pada gambar

2.3 dibawah ini :

Gambar 2.3 Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

Sumber : Pedoman Teknis Umum Penyelenggaraan Sistem Pengendalian


Intern Pemerintah (SPIP) Tahun 2009

Dari gambar tersebut di atas terlihat bahwa kelima komponen sistem

pengendalian intern pemerintah merupakan komponen yang terjalin erat satu

dengan yang lainnya. Komponen lingkungan pengendalian berperan sebagai

fondasi yang memiliki dampak yang sangat kuat terhadap struktur kegiatan

operasi, penetapan tujuan dan penilaian risiko. Lingkungan pengendalian juga

mempengaruhi kegiatan pengendalian, sistem informasi dan komunikasi, dan

kegiatan monitoring. Kegiatan pengendalian dirancang terutama untuk kegiatan

utama instansi pemerintah guna meminimalkan terjadinya risiko dan dampaknya.

Informasi dan komunikasi diperlukan untuk membantu melaksanakan kegiatan

pengendalian dengan baik. Keempat komponen tersebut kemudian dipantau

melalui sistem pemantauan yang memungkinkan pimpinan organisasi

mengetahui efektivitas sistem pengendalian yang dibangunnya sehingga dapat


22

melakukan perbaikan secara berkelanjutan bagi upaya pencapaian tujuan

organisasi.

2. 3. Teori Keagenan Di Sektor Publik

Penggunaan teori dalam memahami realitas dan pelaksanaan lapangan

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dapat dilakukan dengan

memakai teori Keagenan (Agency Theory). Pertautan antara etnometodologi

dengan teori dimungkinkan untuk menguatkan analisis seperti yang dilakukan

Ludigdo (2007) dengan menggunakan teori Strukturasi dalam penelitian

etnometodologi. Teori Keagenan telah banyak digunakan di berbagai kajian

seperti akuntansi, ekonomi, keuangan, pemasaran, ilmu politik, perilaku

organisasi dan sosiologi sebagai alat analisis yang komplek begitu juga yang

terjadi di sektor publik (public sector). Hubungan principal dan agen menjadi

sangat populer dalam relasi dunia akademis dan regulasi pemerintah

(Schillemans, 2013; Megdal, 1983; Lane, 2000). Dalam sektor publik, hubungan

keagenan timbul saat terdapat satu pihak atau lebih (principal) yang

mendelegasikan kewenangannya kepada pihak yang lain (agen) untuk

menjalankan tanggung jawab terhadap suatu entitas, termasuk untuk mengambil

keputusan yang digambarkan pada hubungan Legislatif-Eksekutif dan

Masyarakat-Legislatif.

Menurut Eisenhardt (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) asumsi

tentang sifat manusia, keorganisasian dan informasi. Asumsi tentang sifat

manusia menekankan manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self

interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality) dan tidak

menyukai resiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian menekankan adanya

konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas. Asimetri


23

informasi (asymmetric information) merupakan informasi yang tidak seimbang

karena perbedaan distribusi informasi antara prinsipal dan agen (Giraldi, 2001).

Akibat adanya informasi yang tidak seimbang ini menimbulkan 2 (dua)

permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan principal untuk memonitor

perilaku agen yang menurut Jensen dan Meckling (1976) menyebabkan moral

hazard dan adverse selection. Kedua masalah lebih dikenal sebagai agency

problem yang menimbulkan agency cost berupa monitoring expenditure (biaya

monitoring), bonding expenditure dan residual loss. Biaya monitoring dikeluarkan

oleh principal untuk memonitor perilaku agen sedangkan bonding cost

dikeluarkan agen untuk menjamin tidak melakukan tindakan tertentu yang

merugikan principal dengan audit eksternal maupun pengendalian intern.

Recidual loss merupakan penurunan tingkat kesejahteraan principal maupun

agen setelah adanya hubungan keagenan. Bergman & Lane (1990) menyatakan

hubungan prinsipal agen merupakan pendekatan yang sangat penting untuk

menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik yang berkaitan dengan

masalah-masalah kontraktual, yakni informasi yang tidak simetris (asymmetric

information), moral hazard dan adverse selection.

Moral hazard dan adverse selection seperti dijelaskan oleh Petrie (2002)

sebagai:

Moral hazard refers to the tendency of an agent, after the contract is


entered into, to shirk or otherwise not fully seek to promote the
principal’s interests. Adverse selection refers to the inability of a
principal to determine, before the contract is entered into, which
among several possible agents is most likely to promote the
principal’s interests; and, given this imperfect information, the
tendency for candidates with less than average motivation or
qualifications to apply.
Moral hazard mengisyaratkan tindakan tersembunyi yang dilakukan oleh agen

yang tidak sempurna dipantau oleh prinsipal sedangkan adverse selection terjadi

ketika principal tidak bisa meyakini telah memilih agen yang memiliki ketrampilan
24

yang dapat dipercaya (Gilardi, 2001). Praktik dalam kontrak antara principal dan

agen yang membedakan moral hazard dan adverse selection. Adverse selection

berarti oportunisme sebelum pembuatan kontrak antara prinsipal dan agen

sedangkan moral hazard berarti oportunisme setelah pembuatan kontrak antara

prinsipal dan agen (Lane, 2003).

Agency theory atau sering disebut dengan model principal-agent

digunakan untuk menganalisis hubungan kontrak manajemen dan menjelaskan

perilaku antara principal dan agent yang berfokus pada akuntabilitas dengan

mengkoreksi perilaku oportunistik sebagai hasil dari informasi asimetri. Lebih

lanjut Carr & Brower (2000) menyatakan: “opportunism implies that whenever

cooperation among people requires one party (principal) to delegate

responsibility to another (agency), losses due to to agent self-interest can be

expected to result.” Akuntabilitas dalam perspektif keagenan sebagai kewajiban

pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban,

menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan

yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (prinsipal) yang

memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (Mardiasmo, 2007:

20-21). Dua asumsi dalam hubungan principal-agent adalah: konflik tujuan antara

pemilik kekuasaan (birokratik dan politisi) dan anggaran; agent lebih memiliki

informasi dari principal sehingga agen dapat mengeksploitasi kepentingan pribadi

lebih dari kepentingan bersama.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang diaplikasikan

sampai ke pemerintah daerah sesuai dengan teori keagenan (agency theory)

yaitu sebuah kontrak antara principal menyewa orang lain (agent) untuk

melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan

beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen (Jensen, 1976).


25

Hubungan principal-agent menjadi ciri seluruh sektor publik lokal (Gyorgy dan

Gyorgy, 2011). Peran principal dan agen dimainkan secara bersamaan dengan

pelaku yang berbeda. Mandat yang diberikan principal untuk agen dapat

mengambil bentuk yang beranekaragam. Warga daerah (principal) memilih

pemerintah daerah (agent) untuk menetapkan kondisi dan aturan umum dalam

melaksanakan penyediaan layanan publik (termasuk ukuran subsidi dari dana

pajak daerah). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Principal) mengamanatkan

kepala daerah (Agent) untuk mengelola penyediaan pelayanan publik. Kepala

Daerah (Principal) mengamanatkan penyedia layanan publik (Agent) untuk

melakukan pelayanan yang terbaik dalam mencapai hasil yang diharapkan.

Penyedia layanan publik (Principal) menggunakan karyawan (Agent) atau

outsourcing aktivitasnya kepada perusahaan swasta (Agent).

Konflik kepentingan akan muncul dalam pendelegasian tugas yang

diberikan kepada agen. Agen tidak dalam kepentingan untuk memaksimumkan

kesejahteraan principal tetapi mempunyai kecenderungan untuk mementingkan

diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan pemilik. Hubungan antara

masyarakat (diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat) dengan

pemerintah adalah seperti hubungan antara prinsipal (masyarakat) dan

agen (pemerintah). Prinsipal memberikan wewenang pengaturan

kepada agen dan sebagai wujud pertanggungjawaban atas wewenang

yang diberikan maka agen memberikan laporan pertanggungjawaban

terhadap prinsipal. Principal tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh

agen (terjadi asimetri informasi) maka prinsipal membutuhkan pihak

ketiga yang mampu meyakinkan prinsipal bahwa apa yang dilaporkan

oleh agen adalah benar. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya

(costs) untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam


26

memonitor kinerja agen dan untuk menentukan struktur insentif dan

monitoring yang efisien (Petrie, 2002).

Tuntutan akan akuntabilitas pada organisasi sektor publik membuat agen

(Pemerintah) membuat pertanggungjawaban keuangan negara melalui sistem

pengendalian intern yang diamanahkan kepadanya sehingga tujuan ekonomi,

pelayanan publik maupun kesejahteraan masyarakat dapat tercapai secara

maksimal. Untuk melaksanakan tanggungjawab tersebut maka Pemerintah

mengarahkan semua kemampuan dan keahliannya dalam mengefektifkan

pengendalian intern agar menghasilkan laporan informasi keuangan yang

berkualitas. Hubungan keagenan di lingkungan pemerintah daerah memiliki dua

pertanggungjawaban yaitu hubungan keagenan antara legislatif (prinsipal) dan

eksekutif (agen) serta hubungan keagenan antara legislatif (agen) dan publik

(prinsipal). Dalam pengelolaan keuangan, undang-undang di Indonesia

memisahkan dengan tegas antara fungsi pemerintah (eksekutif) dengan fungsi

perwakilan rakyat (legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, eksekutif

melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran yang

merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik sedangkan legislatif

berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan

(Hanafi dan Domai, 2012). Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang

menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia dokumen

anggaran daerah disebut anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)

yang proses penyusunannya melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif

melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Dalam perspektif keagenan, hal ini

merupakan bentuk kontrak (incomplete contract) yang menjadi alat bagi legislatif

untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif. Carr & Brower (2000)

menyatakan bahwa model keagenan yang sederhana mengasumsikan dua

pilihan dalam kontrak yaitu behavior-based dan outcome-based. Behavior-based


27

berarti prinsipal harus memonitor perilaku agen sedangkan outcome-based yakni

adanya insentif untuk memotivasi agen untuk mencapai kepentingan prinsipal.

Masalah keagenan yang terjadi di eksekutif karena eksekutif memiliki

keunggulan penguasaan informasi serta pemahaman yang baik tentang birokrasi

dan administrasi seta aturan perundang-undangan yang mendasari seluruh

aspek pemerintahan dibandingkan dengan legislatif. Eksekutif memiliki

kecenderungan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari yang

aktual terjadi saat ini sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif

cenderung mengusulkan target yang lebih rendah agar target realisasi

pendapatan lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang mengandung slack

seperti ini merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan

legislatif karena agen (eksekutif) menginginkan posisi yang relatif aman dan

nyaman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (Halim dan Abdullah, 2006).

Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai

prinsipal dan juga sebagai agen. Legislatif sebagai prinsipal bagi eksekutif

dengan merealisasikan kepentingannya dengan membuat kebijakan yang

seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak tetapi

menguntungkan legislatif dalam jangka panjang. Legislatif dapat mengusulkan

kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif meskipun usulan tersebut tidak

berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif. Perilaku

oportunistik legislatif sebagai agen bagi publik (pemilih) dapat terlihat dalam

penganggaran, legislatif semestinya membela kepentingan pemilihnya dengan

mengakomodasi kebutuhan publik dalam anggaran. Usulan kegiatan yang akan

dibiayai dengan anggaran seharusnya didasarkan pada permasalahan dan


28

kebutuhan masyarakat yang terindetifikasi ketika legislatif turun ke lapangan

melakukan penjaringan aspirasi masyarakat.

2. 4. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang sistem pengendalian

intern pemerintah di berbagai negara yang dilakukan oleh Wallace (1981),

Benedek, Szentene dan Beres (2014), Huefner (2011), Reginato, Paglietti dan

Fadda (2011), dan Mare (2010). Penelitian yang dilakukan oleh Wallace (1981) di

Amerika Serikat menggunakan konten analisis terhadap 20 (dua puluh) laporan

pemerintah daerah yang disertai disklosur tentang pengendalian internal.

Hasilnya menjelaskan bahwa laporan dari pemerintah daerah tidak menjawab

masalah-masalah dari risiko, biaya dan manfaat serta pentingnya pengendalian

internal. Pengalaman pemerintah daerah di Amerika Serikat mengimplikasikan

bahwa pengungkapan kontrol akan mempengaruhi biaya atau manfaat evaluasi

oleh manajemen dan kemampuan auditor untuk membujuk pemerintah daerah

untuk menerapkan kontrol. Beberapa kontrol yang sebelumnya tidak dapat

diterima dapat dilaksanakan karena manfaat yang dirasakan untuk menghindari

laporan publik terhadap kelambanan manajemen dalam menyikapi saran

pengendalian dari auditor.

Penelitian tentang pengendalian internal pemerintah daerah di Hungaria

dilakukan Benedek, Szentene dan Beres (2014) terhadap 100 (seratus) laporan

audit pemerintah daerah di Hungaria pada tahun 2012 dan 2013 dengan temuan

bahwa aturan organisasi dan operasional tidak begitu dilaksanakan oleh 84%

(delapan puluh empat persen) pemerintah daerah yang diaudit terutama pada

unsur lingkungan pengendalian. Unsur lingkungan pengendalian yang tidak


29

memadai dilakukan oleh hampir 20% (dua puluh persen) pemerintah daerah

yang telah diperiksa. Oleh karena itu, unsur-unsur pengendalian yang kompleks

seperti manajemen risiko dan pengawasan yang didasarkan pada komponen

kontrol dasar (lingkungan pengendalian) yang berfungsi tidak tepat (lebih dari

80% kasus) dari pemerintah daerah di Hungaria. Pengendalian intern pemerintah

daerah di Hungaria dalam penelitian ini ditingkatkan dengan mengidentifikasi

dan mendistribusikan praktik terbaik (best practice).

Kelemahan sistem pengendalian internal dibahas oleh Huefner (2011)

dengan menganalisis 234 (dua ratus tiga puluh empat) laporan audit dan

rekomendasi untuk perbaikan pengendalian dari pemerintah daerah di negara

bagian New York Amerika Serikat. Penelitian Huefner (2011) menyebutkan

bahwa pemantauan (monitoring) yang tidak memadai menyebabkan kelemahan

dalam pengendalian internal yang memberikan peluang untuk terjadinya

penipuan, penyalahgunaan, penyelewengan yang mengakibatkan kerugian

negara. Pengendalian internal yang baik akan berkontribusi terhadap efisien

penggunaan sumber daya keuangan pemerintah daerah, pelayanan yang baik

kepada masyarakat dan meminimalisasikan pajak daerah.

Reginato, Paglietti dan Fadda (2011) mempertanyakan reformasi sistem

pengendalian internal pemerintah daerah di Italia sebagai tindakan yang formal

atau substansial. Penelitian ini didasarkan pada survei yang dilakukan dengan

menggunakan sampel yang representatif dari pemerintah daerah bertujuan untuk

memahami keadaan pemerintah daerah terhadap reformasi manajemen

keuangan di Italia. Untuk tujuan ini, satu set alat pengendalian internal dan teknik

dianalisa untuk menilai sistem tersebut telah diadopsi dan digunakan. Reformasi

sistem pengendalian internal pemerintah daerah di Italia lebih digambarkan

sebagai kegiatan formal yang ditunjukkan sepenuhnya menggunakan aturan-


30

aturan pemerintah Italia dan tidak ada sanksi yang diberikan untuk entitas yang

tidak mematuhi hukum.

Mare (2010) menguraikan dan mengilustrasikan perkembangan strategi

pengendalian internal keuangan publik di Rumania yang diselaraskan dengan

standar yang diterima secara internasional dan dipraktikkan di Uni Eropa. Hasil

yang harus dilakukan oleh pemerintah Rumania untuk mengurangi kelemahan

dalam pengendalian internal keuangannya yaitu dengan mendefinisikan secara

jelas bentuk pengendalian internal untuk mengurangi kebingungan antara fungsi

pengendalian internal dan audit internal serta menyelesaikan standar umum

manajemen keuangan dan pengendalian internal.

Selain itu di Indonesia ada beberapa penelitian yang membahas tentang

sistem pengendalian intern yang dilakukan oleh Wilopo (2006), Mulyani dan

Suryawati (2011), Hanafi dan Domai (2012), Sari (2012) dan Herawati (2014).

SPI memiliki peran yang signifikan dalam menjaga kualitas laporan keuangan

instansi pemerintah (dalam hal ini adalah LKPD). Wilopo (2006) menyatakan

bahwa sistem pengendalian intern pemerintah meliputi berbagai kebijakan dan

prosedur yang: (1) terkait dengan catatan keuangan; (2) menyediakan keyakinan

yang memadai bahwa laporan tersebut telah sesuai dengan Standar Akuntansi

Pemerintahan dan penerimaan serta pengeluaran telah sesuai dengan otorisasi

yang diberikan; (3) menyediakan keyakinan yang memadai atas keamanan aset

daerah yang berdampak material pada laporan keuangan.

Mulyani dan Suryawati (2011) melakukan penelitian peran dan fungsi

SPIP dalam meminimalisasi tingkat salah saji pencatatan akuntansi keuangan

pemerintah daerah dengan studi kasus Kabupaten Bojonegoro. Penelitian

tersebut menggunakan analisis deskriptif Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)

keuangan Kabupaten Bojonegoro tahun 2007-2009. Penelitian ini mendukung


31

teori bahwa SPI mempunyai peran dan fungsi yang signifikan dalam

meminimalisasi salah saji pencatatan akuntansi.

Hindriani, Hanafi dan Domai (2012) memberikan analisis dan interpretasi

pelaksanaan SPIP dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran di Dinas

Kesehatan Kabupaten Madiun. Metode penelitian menggunakan jenis deskriptif

dengan pendekatan kualitatif, yaitu metode pemecahan masalah yang diselidiki

dengan menggambarkan keadaan lembaga yang menjalankan sistem pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya

dengan tehnik wawancara dan studi dokumen. Hasil penelitian ini adalah

pelaksanaan SPIP di Dinas Kesehatan terbatas pada internalisasi SPIP ke

dalam seluruh proses kerja di organisasi, melalui unsur lingkungan

pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi,

serta pemantauan. Pada Lingkungan Pengendalian, belum didukung komitmen

pimpinan untuk menerapkan SPIP sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

Penilaian Risiko, belum dilakukan pemetaan yang terdokumentasi; Kegiatan

Pengendalian, pelaksanaan review masih terbatas pada formalitas

pemenuhan terhadap permintaan data dari DPKD; informasi sebagai alat

komunikasi yang efektif dengan tingkat akurasi tinggi melalui laporan-laporan

program/kegiatan menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan perencanaan

selanjutnya, namun masih diperlukan adanya pembaharuan-pembaharuan

dalam sistem informasi yang digunakan; dan Pemantauan dilakukan sebagai

upaya meminimalisir penyimpangan dan efektifitas pencapaian tujuan

organisasi, namun tindaklanjut rekomendasi monitoring oleh APIP masih

belum mendapatkan prioritas dalam penanganannya. Proses internalisasi

SPIP perlu di dukung dengan penerapan hard control berupa Standard

Operating Procedure (SOP) dan Satuan Tugas (SATGAS) implementasi SPIP.

Sehingga dapat menjamin pengelolaan keuangan yang handal, melalui: 1)


32

Penguatan komitmen pimpinan dan semua pihak; 2) Pelaksanaan review

sebagai bahan acuan perbaikan tahun yang akan datang; 3) Melakukan

inovasi-inovasi baru dalam penerapan teknologi informasi, dan 4)

memperhatikan rekomendasi tindak lanjut monitoring oleh APIP.

Penelitian kuantitatif yang membahas SPIP dilakukan oleh Sari (2012)

tentang pengaruh pengendalian internal terhadap transparansi laporan keuangan

pemerintah daerah Cimahi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode

deskriptif analitis yang menguji pengaruh pengendalian internal terhadap

transparansi laporan keuangan Pemerintah Daerah Cimahi Jawa Barat dengan

koefisien determinasi 51,22% dan level signifikasi 5% menggunakan korelasi

Rank Spearmen. Lebih lanjut disebutkan bahwa pengendalian internal

mempengaruhi transparansi laporan keuangan dimana peningkatan

pengendalian internal yang terjadi akan seiring dengan peningkatan transparansi

laporan keuangan pemerintah Kota Cimahi. Studi Pratiwi (2012) mengenai

penerapan Sistem Pengendalian Intern di Kabupaten Bungo. Penelitian ini

menggunakan deskriptif kualitatif dengan menggunakan kuesioner dan

wawancara sebagai instrumennya untuk menilai 5 komponen dalam SPIP. Hasil

dari penelitian ini bahwa Kabupaten Bungo belum sepenuhnya memenuhi kriteria

sistem pengendalian intern yang ditunjukkan dengan pemenuhan 5

komponennya yaitu: yaitu (1) lingkungan pengendalian, (2) penilain resiko, (3)

aktivitas pengendalian, (4) informasi dan komunikasi, serta (5) pemantauan.

Selain itu, pelaksanaan sistem pengendalian intern pada pemerintah kabupaten

Bungo belum memenuhi kriteria berjalannya tujuan sistem pengendalian intern.


BAB III

METODE PENELITIAN

3. 1. Paradigma Dan Metode Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma

interpretif. Paradigma interpretif lebih menekankan pada makna atau interpretasi

seseorang terhadap simbol. Burrel dan Morgan (1994: 227) mengungkapkan

bahwa paradigma ini meliputi cakupan yang luas atas gagasan filosofis dan

sosiologi yang memberikan karakteristik umum untuk mencoba memahami dan

menjelaskan dunia sosial dengan tujuan utama untuk melihat pelaku yang secara

langsung terlibat dalam proses sosial. Dalam pendekatan ini, ilmu sosial

cenderung menjadi nominalis, anti-positivis dan ideografis. Tujuan penelitian

dalam paradigma interpretif menurut Triyuwono (2005) antara lain untuk

menginterpretasikan dunia dan memahami realitas sosial dengan penekanan

pada pada kata: meanings (pemaknaan) dan understanding (pemahaman).

Paradigma interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik, memiliki

konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna

sosial. Kebenaran, realitas atau kehidupan sosial memiliki berbagai sudut

pandang yang dapat dikaji dan menolak anggapan bahwa kebenaran atau

pengetahuan harus selalu diverifikasi. Paradigma ini memandang bahwa realita

dunia ini terdiri dari banyak kebenaran yang saling terkait oleh sebab itu manusia

harus memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan atau menafsirkan setiap

fenomena yang dapat ditangkap oleh panca inderanya untuk mengungkap

kebenaran dari realita sosial. Paradigma interpretif menekankan pada

keterlibatan peneliti secara langsung dan intensif dalam kasus yang menjadi

33
34

obyek studinya untuk menemukan makna yang paling dalam dari suatu

fenomena.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

dipahami sebagai penelitian yang menggunakan data kualitatif dan alat analisis

kualitatif, yaitu berupa teori-teori yang difungsikan sebagai alat analisis

(Triyuwono, 2013). Moleong (2012) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif

adalah penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan

menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar

yang berkonteks khusus. Pemakaian metode kualitatif, menjadikan data yang

bersifat perasaan, norma, keyakinan, kebiasaan, sikap mental dan budaya yang

dianut seseorang maupun sekelompok orang dapat ditemukan.

Pendekatan yang digunakan adalah Etnometodologi. Etnometodologi

merupakan salah satu aliran pemikiran dalam paradigma interpretif yang

membahas studi tentang praktik sosial keseharian yang berupaya memahami

bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan

kehidupannya sendiri. Peneliti menerapkan sudut pandang ini untuk

menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan obyek sudut

pandang dari obyek penelitiannya dan dapat diterima secara taken for granted

berdasarkan akal sehat (common sense).

Etnometodologi berawal dari karya-karya sosiolog Harold Garfinkel yang

lahir tahun 1917 dan melanjutkan pendidikan doktornya pada tahun 1946 di

Universitas Harvard dibawah bimbingan Talcott Parsons (Couloun, 2008).

Garfinkel mendifinisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-

ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan

penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktik-praktik kehidupan sehari-hari

yang terorganisir. Garfinkel memunculkan etnometodologi sebagai bentuk

ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional


35

yang dianggap mengekang kebebasan peneliti. Menurut Ikbar (2012, 69),

penelitian konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi dan kategori

yang membuat peneliti tidak bebas dalam memahami kenyataan sosial menurut

situasi dimana kenyataan sosial tersebut berlangsung. Pemahaman terhadap

fenomena sosial tidak cukup berhenti pada penarikan kesimpulan terhadap

sebab-musabab gejala sosial tanpa memperhatikan aspek internal individu.

Etnometodologi Garfinkel menekankan pada kekuatan pengamatan,

pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Tujuan utama etnometodologi

berfokus pada pemikiran praktik, khususnya pada pemikiran praktik baik yang

bersifat profesional maupun profan. Maksud utama etnometodologi adalah

menganalisis metode, prosedur yang digunakan masyarakat dengan urusan

yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Etnometodologi berusaha

memahami masyarakat, bagaimana anggota masyarakat itu berpikir tentang

dirinya tentang apa yang dilakukannya (cultural behavior), apa yang mereka

ketahui tentang dunia di sekitarnya maupun dunia di luar lingkungan mereka

berada (cultural knowledge) dan benda-benda apa saja yang dibuat dan

dipergunakan (cultural artifaks). Etnometodologi sesuai pemikiran Garfinkel

(1996: 6) berfokus pada prosedur pekerjaan dan tidak berarti proses dalam

bekerja. Obsesi pokok dalam etnometodologi adalah untuk memperoleh alternatif

deskripsi prosedur yang telah dilakukan dan fenomena yang telah terjadi dalam

bagian metodologi tanpa mengorbankan struktur masalah.

Teori etnometodologi pada dasarnya berangkat dari paradigma interpretif

seperti halnya interaksi simbolis dan fenomenologi. Kehadiran etnometodologi

diilhami oleh fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl dan Alfred

Schultz. Fenomenologi mendeskripsikan tentang pengalaman hidup beberapa

orang tentang sebuah konsep atau fenomena. Peneliti Fenomenologi

mengeksplorasi struktur kesadaran dan pemahaman pengalaman manusia


36

(Sukoharsono, 2006). Studi fenomenologi mirip dengan etnometodologi

walaupun Garfinkel terpengaruh oleh pemikiran Schultz.

Fenomenologi dan etnometodologi juga memiliki perbedaan.

Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan kepada

pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi pada

dunia. Fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup, tersedia berbagai cara

untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain

(Moleong, 2012:18). Fenomenolog percaya bahwa setiap manusia memiliki cara

masing-masing dalam memahami pengalamannya dan menginterpretasikannya.

Fenomenologi cenderung melihat pengalaman masa lalu para aktor yang

membentuk suatu fenomena, dan menggali makna dibalik suatu fenomena. Para

fenomenolog cenderung berpersepsi bahwa terdapat suatu kesadaran tentang

kebenaran (sesuatu apa adanya).

Tujuan utama etnometodologi adalah mempelajari dan memahami

seorang individu selama berinteraksi sosial mulai melihat, menerangkan, dan

menguraikan keteraturan dunia tepat mereka hidup. Kekuatan interpretasi

peneliti sangat penting dalam etnometodologi karena pendekatannya lebih

mengutamakan pada pembentukan pemahaman dari realitas. Burrel dan Morgan

(1994:250) mengatakan bahwa peneliti etnometodologi digambarkan sebagai

orang yang tertarik untuk menguak dan memahami cara aktor-aktor atau

individu-individu yang diamati dalam membuat penjelasan dan mempengaruhi

satu sama lain secara masuk akal dan konsisten, dalam kegiatan dan aktivitas

yang melibatkan mereka. Etnometodologi mengembangkan konsep-konsep dan

prinsip-prinsip yang membantu menjelaskan bagaimana membangun,

mempertahankan dan mengubah realitas yang common sense pada suatu

masyarakat sosial. Konsep-konsep tersebut meliputi: praktik dan pelaksanaan


37

tindakan, indeksikalitas, refleksifitas, akuntabilitas, keanggotaan dan analis

percakapan (Raho 2007:155).

Indeksikalitas dan refleksivitas mempunyai peranan penting dalam

analisis etnometodologi. Indeksikalitas menyatakan secara tidak langsung bahwa

a meaning bearing unit (kata, perilaku, kejadian) dapat memiliki lebih dari satu

pengertian (Ludigdo, 2007:72). Pemaknaan suatu kata atau suatu ungkapan

bergantung pada faktor kontekstual seperti biografi pengujar, niat, hubungan

yang khusus antara pengujar dan teman ujar, percakapan sebelumnya.

Indeksikalitas adalah semua penentuan yang melekat pada suatu kata dan

situasi. Pemahaman kata yang memerlukan “sifat-sifat penunjuk”

(caracteristiques indicatives) dan mewajibkan peneliti untuk “memahami dibalik

informasi yang diberikan kepadanya”. Informasi diperoleh berdasarkan bahasa

sehari-hari yang mudah dipahami orang yang berasal dari pertukaran ujaran

yang muncul dari sifat indeksikal dan pengetahuan situasi ujaranlah yang dapat

menghantarkan untuk memberi makna yang tepat pada ungkapan. Indeksikalitas

juga berarti bahwa makna selalu terikat tempat dan tidak mungkin generalisasi

makna suatu kata yang berbeda yang berarti bahwa suatu kata karena kondisi-

kondisi pengujaran, keberadaannya hanya dapat dianalisis dengan mengacu

pada situasi pemakaiannya.

Peneliti dapat menerapkan konsep indeksikalitas apabila menerapkan

konsep refleksivitas. Refleksivitas adalah suatu sifat khas kegiatan sosial yang

mensyaratkan kehadiran sesuatu yang dapat diamati dalam waktu yang

bersamaan. Dalam kegiatan sehari-hari, kita tidak sadar akan kenyataan bahwa

ketika kita sedang berbicara dan bertindak, pada waktu yang bersamaan kita

membangun makna, tatanan, dan rasionalitas yang sedang kita kerjakan saat itu.

Konsep refleksivitas yang ditekankan oleh Garfinkel berpijak pada para anggota

yang tidak memiliki perhatian terhadap keadaan praktik sekitarnya. Couloun


38

(2008:43) mengatakan bahwa para anggota tidak berusaha untuk meteorisasikan

dan “menganggap refleksitivitas sebagai suatu yang seharusnya tetapi harus

bisa dikenali, dibuktikan dan diamati melalui sifat rasional di dalam praktik yang

kongkret.”

Etnometodologi sebagai salah satu teori sosiologi dan metode juga

memiliki kekuatan dan kelemahan. Audifax (2008:277-278) menguraikan

beberapa kekuatan etnometodologi dalam melihat pengetahuan yang ada pada

suatu masyarakat mempengaruhi anggota masyarakat, melihat pengetahuan

dalam suatu masyarakat terbentuk dari interaksi terhadap budaya dalam

masyarakat tersebut dan dialektika antara individu dalam masyarakat dan

termapankannya pengetahuan itu dalam masyarakat. Etnometodologi juga

memiliki kelemahan yaitu sering kali dianggap fokus pada hal-hal yang bersifat

sepele, dianggap telah melupakan akar fenomenologisnya karena lebih

memusatkan perhatian pada analisis percakapan, dan kehilangan refleksivitas

radikal sehingga terancam bahaya kehilangan kemampuan untuk menganalisis

dan mengkritik diri sendiri. Keberadaan etnometodologi tetap berada dipinggir

terkalahkan oleh analisis percakapan karena keduanya dianggap berasal dari

akar ilmu yang berbeda. Hal ini disebabkan karena perkembangan

etnometodologi yang semakin berkembang jauh, dan bahkan dianggap semakin

menyimpang dari premis-premis yang melandasinya (Ludigdo, 2007:74). Peneliti

dalam etnometodologi tampaknya menjadi sosok partisipan yang baik, penulis

yang jujur, dan fasilitator yang bersahabat.

3. 2. Teori Keagenan (Agency Theory) Untuk Memahami Masalah

Penggunaan teori dalam memahami realitas dan pelaksanaan lapangan

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dapat dilakukan dengan

memakai teori Keagenan (Agency Theory). Pertautan antara etnometodologi


39

dengan teori dimungkinkan untuk menguatkan analisis seperti yang dilakukan

Ludigdo (2007) dengan menggunakan teori Strukturasi dalam penelitian

etnometodologi. Teori keagenan digunakan dalam penelitian ini untuk memahami

permasalahan antara prinsipal dan agen yang terjadi selama pelaksanaan SPIP.

Pertautan antara etnometodologi dengan teori keagenan dalam tema

pelaksanaan SPIP untuk menjelaskan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh

prinsipal dan agen. Pelaksanaan SPIP Satuan Kerja yang didekati dengan

etnometodologi merupakan kebiasaan atau rutinitas dari para aktor untuk

mengungkapkan hakikat sistem pengendalian intern yang telah dilakukan. Teori

keagenan akan menguatkan analisis tentang pembahasan seputar masalah

keagenan seperti moral hazard, insentif yang diberikan prinsipal kepada agen

dan pengawasan yang dilakukan prinsipal kepada agen secara detil. Sistem

pengendalian intern yang selama ini terbiasa dilakukan oleh Satuan Kerja

ternyata memiliki konsekuensi yang berbeda dalam pelaksanaannya. Masalah

anggaran dan penatausahaan keuangan menjadi sumber bahan dalam

menganalisis moral hazard dalam pelaksanaan SPIP. Titik pokok pembahasan

dengan memakai teori keagenan dalam SPIP adalah melihat proses

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi anggaran yang tercermin dalam

program dan kegiatan.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang diaplikasikan

sampai ke pemerintah daerah sesuai dengan teori keagenan (agency theory)

yaitu sebuah kontrak antara principal menyewa orang lain (agent) untuk

melakukan beberapa jasa dengan mendelegasikan beberapa wewenang

pembuatan keputusan kepada agen (Jensen, 1976). Hubungan principal-agent

menjadi ciri seluruh sektor publik lokal (Gyorgy dan Gyorgy, 2011). Peran Kepala

Satuan Kerja (agen) dari Kepala Daerah (prinsipal) dan Staf Satuan Kerja (agen)
40

dari Kepala Satuan Kerja (prinsipal) akan menguatkan analisis perilaku-perilaku

menyimpang yang terjadi di birokrasi dalam kerangka pelaksanaan SPIP.

Perilaku menyimpang tersebut terjadi karena tindakan oportunistik dan moral

hazard baik yang dilakukan oleh prinsipal maupun agen.

Perilaku oportunistik agen dan prinsipal di sektor publik akan menjelaskan

bagaimana pelaksanaan SPIP dilakukan dalam kerangka hubungan keagenan

tersebut. Sistem pengendalian intern yang dilaksanakan Satuan Kerja ternyata

mengakomodasi perilaku oportunistik dan moral hazard yang mengisyaratkan

tindakan tersembunyi yang dilakukan oleh agen yang tidak sempurna dipantau

oleh prinsipal. Penelitian ini akan menjelaskan tindakan oportunistik yang

dilakukan Kepala Satuan Kerja baik sebagai agen maupun prinsipal, Kepala

Daerah yang diposisikan sebagai prinsipal dan staf Satuan Kerja yang murni

menjadi agen.

3. 3. Tahapan Penelitian

Tahapan dalam penelitian merupakan salah satu hal yang terpenting untuk

dipahami. Hal ini dikarenakan agar penelitian dapat berjalan secara sistematis

dan terarah. Beberapa tahapan dalam penelitian ini adalah langkah

pengumpulan data, kemudian memilih situs dan informan. Selanjutnya, dilakukan

teknik dalam menganalisis dan menyajikan data dalam hasil penelitian.

3. 3. 1. Situs dan Informan

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi penelitian pada salah

satu Satuan Kerja di Jawa Timur. Gambaran umum dari Satuan Kerja yang

peneliti ambil adalah Satuan Kerja setingkat Kantor (Eselon III/a) di Propinsi

Jawa Timur dengan jumlah pegawai 20 orang terdiri dari 1 orang golongan IV, 11
41

orang golongan III, 2 orang golongan II dan 6 orang tenaga kontrak. Penulis

sengaja tidak mencantumkan nama Satuan Kerja karena menyangkut masalah

politis dan membahas masalah-masalah yang dianggap rahasia oleh birokrasi.

Satuan Kerja yang diambil mempunyai keunikan mengingat hubungannya

dengan pihak ekstern serta kepanjangan tangan dari Pemerintah Daerah dalam

melakukan koordinasi. Akses terhadap pihak ekstern (LSM, wartawan, DPRD,

Kepolisian, Kejaksaan dan TNI) menjadi topik yang menarik dalam pelaksanaan

SPIP. Penulis melakukan penelitian dengan memperoleh dokumentasi, observasi

langsung, observasi partisipatif, wawancara, memperoleh arsip data untuk

dilakukan holistic analysis (Sukoharsono, 2011).

Informan yang dipilih adalah orang yang terlibat langsung dalam

pelaksanaan SPIP di satuan kerja yang berhubungan dengan mekanisme

pelaporan keuangan yaitu Kepala Kantor, Pejabat Penatausahaan Keuangan,

Pengurus dan Penyimpan Barang, Bendahara Penerimaan dan Pengeluaran,

Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan serta Pejabat Pembuat Komitmen. Identitas

informan yang digunakan menggunakan nama samaran untuk menggantikan

nama informan yang sebenarnya.

3. 3. 2. Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan penelitian selalu terkait dengan mekanisme pengumpulan data

yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian (research question). Dalam

penelitian kualitatif, pengumpulan data oleh peneliti terikat dengan kedekatan

dengan memposisikan diri dengan data (Sukoharsono, 2011). Teknik

pengumpulan data dalam penelitian kualitatif menurut Creswell (2013:266) dapat

menggunakan metode pengamatan, wawancara mendalam, dan penelahaan

dokumen. Observasi atau pengamatan langsung harus dilakukan untuk melihat

kondisi yang sebenarnya berhubungan dengan tema penelitian yaitu tentang


42

pelaksanaan SPIP. Penulis mengajukan usul untuk lebih dahulu berbaur dengan

objek penelitian selama kurang lebih 4 bulan dimulai pada awal Maret 2015.

Wawancara secara mendalam dilakukan untuk mengetahui tujuan dan

makna dari informan dalam pelaksanaan SPIP secara tidak terstruktur dan

informal dalam berbagai situasi. Penulis diberi kemudahan oleh Kepala Satuan

Kerja sesuai dengan janjinya telah memberitahukan kepada anak buahnya untuk

membantu penelitian dan data yang dibutuhkan. Beliau mengumpulkan Pejabat

Pembuat Komitmen yang dirangkap oleh Kepala Seksi, Kepala Tata Usaha,

Bendahara Pengeluaran, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang dirangkap

oleh Kepala Seksi serta beliau sendiri (Kepala Satuan Kerja sebagai Pengguna

Anggaran). Perkenalan singkat dari Kepala Satuan Kerja kepada stafnya dan

menjelaskan maksud peneliti untuk melakukan penelitian tentang Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah.

Dokumentasi data dilakukan dengan meminjam data di Satuan Kerja yang

selanjutnya digunakan untuk mengungkap realitas sosial yang terjadi dalam

dokumen tersebut. Penelahaan dokumen dilakukan untuk mendukung analisis

dan intepretasi terhadap fenomena atau kejadian di lapangan. Pencatatan

sumber data utama diperoleh dari proses melihat, mendengar, merasakan dan

bertanya. Data yang terkumpul berbentuk tulisan, angka-angka, gambar atau

dokumen untuk kemudian dicatat dalam bentuk catatan lapangan, rekaman dan

pengambilan foto.

Teknik lainnya yang digunakan adalah telaah dokumen untuk menelusuri

data historis. Peneliti melakukan telaah dokumen berupa laporan hasil

pemeriksaan BPK RI tahun 2010-2013 atas LKPD Kepala Daerah TA. 2010-

2013, dokumen SPJ, laporan hasil pemeriksaan BPK RI terhadap partai politik

serta dokumen lainnya yang terkait. Proses tersebut dilakukan untuk

mendapatkan data dan pemahaman yang lebih mendalam atas pelaksanaan


43

sistem pengendalian intern pemerintah yang telah dilaksanakan. Bentuk media

yang digunakan untuk mencatat dan menyimpan hasil pengumpulan data berupa

catatan-catatan sementara hasil pengamatan, rekaman audio visual hasil

wawancara, foto, dan dokumen-dokumen lain yang relevan. Dokumen berupa

catatan sementara, foto-foto, hasil rekaman audio visual kemudian disimpan di

dalam komputer dalam bentuk data cadangan di dalam hardisk komputer dan

hardisk eksternal.

3. 3. 3. Teknik Analisis Data

Etnometodologi membatasi penyelidikan atas ungkapan indeksikalitas

dan refleksivitas sebagai kesatuan penyelesaian masalah atau internalisasi suatu

aturan yang sedang dilakukan dari praktik kehidupan sehari-hari. Indeksikalitas

menimbulkan pengertian yang dapat dipahami hanya dalam konteks sebuah

situasi. Analisis indeksikalitas mengharuskan peneliti mengamati kemudian

menangkap maksud yang disampaikan informan kemudian membuat indeks atau

daftar istilah. Analisis refleksivitas merupakan analisis atas ungkapan tersirat

(gesture yang ditampilkan oleh aktor di luar kesadaran aktor itu sendiri, dan

keterkaitan makna antara satu peristiwa/fenomena dengan peristiwa/fenomena

lainnya) dari suatu situasi dan ungkapan para aktor maupun makna antar suatu

fenomena/peristiwa. Mengutip dari Coulon (2008:43) bahwa refleksivitas adalah

suatu sifat khas kegiatan sosial yang mensyaratkan kehadiran sesuatu yang

dapat diamati dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, refleksivitas

merupakan salah satu inti dan kondisi utama yang harus diamati yang menjadi

sifat khas suatu kegiatan sosial.

Dengan pertimbangan tersebut, peneliti membaurkan diri dengan rutinitas

pekerjaan di Satuan Kerja dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Peneliti

menggunakan data yang diperoleh baik dari wawancara tidak terstruktur (dialog)
44

maupun dari pengamatan partisipan yang akan dianalisis dengan menggunakan

2 (dua) metode analisis dalam etnometodologi yaitu analisis indeksikalitas dan

refleksivitas. Analisis indeksikalitas menganalisis ungkapan, perilaku dan motif

yang secara eksplisit dari para aktor yang berisi cara-cara aktor dalam

melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaannya. Indeksikalitas menimbulkan

pengertian yang dapat dipahami hanya dalam konteks sebuah situasi dari yang

disampaikan informan dan kemudian akan menemukan indeks atau daftar istilah.

Dalam penelitian ini, indeksikalitas diperoleh dari Kepala Satuan Kerja, Pejabat

Pembuat Komitmen, PPTK, Bendahara Pengeluaran dan staf tentang bagaimana

mereka melaksanakan sistem pengendalian intern dalam kegiatan sehari-hari.

Data diperoleh dari proses wawancara tidak terstruktur (dialog), maupun dari

proses observasi partisipan dengan mengamati lebih dalam cara para aktor

berinteraksi dan mengambil keputusan.

Analisis refleksivitas merupakan analisis atas ungkapan tersirat dari suatu

situasi dan ungkapan para aktor dalam kegiatan sosial yang mensyaratkan

kehadiran sesuatu yang diamati secara bersamaan. Responden sebagai aktor

saat berbicara maupun bertindak atau melakukan sesuatu di luar kesadarannya

juga menciptakan makna (refleksif). Peneliti melakukan analisis refleksivitas

memperhatikan dengan baik gesture yang ditampilkan oleh aktor di luar

kesadaran aktor itu sendiri dan keterkaitan makna antara satu

peristiwa/fenomena dengan peristiwa/fenomena lainnya. Dalam konteks

penelitian ini, Kepala Satuan Kerja, Pejabat Pembuat Komitmen, PPTK,

Bendahara Pengeluaran dan staf melakukan pekerjaannya dalam melaksanakan

SPIP mengindikasikan nilai tersirat yang diungkapkan maupun yang dilakukan

dalam interaksi sosial mereka.

Analisis data pada penelitian kualitatif dapat dilakukan secara simultan

bersama pengumpulan data, analisis data dan penulisan data. Secara teknis,
45

proses analisis data dapat dilakukan baik pada saat maupun setelah

pengumpulan data dan dimungkinkan untuk dilakukan secara bersamaan

sehingga proses analisis tidak harus dilakukan menunggu selesainya proses

pengumpulan data (Ludigdo, 2007:108). Berdasarkan tahapan-tahapan

penelitian yang telah diuraikan di atas, maka secara ringkas digambarkan dalam

alur sistematika penelitian, sebagai berikut :

Penelitian ini dimulai dengan menggali fenomena yang terjadi di Satuan Kerja

yang dilakukan dengan wawancara dengan informan secara mendalam,

melakukan pengamatan terhadap objek penelitian dan melakukan telaah

dokumen-dokumen yang mendukung. Wawancara dengan informan pertama kali

adalah untuk mengetahui pemaknaan informan sebagai tokoh kunci (Kepala

Satuan Kerja, Pejabat Penatausahaan Keuangan, Pejabat Pembuat Komitmen,

Bendahara Pengeluaran dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) di Satuan

Kerja tentang makna dari Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Setelah

mengetahui makna SPIP dari informan, langkah selanjutnya adalah melakukan

pengamatan terhadap perilaku, cara kerja, budaya dan telaah dokumen di


46

Satuan Kerja untuk diangkat dalam konteks Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah.

Tahapan selanjutnya adalah melakukan mapping data dan fenomena

yang diperoleh di lapangan. Hasil wawancara terkait dengan pemahaman

informan kunci terhadap SPIP dijadikan dasar realitas lapangan atas

pelaksanaan SPIP oleh Satuan Kerja. Realitas lapangan yang diperoleh dalam

pelaksanaan SPIP dilakukan indeksikalisasi dengan tujuan untuk memudahkan

penjelasan selanjutnya. Analisis indeksikalitas digunakan untuk menjelaskan

fenomena yang terjadi pada pelaksanaan SPIP di Satuan Kerja sedangkan

analisis refleksifitas merupakan sintesa semua fenomena pelaksanaan SPIP di

Satuan Kerja dengan membandingkan pemahaman informan dan aturan yang

menjadi dasar SPIP yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008. Langkah

terakhir adalah menarik kesimpulan atas pelaksanaan SPIP di Satuan Kerja.


BAB IV

PEMAHAMAN SATUAN KERJA TERHADAP

SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH

4. 1. Pengantar

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah adalah proses yang integral pada

tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus oleh pimpinan dan

seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan yang memadai atas tercapainya

tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan

keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-

undangan. SPIP diharapkan dapat memberi keyakinan bahwa proses dan tujuan

organisasi yang telah ditetapkan dapat tercapai. Implementasi SPIP

membutuhkan komitmen dan sumber daya manusia yang kompeten, berdedikasi

serta bertanggungjawab.

Satuan Kerja baik di pemerintah daerah atau pusat diharapkan dapat

memiliki pemahaman yang baik terhadap Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah. Seminar, sosialisasi dan workshop dalam mengkomunikasikan SPIP

telah dilakukan Pemerintah melalui BPKP kepada instansi pemerintah. Petunjuk

teknis telah disusun pula untuk memudahkan Satuan Kerja dalam melaksanakan

SPIP. Realitas lapangan menunjukkan bukti yang berbeda tentang pemahaman

SPIP di Satuan Kerja. Penulis menggali pemahaman dan arti SPIP untuk

mengetahui praktik sesungguhnya yang terjadi di Satuan Kerja berdasarkan

pernyataan dari aparatur pemerintah.

47
48

4. 2. Pemahaman Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

Pemahaman tentang arti Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dari

aparatur pemerintah menjadi sangat penting mengingat pemahaman antar

individu yang berbeda akan berakibat pada pelaksanaan pengendalian intern

sehari-hari di Satuan Kerja. Untuk itu peneliti memerlukan wawancara terhadap

beberapa orang yang peneliti anggap mewakili dan representatif di Satuan Kerja.

Pertama, peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Satuan Kerja yang

bertanggungjawab terhadap penggunaan anggaran. Bapak Hari (nama samaran)

sebagai Kepala Satuan Kerja dengan latar belakang sarjana pendidikan yang

memiliki pengalaman kerja kurang lebih 25 (dua puluh lima) tahun bekerja di

instansi pemerintahan. Potret Bapak Hari digambarkan oleh beberapa anak

buahnya sebagai seorang pimpinan yang baik hati, bijaksana, nyentrik, religius

dan mempunyai pengalaman kerja relatif lama yang meniti karir menjadi Pegawai

Negeri Sipil dimulai dengan ijazah SMA. Karirnya dimulai sebagai staf di salah

satu kecamatan yang bertugas membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) kemudian

menjadi Kepala Seksi, Kepala Bidang dan terakhir menjadi Kepala Satuan Kerja.

Menurut pemahamannya sebagai Kepala Satuan Kerja, arti Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah adalah:

“Pengendalian intern itu meliputi pengendalian Sumber Daya


Manusia (SDM), pengendalian keuangan dan pengendalian
kebijakan kebawah yang sebelumnya diperintahkan oleh Kepala
Daerah untuk ditindaklanjuti. SPIP sangat penting sekali karena itu
merupakan acuan dari pemerintah pusat untuk menjadikan SKPD itu
lebih baik.”

Bapak Hari sebagai Kepala Satuan Kerja menjelaskan arti dan pemahaman

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah itu terdiri dari pengendalian SDM

(Sumber Daya Manusia), pengendalian keuangan dan pengendalian kebijakan

dari atasan (Kepala Daerah, Gubernur dan lain sebagainya). Pengendalian SDM

di Satuan Kerja berfokus pada Tupoksi (Tugas, Pokok dan Fungsi) harus sesuai
49

dengan job description masing-masing Kepala Seksi yang termuat dalam struktur

organisasi. Struktur organisasi harus disahkan secara formal oleh Kepala Daerah

sekaligus menjabarkan Visi, misi, tujuan, kebijakan dari Satuan Kerja. Struktur

organisasi merefleksikan kejelasan wewenang dan tanggungjawab serta

kejelasan hubungan jenjang pelaporan intern. Wewenang dan tanggungjawab

dari pegawai di Satuan Kerja dalam rangka pencapaian tujuan instansi dan

terkait dengan instansi pemerintah yang bersangkutan. Tersusunnya struktur

organisasi, wewenang dan tanggungjawab merupakan bukti telah dilakukan SPIP

dalam lingkungan pengendalian yaitu struktur organisasi.

Temuan di lapangan menyatakan bahwa latar belakang pendidikan dari

Kepala Seksi (Kasi) banyak yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh

Satuan Kerja. Contoh: Kepala Seksi yang seharusnya diisi oleh sarjana

pendidikan diisi oleh seseorang yang bergelar sarjana ekonomi. Sumber Daya

Manusia dari Satuan Kerja merupakan salah satu kendala karena pembagian

staf maupun Kepala Seksi dan Kepala TU terletak pada kewenangan Badan

Kepegawaian Daerah (BKD) melalui Bidang Mutasi untuk ditempatkan di Satuan

Kerja. Kewenangan dari Kepala Satuan Kerja adalah untuk mengusulkan

personel yang dianggap sesuai untuk instansinya tetapi keputusan tetap berada

di Badan Kepegawaian Daerah.

Fokus perhatian Bapak Hari sebagai Kepala Satuan Kerja salah satunya

terletak pada peningkatan Sumber Daya Manusia dan kompetensi dari stafnya.

Kebijakan yang diambilnya adalah membagi rata pekerjaan kepada bawahannya

sesuai dengan pangkat, golongan dan tupoksi. Staf yang menjadi “buangan” dari

Satuan Kerja lain dibina dan dimotivasi untuk dapat berubah serta bekerja

dengan baik. Rapat staf diadakan untuk membahas masalah-masalah yang perlu

dilakukan terkait dengan program kegiatan dari Satuan Kerja. Komitmennya

terhadap pembentukan SDM yang tangguh dapat terlihat dari staf Satuan Kerja
50

yang memiliki pangkat golongan II (setara SMA) hanya 2 (dua) orang dari 20

(dua puluh) PNS. Staf lainnya sebelumnya telah disuruh mengikuti ujian

Penyesuaian Ijazah (PI) dari golongan II menjadi golongan III. Bapak Hari

berharap dengan mendorong kenaikan pangkat stafnya dikemudian hari dapat

merubah kesejahteraan PNS dan beliau mempunyai tanggungjawab untuk

merekomendasikan kepada Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan

Kepangkatan) serta BKD agar segera memperoleh promosi jabatan struktural di

Satuan Kerja lainnya. Peningkatan kompetensi staf dan Kepala Seksi dilakukan

dengan memberikan kelonggaran untuk mengikuti diklat, workshop dan pelatihan

baik di dalam maupun diluar daerah sekaligus untuk melakukan regenerasi

organisasi Satuan Kerja. Sikap bapak Hari yang memiliki niat dan komitmen

untuk menunjang karir dari stafnya agar bisa berkembang serta melakukan

motivasi kepada bawahan agar mau berkembang dan membagi pekerjaan sesuai

kewenangannya tanpa disadarinya tindakan atau perilaku tersebut merupakan

salah satu kegiatan dalam lingkungan pengendalian yang disebut “komitmen

pada kompetensi”, “kepemimpinan” dan “pelaksanaan wewenang

tanggungjawab.”

. Kontrol terhadap keuangan menurut pemahaman Kepala Satuan Kerja

adalah tanggungjawab mulai dari perencanaan anggaran, pelaksanaan program

dan kegiatan serta monitoring evaluasi (monev) APBD. Perencanaan anggaran

meliputi usulan anggaran, kegiatan dan program untuk dibahas bersama dengan

DPRD dan Kepala Daerah. Kepala Satuan Kerja sekaligus pengguna anggaran

merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas penggunaan anggaran di

Satuan Kerja sebagai pejabat yang memberikan persetujuan pencairan APBD.

Persetujuan pencairan APBD ini membawa konsekuensi bahwa penggunaan

anggaran dan pelaksanaan kegiatan atau program sesuai dengan aturan yang

berlaku serta sanggup mempertanggungjawabkan di depan hukum apabila


51

ditemukan masalah hukum oleh kepolisian dan kejaksaan. Monitoring dan

evaluasi anggaran tercermin dalam laporan keuangan dan Laporan Kinerja

Instansi Pemerintah (LAKIP) atas capaian anggaran dan penggunaannya dari

perencanaan sampai evaluasi. LAKIP merupakan salah satu bentuk kegiatan

pengendalian untuk melihat dan melakukan reviu kinerja yang telah dilakukan

Satuan Kerja. Kepala Satuan Kerja selaku Pengguna Anggaran wajib untuk

menyelenggarakan penatausahaan atas pertanggungjawaban anggaran pada

SKPD yang dipimpinnya, menyusun dan menyampaikan laporan keuangan serta

mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya.

Laporan keuangan dan LAKIP merupakan amanat PP Nomor 8 Tahun

2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah dalam

bentuk laporan keuangan dan laporan kinerja yang mewajibkan Kepala SKPD

(Satuan Kerja Pemerintah Daerah) selaku PA (Pengguna Anggaran) menyusun

laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBD pada SKPD

yang bersangkutan melalui Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) dan

menyampaikannya kepada kepala daerah melalui PPKD (Pejabat Pengelola

Keuangan Daerah). PPKD menyusun laporan keuangan pemerintah daerah

berdasarkan laporan keuangan SKPD serta laporan pertanggungjawaban

pengelolaan perbendaharaan daerah yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan

realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan.

Gilardi (2001) mengemukakan bahwa hubungan tersebut merupakan salah satu

bentuk hubungan pendelegasian (chains of delegation). Pendelegasian terjadi

apabila seseorang atau sekelompok orang/prinsipal memilih orang atau

kelompok lain/agen untuk melakukan tindakan sesuai dengan kepentingan

prinsipal (Lupia dan McCubbins, 2000). Pada tingkatan SKPD, kewenangan

Kepala SKPD selaku pengguna anggaran didelegasikan kepada pejabat-pejabat

(PPTK, PPK, bendahara pengeluaran, bendahara barang) di lingkungan SKPD


52

yang bersangkutan. Kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan

fungsi tata usaha keuangan pada SKPD sebagai PPK-SKPD untuk

melaksanakan wewenang atas penggunaan anggaran yang dimuat dalam DPA-

SKPD (Pasal 13 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006). Hubungan ini

menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab pejabat tata usaha selaku PPK atas

pelaksanaan wewenang yang telah diterimanya kepada kepala SKPD selaku PA.

Hubungan kepala daerah sebagai prinsipal dan kepala SKPD sebagai

agen tercermin dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah. Kedudukan kepala SKPD dan PPKD adalah

menerima wewenang dari kepala daerah selaku pemegang kekuasaan

pengelolaan keuangan daerah. Kepala daerah selaku prinsipal wajib

melaksanakan sistem kontrol melalui SPIP untuk menjamin bahwa progam dan

kegiatan yang tertuang dalam APBD serta penatausahaan atas pengelolaan

keuangan daerah dapat dijalankan secara baik. Kepala SKPD dan PPKD selaku

agen wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang yang telah

diterimanya kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah selaku koordinator

pengelolaan keuangan daerah. Perbedaan ruang lingkup tugas dalam

pengelolaan dan penyusunan laporan keuangan antara PPKD dan PPK-SKPD

dimana PPKD menyusun LKPD yang melingkupi satu instansi sebagai entitas

pelaporan dan PPK-SKPD menyusun laporan keuangan SKPD yang melingkupi

satu unit kerja sebagai entitas akuntansi, dapat menciptakan masalah keagenan

akibat adanya hubungan asimetri informasi antara PPK dan PPKD. Kualitas

laporan keuangan SKPD sebagai entitas pelaporan sangat dipengaruhi oleh

pemahaman PPK-SKPD terhadap aturan pelaporan keuangan, SPIP dan SAP.

Laporan keuangan SKPD ini kemudian dikonsolidasikan oleh PPKD menjadi

LKPD. LKPD sebagai pertanggungjawaban kepala daerah atas pelaksanaan

APBD wajib disajikan berdasarkan SPIP yang memadai dan sesuai dengan SAP.
53

Kompetensi PPK-SKPD dan PPKD dalam menerapkan SPIP dan SAP

menentukan kualitas laporan keuangan daerah.

Pengendalian intern menurut pemahaman Bapak Hari sebagai Kepala

Satuan Kerja yaitu mengendalikan segala sesuatu (program kerja) yang

diberikan Kepala Daerah melalui RPJMD (Rancangan Pembangunan Jangka

Menengah Daerah) yang dijabarkan secara rinci di Tupoksi Satuan Kerja

terutama berkaitan dengan stabilitas politik, keamanan dan koordinasi dengan

jajaran samping yang menjadi mitra kerja pemerintah daerah. Penyusunan

RPJMD mewakili unsur penilaian resiko yang diwajibkan dalam penerapan

SPIP seperti penetapan tujuan instansi, penetapan tujuan kegiatan,

identifikasi resiko dan analisis resiko. Kondusifnya birokrasi pemerintah

daerah dan kerjasama yang terpadu baik dengan kepolisian, kejaksaan, LSM,

jurnalistik, TNI, DPRD serta partai politik berada dalam Satuan Kerja yang

dipimpin Bapak Hari. Pekerjaan teknis yang berhubungan dengan pihak ekstern

tersebut menjadi tanggungjawab dan komitmen Satuan kerja untuk menjalin

keharmonisan politis antar instansi.

Pemahaman Bapak Hari yang didasari realitas lapangan dan tugas yang

dilaksanakan sehari-hari mewarnai arti pengendalian intern didasari

kemampuannya untuk menerjemahkan kegiatan sehari-hari dan pengalamannya

di birokrasi sebagai jawaban yang dianggap sesuai. Penulis percaya bahwa

Bapak Hari (nama samaran) tidak membaca secara detil aturan pengendalian

intern menurut PP Nomor 60 Tahun 2008 sehingga yang diketahuinya adalah

hakikat dari pengalamannya sebagai birokrat memandang Sistem Pengendalian

Intern Pemerintah. Keyakinan dan optimistis dari Kepala Satuan Kerja dalam

melaksanakan detil pelaksanaan SPIP sesuai PP Nomor 60 Tahun 2008 perlu

dicermati dalam pernyataannya sebagai berikut:


54

Sangat-sangat mampu, tapi juga ada kendala kalau kita katakan


berhasil itu ya tidak mungkinlah, cuma program kerja yang
diberikan Kepala Daerah kita laksanakan sesuai aturan itu.

Pemahaman yang hampir sama dengan Bapak Hari (Kepala Satuan

Kerja) disampaikan oleh Bapak Darmaji (nama samaran yang bertugas sebagai

Pejabat Penatausahaan Keuangan) dan Bapak Sutaji (nama samaran yang

bertugas sebagai Pejabat Pembuat Komitmen) dalam mengartikan SPIP. Bapak

Darmaji mempunyai pengalaman kerja di birokrasi kurang lebih 15 (lima belas)

tahun berlatar belakang sarjana pendidikan ketika memulai menjadi PNS.

Karirnya dari staf, kepala seksi Kelurahan sampai menjadi Kepala Tata Usaha di

Satuan Kerja berurusan dengan masalah teknis di lapangan sehingga

membentuk pemahaman tentang SPIP sebagai berikut:

“Pengendalian intern meliputi pengontrolan SPJ (keuangan),


pengontrolan administrasi kedisiplinan pegawai dan pengontrolan
perencanaan program kegiatan. Terkait SPJ, kita melakukan
koordinasi penyusunan program kerja dengan bidang-bidang lain
melalui pengumpulan data serta pelaporan terus kemudian juga
melakukan pengolahan administrasi keuangan tentang pembukuan
realisasi APBD atau laporan pertanggungjawaban. Kemudian yang
terkait dengan administrasi kedisiplinan yaitu menyiapkan data
pegawai juga melakukan pemrosesan kedudukan pegawai untuk
meningkatkan kemampuan pegawai itu sendiri. Tentang
perencanaan kita menganalisis dan evaluasi serta pengendalian
dalam pelaksanaannya dalam program kedinasan.”

Persamaan pemahaman antara Bapak Hari dan Bapak Darmaji dalam

memahami pengendalian intern berfokus pada Sumber Daya Manusia (SDM) di

Satuan Kerja. Dengan latar belakang pendidikan sarjana ekonomi, Bapak

Darmaji memberikan gambaran yang cukup detil tentang arti Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah selain dari pengalamannya dalam mendalami

hakikat pekerjaan yang diberikan atasan. Bapak Darmaji sebagai pejabat

struktural eselon IV/a (Kepala Tata Usaha) sekaligus Pejabat Penatausahaan

Keuangan menyatakan bahwa inti SPIP terletak pada pengontrolan keuangan


55

(anggaran), SDM dan kegiatan sebagai hal yang terpenting dalam Satuan Kerja.

Lebih detil dari tugas Bapak Darmaji yang merangkap Kepala TU dan

Penatausahaan Keuangan adalah melaksanakan koordinasi bidang administrasi

umum, kepegawaian, keuangan, rumah tangga, perlengkapan, protokol, humas,

pemeliharaan, penyusunan program dan perencanaan serta membuat laporan.

Pengendalian keuangan dilakukan karena tanggungjawabnya terhadap laporan

penatausahaan keuangan Satuan Kerja serta dalam tugasnya melakukan

pengolahan administrasi keuangan. Pekerjaan ini mencakup aspek

perencanaan, koordinasi dan kontrol terhadap seksi-seksi lain dalam Satuan

Kerja.

Pekerjaan detil yang diperankan Bapak Darmaji lebih dominan pada

tugas teknis Pejabat Penatausahaan Keuangan yaitu meneliti kelengkapan dan

verifikasi SPP-LS yang diajukan oleh PPTK; meneliti kelengkapan SPP-UP, SPP-

GU dan SPP-TU yang diajukan oleh bendahara pengeluaran; menyiapkan SPM

dan menyiapkan laporan keuangan SKPD dan mengikuti rapat koordinasi internal

maupun eksternal terkait keuangan. Pejabat penatausahaan keuangan

berkoordinasi dengan kepala satuan kerja, bendahara pengeluaran, bendahara

barang serta SKPKD terkait konsolidasi laporan keuangan dan barang daerah.

Pejabat penatausahaan keuangan di Satuan Kerja tidak boleh merangkap

sebagai pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah,

bendahara atau PPTK karena tugasnya melakukan verifikasi atau memeriksa

dokumen dibutuhkan ketelitian sehingga perangkapan jabatan tidak

diperkenankan kecuali sebagai Kepala TU setingkat Kepala Seksi.

Penjelasan yang disampaikan oleh Bapak Darmaji secara implisit

menerangkan bahwa aktivitas yang selama ini dilakukan adalah bagian dari

unsur kegiatan pengendalian. Verifikasi dan meneliti kelengkapan dokumen


56

merupakan salah satu sub unsur dari kegiatan pengendalian yaitu otorisasi

transaksi dan kejadian sekaligus melaksanakan sub unsur kegiatan pencatatan

akurat dan tepat waktu. Pekerjaannya sebagai Kepala Tata Usaha yang

bertanggungjawab terhadap perencanaan program kegiatan dan akuntabilitas

aset meliputi pengurus serta bendahara barang di Satuan Kerja secara tidak

langsung telah melakukan kegiatan pengendalian yaitu reviu kinerja,

akuntabilitas terhadap sumber daya dan pengendalian fisik atas aset.

Kosentrasinya terhadap pegawai sekaligus usaha untuk melakukan disiplin

pegawai merupakan aktivas yang penting dalam lingkungan pengendalian yaitu

melakukan kebijakan Sumber Daya Manusia. Membuat Standar Operasi dan

Prosedur serta mendokumentasikan dokumen-dokumen keuangan merupakan

kegiatan pengendalian dalam sub unsur dokumentasi atas SPI.

Fokus perhatian dalam memahami sistem pengendalian intern

pemerintah sebagai kontrol dari pemerintah pusat diungkapkan oleh Bapak Sutaji

dan Bapak Hari untuk membuat Satuan Kerja lebih baik dalam pelaksanaan

kegiatan. Pernyataan Bapak Sutaji (nama samaran yang bertugas sebagai

Pejabat Pembuat Komitmen) menerangkan secara ringkas pemahamannya

terhadap SPIP sebagai berikut:

“SPIP terkait kontrol pemerintah terhadap pelaksanaan kegiatan yang


ada di lingkungan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah). Sebagai
Pejabat Pembuat Komitmen kita mengontrol kegiatan di kantor untuk
selanjutnya kita laporkan ke Pengguna Anggaran.”

Bapak Sutaji yang bertugas sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dengan latar

belakang pendidikan pemerintahan dan memiliki pengalaman kerja selama

kurang lebih 20 (dua puluh) tahun memberikan pendapatnya tentang arti Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah secara pragmatis. SPIP diterjemahkan sebagai

kontrol dari pemerintah pusat kepada pemerintah propinsi dan pemerintah

daerah kota atau kabupaten. Kontrol dari pemerintah pusat melalui PP Nomor 60
57

tahun 2008 diartikan bahwa pemerintah pusat mempunyai kepentingan (interest)

kepada pemerintahan dibawahnya untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi

program. Dengan kata lain kegiatan atau program yang berada di daerah tidak

menyalahi aturan di tingkat lebih atas begitu juga penyeragaman kontrol dari

pemerintah pusat mengikat bagi semua daerah. Kontrol dari pemerintah lebih

lanjut bisa diartikan sebagai kontrol kepala daerah kepada kepala satuan kerja

dalam melaksanakan RPJMD yang secara detil dijabarkan dalam program dan

kegiatan di APBD. Dalam konteks pembuatan kebijakan publik di pemerintahan

termasuk penganggaran, oportunitas agen dapat berupa rent-seeking ataupun

korupsi yang secara detil disebut korupsi politis (political corruption) dan korupsi

administratif (Andvig et al., 2001). Dalam hubungan keagenan di antara pejabat

politis dan public servants, masalah keagenan terkait pengalokasian sumberdaya

muncul ketika pendekatan partisipatif (pendekatan yang menghasilkan

penetapan target output dan outcome berdasarkan pelibatan bawahan dan

masyarakat) diimplementasikan. Pejabat publik yang dipilih (elected) memiliki

bawahan (subordinates) sebagai pelaksana yang ditunjuk atau ditempatkan

dengan didasarkan pada prinsip-prinsip birokrasi.

Mekanisme kontrol dari Bapak Sutaji atas tugasnya sebagai Pejabat

Pembuat Komitmen dan merangkap Kepala Seksi adalah melakukan

pengendalian pengadaan barang dan jasa yang diberi kewenangan oleh

Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengambil

keputusan atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran

anggaran belanja negara. Intinya Pejabat Pembuat Komitmen berhak untuk

menerima atau menolak SPJ yang dibuat dari Pejabat Pelaksana Teknis

Kegiatan sebelum disetujui oleh Kepala Satuan Kerja sebagai Pengguna

Anggaran. Satuan Kerja hanya memiliki satu Pejabat Pembuat Komitmen yang

mungkin berbeda dibandingkan dengan instansi lain tergantung jumlah anggaran


58

yang diterima dan staf yang tersedia. Pengadaan barang dan jasa di Satuan

Kerja memakai mekanisme penunjukan langsung karena transaksinya kurang

dari Rp. 200.000.000,00.

Pemahaman yang sedikit berbeda diungkapkan oleh Bapak Firdaus

(nama samaran) yang bertugas sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan

dengan latar belakang sarjana hukum yang mempunyai masa kerja kurang lebih

15 (lima belas) tahun memahami dan memaknai Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah sebagai berikut :

“Pengendalian internal selama saya tahu di PPTK yaitu


menjalankan kegiatan rutin dan menjalin kerjasama dengan mitra
kerja meliputi jajaran samping meliputi Kapolresta, Dandim,
Kejaksaan dan LSM.”

Ungkapan Bapak Firdaus tentang arti Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah (SPIP) terbatas pada pengendalian intern terhadap kegiatan rutin

(sehari-hari yang dilakukan) dan memfasilitasi pelaksanaan hubungan antar

organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat,

lembaga legislatif, lembaga penyelenggara pemilihan umum dan partai politik.

Pemahamannya tentang pengendalian intern terbatas hanya pada yang

dikerjakan sehari-hari melalui Tupoksi Kepala Seksi yang intinya untuk

mengendalikan kegiatan tersebut. Pengendalian yang dilakukan Bapak Firdaus

terkait dengan bantuan keuangan yang disalurkan melalui Satuan Kerja kepada

pihak eksternal serta menjalin hubungan yang kondusif antara pemerintah

daerah dengan pihak ekstern. Tindakan Bapak Firdaus yang melakukan

kerjasama (hubungan) baik secara internal maupun eksternal tanpa disadari

telah melakukan sub unsur “hubungan kerja yang baik” dalam lingkungan

pengendalian. Hubungan kerja yang baik dilakukan dengan komunikasi efektif

yang merupakan salah satu unsur penting dalam informasi dan komunikasi SPIP.

Komunikasi yang efektif baik terhadap pihak internal maupun pihak eksternal
59

memungkinkan dilaksanakannya kewajiban pengendalian intern dan tanggung

jawab operasional melalui sosialisasi dengan media yang ada.

Diskusi terakhir untuk membicarakan arti Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah dilakukan dengan Bapak Bagus (nama samaran) yang bertugas

sebagai Bendahara Pengeluaran. Bapak Bagus meniti karir mulai dari ijazah

SMA dan mengikuti penyesuaian ijazah S1 sarjana pendidikan dengan masa

kerja kurang lebih 14 (empat belas) tahun mendefinisikan SPIP sebagai berikut :

“SPIP itu pengendalian dari dalam yang mengendalikan


semuanya. Kalau saya jadi bendahara mulai dari perencanaan
penyusunan anggaran, pencairan, pelaksanaan sampai
pertanggungjawaban (SPJ) sebaiknya bisa berjalan dengan baik
sesuai rencana dan kebutuhan yang butuh berkoordinasi dengan
Kasi (Kepala Seksi) serta Kepala juga (maksudnya Kepala Satuan
Kerja).”

Pengendalian intern menurut pemahamannya adalah pengendalian yang

melekat dari dalam para pelaku kegiatan terhadap segala sesuatu yang

dikerjakannya. Sekali lagi informan berbicara pengalaman sehari-hari yang telah

dilakukan terutama membicarakan Tupoksi sebagai bendahara pengeluaran. Alur

pikir aktor bendahara pengeluaran dikemukakan dalam menjelaskan hakikat

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang tidak jauh-jauh dari pelaksanaan

aktivitas yang telah dikerjakan sehari-hari. Tanggung jawab bendahara

pengeluaran intinya untuk mewujudkan penatausahaan, pembukuan dan

pertanggungjawaban penggunaan anggaran.

Rutinitas pekerjaan bendahara pengeluaran antara lain mengajukan

permintaan pembayaran baik melalui mekanisme UP/GU/TU maupun LS;

menerima dan menyimpan UP/GU/TU; melakukan pembayaran dari uang

persediaan; menolak atau menerima perintah bayar; meneliti kelengkapan

dokumen pendukung; membuat register SPP, SPM dan SP2D; menyusun Buku

Kas Umum yang terdiri dari buku pembantu kas tunai, buku pembantu bank,
60

buku pembantu pajak, buku pembantu rincian objek belanja;

pertanggungjawaban Uang Persediaan disampaikan kepada Pengguna

Anggaran; Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang disampaikan

kepada Pengguna Anggaran; pertanggungjawaban administratif yang

disampaikan kepada Pengguna Anggaran. Tugas utama yang dilakukan Bapak

Bagus adalah melakukan kontrol terhadap ketersediaan dana atas seluruh

transaksi keuangan, menghimpun bukti-bukti transaksi pengeluaran dan

menandatanganinya bersama Kepala Satuan Kerja dan mencatat transaksi yang

belum di SPJ-kan ke dalam buku panjar dalam rangka tertib administrasi untuk

selanjutnya membuat laporan pertanggungjawaban. Praktik kerja yang dilakukan

Bapak Bagus sebagai bendahara pengeluaran tidak lepas dari pelaksanaan

SPIP yang melakukan otorisasi transaksi dan kejadian, melakukan

pencatatan yang akurat dan tepat waktu serta akuntabilitas terhadap

sumber daya.

Pendapat dari Bapak Bagus dan Bapak Firdaus yang memahami

pengendalian intern pemerintah seperti yang telah dilakukan secara rutin bisa

dimaklumi mengingat pengalaman kerja selama beberapa tahun memberikan

pelajaran yang berharga tentang esensi kontrol di pemerintah. Pekerjaan yang

dilakukan secara rutin memberikan semacam intuisi bagi aparatur pemerintah

tentang resiko dan pengendalian kegiatan. Sebenarnya tanpa diatur dalam PP

Nomor 60 Tahun 2008, Satuan Kerja memiliki pemahaman dan pelaksanaan

SPIP menurut kebutuhan dan urgensi dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari.

Pernyataan ini didukung oleh Bapak Hari dengan keyakinan seorang birokrat

senior ketika membicarakan masalah pengendalian intern :

Ya tetap ada (pengendalian intern), SKPD itu merupakan


kepanjangan tangan dari Kepala Daerah untuk melaksanakan
program sesuai Tupoksi (Tugas, Pokok dan Fungsi) masing-masing.
Kita tetap mengendalikan walaupun tidak ada, cuma aturan kalau
61

tidak jelas kan kita juga sulit (melaksanakan) tapi kalau kebijakan
dari Kepala Daerah yang diturunkan ke SKPD itu pasti ada melalui
Peraturan Daerah.

Ungkapan-ungkapan seperti pengendalian (kontrol), aktivitas rutin,

kontrol dari pemerintah, pelaporan merupakan makna indeksikalitas yang

ditemui di Satuan Kerja. Satuan Kerja berusaha untuk mengungkapkan sendiri

rutinitas atau aktivitas terkait dengan pelaksanaan SPIP dengan pendekatan

etnometodologi. Informan menjelaskan perilaku atau aktivitas yang dianggap

sebagai bentuk pelaksanaan SPIP dan tentu saja peneliti mengamati cara

bekerja, kebiasaan serta aturan yang disepakati baik tertulis maupun tidak

tertulis. Rutinitas kerja yang dilakukan oleh aparatur pemerintah tanpa disadari

sebenarnya menggambarkan tujuan yang diinginkan oleh pemerintah pusat

dengan membentuk SPIP tetapi satuan kerja tidak mengetahui bahwa apa yang

dikerjakannya merupakan bagian dari pengendalian intern.

Pemahaman pengendalian intern yang dilakukan Satuan Kerja secara

eksplisit belum menyinggung tentang sub unsur tentang integritas dan nilai etika

sebagai sesuatu yang penting dalam bagian lingkungan pengendalian. Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik

Pegawai Negeri Sipil merupakan regulasi yang secara eksplisit membahas

integritas dan etika. Tegaknya integritas dan nilai etika orang-orang yang

melaksanakan SPIP merupakan kunci efektivitas pengendalian Instansi

Pemerintah. Pada kenyataannya, pelaksanaan sub unsur integritas dan nilai

etika bukan hal yang sederhana dan mudah dilaksanakan. Manfaat penegakan

integritas dan nilai etika antara lain untuk menekan tingkat korupsi,

membangkitkan komitmen kepada kejujuran dan kewajaran serta kepatuhan

pada hukum dan kebijakan-kebijakan. Pengingkaran atas penegakan integritas


62

dan nilai etika akan berakibat pada pelaksanaan SPIP yang kehilangan

esensinya dan akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya.

4. 3. Ringkasan

Pemahaman akan hakikat Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dari

beberapa informan yang mewakili dapat menjelaskan kondisi sesungguhnya di

Satuan Kerja. Informan mengemukakan pemahaman dan arti Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah sesuai dengan apa yang telah dilakukan sehari-

hari yang dianggap sebagai pengendalian intern. Pengalaman kerja dari

informan serta tupoksi yang dikerjakan merupakan gambaran pengendalian yang

dilakukan oleh Satuan Kerja.


BAB V

REALITAS PELAKSANAAN

SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH

5. 1. Pengantar

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah sesuai dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 merupakan adopsi dari COSO yang

diaplikasikan pada sektor publik di Indonesia. Instrumen yang dibangun oleh

COSO pada dasarnya digunakan oleh sektor privat yang bertujuan untuk

melakukan kontrol di segala aktivitas dengan mengutamakan efisiensi dan

efektivitas. Semangat tersebut berusaha diimplementasikan di sektor publik

Indonesia yang berusaha membangun reformasi keuangan negara yang bersih

dan transparan.

Pelaksanaan SPIP sejak tahun 2008 sampai sekarang sudah

disosialisasikan kepada instansi pemerintah baik di kementerian, pemerintah

propinsi dan pemerintah daerah. Kenyataan di lapangan perilaku korupsi,

penyalahgunaan anggaran dan kecurangan yang ditemukan oleh Badan

Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin meningkat.

Fenomena tersebut menjadi menarik untuk dicari akar penyebabnya mengingat

PP Nomor 60 Tahun 2008 memberikan petunjuk teknis yang sangat detil dalam

pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Faktor budaya, politik dan

mentalitas aparat pemerintah menjadi titik kajian dalam pelaksanaan Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah yang sering luput dari pembuat kebijakan di

pusat ketika mencoba mengadopsi sebuah sistem pengendalian dari sektor

privat ke sektor publik. Penulis mencoba menggali permasalahan tersebut pada

63
64

salah satu Satuan Kerja di Jawa Timur terkait dengan Sistem Pengendalian

Intern Pemerintah yang telah dilaksanakan.

5. 2. Pengaturan Keuangan Dalam Birokrasi Politik

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) merupakan kondisi

normatif yang ideal untuk dilaksanakan dalam mencapai tujuan organisasi yaitu

efektif dan efisien, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset dan ketaatan

terhadap perundang-undangan. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008

memberikan acuan teknis yang detil melalui lima sub unsur yang meliputi

lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan

komunikasi serta pemantauan pengendalian intern. Pelaksanaan pengendalian

intern di Satuan Kerja yang penulis teliti terdapat fenomena menarik terkait

dengan rutinitas kegiatan sehari-hari dari yang dilakukan oleh aparatur

pemerintah. Rutinitas kegiatan yang penulis dapat dari realitas lapangan ketika

melakukan penelitian adalah ungkapan-ungkapan tentang “pengaturan

keuangan.” Pengaturan keuangan menjadi kebiasaan yang sangat familiar bagi

pelaksanaan penatausahaan keuangan dan selama ini tidak banyak diangkat

dalam penelitian karena dianggap rahasia dan tabu untuk dibahas.


Penulis berusaha menggali makna pengaturan keuangan dalam realitas

pelaksanaan pengendalian intern di Satuan Kerja. Temuan yang menarik untuk

dianalisis adalah fenomena keterkaitan pengaturan keuangan dalam birokrasi

politik. Perilaku aparatur pemerintah dalam melaksanakan pengendalian intern

berhadapan dengan fenomena pengaturan keuangan merupakan sebuah dilema

tersendiri seperti yang diungkapkan oleh Bapak Hari (Kepala Satuan Kerja)

sebagai berikut:
Sebenarnya kalau masalah anggaran kita sesuai dengan aturan
(Permen, Perda) cuma kita ada kendala masalah tunjangan.
Mestinya setingkat kita-kita (aparatur pemerintah) di Satker
tunjangannya sangat minim dan lain-lain hal yang tanda kutip juga
65

kita harus melaksanakan. Jadi kalau sesuai aturan ya sesuai aturan


tetapi kalau pengaturan (keuangan) pasti ada.

Pengaturan keuangan mempunyai makna bahwa pengalokasian dan

penggunaan anggaran tidak serta merta sesuai dengan APBD. Pengaturan

anggaran dilakukan dengan dalih sederhana bahwa kegiatan yang tidak penting

bisa dialihkan ke kegiatan lain tetapi tidak tercantum dalam anggaran atau bisa

juga bahwa nilai nominal satu kegiatan dikurangi dan ditambah dengan kegiatan

lainnya. Alasan tersebut sebagai dalih untuk membenarkan praktik pengaturan

anggaran walaupun alasan yang dipakai tidak logis. Ketidaklogisan alasan

tersebut mengingat kegiatan yang sudah dimasukkan program tersebut sudah

melalui prosedur perencanaan baik di satuan kerja maupun daerah. Unsur politik

kadang dirasakan lebih kuat dibandingkan masalah teknis bila berhadapan

dengan alokasi anggaran yang sudah menjadi “titipan” dari pihak-pihak yang

memiliki kepentingan baik pejabat politis maupun unsur dewan legislatif maupun

LSM. Studi Gauld (2007) di Selandia Baru menjelaskan bahwa pejabat

pemerintah diduga hanya mengejar ekspansi anggaran, politisi dan kepentingan

kelompok partai yang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan seperti

dilakukan dalam ranah bisnis.

Praktik pengaturan keuangan dengan motif tertentu diilustrasikan dengan

jelas lebih lanjut oleh Bapak Hari yang menyinggung masalah intervensi dari

birokrasi politik sebagai berikut:

“Contoh seperti yang kita ketahui ada program untuk pemeliharaan


kantor sebesar Rp. 15.000.000,00 untuk pengecatan kantor dan
lain-lain. Biasanya kita antisipasi tidak sampai melaksanakan
sebesar Rp. 15.000.000,00 tetapi sesuai aturan kita harus tetap
secara riil SPJ dan lain-lain dengan kata lain golek bati saitik-saitik
(mencari keuntungan sedikit-sedikit). Mau gak mau kita harus
seperti itu karena kita masuk ranah birokrasi. Sebenarnya titik inti
dari anggaran pokoknya personel yang ada itu hak-haknya kita
penuhi cuma kita masuk ranah politik. Kita tahu sendiri politik di
Indonesia seperti itu makanya ada pengaturan (keuangan dan
66

anggaran). Ada hal-hal lain yang sifatnya kita tidak bisa


mengutarakan disini, masalahnya apa? Ini sudah masuk ranah
politik jadi kita tidak bisa (mengutarakan). Birokrasi murni itu tidak
ada, adanya birokrasi politik otomotasi mau tidak mau ya kita ikut
di ranah pengaturan.”
Perilaku oportunistik yang tercermin dalam pernyataan tersebut dalam teori

keagenan dipandang sebagai agents behave opportunistically toward principals.

Oportunisme bermakna ketika terjalin kerjasama antara prinsipal dan agen disisi

lain menyebabkan kerugian prinsipal karena agen mengutamakan

kepentingannya (agent self-interest). Carr dan Brower (2000) lebih lanjut

memberikan solusi atas perilaku agen tersebut dengan jalan prinsipal harus

memonitor perilaku agen serta memberikan insentif untuk memotivasi agen untuk

mencapai kepentingan prinsipal.

Masalah tunjangan bagi pegawai negeri bisa dilihat sebagai

permasalahan insentif dalam model principal-agen. Menurut Andvig et al. (2001)

principal-agent model merupakan rerangka analitik yang sangat berguna dalam

menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik dengan dua kemungkinan

kondisi, yakni (1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan

kepentingan yang tidak koheren dan (2) prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai

dengan kepentingan masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingannya yang

sifatnya lebih sempit. Masalah tunjangan bagi pegawai negeri sipil di daerah

merupakan masalah klasik yang dikemukakan untuk melakukan pengaturan

keuangan. Ardianawati dan Puspita (2012) menyinggung besaran gaji di sektor

publik menjadi salah satu penyebab korupsi ketika gaji pegawai negeri tidak

cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak.

Kesejahteraan pegawai negeri sipil merupakan masalah kolektif yang

ingin dipenuhi sebagai wujud tanggung jawab Kepala Satuan Kerja terhadap

bawahannya dengan melakukan pengaturan keuangan. PNS menurut UU Nomor

43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 Tentang


67

Pokok-Pokok Kepegawaian berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai

dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya serta harus mampu memacu

produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. Kesenjangan tentang tunjangan

terutama remunasi antar daerah menimbulkan kecemburuan antar daerah.

Praktik untuk menambah tunjangan secara tidak resmi biasa dilakukan dengan

cara pengaturan keuangan tentunya dilakukan “tahu sama tahu” dalam Satuan

Kerja. Ungkapan “golek bati saitik-saitik” digunakan untuk menjustifikasi

kesejahteraan PNS bisa melakukan apa saja asalkan digunakan untuk

kepentingan bersama.

Praktik pengaturan keuangan yang terjadi tidak hanya di Satuan Kerja

tempat peneliti melakukan kajian tetapi juga terjadi di lingkungan birokrasi

pemerintahan Indonesia. Pergeseran paradigma dari birokrat di jaman Orde Baru

dibandingkan jaman Reformasi terletak pada kepentingan politis yang masuk

kehidupan birokrasi pemerintahan. Bisa dikatakan pada jaman Orde Baru pada

lingkup pemerintah daerah masih minim ditunggangi oleh kepentingan partai

politik sehingga birokrat difungsikan sebagai abdi masyarakat. Birokrat jaman

Orde Reformasi lebih bernuansa tunduk pada Kepala Daerah sebagai pejabat

politis yang dipilih oleh rakyat secara pilihan langsung.

Keterlibatan pejabat struktural dalam ranah birokrasi politik bisa dipahami

dalam kebijakan publik menurut teori Rational Choice atau disebut juga dengan

Public Choice atau Social Choice yang intinya melihat kebijakan sebagai sebuah

proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan

atas keputusan tersebut (Fischer, 2007). Akar kebijakan tersebut berasal dari

teori ekonomi pilihan publik (economic of public choice) yang menyatakan bahwa

manusia adalah makhluk ekonomi yang memiliki kepentingan-kepentingan yang

harus dipuaskan. Model ini dikembangkan atas dasar teori dari Anthony Downs

(1957) tentang Economic Theory of Democracy yang mengasumsikan bahwa


68

para pemilih dan politisi berusaha untuk memaksimalkan keuntungan atas

preferensi masing-masing. Teori Rational Choice atau Public Choice sesuai

dengan kondisi yang terjadi di Indonesia yang sering melakukan pemilihan umum

dari tingkat kabupaten, provinsi dan pusat yang mengasumsikan bahwa para

pemilih dan politisi berusaha untuk memaksimalkan keuntungan atas preferensi

masing-masing. Model ini menjelaskan bahwa pemenang pemilu (pejabat yang

berkuasa) acapkali gagal memberikan yang terbaik kepada masyarakat karena

mereka lebih berkepentingan kepada para pendukungnya atau pemberi suara.

Akibatnya partai pemenang pemilu akan menguasai dewan legislatif yang

berfungsi membuat regulasi atau kebijakan selain itu kasus korupsi,

penyelewengan semakin marak di Indonesia karena motif ekonomi yang

menganggap biaya kampanye sebagai modal untuk segera dikembalikan lewat

cara-cara yang tidak etis.

Praktik-praktik setor kepada atasan terjadi karena sistem pemilihan bupati

atau walikota, gubernur bahkan presiden dengan menggunakan pemilihan

langsung yang membutuhkan biaya politik yang tinggi sebagai money politic.

Logika umum akan membenarkan jika seseorang mengeluarkan “modal” untuk

memperoleh jabatan politis tersebut maka yang bersangkutan setelah berkuasa

atau menjabat akan mencoba mengembalikan “modal” tersebut dengan berbagai

cara. Cara-cara yang sering dipakai untuk mengembalikan “modal” diantaranya

adalah memperjualbelikan jabatan, rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil,

tender proyek, lelang kekayaan negara atau daerah, membangun dinasti

keluarga di birokrasi dan yang lebih berbahaya lagi dengan melobi Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah untuk melegalkan kegiatan tertentu dengan tujuan

utama melakukan korupsi berjamaah.

Tidak mengherankan apabila banyak Kepala Daerah yang tersangkut

kasus hukum baik di kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan


69

Korupsi (KPK) karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah.

Pernyataan dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo

(http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/21114211) tentang Kepala Daerah

yang tersandung kasus hukum sebagai berikut:


“Data terahir sampai bulan Desember tercatat cukup tinggi,
gubernur, bupati, walikota adalah 343 orang yang ada masalah
hukum baik di kejaksaan, polisi, KPK yang ada masalah hukum
soal anggaran.”

Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, hingga tahun 2010, ada

206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Tahun selanjutnya,

Kemendagri mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (tahun 2011), 41

kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013). Sementara itu, kepala

daerah atau wakil kepala daerah yang tersangkut di KPK hingga tahun 2014

yakni mencapai 56 kepala daerah. Sebagian besar diketahui melakukan korupsi

dalam pengelolaan keuangan daerah yang bersumber pada penyusunan

anggaran, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, belanja hibah

dan bantuan sosial serta belanja perjalanan dinas. Kemendagri mengungkapkan,

penyebab banyaknya kepala daerah yang terkena kasus korupsi adalah

komitmen antikorupsi yang belum memadai, tidak adanya integritas, belum

diterapkannya e-procurement dan rentannya birokrasi terhadap intervensi

kepentingan.

Pernyataan yang hampir sama dengan Bapak Hari diungkapkan oleh

Bapak Darmaji yang bertugas sebagai Pejabat Penatausahaan Keuangan ketika

ditanya masalah pengaturan keuangan sebagai berikut :

“Pengaturan itu seolah-olah fiktif tapi benar, benar tapi ya kurang


sesuai. Kalau ditanya etis atau tidak, ya tentu saja tidak etis untuk
dilakukan oleh aparatur pemerintah tapi mau apa lagi.”

Penjelasan Bapak Darmaji dapat diinterpretasikan bahwa pengaturan keuangan

bisa disebut benar atau salah tergantung dengan kondisi politik yang masuk
70

birokrasi pemerintahan. Praktik pengaturan keuangan biasa dilakukan di Satuan

Kerja tetapi merupakan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan kepada khalayak

umum. Sikap kehati-hatian untuk tidak direkam dari Bapak Darmaji dapat

dipahami mengingat banyak pihak akan tersinggung akan kebenaran dari

perilaku yang biasa dilakukan oleh aparatur pemerintah.

Staf mendapatkan tugas dari atasan langsung untuk melakukan

pertanggungjawaban SPJ, tentunya bukti-bukti transaksi yang dilampirkan akan

mengikuti nilai total dari kegiatan. Bukti transaksi merupakan dokumen dasar

dalam pemeriksaan dengan demikian haruslah dipenuhi sesuai nature transaksi

yang terjadi. Akibat pengaturan keuangan maka akan diikuti dengan melakukan

setting untuk memperoleh bukti atau bahkan membuat bukti transaksi yang

meyakinkan atau kalau perlu membuat stempel palsu. Kerjasama dengan suplier,

toko untuk memperoleh bukti transaksi biasa dilakukan baik Satuan Kerja

membeli atau menggunakan begitu juga apabila tidak membeli bisa juga

memberikan kompensasi kepada suplier atau toko. Praktek-praktek tersebut

selaras dengan penelitian Abdullah (2009) yang menyindir perilaku aparat

pemerintah yang melakukan manipulasi SPJ belanja, setoran ke atasan dan

membuat stempel palsu dalam pelaksanaan APBD.

Konfirmasi dilakukan terhadap salah satu pemilik toko yang sering

membantu Satuan Kerja untuk memperoleh bukti transaksi sebagai berikut:

“Hal yang lumrah dan sudah biasa, mas. Biasanya kantor


pemerintah minta stempel untuk nota dan kwitansi. Ada juga yang
malah minta tandatangan dan stempel kosongan. Yang penting bagi
saya, mereka belanja disini. Masalah mau ditulis berapa itu urusan
mereka. Ya ada kantor yang tidak pernah belanja disini minta
stempel kadang ya saya tolak.”

Toko atau suplier rekanan dari Satuan kerja kebanyakan mau membantu

memberikan bukti transaksi dengan alasan tetap belanja dan tidak kehilangan

pelanggan tetap. Pemilik toko biasanya disodori dengan kwitansi atau nota
71

kosongan dari Satuan Kerja yang tentu saja akan dimark-up baik harganya atau

kuantitas dari yang sebenarnya. Nota asli dari toko tetap disimpan untuk

dilaporkan kepada PPTK tersendiri secara informal. Memanipulasi bukti transaksi

sudah bukan hal yang memalukan lagi di lingkungan sektor publik terutama di

pemerintah daerah.

Pengaturan anggaran selain berdampak pada kurang maksimalnya

output kegiatan yang telah disusun juga akan menimbulkan kebohongan baru

dalam pertanggungjawaban keuangan (SPJ) di Satuan kerja. Kebohongan yang

mendasar dalam SPJ adalah memanipulasi bukti transaksi baik berupa faktur,

invoice, surat jalan, kwitansi dan lain-lain. Bukti transaksi bisa dibuat dengan

mudahnya tentu saja harus bekerjasama dengan toko, suplier dan penyedia

barang atau jasa. Ini merupakan seni tersendiri untuk menjalin relasi dengan

pihak ketiga dalam memainkan bukti transaksi karena bukti transaksi yang paling

lemah dan celah untuk terjadinya penyelewengan adalah kwitansi dan nota.

Pihak ketiga, suplier dan toko bersedia memberikan bukti yang asli tapi palsu

didasari motif ekonomi yaitu uang, relasi dengan birokrasi dan pembelian barang

atau jasa.

Sebenarnya suplier atau toko akan dirugikan karena transaksi ini terkait

dengan aspek perpajakan tetapi hal itu ditutupi oleh satuan kerja yang

bersangkutan dengan membayarkan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) atau pajak

lainnya yang terkait dengan transaksi jual beli, hanya saja pihak toko harus

menutupi transaksi ini untuk pelaporannya di Kantor Pajak terkait Pajak Tahunan

yang harus dibayarkannya. Biasanya aparat pemerintah akan mencari toko atau

suplier yang tidak termasuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau minimal yang

mempunyai resiko terkecil untuk urusan perpajakan. Bagi dinas atau satuan

kerja, kewajiban perpajakan justru dipandang sebagai darma bakti yang

berlebihan. Barang atau jasa yang dibeli dibawah harga yang sesungguhnya di
72

anggaran atau bahkan “pengaturan keuangan” tadi yang tidak dibeli, tetap saja

pajaknya dibayar.

Teknis pengaturan keuangan yang sempat penulis lihat pada salah satu

staf yang bertugas dalam penatausahaan keuangan dan kebetulan sedang

melakukan SPJ dengan membuat bukti transaksi berupa mengisi daftar hadir

rapat sosialisasi. Staf tersebut bernama Ibu Yulia dengan gaya yang ceria

sedang mengebut untuk menyelesaikan SPJ, penulis mencoba untuk bertanya

tentang pekerjaannya dalam mencari makna pengaturan keuangan. Komentar

yang didapatkan sangat menarik untuk dicermati sebagai berikut :

“Saya mengisi yang kosong agar SPJ bisa penuh. Uangnya negara
aja, saya kerja kan disuruh sama atasan. Kalau masuk neraka ya
biar atasan saja, saya hanya membukakan palang pintunya. Ya gini
ini, saya merangkap melakukan SPJ pada dua seksi. Kita bekerja
untuk cari uang, bukan untuk cari kesel (letih).”

Tugas staf untuk melengkapi dokumen transaksi dan kalau perlu

membuat bukti transaksi untuk proses SPJ. Pernyataan dari Ibu Yulia

menegaskan bahwa pengaturan keuangan dilaksanakan sampai pada

pembuatan bukti transaksi dengan alasan yang rasional untuk melakukan

penyerapan secara penuh anggaran kegiatan agar tidak setor kembali ke kas

daerah. Alasan “uang negara yang digunakan” dan pengalihan tanggungjawab

kepada atasan diartikan sebagai bentuk bahwa staf hanya bertindak dan bekerja

sedangkan tanggungjawab secara moral ada di atasan.

Perasaan tidak bersalah dan sudah biasa dilakukannya pengaturan

keuangan didasari perintah dari atasan tercermin dari pernyataan Ibu Yulia yang

berprinsip bahwa staf hanya mengerjakan tugas yang diberikan dari atasan dan

tanggungjawab terletak pada atasan merupakan perwujudan “lingkaran setan”

dari pengaturan keuangan dan birokrasi politik yang mewarnai pelaksanan

pengendalian intern di Satuan Kerja. Benar dan salah dari sikap Ibu Yulia dalam
73

melaksanakan tugasnya seharusnya dipandang dari sudut pandang yang jernih

atas akar masalah yang sering terjadi di birokrasi pemerintah Indonesia

berdasarkan kenyataan yang penulis sampaikan diatas.

5. 3. Belanja Bantuan Keuangan Partai Politik Yang Ruwet

Peristiwa menarik yang terjadi di Satuan Kerja yang sempat penulis amati

adalah tentang pelaksanaan belanja bantuan keuangan partai politik yang ruwet

atau bermasalah. Ungkapan ruwet yang dialamatkan pada belanja bantuan

keuangan partai politik merupakan indeksikalitas yang diterima dan disepakati di

Satuan Kerja. Salah satu kegiatan yang menjadi fokus dari Satuan Kerja dan

menjadi sorotan dari pihak ekstern adalah mekanisme pelaksanaan belanja

bantuan keuangan partai politik. Mekanisme pengendalian intern dan konflik

dengan pihak partai politik menjadi menarik untuk dibahas dan dikaji.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik menyebutkan bahwa

keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang sah

menurut hukum dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Bantuan keuangan

yang bersumber dari APBN/APBD tersebut diberikan secara proporsional kepada

partai politik yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota yang perhitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.

Bantuan keuangan tersebut diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik

bagi anggota partai politik dan masyarakat.

Pendidikan politik berkaitan dengan kegiatan pendalaman mengenai

empat pilar berbangsa dan bernegara meliputi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka

Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; pemahaman mengenai

hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya

politik serta pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan


74

berkelanjutan. Partai politik yang mendapatkan bantuan keuangan wajib

menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang

bersumber dari APBN/APBD kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk

dilakukan audit 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Permasalahan bantuan keuangan partai politik bagi Satuan Kerja dimulai

dengan masalah perhitungan, mekanisme bantuan keuangan, pencairan dan

laporan pertanggungjawaban. Penentuan besarnya nilai bantuan per suara hasil

Pemilu DPRD didasarkan pada hasil perhitungan jumlah bantuan keuangan

APBD tahun anggaran sebelumnya dibagi dengan jumlah perolehan suara hasil

Pemilu bagi partai politik yang mendapatkan kursi periode sebelumnya. Alur

pengajuan bantuan keuangan partai politik dapat dilihat pada gambar 6.1 berikut:

Gambar 5.1 Mekanisme Bantuan Keuangan Partai Politik

Proposal Satuan kerja


Pengajuan melakukan
Kepala Daerah
Banpol / Oleh verifikasi
Lewat Satuan
Parpol yang kelengkapan
Kerja
Mendapatkan administrasi dan
kursi di DPRD dibuatkan telaah
staf

BPKAD Mentransfer Selanjutnya Kepala Daerah


Banpol ke bank, pencairan Banpol
sesuai rekening Bank dikirim ke BPKAD
masing – masing
Parpol

Parpol membuat
Laporan Pertanggung
jawaban

Mekanisme bantuan keuangan dimulai dari pengurus partai politik

mengajukan surat permohonan kepada kepala daerah yang ditandatangani oleh


75

ketua atau sekretaris partai politik menggunakan kop surat dan cap stempel

partai politik serta melampirkan bukti administrasi berupa surat keputusan DPP

partai politik yang menetapkan susunan pengurus DPC berdasarkan AD/ART

masing-masing partai politik; foto copy surat keterangan Nomor Pokok Wajib

Pajak; surat keterangan auntentifikasi hasil penetapan perolehan kursi dan suara

partai politik hasil Pemilu yang dilegalisir ketua atau sekretaris KPUD; nomor

rekening kas umum partai politik yang dibuktikan dengan pernyataan pembukaan

rekening dari bank yang bersangkutan; laporan realisasi penerimaan dan

pengeluaran bantuan keuangan yang bersumber dari APBD tahun sebelumnya

yang telah diperiksa oleh BPK; surat pernyataan ketua partai politik yang

menyatakan bertanggungjawab secara formal dan material dalam penggunaan

anggaran bantuan keuangan partai politik dan bersedia dituntut sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Belanja bantuan keuangan kepada partai

politik dicairkan melalui SP2D LS Belanja Bantuan Keuangan dengan cara

ditransfer langsung dari rekening Kas Daerah ke rekening masing-masing Partai

Politik penerima bantuan. Partai politik setelah memperoleh bantuan keuangan

diwajibkan untuk membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan bantuan

keuangan dengan melakukan pembukuan dan memelihara bukti penerimaan dan

pengeluaran atas dana bantuan keuangan.

Dasar hukum yang mengatur secara teknis pelaksanaan bantuan

keuangan partai politik dapat dilihat di Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun

2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2009

Tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik serta Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan,

Penganggaran dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan

Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik. Penulis

memperoleh data bantuan keuangan masing-masing partai politik Tahun 2010 –


76

2013 berdasarkan perolehan suara Pemilihan Umum tahun 2009 pada salah

satu daerah di Jawa Timur untuk memudahkan ilustrasi dapat dilihat pada tabel

5.1 berikut:

Tabel 5.1
Keuangan Partai Politik Berdasarkan Perolehan Suara Pemilu Tahun 2009
NO NAMA BANTUAN PER JUMLAH NOMINAL
PARTAI SUARA PEROLEHAN BANTUAN
POLITIK (Rp) SUARA (Rp)
1 PDI 4.675,00 20.432 95.519.600
PERJUANGAN
2 PAN 4.675,00 19.376 90.582.800
3 P. 4.675,00 16.287 76.141.725
DEMOKRAT
4 PKB 4.675,00 14.564 68.086.700
5 PKNU 4.675,00 13.869 64.837.575
6 P. GOLKAR 4.675,00 11.412 53.351.100
7 P. HANURA 4.675,00 4.442 20.766.350
8 P. GERINDRA 4.675,00 4.663 21.799.525
9 PKS 4.675,00 4.283 20.023.025
10 PDS 4.675,00 3.389 15.843.575
11 PKPB 4.675,00 2.865 13.393.875
12 PPNUI 4.675,00 2.705 12.645.875
13 PBB 4.675,00 2.504 11.706.200
Jumlah 4.675,00 120.791 564.697.925

Sedangkan perolehan bantuan keuangan masing-masing partai politik

dalam 1 (satu) tahun berdasarkan perolehan suara Pemilihan Umum Tahun 2014

dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut:

Tabel 5.2
Bantuan Keuangan Partai Politik Berdasarkan Perolehan Suara Pemilu
Tahun 2014
NO NAMA BANTUAN PER JUMLAH NOMINAL
PARTAI SUARA PEROLEHAN BANTUAN
POLITIK (Rp) SUARA (Rp)
1 PAN 4.675,00 28.797 95.519.600
2 PDI-P 4.675,00 25.535 90.582.800
3 PKB 4.675,00 20.572 76.141.725
4 GERINDRA 4.675,00 16.811 68.086.700
77

5 GOLKAR 4.675,00 14.624 64.837.575


6 DEMOKRAT 4.675,00 12.854 53.351.100
7 PPP 4.675,00 10.313 20.766.350
8 HANURA 4.675,00 9.601 21.799.525
9 PKS 4.675,00 9.101 20.023.025
10 NASDEM 4.675,00 7.312 15.843.575
Jumlah 4.675,00 155.521 727.060.675

Masalah bantuan keuangan partai politik yang dilakukan Satuan Kerja

sering menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan terkait dengan pelaksanaan

kepatuhan terhadap regulasi pemerintah dengan inti masalah Kepala Satuan

Kerja selaku SKPD Leading Sector kurang cermat dalam melakukan

pengawasan terhadap penghitungan bantuan keuangan kepada partai politik,

partai politik penerima bantuan kurang cermat dalam melaksanakan pembukuan

dan tidak tertib dalam menyampaikan pertanggungajawaban penggunaan dana

bantuan keuangan Partai Politik serta Tim Peneliti dan Pemeriksaan Persyaratan

Administrasi Pengajuan, Penyerahan dan Penggunaan Bantuan Keuangan

kepada Partai Politik belum optimal dalam melaksanakan tugas pemeriksaan

penggunaan bantuan keuangan.

Ruwetnya berurusan dengan partai politik penerima bantuan keuangan

dikeluhkan oleh Bapak Darma yang bertugas mengkoordinasi laporan

pertanggungjawaban partai politik dengan ekspresi marah dan frustasi sebagai

berikut:

Ngelu sirahku, dana Banpol durung dibagi aku diamuk karo


parpol, nek masalah SPJ gak bar ketemu kepala yo diamuk sisan.
Daripada kono ngalangi tugasku lha aku ditugasi karo kepala. Aku
wani tok iki, paling banter yo aku dimutasi. (Pusing kepalaku, dana
Bantuan Politik belum dibagi saya dimarahi Partai Politik, kalau
masalah SPJ belum selesai dimarahi Kepala Satuan Kerja juga.
Daripada dia (pengurus partai politik) menghalangi tugas saya lha
saya ditugasi kepala (atasan). Saya berani aja, resiko terberatnya
paling ya saya dimutasi).

Kebingungan dan frustasi Bapak Darma yang menemui kendala di

lapangan untuk melakukan pengumpulan SPJ terhadap bantuan keuangan yang


78

diberikan partai politik dapat dipahami dan dimengerti. Partai politik seringkali

menekan Satuan Kerja untuk segera mencairkan dana bantuan keuangan Partai

Politik sebaliknya Satuan Kerja kesulitan untuk memperoleh SPJ yang dibuat

oleh Partai Politik. Peristiwa tersebut menjadi masalah yang terus berulang dari

tahun ke tahun dengan inti masalah yang utama yaitu kesadaran dan

kedewasaan partai politik dalam memperoleh serta menggunakan dana bantuan

keuangan. Administrasi sebagian partai politik kurang mendukung untuk

memenuhi pelaksanaan pertanggungjawaban atas bantuan keuangan yang telah

diberikan bahkan kemampuan dari pengurus partai politik untuk membuat SPJ

perlu dipertanyakan.

Seharusnya laporan SPJ sudah harus diterima oleh Satuan Kerja paling

lambat akhir tahun berjalan tetapi realitas di lapangan bahkan sampai

pemeriksaan BPK dilakukan ada beberapa partai politik belum menyampaikan

laporannya. Penulis mencoba melakukan cross check dengan LHP BPK terkait

permasalahan ini untuk memperoleh keyakinan yang memadai tentang

fenomena tersebut. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa sampai dengan

tanggal 23 April 2012, belum seluruh Partai Politik menyampaikan laporan

pertanggungjawaban penggunaan bantuan keuangan partai politik kepada

Kepala Daerah. Dari 13 partai politik penerima bantuan, hanya tujuh partai politik

yang menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Partai

Politik sedangkan enam partai politik lainnya belum menyampaikan laporan.

Tujuh partai politik penerima bantuan yang telah menyampaikan laporannya

kepada Kepala Daerah, tidak menyusun laporan sesuai dengan format laporan

yang ditentukan. Sekretaris daerah melalui kepala daerah sudah berupaya untuk

mengingatkan partai politik untuk segera memenuhi kewajiban tersebut tetapi

kenyataannya sebagian partai politik tetap tidak bisa memberikan laporan

pertanggungjawaban.
79

Ekspresi marah Bapak Darma dapat diinterpretasikan bahwa apa yang

dilakukannya terkendala bukan karena kerjanya seorang melainkan pada

pencairan dana bantuan keuangan partai politik yang belum bisa cair serta

tekanan dari pengurus partai politik untuk segera mencairkan bantuan keuangan.

Loyalitas dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas diperlihatkan oleh Pak

Darma ketika diberi tugas untuk menagih SPJ dari partai politik. Personel yang

tegas dan tanpa kompromi seperti karakter Bapak Darma dibutuhkan untuk

berinteraksi dengan pengurus partai politik yang beranekaragam wataknya.

Sikap bermusuhan dan ancaman untuk melaporkan Bapak Darma kepada

Kepala Satuan Kerja sudah menjadi resiko yang dihadapi walaupun ada juga

pengurus partai politik yang kooperatif dan mempunyai komitmen untuk

melaksanakan tugasnya setelah dilakukan pendekatan. Lebih lanjut Bapak

Darma melakukan pembelaan atas tindakan yang telah diambilnya sebagai

berikut:

“Pengurus partai sekarang punya kuasa jadi bisa seenaknya, coba


kalau sudah tidak menjabat atau digunakan di partai, sama aja
seperti kita. Sama-sama manusia saja apa yang ditakuti ?”

Pembenaran dari sikap dan karakter Bapak Darma diungkapkan oleh

Bapak Hari sebagai Kepala Satuan Kerja sebagai berikut :


Saya memilih personel yang berkarakter keras seperti Pak Darma
dan Pak Yanto agar menekan partai politik (pengurus) untuk segera
memberikan SPJ kepada kantor.

Sikap yang tegas, keras dan kemampuan untuk menekan pengurus partai politik

merupakan langkah pengendalian yang dilakukan Bapak Hari untuk

meminimalisasi kejadian berulang yang terjadi di Satuan Kerja terkait lambatnya

partai politik menyampaikan pertanggungjawaban. Kebijaksanaan dari Kepala

Satuan Kerja menghadapi keluhan atau pengaduan dari pengurus partai politik

atas sikap stafnya pada satu sisi dan sikap melindungi serta bertanggungjawab

terhadap staf yang ditugasi menjadi bagian peredam masalah. Bapak Hari
80

memahami tindakan yang dilakukannya untuk menugasi Bapak Darma akan

mendapatkan resiko komplain dari pengurus partai politik tetapi hal tersebut

memang harus dilaksanakan agar masalah yang sama tidak terjadi.

Penulis melakukan pengecekan terhadap dokumen yang telah masuk

ternyata bantuan keuangan partai politik tahun 2015 yang belum bisa dicairkan

karena ada sekitar 6 (enam) dari 10 (sepuluh) partai politik belum mengajukan

berkas-berkas permohonan secara lengkap sehingga belum bisa diproses.

Keterlambatan partai politik untuk menyampaikan syarat-syarat administratif

untuk memperoleh bantuan keuangan menjadi masalah tersendiri. Ungkapan

tidak simpatik kepada partai politik disampaikan oleh Ibu Fatma yang bertugas

sebagai verifikator administratif mengenai mekanisme bantuan keuangan partai

politik sebagai berikut:

Kita di satker hanya mengurusi masalah administrasi kelengkapan


dokumen. Masalah pencairan dilakukan dengan transfer rekening
melalui kas daerah. Ya begitu partai politik kalau belum dapat dana
marah-marah tetapi begitu sudah dapat cengingas-cengingis
(tertawa-tawa) dan tidak kelihatan lagi.
Pengurus partai politik menganggap bantuan keuangan partai politik itu

merupakan hak yang harus diterimanya dan merupakan kewajiban dari Satuan

Kerja untuk secepatnya menyelesaikan administrasi pencairannya. Masalah

bantuan keuangan sudah cair dan pertanggungjawaban merupakan urusan yang

tidak begitu penting dan diperhatikan. Tekanan kerja yang dihadapi Ibu Fatma

sebagai seorang verifikator dokumen administrasi lebih banyak dari pihak luar.

Tugasnya yang melakukan verifikasi terhadap dokumen-dokumen yang terkait

dengan kepatuhan dan kelengkapan semua partai politik yang mendapatkan

bantuan menjadi justifikasi bahwa pencairan bantuan akan bisa cepat

dilaksanakan apabila ditekan oleh pihak dari luar. Tugas verifikator dalam

melakukan pemeriksaan dokumen dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut:

Tabel 5.3
81

Check List Administrasi Bantuan Keuangan Partai Politik


No Keterangan Ada/Tidak
1. Pengajuan Dilakukan oleh DPC Parpol yang ditandatangani oleh
Ketua, Sekretaris Parpol menggunakan cap stempel Parpol dengan
lampiran :
2. Foto copy surat Keputusan DPP Parpol yang menetapkan Susunan
Kepengurusan DPC Parpol diligalisir DPW / DPD
3. Foto Copy surat keterangan NPWP

4. Surat keterangan Autentifikasi hasil penetapan perolehan Kursi Parpol


di DPRD yang diligalisir Ketua / Sekretaris

5. Surat pernyataan Parpol yang menyatakan bersedia dituntut sesuai


peraturan Perundang-undangan apabila memberikan Keterangan
yang tidak benar yang ditandatangani Ketua dan Sekretaris DPC
diatas materai dengan menggunakan Kop surat Parpol
6 Surat Keterangan Bank yang menyatakan memiliki nomor rekening
Bank atas nama DPC Parpol
7. Surat Tanda Terima Uang Bantuan yang dibuat dalam bentuk
Kwitansi ditandatangani diatas materai oleh Ketua dan Bendahara
DPC Parpol dengan menggunakan Kop surat Stempel Parpol
8. Berita acara serah terima dibuat rangkap 4 (empat ) yang
ditandatangani oleh Kepala Satuan Kerja atas nama Kepala Daerah
sebagai Pihak Pertama dan oleh Ketua Parpol sebagai Pihak Kedua
9. Tanggung jawab Mutlak
10. Foto Copy KTP Ketua Parpol
11. Rencana Penggunaan Bantuan Parpol
12. Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Banpol Tahun Anggaran
Sebelumnya yang telah diperiksa oleh BPK
13. Membuat surat Kesanggupan/Pernyataan tertulis untuk
menyampaikan SPJ Bantuan Politik tepat waktu
14. Lampiran rangkap 3 (tiga) 1(satu) Asli dan 2 (dua) Foto Copy

Kondisi yang kontradiktif diterima mengingat teguran dari Kepala Daerah

sesuai rekomendasi BPK yang memerintahkan Tim Peneliti dan Pemeriksaan

Persyaratan Administrasi Pengajuan, Penyerahan dan Penggunaan Bantuan

Keuangan kepada Partai Politik untuk menegur Partai Politik penerima bantuan

keuangan agar lebih cermat dalam melaksanakan pembukuan dan tertib dalam

menyampaikan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan keuangan

Partai Politik. Administrasi mekanisme sebagai persyaratan utama untuk


82

mengajukan dana bantuan keuangan telah diberikan jelas tetapi pada praktiknya

pengurus partai politik bersikap acuh tak acuh dan menyepelekan masalah ini.

Kondisi Tim Peneliti dan Pemeriksaan Persyaratan Administrasi Pengajuan,

Penyerahan dan Penggunaan Bantuan Keuangan kepada Partai Politik menjadi

dilematis ketika tugas pokoknya berhadapan dengan pihak ekstern yang

menggunakan kekuasaan politik di birokrasi pemerintah. Kasus temuan BPK

tentang partai politik yang tidak dapat memberikan laporan pertanggungjawaban

bantuan keuangan merupakan salah satu contoh kecil pengingkaran atas surat

kesanggupan/pernyataan tertulis untuk menyampaikan SPJ Bantuan Politik tepat

waktu.

Ekspresi Bapak Hari Kepala Satuan Kerja menghadapi permasalahan ini

dari tahun ke tahun patut untuk dicermati dan diambil pelajaran yang berharga.

Beliau menyayangkan tindakan dari auditor Badan Pemeriksa Keuangan yang

melakukan pemeriksaan apabila ada masalah dalam pertanggungjawaban

bantuan keuangan partai politik seperti diungkapkan berikut:

Masalah ini ruwet jadi bikin malas. Bantuan keuangan itu kan yang
menerima partai politik, yang menggunakan juga partai politik.
Begitu kalau SPJ-nya sampai akhir tahun ada yang kurang sesuai
atau belum memberikan SPJ yang dimarahi mesti saya sama
BPK. Saya sudah berupaya berkoordinasi dengan parpol terkait
dengan teknis membuat SPJ, sudah saya jelaskan dan bila ketemu
dalam sosialisasi sudah saya singgung kendala teknis tersebut
kepada pengurus parpol. Makanya saya memilih personel yang
berkarakter keras seperti Pak Darma dan Pak Yanto agar menekan
partai politik (pengurus) untuk segera memberikan SPJ kepada
kantor.

Pihak yang sering disalahkan oleh BPK apabila ada temuan yang kurang

sesuai terkait administratif dan pertanggungjawaban SPJ adalah Satuan Kerja

yang melakukan koordinasi. Penulis mencoba melihat dokumen Hasil

Pemeriksaan BPK tahun sebelumnya (tahun 2013) terhadap beberapa partai

politik (dokumen ini diberikan kepada partai politik) untuk melihat dan menilai
83

masalah ini. Kebanyakan temuan BPK terhadap SPJ partai politik terkait dengan

tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban yang lengkap. Temuan BPK ini

dapat diartikan bahwa partai politik tidak memberikan bukti yang valid atau bisa

juga BPK tidak bisa meyakini atas bukti transaksi yang sudah diberikan partai

politik dalam mempertanggungjawabkan bantuan keuangan partai politik.

Penggunaan dana bantuan keuangan kepada partai politik sebenarnya sebesar

60 (enam puluh) persen digunakan untuk kegiatan pendidikan politik dan 40

(empat puluh) persen untuk operasional partai. Bentuk kegiatan pendidikan

politik bisa berupa seminar, lokakarya, dialog interaktif, sarasehan dan workshop.

Kegiatan operasional sekretariat partai politik berkaitan dengan administrasi

umum, berlangganan daya dan jasa, pemeliharaan data dan arsip serta

pemeliharaan kantor.

Hubungan koordinasi dengan pihak ekstern yang berhubungan dengan

masalah politik secara tidak langsung mempengaruhi kedudukan pejabat

struktural yang harus melaksanakan perintah pejabat politis. Pejabat politis

dalam posisi sebagai Kepala Daerah mempunyai kewenangan untuk menata

birokrasi sesuai dengan kepentingan dan tujuannya tentu tidak jauh dengan

kepentingan partai politik pendukungnya. Partai politik mempunyai bargaining

yang kuat di birokrasi karena sistem politik Indonesia melakukan pemilihan

langsung kepala daerah (pejabat politis) melalui partai politik yang

mengusungnya. Ketakutan pejabat struktural untuk dimutasi atau difungsionalkan

merupakan alasan yang rasional mengingat karir yang dibangun oleh pejabat

struktural dimulai dari level paling bawah.

Temuan dari BPK terhadap administratif SPJ belanja keuangan partai

politik tidak ada tindak lanjut atau teguran terkait permasalahan yang berungkali

terjadi. Badan Pemeriksa Keuangan jarang sekali melakukan tindak lanjut atas

temuan terhadap partai politik. Hal ini bisa dimaklumi karena tugas BPK secara
84

umum untuk menyatakan kewajaran atas laporan pertanggungjawaban partai

politik. Titik pokok dari permasalahan bantuan keuangan partai politik menjadi

tanggungjawab pemerintah daerah sebagai institusi yang memberikan bantuan

keuangan. BPK tentu menguji sistem pengendalian intern, kepatuhan atas

perundang-undangan dan mekanisme penyaluran bantuan keuangan kepada

partai politik yang menjadi tanggungjawab dari Satuan Kerja. Tentu saja kalau

ada kekurangan bahkan kelalaian dalam administrasi, pihak pertama yang akan

ditegur adalah Satuan Kerja yang tidak menjalankan fungsi dan tugasnya secara

baik.

Konflik dari internal partai politik seringkali juga mewarnai keterlambatan

bahkan sampai pemeriksaan BPK belum menyerahkan SPJ atas bantuan

keuangan. Mekanisme pencairan bantuan keuangan partai politik yang dipakai

saat ini melalui transfer rekening partai politik dengan tujuan untuk mengontrol

bantuan tersebut agar tidak digunakan oleh salah satu oknum partai politik.

Konflik di partai politik biasanya terjadi karena bantuan keuangan tersebut

dicairkan oleh salah satu pengurus (ketua atau sekretaris partai politik) tetapi

tidak bisa mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut. Kondisi lain

bisa terjadi karena pengurus lama (yang mencairkan dana) dari partai politik tidak

lagi menjabat dan digantikan oleh pengurus baru yang tidak mau membuat SPJ

dengan alasan tidak tahu pemanfaatan dana bantuan keuangan tersebut. Hal

tersebut tidak serta merta menjadi salah dari Satuan Kerja apabila terjadi

keterlambatan atau bahkan tidak menyampaikan pertanggungjawaban.

Salah satu contoh isu nasional yang sedang hangat dibicarakan terkait

dengan perpecahan di tubuh salah satu partai politik besar di Indonesia yang

berimbas pada kepengurusan partai politik daerah. Satuan Kerja perlu untuk

membuat pengendalian agar tidak salah untuk menyalurkan dana bantuan

keuangan pada partai yang sedang konflik. Pengurus partai politik di daerah
85

saling memperebutkan bantuan keuangan tersebut dengan mengklaim bahwa

kepengurusannya yang paling sah dan diakui oleh pemerintah sebagai pihak

yang berhak menerima bantuan keuangan partai politik. Untuk itu Satuan Kerja

harus melakukan koordinasi dan konsultasi dengan instansi diatasnya seperti

propinsi atau pemerintah pusat mengenai keabsahan partai politik yang memang

berhak menerima bantuan keuangan partai politik.

5. 4. Dilema Etika

Kasus-kasus korupsi, penyelewengan, penyimpangan dan kebohongan

publik yang melibatkan aparatur pemerintah menjadi hiasan berita di berbagai

media massa. Kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah mulai

menurun dengan pemberitaan yang gencar menyangkut perilaku aparatur

pemerintah. Profesi pegawai pemerintah harus segera memperbaiki situasi yang

tidak kondusif ini untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang

memandang profesi pegawai pemerintah layak untuk dihomati. Etika pegawai

sangat dibutuhkan terutama bagi pegawai negeri dalam melaksanakan tugasnya

secara benar dan sesuai aturan dengan demikian kepercayaan masyarakat

terhadap pemerintah dapat dijaga. Nolan (1998) menjelaskan bahwa etika dan

nilai sebagai dasar bagi sektor publik, evolusi nilai khususnya tekanan antara

nilai lama dengan nilai baru serta tantangan etika dalam penerapan new public

administration and management. Transformasi reformasi sektor publik sudah

memasuki lingkungan pejabat publik yang sering menimbulkan tipe baru dalam

dilema etika. Pada situasi ini, pemerintah memerlukan penerapan etika untuk

membantu proses reformasi birokrasi yang sejalan dengan tujuan ekonomi,

efisiensi dan efektivitas (Preston, 1999).

Etika berbicara nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu

golongan serta tentang hak dan kewajiban moral manusia. Hampir semua
86

tindakan benar dan salah tergantung pada perspektif individu untuk menentukan

pilihan. Dalam kondisi tertentu, pilihan itu tidak secara jelas pilihan antara benar

dan salah sehingga akan muncul situasi dilematis yang sangat membutuhkan

pertimbangan etika atau nilai yang menjadi prioritas individu atau organisasi. Nilai

etika merupakan sub unsur pokok dalam unsur lingkungan pengendalian yang

memengaruhi rancangan pengurusan, dan pemantauan unsur-unsur sistem

pengendalian internal lainnya. Standar etika dan aturan perilaku mencakup

tindakan manajemen untuk mengurangi rangsangan dan godaan yang

memungkinkan pegawai melakukan tindakan tidak jujur, melanggar hukum, atau

melanggar etika. Manfaat penerapan etika diharapkan dapat menekan tingkat

korupsi karena sebagian besar faktor penyebab korupsi terkait dengan masalah

moral dan etika.

Permasalahan etika di birokrasi pemerintah menjadi menarik untuk

dibahas dalam kerangka Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Perilaku

aparatur pemerintah secara realitas akan berbeda ketika berhadapan dengan

tekanan, sistem dan budaya yang menghambat penerapan etika di birokrasi

pemerintahan. Kasus-kasus korupsi, penyalahgunaan anggaran baik di pusat

maupun daerah menjadi bukti ketidakberdayaan etika dalam pemerintahan. Nilai

etika tidak serta merta dikerdilkan dalam masalah ini. Penulis menemukan bahwa

individu-individu di Satuan Kerja memahami nilai-nilai etika dan perbuatan yang

tidak etis seperti pernyataan Bapak Hari (Kepala Satuan Kerja) pada waktu

ditanya tentang pengaturan keuangan yang dikaitkan dengan etika sebagai

berikut:

Sebenarnya ya tidak etis (pengaturan keuangan) tapi ya kita etis-


etiskan. Mau tidak mau ya seperti itu. Sebenarnya secara agama
juga tidak etis secara pribadi istilahnya kita juga menolak tetapi mau
bagaimana, kita itu punya gerbong mempunyai atasan.
87

Pernyataan serupa juga dibenarkan oleh Bapak Darmaji yang

menganggap pengaturan keuangan sebagai tindakan tidak etis tetapi tidak

memiliki kekuatan untuk menolaknya. Lebih lanjut Bapak Hari mengungkapkan

ketidakberdayaannya di birokrasi pemerintah dan tuntutan dari keluarga untuk

menjalankan ibadah haji sebagai sebuah dilema bagi dirinya disampaikan seperti

berikut:

Saya didesak keluarga dan teman-teman untuk naik haji atau


umroh dulu. Saya katakan bahwa saya belum siap, bukan masalah
uang sebagai alasan saya belum siap berangkat. Ada teman yang
mau memberi uang saya untuk umroh tetapi saya tolak. Entahlah,
mungkin kalau sudah pensiun saya mau berangkat (haji), kalau
sekarang saya tidak siap mental. Saya masih merasa tidak bisa
bersih di birokrasi, dosa-dosa saya masih banyak. Orang lain
tidak tahu masalah ini, yang tahu kan pribadi saya sendiri.

Cerita Bapak Hari diatas merupakan salah satu contoh ketidakberdayaan

individu dalam hal ini aparatur pemerintah terhadap pelaksanaan etika ketika

berhadapan dengan sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia yang kurang

mendukung. Aparatur pemerintah tahu bahwa perbuatan tidak etis berlawanan

dengan moral, etika bahkan agama tetapi tindakan melawan arus dalam birokrasi

pemerintahan justru menimbulkan efek negatif untuk dirinya sendiri. Argumentasi

yang disampaikan oleh Marquette (2012) tentang agama yang digunakan untuk

memerangi perilaku korupsi di negara India dan Nigeria. Penelitian tersebut

menunjukkan bahwa agama dapat memiliki dampak pada sikap individu terhadap

korupsi tetapi memiliki dampak yang sangat sedikit pada perilaku korupsi yang

sebenarnya. Ini dibuktikan dengan banyak negara yang memiliki tingkat korupsi

yang tinggi ternyata memiliki tingkat religiusitas yang tinggi pula.

Penulis sempat mendengarkan guyonan dari Kepala Seksi dan staf yang

membicarakan pribadi Bapak Hari sebagai Kepala Satuan Kerja. Bapak Firdaus

(Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) yang merangkap Kepala Seksi dengan


88

berkelakar membahas masalah “komitmen organisasi” atau dalam bahasa halus

adalah uang yang harus disetorkan kepada atasan sebagai berikut:

“Bapak Hari itu sakti. Pada waktu Kepala Daerah dahulu, dia
dipercaya sebagai orang kepercayaannya. Setelah ganti dengan
Kepala Daerah baru, pejabat-pejabat lama dimutasi tapi Bapak Hari
masih dipakai malah Satuan Kerja ini diberi tambahan anggaran
untuk tahun ini sangat banyak. Saya kena komitmen x persen,
asalkan ada sisa dari kegiatan sampai akhir tahun ya kita bagi
sama anak buah yang lainnya. Duite negara ae (uangnya negara
aja).”

“Komitmen organisasi” atau biasa disebut dengan “komitmen” merupakan

kata-kata yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari untuk menyebut setoran

kepada atasan atau dalam bahasa Jawa disebut “Glondong pengareng-areng”.

Praktik tersebut sebenarnya berhubungan dengan masalah pengaturan

keuangan dalam satu sisi dan motif ekonomi di sisi yang lainnya. Satuan Kerja

kalau hanya mengerjakan Tupoksi saja pasti akan mudah melaksanakannya

yang sulit adalah mengurusi unsur kepentingan, politik dan “memelihara” jajaran

samping dalam praktiknya. Pernyataan jenaka yang keluar dari Bapak Hari ketika

penulis bertanya terkait dengan masalah “komitmen” secara implisit dijelaskan

sebagai berikut:

“Kita sudah bekerja seperti yang disuruh atasan, kalau ada dosa
yang nanggung biar atasan. Disuruh begitu ya saya lakukan.
Besok kalau atasan masuk neraka yang membukakan pintunya biar
saya. Kalau disuruh menemani disana ya tidak mau, saya mau
masuk surga saja. Bekerja di birokrasi sekarang ini sulit untuk
menghindari masalah tersebut”

Kesetiaan dan loyalitas Pegawai Negeri Sipil sebagai abdi negara

mengalami degradasi dan patut untuk dipertanyakan. Normatifnya sebagai

bangsa yang percaya akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tentunya tidak

akan melanggar sumpah seperti yang pernah diucapkan dalam Pengambilan

Sumpah PNS:
89

“DEMI ALLAH, SAYA BERJANJI : .bahwa saya, untuk diangkat


menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya
kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan
pemerintah…..Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu
pemberian berupa apa saja dan dari siapapun juga, yang saya tahu
atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai hal yang
bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau
pekerjaan saya.”

Pengucapan sumpah dibawah kitab suci agama mengandung makna

bahwa Tuhan Yang Maha Esa menjadi saksi terhadap apa yang kita ikrarkan.

Pelanggaran akan sumpah untuk agama apapun merupakan dosa yang sangat

besar. Kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945 dan Negara

Kesatuan Republik Indonesia merupakan kewajiban bagi PNS khususnya dalam

bingkai untuk bertindak yang tidak merugikan negara. PNS mengaku sebagai

orang beragama dan taat menjunjung peraturan agama yang diyakini

kebenarannya dengan menjalankan kesalehan secara ritual serta jargon-jargon

agamis yang sudah menjadi budaya Indonesia. Namun disisi lain, justru orang

yang mengaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai

pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme di sektor publik.

5. 5. Peran Inspektorat Yang Cuma Menyalahkan

Pembinan penyelenggaraan SPIP dilakukan oleh Badan Pengawasan

Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan melakukan tugasnya untuk

menyusun pedoman teknis penyelenggaraan SPIP; sosialisasi SPIP; pendidikan

dan pelatihan SPIP; pembimbingan dan konsultansi SPIP; dan peningkatan

kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah. BPKP dalam

melaksanakan tugasnya di daerah bekerjasama dengan Inspektorat untuk

bersama-sama mensukseskan pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern


90

Pemerintah seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60

tahun 2008.

Pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di daerah tidak

lepas dari peran inspektorat sebagai auditor intern pemerintah yang mempunyai

tugas pengawasan intern melalui: audit, reviu, evaluasi, pemantauan; dan

kegiatan pengawasan lainnya terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi

organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan

telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif

dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan

yang baik.

Peran inspektorat menjadi sangat penting dalam posisinya sebagai

pengawas dan melakukan pembinaan kepada Satuan Kerja dalam

melaksanakan kegiatan. Praktik yang selama ini terjadi terkait dengan perilaku

yang menyimpang dari Satuan Kerja menjadi peristiwa yang dilematis mengingat

posisi inspektorat masih dibawah Kepala Daerah dan sejajar dengan Satuan

Kerja. Posisi Inspektorat yang berada dibawah Kepala Daerah menjadi dilema

untuk menindak Satuan Kerja yang melakukan penyimpangan, pelanggaran

bahkan kecurangan. Satuan Kerja baik secara langsung ataupun tidak langsung

bertanggungjawab untuk melaksanakan tugas sesuai dengan Tupoksi dari

Kepala Daerah. Permasalahan timbul apabila Satuan Kerja melakukan

“penyimpangan” karena sistem birokrasi politik yang mewarnai pelaksanaan

kegiatan sehari-hari berhadapan dengan Inspektorat yang bertugas untuk

“menemukan kesalahan”.

Kritik dan kekecewaan terhadap kinerja dari Inspektorat disampaikan Pak

Hari (Kepala Satuan Kerja) menyikapi peran Inspektorat dalam melakukan

pemeriksaan rutin di Satuan Kerja yang hanya mencari kesalahan diungkapkan

sebagai berikut :
91

“Mestinya Banwas (Inspektorat) itu setiap ada program, setiap ada


perencanaan dia mendampingi. Tidak begitu masuk (Satuan Kerja)
langsung menyalahkan, fungsinya banwas itu pembinaan ke dalam
mestinya mulai dari perencanaan, program dan pelaksanaan dia
harus mendampingi. Jangan ujug-ujug (tiba-tiba) setahun
memeriksa langsung menyalahkan, kita juga agak kesulitan. Sekali
lagi fungsinya (inspektorat) itu pembinaan bukan menyalahkan.”

Perasaan kesal, gemes dan geregetan senada dengan pernyataan Bapak

Hari kepada Inspektorat disampaikan Bapak Darmaji dengan ungkapan

provokatif :

“Kalau tugasnya hanya menyalahkan apa gantian saja, dia kerja di


Satker dan saya yang jadi pemeriksanya. Jadi pemeriksa itu enak,
kalau saya jadi banwas (inspektorat) menangis semua orang-orang.
Saya tahu lubang-lubang mencari uang dan mbelingnya Satuan
Kerja lainnya.”

Ungkapan lugas tersebut mengisyaratkan bahwa inspektorat selama ini

tidak memahami fungsi pembinaan kepada Satuan Kerja. Prasangka Satuan

Kerja terhadap inspektorat dilandasi pemikiran bahwa tugas yang selama ini

dilakukan oleh inspektorat bisa serta merta dilaksanakan oleh semua aparatur

pemerintah. Peran ideal inspektorat yang diharapkan oleh Satuan Kerja adalah

pendampingan dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program

kegiatan. Pendampingan ini bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada

Satuan Kerja dalam melaksanakan program kegiatan sesuai dengan aturan yang

berlaku. Satuan Kerja selama ini tidak mendapatkan pendampingan dari

inspektorat sehingga timbul perasaan kekecewaan atas tindakan inspektorat

yang melakukan pemeriksaan dan cuma menyalahkan.

Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat dalam praktiknya

dapat dijabarkan sebagai tugas assurance dan konsultatif. Tugas assurance

memposisikan Inspekorat melakukan pemeriksaan dan reviu kepada Satuan

Kerja. Fungsi konsultatif (pembinaan) intinya mendampingi dan menyelesaikan

masalah di Satuan Kerja. Inspektorat harus digeser perannya yang semula


92

adalah watchdog harus berubah menjadi konsultan atau katalis yang berarti

bahwa auditor internal Inspektorat diharapkan bermanfaat bagi pimpinan dan

unit-unit kerja serta pengguna lainnya untuk meningkatkan kinerja organisasi

secara keseluruhan (Jasin, 2013).

Inspektorat dalam melakukan tugas assurance dan konsultatif tidak boleh

serta merta menyalahkan Satuan Kerja. Mindset Inspektorat dan Satuan Kerja

perlu untuk dirubah dalam menyikapi tugas dan wewenangnya. Perubahan

mindset dari inspektorat sebagai pihak yang mempunyai pengalaman dan

pengetahuan yang luas untuk melayani Satuan Kerja serta meninggalkan

paradigma lama yang menganggap Satuan Kerja sebagai “korban” atau pihak

utama yang perlu disalahkan. Inspektorat merupakan kepanjangan tangan dari

BPKP sebagai pihak yang seharusnya mengetahui lingkungan pengendalian di

semua Satuan Kerja sehingga dapat memetakan resiko dari semua Satuan

Kerja. Lingkungan pengendalian merupakan unsur yang paling penting dari SPIP

karena substansi pengendalian berada didalamnya meliputi penegakan integritas

dan nilai etika, komitmen pada kompetensi, kepemimpinan, struktur organisasi,

wewenang dan tanggungjawab, kebijakan SDM serta peran auditor intern yang

efektif.

Satuan Kerja juga perlu mengubah paradigma lama yang berpendapat

bahwa inspektorat tidak pernah berbuat salah. Peristiwa menarik yang sempat

penulis ketahui dari “sikap menerima” dan menganggap Inspektorat tidak pernah

salah oleh Satuan Kerja terjadi ketika pemeriksaan Inspektorat yang

diungkapkan Ibu Sari (Pembantu Bendahara Pengeluaran) sebagai berikut :

“Kami diperiksa oleh Inspektorat dan ada temuan untuk


mengembalikan honor bendahara pengeluaran ke kas daerah.
Alasannya adalah bendahara pengeluaran menerima honor dari
berbagai seksi dalam satu bulan. Padahal kegiatan dari seksi-seksi
disini banyak sekali, katanya tidak sesuai dengan aturan yang
berlaku. Setelah kami kembalikan ke kas daerah, suatu saat
93

inspektorat memberitahu bahwa kejadian tersebut diperbolehkan.


Ya...uangnya sudah terlanjur dikembalikan ke kas daerah.”

Kejadian tersebut merupakan contoh kecil dari sikap yang menganggap

inspektorat tidak pernah salah dalam melakukan pemeriksaan yang dituangkan

dalam Laporan Hasil Pemeriksaan. Satuan Kerja tidak mencoba untuk berpikir

kritis dengan mengecek langsung peraturan atau undang-undang yang dijadikan

dasar untuk menjustifikasi temuan. Kesalahan yang tidak sepenuhnya

dilimpahkan kepada Inspektorat karena Satuan Kerja juga terlalu menerima dan

pasrah pada temuan dari Inspektorat.

Konfirmasi dilakukan terhadap salah satu auditor inspektorat yang

bernama Pak Kadir menanggapi keluhan yang dilontarkan oleh Satuan Kerja

terkait perilaku auditor Inspektorat yang cuma menyalahkan sebagai berikut:

“Tugas saya memeriksa Satuan Kerja ya seperti ini. Saya sekarang


sudah auditor sebelumnya jadi pejabat struktural. Jadi bisa
memeriksa keuangan dan anggaran Satuan Kerja kalau auditor
yang dari Departemen Dalam Negeri hanya memeriksa operasional
selain keuangan. Kalau Satuan Kerja memandang kami datang
untuk menyalahkan ya itu memang sudah tugas kami. Jumlah
auditor Inspektorat sangat minim, tugas konsultatif bagi kami sangat
sulit dilaksanakan karena harus menjangkau seluruh instansi.”

Pak Kadir menjadi auditor di Inspektorat kurang lebih baru 5 (lima) tahun,

sebelumnya menjabat menjadi pejabat struktural IV/a setingkat Kepala Seksi

dengan latar belakang sarjana pendidikan. Pelimpahan tugas dari pegawai

struktural menjadi pegawai fungsional dilakukan atas kesadaran dirinya untuk

bergabung menjadi auditor Inspektorat. Kriteria dan persyaratan yang harus

dipenuhi sebelum menjadi auditor Inspektorat adalah menempuh ujian JFA

(Jabatan Fungsional Audit) dari BPKP. Auditor Inspektorat bisa memperoleh JFA

dari 2 (dua) instansi pemerintah yaitu Departemen Dalam Negeri dan BPKP.

Posisi auditor merupakan jabatan yang disegani bagi Satuan Kerja karena

mindset Satuan Kerja menganggap auditor tahu segalanya. Penerapan SPIP di


94

Satuan Kerja sebenarnya ingin memposisikan auditor Inspektorat sebagai APIP

(Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 8 tahun 2008 sehingga bisa memaksimalkan fungsi konsultatif untuk

Satuan Kerja. Pelaksanaan pengawasan internal kegiatan utama Aparat

Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) meliputi audit, reviu, pemantauan,

evaluasi, dan kegiatan pengawasan lainnya berupa sosialisasi, asistensi dan

konsultansi. Kendala minimnya jumlah auditor inspektorat menjadi salah satu

kendala untuk memaksimalkan fungsi konsultatif sekaligus memaksimalkan

tugas APIP dalam SPIP.

Pernyataan menarik disampaikan salah satu auditor muda Inspektorat

bernama Pak Doni yang menceritakan tugas inspektorat sebagai berikut:

“Tugas memeriksa itu adalah tugas auditor inspektorat cuma


masalahnya ada Inspektur Pembantu (Irban) yang juga ikut
memeriksa Satuan Kerja. Mereka itu bukan fungsional tetapi
pejabat struktural, kalau mereka ikut memeriksa Satuan Kerja maka
otomatis akan mengurangi jatah angka kredit kami sebagai
fungsional auditor. Biasanya mereka itu yang melakukan
komunikasi dengan pimpinan Satuan Kerja terkait dengan temuan-
temuan dari Inspektorat.”

Tanggapan Pak Doni yang lugas tersebut mengisyaratkan bahwa ada keluhan

internal yang ingin disampaikan terkait pembagian tugas untuk memeriksa

Satuan Kerja. Jabatan struktural setingkat Irban merupakan jabatan setingkat

Kepala Bidang atau masuk eselon III/a, ternyata ikut membantu memeriksa

Satuan Kerja. Irban biasanya memeriksa berdasarkan pengalamannya selama

menjadi pegawai pemerintah sedangkan teknis pemeriksaan diserahkan kepada

auditor fungsional. Kecemburuan terlihat dari pernyataan Pak Doni tentang

angka kredit dari auditor fungsional yang merasa terkurangi dengan hadirnya

Irban yang ikut memeriksa Satuan Kerja. Sikap tersebut bisa dimaklumi karena

kenaikan pangkat untuk auditor fungsional berdasarkan perolehan kumulatif


95

angka kredit sedangkan untuk Irban sama seperti dengan struktural lainnya yaitu

4 (empat) tahun.

Temuan dari inspektorat akan dikomunikasikan oleh Irban kepada Kepala

Satuan Kerja. Irban berfungsi juga sebagai kepala tim pemeriksa akan

menjelaskan temuan-temuan kepada Satuan Kerja. Proses negoisasi antar

pejabat struktural inilah yang jarang diketahui oleh auditor fungsional yang

diposisikan sebagai bawahan dari Irban. Irban tahu praktik-praktik pengaturan

keuangan yang biasanya dilakukan Satuan Kerja maka akan dilakukan negoisasi

terhadap temuan pemeriksaan untuk nantinya akan dikeluarkan Laporan Hasil

Pemeriksaan (LHP).

5. 6. Ringkasan

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah sudah disosialisasikan kepada

instansi pemerintah baik di kementerian, pemerintah propinsi dan pemerintah

daerah. Realitas di lapangan perilaku korupsi, penyalahgunaan anggaran dan

kecurangan yang ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi

Pemberantasan Korupsi semakin meningkat. Faktor budaya, politik dan

mentalitas aparat pemerintah menjadi titik kajian dalam pelaksanaan Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah yang sering luput dari pembuat kebijakan di

pusat ketika mencoba mengadopsi sebuah sistem pengendalian dari sektor

privat ke sektor publik.

Pelaksanaan SPIP di Satuan Kerja dalam penelitian ini menjelaskan

realitas yang terjadi terkait dengan bantuan keuangan partai politik, pengaturan

keuangan dalam birokrasi politik, dilema etika dan peran inspektorat yang cuma

menyalahkan. Perilaku aparatur pemerintah dalam pelaksanaan SPIP di Satuan

Kerja tercermin dalam peristiwa atau kejadian tersebut. Interaksi dan konflik

secara politis dapat terlihat pada pelaksanaa bantuan keuangan partai politik.
96

Praktik pengaturan keuangan dalam birokrasi politik mendeskripsikan

pelaksanaan semu dari SPIP yang biasa dilakukan oleh aparatur pemerintah.

Dilema etika membahas ketidakberdayaan aparatur pemerintah terhadap sistem

politik yang mewarnai birokrasi. Peran inspektorat yang cuma menyalahkan dan

menghakimi Satuan Kerja merupakan bagian dari belum optimalnya pelaksanaan

SPIP di Satuan Kerja.


BAB VI

PERILAKU KEAGENAN DALAM PELAKSANAAN SPIP

6. 1. Pengantar

Hubungan keagenan yang terjadi antara prinsipal dan agen dalam relasi

pelaksanaan SPIP menjadi menarik untuk dibahas. Perilaku dari Satuan Satuan

Kerja yang diposisikan sebagai agen sedangkan Kepala Daerah sebagai

principal akan menjelaskan realitas pelaksanaan SPIP. Halim dan Abdullah

(2006) menjelaskan bahwa hubungan keagenan dalam suatu organisasi baik

dalam ilmu ekonomi, politik dan keuangan dapat berupa hubungan antara pihak

atasan (prinsipal) dan pihak bawahan (agen). Perilaku keagenan dalam

pelaksanaan SPIP menjadi menarik untuk dibahas karena menyangkut

penjelasan dari aktor yang berperan dalam Satuan Kerja dalam melaksanakan

pengendalian intern.

6. 2. Perilaku Agen Dalam Pelaksanaan SPIP

Perilaku agen akan menjelaskan masalah yang terjadi secara riil dalam

pelaksanaan SPIP di Satuan Kerja. Penelitian ini akan membahas posisi Kepala

Satuan Kerja sebagai agen dari Kepala Daerah (prinsipal) dan staf di Satuan

Kerja sebagai agen dengan Kepala Satuan Kerja sebagai prinsipal. Perbedaan

posisi Kepala Satuan Kerja sebagai agen dan prinsipal akan menjelaskan

bagaimana SPIP dilaksanakan dalam praktik sehari-harinya. Permasalahan

keagenan, sifat manusia, keorganisasian dan informasi dari agen baik yang

dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja dan staf akan dijelaskan dalam kerangka

pelaksanaan SPIP.

97
98

6. 2. 1. Kepala Satuan Kerja Sebagai Agen

Perilaku oportunistik dari Satuan Kerja sebagai agen dapat dijelaskan

mulai dari proses penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi penggunaan

anggaran. Kepala Satuan Kerja merupakan agen yang dipercaya oleh Kepala

Daerah (prinsipal) dalam melaksanakan tugas-tugas yang telah ditetapkan

melalui Peraturan Daerah. Telah disinggung sebelumnya bahwa tidak dipungkiri

adanya praktik setoran kepada atasan, “komitmen” kepada pimpinan, upeti atau

bahasa lain yang bermakna sama yang dilakukan oleh Satuan Kerja kepada

Kepala Daerah. Praktik-praktik tersebut berakibat pada mekanisme pengaturan

keuangan yang sering digunakan dalam realisasi anggaran.

Mekanisme penyusunan APBD dibuat melalui kesepakatan antara

eksekutif dan legislatif berdasarkan Arah dan Kebijakan Umum (AKU) serta

prioritas anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran

pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD

kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-

sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Perda). Kondisi tersebut

dalam pespektif hubungan keagenan (agency theory) merupakan bentuk kontrak

(incomplete contract) yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi

pelaksanaan anggaran oleh eksekutif (Halim dan Abdullah, 2006). Satuan Kerja

merupakan bagian dari eksekutif cenderung mengusulkan anggaran belanja

yang lebih besar dari yang sesungguhnya terjadi sebaliknya anggaran

pendapatan cenderung mengusulkan target yang lebih rendah agar target

tersebut lebih mudah dicapai. Satuan Kerja dalam proses perencanaan anggaran

mengajukan Daftar Usulan Kegiatan Daerah maupun Draft Usulan Proyek

Daerah sebagai dokumen usulan kegiatan tahun anggaran tertentu. Kinerja


99

Satuan Kerja diukur berdasarkan tingkat pencapaian anggaran yang berhasil

direalisasikannya. Rancangan anggaran ini merupakan gambaran adanya

asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif karena agen (eksekutif)

menginginkan posisi yang relatif aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas

dan fungsinya.

Kepala Satuan Kerja pada pelaksanaan penggunaan anggaran sekaligus

bertindak sebagai agen bagi Kepala Daerah dalam melakukan perintah “tidak

resmi” tersebut berusaha untuk mengambil langkah-langkah yang

menyenangkan berbagai pihak. Salah satu yang dipakai untuk mengakomodasi

masalah tersebut dengan praktik pengaturan keuangan atau anggaran. Praktik

pengaturan keuangan intinya bagi Kepala Satuan Kerja untuk menghindari resiko

atas konsekuensi setor kepada Kepala Daerah dan tidak menyalahi aturan

pelaporan kepada pemerintah pusat melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan.

Pada dasarnya Satuan Kerja berusaha untuk menghindari resiko bahkan

cenderung untuk meminimalisasikan resiko dengan melakukan pemenuhan

tugas yang tidak merugikan Kepala daerah serta aturan dari pemerintah pusat.

Tidak mengherankan bahwa praktik pengaturan keuangan yang dilakukan oleh

Satuan Kerja cenderung mengedepankan pemenuhan bukti-bukti formal dalam

transaksi.

Resiko lain yang berusaha untuk dihilangkan oleh Kepala Satuan Kerja

adalah intervensi pihak ketiga dalam birokrasi yang berkaitan dengan realisasi

anggaran. Praktik belanja bantuan keuangan yang ruwet seperti dijelaskan

dalam realitas pelaksanaan SPIP merupakan salah satu contoh sulitnya

meminimalisasikan resiko pihak ketiga dalam kontek tersebut adalah partai

politik. Kelemahan dalam mengantisipasi intervensi pihak ketiga tersebut yang

mengakibatkan temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan sekaligus


100

mengindikasikan kelemahan dalam mengelola pengendalian intern. Kenyataan

tersebut harus diterima oleh Kepala Satuan Kerja sebagai alternatif terakhir untuk

menghindari konflik antara Satuan Kerja dengan partai politik dan Kepala Daerah

sebagai agen bagi DPRD.

Satuan Kerja sebagai agen melakukan perilaku yang oportunistik

terhadap prinsipal dengan memaksimalkan kepentingan pribadi untuk ikut

menikmati anggaran daerah. Prinsipal dalam masalah ini dirugikan juga oleh

perilaku agen yang mengutamakan kepentingannya tetapi masih dalam kontrol

semu dari prinsipal. Kontrol semu dari Kepala Daerah akan melibatkan peran

Inspektorat yang ditugaskan untuk mengawasi Satuan Kerja dalam mengelola

anggaran. Inspektorat seharusnya menjalankan tugas sebagai auditor intern

dalam melakukan pengawasan kepada Satuan Kerja tetapi terkendala juga

sebagai agen bagi Kepala Daerah.

Pernyataan “duite negoro ae (uangnya negara saja)” secara implisit

merupakan bentuk pembenaran dari perilaku agen yang juga berhak untuk

memanfaatkan sedikit keuntungan atas prinsipal. Perilaku yang didasari oleh

rasionalitas dan pemenuhan kepentingan pribadi (Eisenhardt, 1989) tercermin

dalam tindakan Satuan Kerja melaksanakan mekanisme anggaran dalam

kerangka praktik SPIP. Permasalahan pokok keagenan yang dilakukan oleh

Kepala Satuan Kerja dengan Kepala Daerah karena perbedaan sebagian tujuan

yang ingin dicapai dalam mengelola APBD. Kepala Satuan Kerja sebagai pejabat

struktural yang menjunjung tinggi loyalitas kepada pimpinan berusaha untuk

melaksanakan tupoksi yang telah ditugaskan. Kepala daerah yang

bertanggungjawab atas pelaksanaan anggaran dalam lingkup yang lebih besar

berperan untuk menampilkan citra yang baik bagi masyarakat terutama pada

pemilih dan partai politik yang mengusungnya.


101

6. 2. 2. Staf Satuan Kerja Sebagai Agen

Permasalahan dari staf Satuan Kerja sebagai agen lebih didominasi pada

keinginan untuk memperoleh insentif yang lebih baik. Posisi staf Satuan Kerja

(agen) dan kepala Satuan Kerja (prinsipal) dapat dilihat sebagai bentuk

hubungan keagenan. Kepala Satuan Kerja mengontrol staf (agen) dengan

memberikan insentif. Pemberian insentif prinsipal kepada agen di sektor publik

tidaklah sama seperti yang dilakukan di sektor privat yang diukur berdasarkan

pencapaian laba, kepemilikan saham atau kepemilikan. Sektor publik tidak

mengenal laba dalam mengukur kinerja dan birokrasi pemerintahan bukan

berbentuk saham yang diperjualbelikan serta kepemilikan yang dimiliki oleh

beberapa orang.

Insentif yang dapat dijustifikasi sebagai alat kontrol bagi staf Satuan Kerja

adalah insentif yang diberikan kepada agen karena melakukan tugas sebagai

pejabat penatausahaan keuangan seperti bendahara pengeluaran, pejabat

penatausahaan keuangan, pejabat pembuat komitmen, PPTK, pengurus dan

penyimpan barang. Selama memegang jabatan penatausahaan keuangan, staf

memperoleh insentif berupa honor diluar gaji yang ditetapkan berdasarkan

peraturan Kepala Daerah. Tidak semua staf di Satuan Kerja memperoleh insentif

karena jabatan penatausahaan keuangan merupakan jabatan fungsional atas

status struktural pegawai negeri sipil. Besaran insentif berbeda antara pemegang

penatausahaan keuangan bahkan antar instansi dalam daerah maupun diluar

daerah tergantung dengan kekuatan anggaran dan jumlah anggaran yang

diperoleh Satuan Kerja untuk dikelola.

Permasalahan terjadi atas insentif yang telah diberikan prinsipal dapat

meminimalisasikan perilaku oportunistik dari staf Satuan Kerja. Realitas di


102

Satuan Kerja masih ditemui juga motif mencari keuntungan dalam memenuhi

kepentingan pribadi. Pernyataan “kerja untuk mencari uang bukan mencari letih”

dari salah satu staf Satuan Kerja secara implisit mengindikasikan bahwa insentif

yang diterima selama ini masih belum cukup dari yang diharapkan. Tindakan

selanjutnya yang sering dilakukan adalah mengambil keuntungan dengan

sepengetahuan Kepala Satuan Kerja maupun tidak. Beberapa tindakan

oportunistik staf Satuan Kerja yang terekam dalam pengamatan penulis seperti

penambahan staf honorer tanpa ijin terlebih dahulu Kepala Satuan Kerja,

pemakaian dana anggaran untuk bisnis diluar, pembelian peralatan kantor yang

tidak realistis, melakukan lobi dengan rekanan dan meminta fee kepada

penatausahaan keuangan lainnya.

Sistem dan prosedur yang ada saat ini telah didesain sedemikian rupa

dengan harapan dapat melindungi aset negara (termasuk didalamnya uang

negara) dan meminimalisasi tindakan yang dapat merugikan negara. Namun

dalam praktiknya masih memberikan celah yang dapat dimanfaatkan untuk

melahirkan moral hazard yang dilakukan oleh staf Satuan Kerja terutama dalam

mekanisme transaksi belanja UP, GU, TU dan belanja LS. Pada sistem dan

prosedur UP, starting point terletak pada penentuan jumlah UP. Besaran UP

menjadi penting karena dapat memberikan peluang untuk lahir moral hazard.

SPD dan anggaran kas menjadi dasar dilakukannya belanja (Setelah DPA

disahkan) dan merupakan dasar utama dalam penentuan besaran uang

persediaan bagi Satuan Kerja. Mekanisme penentuan ini sepenuhnya menjadi

kewenangan daerah dan ditetapkan melalui Surat Ketetapan yang dikeluarkan

oleh Kepala Daerah.

Bentuk moral hazard yang mungkin terjadi adalah uang tersebut diambil

dari bank agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan taktis kantor maupun
103

kepentingan pribadi baik pimpinan maupun bendahara. Belanja LS terutama

barang yang diadakan oleh Satuan Kerja sendiri harus dilaksanakan dengan

menggunakan modal dari Satuan Kerja. Mekanisme ini akan menjadi penyebab

kebutuhan akan dana taktis Satuan Kerja semakin besar. Seiring dengan hal ini

perilaku moral hazard untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut dilakukan

termasuk memanfaatkan uang UP yang ada di tangan Satuan Kerja. Asal uang

tersebut dapat di-SPJ-kan hingga akhir tahun dan sisa UP tidak disetor lewat

tahun anggaran maka akan relatif aman dari pemeriksaan. Mekanisme kontrol

Satuan Kerja pada praktiknya berupa berita acara pemeriksaan kas yang

dilakukan tiap bulan, bisa menjadi tidak berarti ketika sudah ada “pemakluman”

berjamaah atas berapapun saldo kas di tangan dan di bank. Pemakluman ini

baik oleh bendahara, pengguna anggaran, PPK dan pemeriksa yang selama ini

berfokus pada sisa dana UP akhir tahun tidak boleh disetor melewati tahun

anggaran (sebagaimana tercantum dalam pedoman pemeriksaan BPK bahwa

penyetoran sisa UP tidak boleh melebihi akhir tahun dan menjadikannya sebagai

salah satu temuan administrasi).

Selain permasalahan terkait UP, dalam SPJ belanja juga melahirkan

beberapa kondisi yang dapat menjadi deviasi dalam sistem dan prosedur

belanja. SPJ belanja telah diharuskan dilengkapi dengan bukti transaksi yang

sah. Untuk menjadikan sebuah bukti menjadi sah atau clear secara administrasi

maka stempel maupun bukti yang lain dapat diperoleh dengan mudah dari para

penyedia jasa. Seakan “tahu sama tahu” pihak penyedia jasa sering kali bersedia

menandatangani kuitansi kosong bahkan memberikan keleluasaan untuk

memiliki duplikat stempel (jika sudah langganan). Beberapa rekening belanja

yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan praktik ini adalah perjalanan dinas
104

luar daerah yang menggunakan kendaraan dinas, perjalanan dinas dalam

daerah, belanja ATK, belanja makan minum dan belanja penggandaan.

Selain UP/GU, mekanisme TU juga memungkinkan terjadinya deviasi dalam

sistem dan prosedur yang telah didesain dengan baik. Definisi sebuah kegiatan

atau belanja dapat memenuhi kriteria sebagai TU menjadi sangat penting.

Kurang telitinya PPK-SKPD terhadap setiap dokumen pendukung SPP

berpotensi adanya manipulasi dokumen tidak dapat di deteksi lebih awal.

Pertanggungjawaban Dana TUP melebihi satu bulan sejak tanggal SP2D, hal ini

menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan melalui mekanisme TUP pada

dasarnya tidak mendesak, selain itu terdapat kelalaian bendahara pengeluaran

maupun PPTK dalam menyelesaikan dokumen pertanggungjawaban.

Dana yang tidak habis gunakan dalam waktu satu bulan tidak segera di

setorkan ke kas daerah, sehingga sisa dana TUP bisa saja di alokasikan pada

belanja tidak tepat sasaran atau sesuai peruntukan, selain itu berpotensi juga

menimbulkan moral hazard misalnya penyalahgunaan uang untuk kepentingan

pribadi. Tidak adanya sanksi yang tegas dari BUD dalam menyikapi

keterlambatan pertanggungjawaban TUP yang telah melewati batas waktu yang

ditentukan, olehnya membuat pihak SKPD tidak mempertimbangkan secara

matang permintaan TUP yang diperuntukan untuk kegiatan yang sebenarnya

sangat mendesak. Dengan mekanisme belanja TUP terkadang pembayaran

kepada pihak ketiga (Barang dan Jasa) yang seharusnya menjadi

tanggungjawab Bendahara Pengeluaran di ambil alih oleh PPTK, hal ini akan

menimbulkan potensi moral hazard dari PPTK berupa tidak mebayar sepenuhnya

tagihan pihak ketiga selain itu menyebabkan Bendahara Pengeluaran mengalami

kesulitan dalam mengumpulkan bukti-bukti pembayaran sebagai pertanggung

jawaban belanja karena bukan yang bersangkutan secara langsung yang


105

membayarkan sehingga membuat proses pertanggungjawaban Dana TUP

mengalami keterlambatan dan secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap

pertanggungjawaban UP sebelumnya.

Rekening belanja lainnya yang dapat membuka peluang melakukan

penyimpangan adalah Belanja LS selain barang seperti lembur juga rawan

terhadap terjadinya pemyimpangan. Hal ini berkaitan dengan bukti yang clear

secara administratif (fiktif). Belanja LS terutama pengadaan barang langsung

oleh Satuan Kerja sampai dengan Rp 200 juta. Berkaitan dengan aturan ini,

maka belanja Satuan Kerja akan dengan sendirinya dapat dilakukan dengan

nominal yang kecil dan menghindari lelang. Mark-up bisa saja terjadi atau

bahkan spesifikasi riil dilapangan tidak sama. Alternatif lain, Satuan Kerja dapat

menggunakan atau menunjuk penyedia barang dan jasa pada “Pengadaan

Langsung” sudah mengarah kepada pihak tertentu. Seringkali dokumen

pengadaan langsung mulai dari perencanaan, survey harga sampai dengan

penunjukan penyedia merupakan dokumen fiktif sehingga survey harga untuk

mendapatkan harga termurah seringkali tidak dilakukan. Kemungkinan yang lain

adalah Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan diotorisasi Pejabat Penerima

Hasil Pekerjaan dan Pejabat Pembuat Komitmen, meskipun pengecekan kondisi

hasil pekerjaan belum benar-benar dilakukan. Biasanya hal ini dilakukan dengan

alasan waktu pencairan yang mendesak (mendekati akhir tahun).

Permasalahan yang sering muncul dalam belanja hibah dan bantuan

sosial ialah ketika pemerintah daerah menganggarkan dalam APBD maka

anggaran tersebut sering tidak sesuai dengan peruntukan disebabkan karena

yang teranggarkan di APBD tidak dirinci berdasarkan mata anggaran yang jelas

sehingga sangat memungkin adanya penyalahgunaan (moral hazard) dari pihak

yang memberi ataupun yang menerimanya dan tak jarang banyak kasus terkait
106

dengan dana hibah yang ditemukan oleh BPK seperti yang dijelaskan dalam

Belanja Bantuan Keuangan Partai Politik yang tidak dibarengi dengan rencana

anggaran dan kegiatan yang detail, serta pertanggungjawaban dari pihak

penerima hibah yang tidak sesuai dengan Standar yang ditetapkan oleh undang-

undang atau peraturan lainnya.

SPJ yang clear tetapi bisa jadi tidak clean dapat menjadi permasalahan

yang pelik. Permasalahan seperti ini tidak dapat diurai dengan mudah karena

terkadang melibatkan kolusi yang dapat memperlemah Sistem dan Prosedur

yang telah dibangun dengan baik. Diperlukan komitmen kuat dari semua

kalangan. Secara teknis yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kemampuan

tim verifikasi di tingkat Satuan Kerja atas SPJ atau kelengkapan data SPM.

Terutama juga dilakukan pada bulan-bulan dimana menurut pengalaman load

pengajuan tinggi. DPPKA juga melakukan verifikasi step berikutnya. Verifikasi

untuk pengadaan barang juga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan fungsi

pejabat penerima barang.

Belanja LS barang mewajibkan Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat

Komitmen, Pejabat Pengadaan Barang/Jasa, Panitia Pengadaan Barang/Jasa,

dan Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan menandatangani Pakta Integritas.

Berkaitan dengan lembur misalkan mewajibkan setiap personel untuk membuat

“laporan harian” yang memuat pekerjaan yang dilaksanakan pada hari itu beserta

durasinya. Berkaitan dengan TU proses pengendalian internal harus senantiasa

dijalankan misalnya dengan mengkonfirmasi setiap tahapan maupun alur mulai

dari Penyiapan dokumen SPP sampai pada penerbitan SPM oleh Kepala Satuan

Kerja, konfirmasi dilakukan secara langsung kepada masing-masing fungsi

(bendahara, PPK dan PPTK) dalam organisasi untuk memastikan bahwa salah

satu fungsi tidak terlewatkan dalam setiap tahapan dimaksud.


107

Kepala Satuan Kerja membuat perencanaan dan mempertimbangkan

sebaik mungkin kegiatan yang akan didanai melalui mekanisme TUP untuk

menghindari proses pertanggungjawaban TUP yang akan mengalami

keterlambatan ataupun penggunaan yang tidak tepat sasaran atau tidak sesuai

peruntukan. Melakukan pertanggungjawaban TUP secara bertahap dan tidak

menunggu sampai dengan jatuh tempo pertangggung jawaban. Apabila Uang

Persediaan sudah mencapai maksimal penggunaan maka bendahara harus

melakukan revolving atau pengisian kembali uang persediaan dengan

mengajukan SPP GU agar UP yang ada di kas bendahara selalu terisi dengan

demikian pengeluaran-pengeluaran yang sifatnya mendesak sekalipun dapat

dilakukan dengan uang persediaan untuk meminimalisasi belanja dengan

mekanisme TUP.

6. 3. Perilaku Prinsipal Dalam Pelaksanaan SPIP

Perilaku prinsipal patut untuk dicermati tindakannya karena mempunyai

akibat yang mendasar dalam pelaksanaan SPIP di Satuan Kerja. Penelitian ini

akan menjelaskan peran Kepala Daerah sebagai prinsipal bagi Kepala Satuan

Kerja (agen) serta Kepala Satuan Kerja (prinsipal) dan staf sebagai agen.

Hubungan keagenan yang bertingkat tersebut memungkinkan untuk dilihat pada

sektor publik dan membedakan dengan sektor privat.

6. 3. 1. Kepala Daerah Sebagai Prinsipal

Perilaku Kepala Daerah sebagai prinsipal berorientasi pada penerapan

sistem kontrol melalui sistem pengendalian intern dalam upaya mengendalikan

Kepala Satuan Kerja sebagai agen karena asimetri informasi yang dimilikinya

untuk memaksimalisasi kepentingan pribadi yang cenderung berperilaku


108

menyimpang. Kepala Daerah berkepentingan dengan penerapan sistem kontrol

untuk memberi dukungan terhadap pelaksanaan penganggaran, keuangan, SPIP

dan sistem akuntansi daerah. Instansi yang mendapat tugas untuk mengawasi

perilaku agen dalam masalah ini adalah inspektorat. Peran inspektorat dalam

hubungan keagenan sama seperti Satuan Kerja di daerah karena masih berada

dibawah Kepala Daerah.

Inspektorat yang dipercaya oleh Kepala Daerah untuk melakukan

pengawasan atau kontrol ternyata melakukan tindakan oportunistik sebagai agen

karena telah dijelaskan Inspektur (Kepala Inspektorat) adalah jabatan struktural

dibawah Kepala Daerah. Inspektorat mengetahui praktik pengaturan keuangan

dan anggaran yang dilakukan oleh Satuan Kerja karena mengakomodasi

kepentingan dari Kepala Daerah. Carr dan Brower (2000) menjelaskan adanya

perilaku oportunistik pinsipal (principal’s opportunism) sehingga hubungan

keagenan di sektor publik lebih rumit dibandingkan dengan hubungan keagenan

konvensional seperti temuan awal Jensen dan Meckling (1976) yang menitik

beratkan semangat kapitalisme dan pemenuhan kepentingan pribadi (self

interest).

Kepala Daerah sebagai prinsipal dalam kontek hubungan keagenan

melakukan perilaku oportunistik dengan melakukan maintenance terhadap mesin

politik yang mendukungnya dalam pemilihan langsung. Cara-cara yang secara

rasional dapat dilihat adalah dengan memasukkan prinsip ekonomi untuk

mengembalikan modal dalam pemilihan langsung sekaligus melakukan rent-

seeking. Praktik setoran kepada atasan, pembagian proyek kepada rekanan tim

sukses dan kegiatan lain yang menguntungkan bagi Kepala Daerah merupakan

tindakan rasional sebagai pembenaran atas sistem pemerintahan yang berlaku di

Indonesia.
109

Peran inspektorat yang dipasang oleh Kepala Daerah untuk memonitor

Satuan Kerja menjadi semu bahkan menimbulkan perilaku oportunistik tersendiri

antar sesama agen. Modus yang dipakai oleh inspektorat adalah melakukan

tawar menawar temuan dengan Satuan Kerja agar tidak dimasukkan dalam

Laporan Hasil Pemeriksaan yang akan disampaikan Kepala Daerah atau paling

tidak temuan kesalahan administratif yang tidak mengarah kepada kecurangan.

Dilema yang sering dihadapi oleh inspektorat pada saat betul-betul melakukan

tugasnya dengan baik yaitu memperoleh temuan yang mengindikasikan

kecurangan kemudian melaporkan kepada Kepala Daerah tetapi tidak ditanggapi

dan dikembalikan atau dibatalkan. Kepala Daerah mempunyai kalkulasi tersendiri

atas keuntungan yang telah diambil dari Satuan Kerja dan memperkirakan batas

kewajaran yang ditoleransi untuk dimanfaatkan oleh Satuan Kerja dalam

mengambil keuntungan atas anggaran. Selama Satuan Kerja tidak melewati

batas kewajaran, Kepala Daerah masih mempertimbangkan untuk memberikan

sanksi atau mutasi kepada agen Satuan Kerja. Tindakan tersebut tidak berlaku

atas masalah hukum yang ditemukan oleh kepolisian dan kejaksaan hingga

berlanjut sampai ke pengadilan tindak pidana korupsi. Prinsipal tidak berani

untuk mengambil keuntungan atas belanja tidak langsung yang mayoritas berisi

gaji PNS melainkan pada belanja langsung khususnya yang berkaitan dengan

proyek dan belanja modal. Teknik yang halus dan cantik dimainkan dengan

mematuhi prosedur keuangan yang tidak melanggar aturan serta koneksi dengan

aparat keamanan pemerintah untuk tidak memasukkan ke ranah hukum.

6. 3. 2. Kepala Satuan Kerja Sebagai Prinsipal

Hubungan keagenan antara Kepala Satuan Kerja (prinsipal) dan staf

Satuan Kerja (agen) lebih banyak terletak pada perilaku agen dan prinsipal yang
110

oportunistik. Penjelasan yang dapat penulis sampaikan tentang realitas

oportunistik baik yang dilakukan oleh prinsipal dan agen terutama pada

mekanisme teknis penyusunan anggaran yang menguntungkan kedua belah

pihak. Penyusunan anggaran Satuan Kerja merupakan salah satu titik masalah

pokok keagenan yang menarik untuk dijelaskan.

Pembuatan RKPD di Satuan Kerja tidak disusun dengan baik dengan

tidak adanya data-data pendukung dan tidak dilakukan evaluasi pada RKPD

yang diusulkan oleh bidang perencanaan Satuan Kerja. Tidak adanya proses

evaluasi pada saat penyusunan RKPD ini memungkinkan bahwa sebuah

kegiatan dianggarkan lebih dari yang dibutuhkan. sehingga memungkinkan

terjadinya belanja-belanja tertentu di setiap kegiatan contoh: belanja ATK, belanja

fotocopi, model belanja makan minum, belanja perjalanan dinas dan belanja rutin

lainnya yang dapat dengan sengaja menguntungkan beberapa pihak. Lemahnya

evaluasi terhadap kegiatan yang pernah dilakukan sehingga terdapat kegiatan

yang setiap tahunnya dimunculkan akan tetapi anggarannya tidak dapat terserap

dengan baik. Selain itu tidak adanya perencanaan belanja yang baik sehingga

output, outcome dan impact dari kegiatan tidak tepat sasaran sehingga

menyebabkan belanja yang dianggarkan lebih besar dibandingkan yang

dibutuhkan dan biasanya dinaikan pada belanja-belanja rutin yang lebih mudah

dilakukan pertanggungjawabannya. Proses perencanaan belanja modal tidak

dapat direncanakan dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya pembelian

aset dengan jenis yang sama dan berulang-ulang pada suatu bidang dan atau

kegiatan.

Belum ada prosedur yang jelas dan timeline yang tepat untuk menyusun

harga barang sehingga tidak up to date atau dokumen harga satuan barang tidak

disusun dengan melakukan penelitian pasar. Kondisi tersebut menyebabkan


111

dokumen harga satuan tidak dapat menjadi patokan yang baik untuk dokumen

anggaran. Melakukan markup harga walaupun tidak terlalu besar untuk

menghindari terlalu terlihat mencolok sehingga nilai harga barang yang ada pada

dokumen anggaran (RKA dan DPA) terlalu besar dibandingkan dengan harga

pasar yang ada terutama untuk belanja yang jarang menjadi objek pemeriksaan

contohnya seperti belanja ATK atau belanja yang nilai nominalnya di bawah Rp

300.000,00.

Tidak ada penetapan bahwa setiap belanja modal harus ditampung pada

suatu kegiatan pengadaan yang memungkinkan penyusun anggaran dengan

sengaja menyebarkan belanja modal di setiap kegiatan dengan alasan

menghindari proses pelelangan terutama untuk kegiatan pengadaan barang-

barang peralatan kantor (laptop, printer, mesin fax, dan USP) dan mebeuler

kantor (kursi lipat, meja). Tidak adanya pengaturan atau kebijakan mengenai

perlakuan belanja pemeliharaan yang menyebabkan penyusun anggaran

meninggikan anggaran belanja pemeliharaan aset sehingga Satuan Kerja dapat

mengambil keuntungan dari belanja ini.

6. 4. Ringkasan

Hubungan keagenan dalam pelaksanaan SPIP dapat dijelaskan dalam

posisi Kepala Satuan Kerja sebagai agen terhadap Kepala Daerah (prinsipal) dan

staf Satuan Kerja (agen) terhadap Kepala Satuan Kerja (prinsipal). Perilaku

oportunistik dan moral hazard baik yang dilakukan oleh agen serta prinsipal

menjustifikasi bahwa pelaksanaan SPIP dalam kerangka tindakan tersebut. Bisa

dikatakan bahwa SPIP merupakan sistem yang dalam praktiknya

mengakomodasi ketegangan antara agen dan prinsipal. Teori keagenan


112

menguatkan analisis atas perilaku yang terjadi dalam pemahaman dan

pelaksanaan SPIP seperti dalam temuan pengaturan keuangan, bantuan

keuangan partai politik, dilema etika dan peran Inspektorat.


BAB VII

SPIP : ANTARA ATURAN PEMERINTAH DAN PRAKTIK

7. 1. Pengantar

Pemerintah mengeluarkan regulasi tentang Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah dengan tujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai atas

tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien,

keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara dan ketaatan

terhadap peraturan perundang-undangan. Pengadopsian SPIP dari COSO yang

berlatarbelakang sistem pengendalian intern sektor privat untuk diterapkan dalam

sektor publik mempunyai tujuan yang jelas. Leading sector dari aturan SPIP ini

dilakukan oleh BPKP dengan melakukan sosialisasi ke instansi, kementerian,

pemerintah pusat sampai pemerintah daerah.

Sosialisasi peraturan pemerintah sampai pelaksanaan SPIP sudah

memakan waktu hampir 7 (tujuh) tahun sejak dikeluarkan pada tahun 2008.

Fenomena yang menarik dari kurun waktu 2008 sampai 2015 ternyata praktik

korupsi, kolusi, penyelewengan keuangan negara bahkan sampai diajukan dalam

pengadilan hukum semakin meningkat. SPIP sebagai suatu sistem mengalami

ujian dan tantangan di masa yang akan datang dalam evaluasi pelaksanaannya.

SPIP merupakan sistem yang dibuat oleh manusia tentunya ada kelemahan

untuk dicari dan dilanggar. Esensi sistem pengendalian baik di sektor privat

maupun publik tergantung oleh perilaku manusia dalam organisasi untuk

melaksanakannya. Tekanan, niat dan motivasi dari perilaku manusia yang

menjelaskan bahwa Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menjadi aturan

yang jauh dari yang diharapkan oleh pemerintah.

113
114

Evaluasi atas penerapan SPIP perlu untuk dikaji lagi kesesuaiannya

dengan kondisi birokrasi Indonesia yang tidak bebas dari nilai-nilai

disekelilingnya. Faktor politik, budaya, sosial dan perilaku aparatur pemerintah

yang perlu untuk dikaji lebih lanjut dalam melanjutkan atau membangun sebuah

sistem pengendalian intern. Penjelasan pada bab ini akan mengupas tentang

permasalahan tersebut dalam kerangka pelaksanaan SPIP di Satuan Kerja

dengan latar belakang motivasi individu, sosial, politik dan budaya lokal yang

mewarnai organisasi. Penulis memakai istilah maksimalisasi kepentingan pribadi

untuk menerangkan perilaku manusia yang oportunistik dalam melaksanakan

SPIP dan budaya ngrosak yang menjelaskan persinggungan sistem

pengendalian intern dengan unsur budaya lokal di Satuan Kerja. Hasil dari

pelaksanaan SPIP Satuan Kerja akan dijelaskan sebagai paradoks regulasi dan

praktik.

7. 2. Budaya “Ngrosak” Yang Merusak SPIP

Unsur budaya jarang menjadi perhatian khususnya dalam pelaksanaan

SPIP di Satuan Kerja pemerintah. Kejadian unik yang sempat penulis saksikan

terjadi di Satuan Kerja menarik untuk dikaji dalam perspektif budaya dalam

pelaksanaan SPIP. Penulis sempat mengamati beberapa hari sebelum hari raya

lebaran suasana di Satuan Kerja terlihat sangat ramai baik dari staf PNS,

wartawan dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkunjung ke

kantor. Beberapa pejabat yang ada di Satuan Kerja terlihat sibuk untuk

menghindari kejaran dari wartawan yang tiba-tiba mendatangi Kantor untuk ijin

bertemu kepala Satuan Kerja. Kepala Satuan Kerja sedang rapat dengan Kepala

Seksi, PPTK, Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penatausahaan

Keuangan serta bendahara pengeluaran di ruang Kepala Satuan Kerja. Penulis


115

sempat menanyakan kepada Kepala Satuan Kerja tentang kejadian ini dan

dijelaskan sebagai berikut:

“Biasa kalau hari raya begini minta THR ke Satuan Kerja dengan
alasan mau silaturahim. Mereka biasa ngrosak (mencari-cari untuk
tujuan tertentu) di hari-hari begini dengan keliling ke Satuan Kerja.”

Kejadian tersebut merupakan salah satu contoh kecil adanya budaya

“ngrosak” dalam birokrasi. Istilah “ngrosak” sulit untuk ditemukan padanan kata

yang sesuai dalam kamus bahasa Jawa Timur tetapi sangat familiar di telinga

aparatur pemerintah tempat penulis melakukan penelitian. Kata-kata “ngrosak”

berasal dari bunyi “krosak” yang berasal dari suara dedaunan yang kering

semacam daun bambu yang kering. Padanan kata dalam bahasa Indonesia yang

sesuai adalah mengganggu atau merusuhi kerja. Budaya “ngrosak” dari

oknum wartawan untuk meminta Tunjangan Hari Raya sudah menjadi kebiasaan

dari tahun ke tahun. Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleh oknum wartawan

bahkan oleh oknum LSM dan masyarakat sipil untuk meminta sumbangan (uang)

kepada Satuan Kerja di pemerintahan. Satuan Kerja juga telah menyiapkan dana

untuk menghadapi peristiwa khusus yang tentu saja dana yang disiapkan Satuan

Kerja untuk memberikan THR tidak dianggarkan dalam APBD dan merupakan

pengaturan keuangan. Kejadian tersebut sudah menjadi kebiasaan yang harus

ditanggung oleh Satuan Kerja dan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah tidak

akan bisa mengatur kebiasaan yang sudah menjadi budaya dalam birokrasi

dalam tataran praktiknya.

Peristiwa budaya “ngrosak” juga pernah terjadi di hari-hari biasa ketika

ada seorang yang mengaku wartawan senior mengajak istrinya untuk minta

sumbangan di Satuan Kerja dan hal itu dilakukan seminggu sekali. Keluhan juga

dilontarkan oleh Bapak Bagus yang diutarakan kepada penulis sebagai berikut:
116

“Orang minta sumbangan kok seminggu sekali sambil nyanggong di


kantor. Kalau tidak diberi marah-marah dan mengatakan begini saja
apa tidak bisa diatur? Belum lagi nanti ada yang datang
menawarkan kaos dengan harga tertentu untuk mendukung
kegiatan mereka. Ya akhirnya anggap saja beli kaos yang berharga
mahal”

Oknum wartawan senior tersebut mengetahui praktik pengaturan keuangan di

Satuan Kerja sehingga mau minta sumbangan untuk alasan tertentu. Praktik ini

yang menjadi ketakutan birokrat untuk tidak menolak permintaan-permintaan

semacam itu. Ketakutan birokrasi didasarkan atas tulisan sepihak dari wartawan

untuk dipublikasikan di media massa atas indikasi kecurangan yang dilakukan

oleh aparatur pemerintah. Tindakan yang dilakukan oleh Satuan Kerja

menghadapi peristiwa budaya “ngrosak” seperti ini sudah sering dilakukan

dengan mengambil jalan “win-win solution” selama masih bisa untuk diatur.

Penolakan atas permintaan dari oknum wartawan senior tersebut akan berakibat

pada tercorengnya nama baik Satuan Kerja apabila sampai keborokan Satuan

Kerja diekspos di media masa. Selama bisa diselesaikan dengan jalan damai,

pemberian sumbangan pasti akan dilaksanakan oleh Satuan Kerja sebagai

bagian dari birokrasi untuk melaksanakan tugas pelayanan berhadapan dengan

pelaku budaya “ngrosak” dari pihak eksternal

Wartawan baik cetak maupun elektronik masih menjadi momok bagi

birokrasi Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

memberikan jaminan hukum kepada pers nasional sebagai wahana komunikasi

massa, penyebar informasi dan pembentuk opini yang bebas dari campur tangan

dan paksaan dari manapun. Di sisi lain pemerintah publik taat pada Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik yang berisi

hak memperoleh informasi dan keterbukaan Informasi Publik untuk mewujudkan

penyelenggaraan negara yang baik. Dengan dasar kedua undang-undang

tersebut cukup kuat bagi wartawan untuk menanyakan informasi terkait dengan
117

pelaksanaan anggaran di Satuan Kerja. Wartawan sudah tahu praktik-praktik

yang digunakan aparatur pemerintah dalam melaksanakan pengaturan

keuangan. Biasanya hal ini dijadikan “kartu truf” bagi oknum wartawan untuk

“ngrosak” birokrasi pemerintahan. Pihak aparatur pemerintah yang menyadari

masalah ini daripada harus berurusan ruwet dengan wartawan, jalan yang

ditempuh adalah mengakomodasi atau merangkul pers. Mengakomodasi pers

biasanya dilakukan dengan cara memberikan iklan atau pemberitaan untuk

dimasukan surat kabar,buletin atau majalah.

Selain oknum wartawan atau media, kegiatan ngrosak juga dilakukan

oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan aparat keamanan pemerintah

terhadap Satuan Kerja. Salah satu fungsi LSM adalah mengawasi jalannya

pembangunan dan transparasi penggunaan APBD tetapi akhirnya sekaligus

sebagai alat untuk menikmati keuangan negara. Modus yang dilakukan oleh LSM

untuk mendapatkan keuntungan adalah dengan mengajukan proposal kegiatan

LSM pribadi kepada Kepala Daerah melalui Satuan Kerja atau langsung LSM

kepada Satuan Kerja. Perlu diketahui bahwa salah satu tugas pokok dari Satuan

Kerja dalam penelitian ini adalah mengurusi wartawan, LSM dan organisasi

masyarakat lainnya. LSM meminta bantuan dana kepada Satuan Kerja dengan

alasan mengetahui seluk beluk perilaku menyimpang dari aparat pemerintah.

Langkah yang diambil oleh Kepala Satuan Kerja biasanya hampir sama dengan

kejadian ngrosak sebelumnya yaitu memanggil ketua LSM untuk diajak

musyawarah dan menyelesaikannya dengan jalan damai.

Perilaku yang hampir sama juga dilakukan oleh aparat keamanan

pemerintah dengan jalan meminta bantuan keuangan terkait dengan tugas

tertentu yang dilakukan di daerah. Biasanya untuk kasus ini aparat keamanan

pemerintah membuat proposal untuk diajukan kepada Kepala Daerah melalui

Satuan Kerja baik berupa bantuan keuangan, pembangunan sarana dan


118

prasarana maupun akomodasi. Kerjasama resmi antara Satuan Kerja dengan

aparat pengamanan pemerintah dilakukan dengan tujuan menciptakan situasi

keamanan dan politik daerah aman terkendali. Mekanisme bantuan keuangan

untuk aparat keamanan pemerintah sebenarnya sesuai prosedur dan Kepala

Satuan Kerja memberikan rekomendasi selanjutnya Kepala Daerah yang

memberikan keputusan untuk menerima atau menolak proposal yang diajukan.

Pihak eksternal seperti wartawan, LSM, aparat keamanan pemerintah

dan lain sebagainya sepertinya mengetahui perilaku aparat pemerintahan dalam

mengelola keuangan. Tantangan dari Satuan Kerja dalam melaksanakan SPIP

adalah mengantisipasi masalah tersebut. Masalah tersebut telah menjadi budaya

serta kebiasaan yang terus berulang dari tahun ke tahun di birokrasi pemerintah.

Tindakan dari Satuan Kerja selama ini mengakomodasi tindakan ngrosak oknum

wartawan dengan memberikan iklan sebagai solusi yang baik. Proposal LSM

tidak semuanya bisa dipenuhi mengingat banyaknya LSM yang ada di daerah

melakukan tindakan serupa. Khusus untuk bantuan keuangan aparat keamanan

pemerintah dilakukan dengan memberikan rekomendasi kepada Kepala Daerah

tentang urgensi dari pemberian bantuan keuangan.

Budaya “ngrosak” tidak hanya dilakukan oleh pihak luar tetapi juga

dilakukan oleh staf Satuan Kerja mendekati hari raya. Kegundahan dan

kosentrasi kerja sudah terpecah oleh kegiatan keagamaan yang akan dirayakan.

Pernyataan-pernyataan yang bersifat kocak untuk menyindir Kepala Satuan

Kerja untuk segera memberikan bingkisan lebaran dapat disimak dari pernyataan

Pak Yanto sebagai berikut:

“Kapan ini bingkisan lebaran dan THR dibagikan? Iso gak goreng
kopi (bisa tidak goreng kopi) hari raya kali ini, keluarga di rumah
sudah menanti berita baik dari kantor.”
119

Kejadian tersebut merupakan bentuk permintaan berupa bingkisan atau THR dari

Satuan Kerja kepada seluruh staf. PNS tidak memperoleh Tunjangan Hari Raya

dari pemerintah dan tidak ada istilah dalam Undang-Undang atau peraturan lain

yang menyebutkan Tunjangan Hari Raya. Secara budaya, rata-rata Satuan Kerja

memberikan bingkisan atau THR kepada seluruh staf dari hasil “sisa pengaturan

keuangan” untuk dibagikan pada hari raya Lebaran. Staf dan aparatur

pemerintah umumnya mengharapkan THR dan bingkisan pada hari raya

walaupun tidak diatur dalam Undang-Undang. Tentu saja staf Satuan Kerja

mengetahui adanya THR dan bingkisan hari raya dari praktik penyisihan

pengaturan keuangan. Sekali lagi berbicara pengaturan keuangan dimaksudkan

untuk membahas masalah-masalah yang tidak bisa diakomodasi dalam

anggaran pemerintah. Pelajaran yang dapat diambil dari budaya “ngrosak” yang

dilakukan oleh pihak intern sendiri adalah pembenaran atas fenomena

pembagian bingkisan dan THR walaupun dilakukan dengan cara yang tidak

sesuai dengan etika dan nilai agama.

Fenomena ini ternyata ditangkap oleh Pemerintah Pusat yang tertuang

dalam Nota Keuangan 2016 bahwa PNS akan memperoleh THR di luar gaji ke-

13 yang rutin diberikan pemerintah setahun sekali (http://m.detik.com/finance).

Pemberian THR ini untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan aparatur

pemerintah agar memacu produktivitas dan peningkatan pelayanan publik.

Diharapkan dari rencana pemberian THR oleh pemerintah pusat kepada PNS

tidak ada lagi praktik pemberian THR dari hasil pengaturan keuangan seperti

yang dilakukan oleh Satuan Kerja tempat penulis melakukan penelitian atau

bahkan instansi lain di Indonesia.

Budaya-budaya lokal yang melemahkan mekanisme pengendalian intern

tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan dialami juga negara-negara lain di

belahan dunia. Negara Cina memiliki masalah yang serupa dengan Indonesia
120

dalam menghadapi budaya yang menumbuh suburkan korupsi dan

penyelewengan di birokrasi. Chow (2006) menyatakan bahwa budaya Cina

dipengaruhi oleh keinginan dan praktek penggunaan uang dalam segala

aktivitasnya untuk menempati posisi sebagai pegawai pemerintah, perusahaan

atau bank milik pemerintah. Banyak pejabat pemerintah Cina masih menjunjung

tinggi budaya lama tentang kejujuran dan integritas tetapi kasus pelanggaran

dalam praktiknya semakin meningkat sejak Revolusi Kebudayaan dimulai.

Birokrat pengelola aset negara melakukan penjualan aset dari program

pembangunan sosial serta mengambil keuntungan untuk diri sendiri, melakukan

penggelapan dana publik, mengambil suap dari warga yang membutuhkan

bantuan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam melaksanakan program

pembangunan pedesaan merupakan potret budaya Cina di sektor pemerintahan.

Studi Jacoby (2010) memberikan pandangan berbeda tentang budaya lokal yang

melemahkan sistem dengan mengambil contoh negara Turki. Letak geografis

Turki yang berdekatan dengan Uni Eropa mengalami krisis budaya korupsi

seperti negara berkembang lainnya ternyata dapat dikurangi dengan

memberikan petunjuk administrasi teknis perubahan ekonomi oleh negara

negara Uni Eropa. Hasil yang didapatan Turki saat ini adalah melakukan

perluasan modal dari Uni Eropa, mengurangi biaya transaksi dalam usaha

mengakuisisi aset negara dengan mengurangi resistensi pihak domestik.

7. 3. Paradoks Regulasi Pemerintah Dan Praktik

Reformasi keuangan di Indonesia yang dikeluarkan pemerintah sejak

tahun 2003 didasari oleh semangat penerapan konsep New Public Management

(NPM). New Public Management mengalami kendala penerapannya untuk

negara-negara berkembang karena alasan tingkat pembangunan ekonomi,


121

penegakan aturan hukum, korupsi, rendahnya sistem administrasi pemerintah

dan akuntabilitas serta efisiensi pemerintahan (Sarker, 2006). Salah satu ciri

khas dari NPM adalah berusaha untuk mengaplikasikan pengalaman dan praktik

sektor privat ke sektor publik. Sektor privat dipandang merupakan bentuk yang

ideal bagi sektor publik sebagai cermin untuk berbenah diri dalam membentuk

manajemen organisasinya yang terkesan semrawut, birokratis dan boros.

Semangat penerapan NPM di Indonesia merambah pada dunia keuangan di

sektor publik dengan memberlakukan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

yang diadaptasi dari kerangka kerja sistem pengendalian COSO. SPIP sebagai

sebuah sistem pengendalian intern yang didesain oleh pemerintah untuk

diseragamkan dan diterapkan kepada seluruh instansi pemerintahan baik di

pusat maupun daerah memiliki keunggulan sekaligus kelemahan dalam realitas

praktiknya.

Keunggulan SPIP terletak pada petunjuk teknis yang detil dan rinci

sebagai pedoman bagi instansi untuk sekedar melaksanakan sesuai dengan

aturan yang ada. Instansi pemerintah tidak memerlukan penafsiran atas aturan

teknis yang ada karena sosialisasi dan pendampingan telah dilakukan oleh BPKP

sampai ditingkatan pemerintah daerah. Permasalahan yang muncul di instansi

pemerintah dalam menerapkan SPIP bahwa sistem pengendalian intern tersebut

benar-benar dilaksanakan sebagai bentuk ketaatan instansi kepada aturan

pemerintah pusat atau sekedar untuk menggugurkan kewajiban atas

pelaksanaan aturan pemerintah pusat.

Kenyataan membuktikan disertai dengan data yang ada tentang perilaku

menyimpang aparatur pemerintah dalam bentuk korupsi, kolusi, penyelewengan

anggaran belanja negara menyeret beberapa Kepala Daerah di Indonesia

terjerat pengadilan hukum. Ironisnya ketika SPIP telah dikeluarkan sejak tahun

2008 sampai 2015, kasus-kasus korupsi justru semakin meningkat dari tahun ke
122

tahun bukan sebaliknya dengan penerapan SPIP akan menurunkan jumlah

korupsi di Indonesia. Patut diduga bahwa SPIP selama ini hanya sekedar sistem

yang tidak membumi untuk diterapkan di Indonesia atau Sumber Daya Manusia

dari aparatur pemerintah kurang siap dalam melaksanakan SPIP. Atas dugaan

tersebut penulis mencoba untuk melakukan penelitian pada salah satu Satuan

Kerja di Jawa Timur dengan menggunakan pendekatan etnometodologi untuk

melihat praktik sehari-hari dalam melaksanakan SPIP. Dipilihnya Satuan Kerja

yang memiliki tugas, pokok dan fungsi yang memiliki interaksi dengan pihak

ekstern untuk melihat fenomena lain dalam pelaksanaan sistem pengendalian

intern.

Pemahaman atas SPIP dilakukan pertama kali untuk mengetahui

pemaknaan SPIP oleh aparatur pemerintah di Satuan Kerja. Pemahaman SPIP

menjadi penting karena secara natural langsung dipahami oleh aktor pelaku di

lapangan. Tanpa adanya sistem pengendalian intern, Satuan Kerja akan

mendefinisikan pengendalian intern sebagai bagian yang melekat pada tugas,

pokok dan fungsi. Ungkapan-ungkapan seperti kontrol, pengendalian, aktivitas

rutin dan pelaporan merupakan indeksikalitas yang Satuan Kerja pahami dalam

memaknai SPIP. Satuan Kerja tidak memahami detil dari PP 60 tahun 2008 yang

sudah disosialisasikan oleh Inspektorat tentang hakikat pengendalian intern

tetapi pada kenyataannya teknis pelaksanaan SPIP sebagian besar sudah

dipraktikan dalam tugas sehari-hari. Unsur-unsur SPIP seperti lingkungan

pengendalian, penilaian resiko, kegiatan pengendalian, infomasi komunikasi dan

pemantauan pengendalian intern merupakan aktivitas-aktivitas yang sebagian

besar telah dilakukan oleh Satuan Kerja tetapi aktor yang melaksanakan tidak

mengetahui bahwa tindakan yang selama ini dikerjakan merupakan bagian dari

proses pengendalian intern.


123

Lingkungan pengendalian merupakan unsur terpenting dalam sistem

pengendalian intern (Badara dan Saidin, 2013; Amundo dan Inanga, 2009;

Ramos, 2004). Lingkungan pengendalian yang baik merupakan sesuatu yang

esensial untuk efektivitas operasional pemerintah lokal (Badara dan Saidin,

2013), mengurangi aktivitas fraud dalam organisasi (Amundo dan Inanga, 2009)

dan mencerminkan not transaction oriented (Ramos, 2004). Lingkungan

pengendalian merupakan ruh dalam kesuksesan SPIP yang dijabarkan pada nilai

integritas dan etika, komitmen pada kompetensi, kepemimpinan, struktur

organisasi, wewenang dan tanggungjawab, kebijakan SDM, peran auditor intern

yang efektif serta hubungan kerja yang baik. Penerapan nilai integritas dan etika

merupakan pekerjaan yang sulit untuk mensukseskan bagian penting dalam

SPIP di pemerintahan dengan alasan bahwa semua unsur bisa dilaksanakan

dengan baik apabila ada nilai integitas dan etika yang diterapkan sungguh-

sungguh oleh pelaku pengendali intern. Integritas dan nilai-nilai etika mencakup

tindakan organisasi untuk menghilangkan atau mengurangi insentif dan godaan

yang dapat mendorong personil untuk terlibat dalam perilaku yang tidak jujur,

ilegal atau tidak etis.

Lemahnya penegakan nilai integritas dan etika untuk berperilaku jujur,

legal dan etis dapat ditunjukkan pada praktik pengaturan keuangan di Satuan

Kerja. Praktik-praktik pengaturan keuangan yang dilakukan Satuan Kerja

menggambarkan bahwa pelaksanaan SPIP di birokrasi pemerintah tidak

sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Lingkungan pengendalian

khususnya komitmen dari Kepala Satuan Kerja belum bisa memberikan garansi

untuk lepas dari jeratan politis dalam kekacauan sistem politik di Indonesia yang

mengedepankan motif ekonomi dalam ranah birokrasi. Pengaturan anggaran

akan menimbulkan kebohongan baru dalam pertanggungjawaban keuangan


124

(SPJ) di Satuan kerja (Abdullah, 2009) dengan melakukan manipulasi bukti

transaksi baik berupa faktur, invoice, surat jalan, kwitansi dan lain-lain.

Lingkaran setan dari praktik pengaturan keuangan menjadi salah satu

penyebab maraknya kasus-kasus korupsi, penyalahgunaan anggaran terjadi di

Indonesia. Banyaknya Kepala Daerah yang tersangkut kasus-kasus tersebut

membuktikan bahwa praktik pengaturan keuangan juga terjadi hampir di semua

instansi pemerintahan. Penjelasan sebaliknya untuk melihat kebelakang tentang

perilaku korupsi disampaikan oleh Budiman et al. (2012) yang memaparkan

korupsi aparatur pemerintah pada era Suharto yang lebih pada kepentingan

instansi atau kelompoknya daripada kepentingan individu sebagai wujud norma

budaya kolektif yang mendominasi kehidupan di Indonesia. Tujuan aparatur

pemerintah melakukan korupsi pada era Orde Baru cenderung berfokus pada

membantu sanak keluarga untuk bekerja, teman dan lainnya dalam satu

kelompok. Aparatur pemerintah pada era orde baru memiliki gaji yang sedikit

sehingga cenderung mengelak dari tanggungjawab dan berusaha mencari

pendapatan lain di instansi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Praktik pengaturan keuangan di sektor publik sebagaimana diatas dapat

dijelaskan dengan memakai teori fraud triangle dan fraud diamond. Teori fraud

triangle menjelaskan tiga faktor yang hadir dalam setiap situasi kecurangan yaitu

pressure (tekanan), opportunity (kesempatan) dan rationalization (rasionalisasi).

Pressure (tekanan) dalam praktik pengaturan keuangan disebabkan oleh

kebutuhan untuk melakukan fraud atas dasar perintah dari atasan. Tekanan dari

atasan lebih cenderung pada external pressure yang dilakukan atas dasar

loyalitas aparatur pemerintahan selain dari keinginan dari individu untuk

mengambil keuntungan pribadi sebagai perilaku oportunistik. Opportunity

(kesempatan) terjadinya praktik pengaturan keuangan disebabkan kurangnya

pengawasan dan pengendalian internal pemerintah yang lemah dan semu.


125

Baltaci dan Yilmaz (2006) menyatakan sistem kontrol dan audit yang lemah di

Indonesia menimbulkan masalah tindakan tidak etis dan ekonomis karena

korupsi yang meluas dan kolusi dalam pengadaan. Rationalization (rasionalisasi)

merupakan sikap, karakter atau serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan

pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan atau orang-orang

yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan untuk merasionalisasi

tindakan fraud. Teori fraud triangle disempurnakan menjadi fraud diamond oleh

Wolfe dan Hermanson (2004) dengan menambahkan elemen keempat yaitu

capability (kemampuan) yang berarti orang atau pihak tertentu yang mempunyai

kapabilitas dalam melakukan fraud. Kapabilitas dalam konteks praktik

pengaturan keuangan bisa ditafsirkan sebagai pihak yang mampu (karena

pengetahuan dan keahlian sebagai personal kunci) atau yang berwenang dalam

pengambilan keputusan (otoritas kekuasaan atau pimpinan instansi).

Praktik pengaturan keuangan di Satuan Kerja menjadi contoh nilai moral,

agama dan etika menjadi tidak berdaya berhadapan dengan sistem birokrasi

yang didominasi kepentingan politik untuk melakukan perbuatan menyimpang.

Integritas dan etika merupakan sub unsur yang paling penting dalam lingkungan

pengendalian SPIP. Pentingnya etika bagi birokrasi untuk membantu proses

reformasi birokrasi yang sejalan dengan tujuan ekonomi, efisiensi dan efektivitas

(Preston, 1999). Pendapat Zekos (2004) tentang benturan antara etika dengan

korupsi dijelaskan sebagai berikut:

“Antitesis dari etika versus korupsi sangat jelas, sementara etika dapat
menyebabkan maksimalisasi nilai dalam jangka panjang, korupsi
menyebabkan nilai minimalisasi dalam jangka panjang tanpa
maksimalisasi nilai jangka pendek. Norma etika bisa berubah dan
dipengaruhi oleh budaya, teknologi dan agama yang mempengaruhi
secara paralel konsepsi korupsi sebagai perbuatan yang salah.”

Sejalan dengan pendapat diatas disampaikan oleh (Kreikebaum, 2008) yang

menjelaskan korupsi sebagai isu moral yang meresapi jiwa individu terhadap
126

keserakahan maka penting menganalisis aspek etika untuk mengembangkan

konsep anti-korupsi.

Aparatur pemerintah sadar bahwa praktik-praktik yang jelek di Satuan

Kerja merupakan tindakan tidak etis dan tidak dibenarkan secara agama tetapi

tidak bisa mengelakkan tanggungjawab dari kepentingan politis. Agama tidak

banyak berperan karena umat beragama di Indonesia memposisikan agama

tidak dalam praktik kehidupannya. Ungkapan yang sesuai atas fenomena ini

disampaikan Ludigdo (2007:197) sebagai berikut:

“Agama sekedar formalitas, sehingga tidak ada lagi spirit didalamnya.


Manusia (aparatur pemerintah) telah kehilangan identitas
kehakikiannya sebagai abdi Tuhan (Abdillah) maupun pemimpin di
dunia yang mewakili Tuhan (Khalifatullah fil Ardh). Pencapaian
kekayaan materiil menjadi orientasi utama dalam hidup sehingga
menafikkan tugas manusia sebagai pemimpin dalam memakmurkan
dunia dengan kebajikan dan semangat pengabdiannya kepada
Tuhan.”

Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Marquette (2012) dengan menunjukkan

bahwa negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi ternyata memiliki tingkat

religiusitas yang tinggi pula dengan mengambil lokasi penelitian di India dan

Nigeria.

Aparatur pemerintah adalah abdi negara yang harus setia dan loyal

kepada kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Aparatur pemerintah juga

Pegawai Negeri Sipil merintis karir sehingga disebut pejabat karir harus mentaati

perintah pejabat politik yang dipilih berdasarkan mekanisme politik.

Ketidakberdayaan etika bukanlah sebab yang utama untuk dijadikan kambing

hitam atas perilaku negatif yang terjadi di pemerintahan melainkan kesadaran

dari aparatur pemerintah itu sendiri diharapkan menjadi benteng yang kokoh

untuk mengurangi praktik-praktik yang tidak etis di birokrasi Indonesia. Penelitian

Kasim (2013) memotret kondisi birokrasi Indonesia yang rumit karena mengikuti

praktik-praktik: (1) Mencari keuntungan, menyuap atau menyerahkan gratifikasi


127

kepada pejabat pemerintah untuk mendapatkan perlakuan khusus dalam

pelayanan publik; (2) Kolusi antara pejabat pemerintah dan pelaku usaha yang

mengarah pada praktik mark-up pengadaan barang dan jasa serta pemberian

gratifikasi kepada pejabat pengadaan; (3) Intervensi politik dalam perekrutan

PNS dan di kontrak pengadaan pemerintah; (4) Korupsi di lembaga penegak

hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pajak.

Pelaksanaan SPIP di Satuan Kerja menjadi terkendala oleh pihak ekstern

dapat dilihat pada praktik kegiatan bantuan keuangan partai politik yang ruwet.

Mekanisme pengendalian sudah dilakukan dengan prosedur yang telah

ditetapkan tetapi kendala yang dihadapi Satuan Kerja karena beberapa pengurus

partai politik tidak memberikan laporan pertanggungjawaban kepada Satuan

Kerja sehingga menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Hasil temuan BPK

tersebut tidak semata-mata menjadi kesalahan Satuan Kerja karena telah

dilakukan langkah-langkah kooperatif dengan memberikan personel yang

bertugas menjadi koordinator dalam pengumpulan SPJ. Mekanisme bantuan

keuangan partai politik telah jelas diberikan kepada pengurus partai tetapi

kejadian tersebut berulangkali dilakukan oleh partai politik. Kepala Satuan Kerja

dalam hal ini hanya bisa melakukan koordinasi dan melakukan sosialisasi untuk

mengatasi kesulitan yang dihadapi partai politik dalam menyusun SPJ. Peristiwa

tersebut dikuatkan oleh penelitian Nam-Katoti et. al (2011), Matakovic dan

Mraovic (2010) dan Mwangi (2008) yang membahas pendanaan atau bantuan

kepada partai politik di berbagai negara. Nam-Katoti et. al (2011) memberikan

penjelasan bahwa pengurus eksekutif partai di negara Ghana mendukung

pendanaan oleh negara kepada partai politik sebaliknya masyarakat sipil Ghana

mengkritik hal tersebut dengan alasan partai politik penyebab korupsi dan harus

bertanggungjawab kepada publik dengan mengungkapkan sumber-sumber dana,

belanja dan kegiatan partai lainnya. Publik mempersepsikan negatif kepada


128

partai politik akibat skandal korupsi dari bantuan keuangan kepada partai politik

(Matakovic dan Mraovic, 2010). Kritik dengan latar belakang kondisi perpolitikan

di Kenya disampaikan Mwangi (2008) bahwa pendanaan politik yang korup

kemungkinan akan menimbulkan ancaman serius terhadap sifat pemerintahan di

Kenya, terutama pihak berkuasa yang berusaha untuk mempertahankan

kekuasaan politik dalam kondisi ketidakpastian politik.

Pendanaan partai politik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 gagal

mengemban misi agar menjauhkan partai politik dari penggunaan uang rakyat

yang berasal dari APBN atau APBD. Partai politik hingga kini telah dianggap

sebagai biang korupsi sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat

terhadap partai politik. Kejadian tersebut ditambah dengan banyak kader partai

atau para politsi yang tersangkut kasus korupsi dan konflik internal partai yang

mengisyaratkan banyaknya kepentingan serta menurunnya etika politik. Kritik

terhadap pemerintah dilakukan oleh Supriyanto dan Wulandari (2012) mengenai

bantuan keuangan partai politik: pertama, pemerintah perlu meningkatkan

besaran bantuan keuangan partai politik agar bantuan ini benar-benar

berdampak pada upaya menjaga kemandirian partai politik dalam

memperjuangkan kepentingan rakyat. Kedua, peningkatan bantuan keuangan

partai politik bisa digunakan pemerintah untuk mendorong implementasi prinsip

transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik. Ketiga, bantuan keuangan

yang besarannya signifikan dari total belanja partai politik akan membuat partai

politik merasa rugi juga tidak memanfaatkannya. Dalam kondisi demikian, sanksi

administrasi berupa penundaan pencairan atau peniadaan bantuan keuangan

bagi partai politik yang tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban

penggunaan bantuan keuangan, akan efektif. Sanksi ini juga bisa dikenakan bagi

partai politik yang tidak menyampaikan laporan keuangan partai politik tahunan
129

sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang. Namun sebelum sampai

penjatuhan sanksi, pemerintah harus memastikan bahwa mekanisme, prosedur

dan jadwal waktu pengajuan, pencairan dan penyusunan laporan

pertanggungjawaban tidak menyulitkan partai politik. Apabila hal itu sudah bisa

dipenuhi pemerintah maka ancaman penjatuhan sanksi akan dapat mendorong

partai politik untuk berlaku transparan dan akuntabel dalam pengelolaan

keuangan partai politik.

Kritik terhadap peran inspektorat sebagai auditor intern yang cenderung

hanya memeriksa dan menyalahkan Satuan Kerja apabila ditemukan

penyimpangan atas keuangan serta ketidakpatuhan terhadap aturan. Fungsi dari

inspektorat yang diinginkan oleh Satuan Kerja dalam praktiknya adalah fungsi

konsultatif dengan memberi pendampingan atas program atau kegiatan dari

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Gamar (2012) menjelaskan peran

auditor internal (inspektorat) di Kabupaten Songulara identik dengan “dokter

spesialis” artinya auditor harus memilki kemampuan mumpuni dalam segala

bidang di pemerintahan sehingga dapat mendiagnosa semua jenis penyakit dan

memberikan saran pengobatan yang sesuai atas suatu permasalahan dalam

bidang apapun. Tugas pembinaan memang sepertinya harus lebih banyak

dilakukan oleh auditor internal inspektorat untuk memberikan masukan-masukan

terkait cara membuat pertanggungjawaban yang benar daripada melakukan

pemeriksaan yang benar. Penghakiman atas temuan dari inspektorat terutama

karena masalah pengaturan keuangan menjadi tidak sesuai mengingat

kedudukan inspektorat yang berada dibawah Kepala Daerah dan sejajar dengan

Satuan Kerja yang mengalami hal yang sama dalam praktik-praktik tersebut.

Hasil pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI), secara

umum menyatakan bahwa besarnya tingkat kebocoran penggunaan dana yang

bersumber dari APBD dan APBN diakibatkan oleh lemahnya pengendalian dan
130

pengawasan internal. Pengawasan fungsional pemerintah dilaksanakan oleh

aparat pengawasan ekstern pemerintah, yaitu BPK RI dan Aparat Pengawasan

Intern Pemerintah (APIP) yang terdiri atas BPKP, Inspektorat Jenderal

Departemen, Unit Pengawasan Kementerian/LPND serta Inspektorat Provinsi,

Kabupaten dan Kota. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah lembaga

pengawasan yang banyak tersebut tidak diikuti dengan kinerja yang diharapkan.

Pengawasan tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, ditunjukkan

dengan tetap terjadinya penyimpangan yang berulang-ulang dalam bentuk

kerugian negara, rendahnya keberhasilan dan efisiensi pelaksanaan kegiatan

yang diawasi serta terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaan pengawasan.

Hal ini berarti bahwa peran dan fungsi pengawasan intern dan pengawasan

ekstern belum dapat mendorong terwujudnya pemerintahan yang baik (Setiawan

dan Putro, 2013).

Perilaku yang menyimpang dan oportunistik dalam realitas pelaksanaan

SPIP dapat dijelaskan dalam perspektif hubungan keagenan. Tindakan

oportunistik yang dilakukan oleh prinsipal dan agen (Carr dan Brower, 2000)

ternyata terjadi pula dalam pelaksanaan SPIP di Satuan Kerja. Hubungan

keagenan dalam pelaksanaan SPIP dapat dijelaskan dalam posisi Kepala Satuan

Kerja sebagai agen terhadap Kepala Daerah (prinsipal) dan staf Satuan Kerja

(agen) terhadap Kepala Satuan Kerja (prinsipal). Tindakan oportunistik dan moral

hazard baik yang dilakukan oleh agen serta prinsipal menjustifikasi bahwa

pelaksanaan SPIP dalam kerangka tindakan tersebut.

Alasan yang paling rasional untuk memahami tindakan oportunistik dan

moral hazard dari pihak agen dan prinsipal adalah motif maksimilasi kepentingan

pribadi. Perilaku oportunistik dan menyimpang dalam pelaksanaan SPIP di

Satuan Kerja dapat dijelaskan secara sederhana melalui maksimalisasi

kepentingan pribadi. Eisenhardt (1989) menyebutkan asumsi sifat manusia salah


131

satunya adalah untuk kepentingan pribadi (self interest). Perilaku agen dan

prinsipal dalam pelaksanaan SPIP tidak lepas dari maksimalisasi kepentingan

pribadi. SPIP tidak bisa berjalan dengan baik apabila Satuan Kerja tidak bisa

menghilangkan atau mereduksi kepentingan pribadi dalam organisasi.

Tindakan staf, PPTK, PPK di Satuan Kerja dalam memaksimalkan

kepentingan pribadi dilakukan dengan mengambil selisih keuntungan atas

pembelian barang atau jasa. Kepala Satuan Kerja menggunakan wewenangnya

untuk memerintahkan staf melakukan mekanisme pengaturan keuangan akibat

“setoran komitmen” kepada Kepala Daerah dan tekanan dari pihak ekstern yang

ingin menikmati anggaran daerah. Pihak ekstern seperti aparat keamanan

pemerintah, LSM, wartawan, partai politik dan DPRD menggunakan kepentingan

pribadi atas nama organisasi untuk memperoleh bantuan keuangan yang

digunakan untuk operasional kegiatan atau bahkan untuk kepentingan individu.

Kepala Daerah sebagai pejabat politik yang diusung partai politik berusaha untuk

mengambil keuntungan untuk mengembalikan modal pada pemilihan langsung

dan melakukan tindakan yang menguntungkan kepentingan kelompok seperti tim

sukses dari partai politik pendukung. Satuan Kerja memahami dan

melaksanakan SPIP dalam kerangka motif ekonomi seperti yang dijelaskan

diatas. Tidak mengherankan perilaku menyimpang, kecurangan dan

penyalahgunaan anggaran bahkan korupsi di Indonesia semakin meningkat

walaupun telah dikeluarkan regulasi tentang pengendalian intern yang

diaplikasikan ke seluruh instansi.

Semua pihak mempunyai kepentingan untuk mengambil keuntungan bagi

dirinya sendiri apapun alasan yang ingin dipakai. Pelaksanaan SPIP Satuan

Kerja dapat dikatakan dalam kerangka mengakomodasi dan membiarkan praktik

tersebut terjadi. Ibarat aturan yang telah dibuat sekan-akan telah dilaksanakan
132

sesuai dengan regulasi formal tetapi meninggalkan esensi yang lebih penting dari

aturan tersebut. Dengan kata lain, SPIP adalah aturan formal yang dijalankan

oleh Satuan Kerja seperti yang ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah tetapi

esensi dari sistem pengendalian intern belum dapat dirasakan dalam praktiknya.

Bukti lain untuk melihat dan memahami realitas pelaksanaan SPIP dapat

diketahui atas persinggungan SPIP dengan budaya lokal Jawa yang pada salah

satu sisi menjadi faktor penghambat untuk pelaksanaannya. Negara Indonesia

berisi lebih dari 300 suku dengan etnis Jawa sekitar setengah dari populasi

Indonesia. Jawa telah menjadi komunitas etnis inti dalam keadaan beragam etnis

dan dominasi budaya sejak kemerdekaan. Kebudayaan Indonesia telah dibentuk

oleh budaya Jawa yang dipersepsikan pada dua presiden Indonesia, Sukarno

dan Suharto, yang menggunakan aturan pribadi sebagai bagian dari tradisi

budaya raja Jawa (Robertson-Snape, 1999). Penjelasan budaya terhadap

korupsi di Indonesia dapat dilihat pada bukti adat Jawa kuno berupa

persembahan hadiah kepada penguasa untuk menjelaskan fenomena suap

menyuap yang marak di Indonesia. Menurut logika budaya Jawa tersebut,

pertukaran hadiah adalah norma bisnis di Indonesia yang tidak boleh dianggap

korupsi. Nepotisme dan kolusi bisa dijelaskan dalam budaya tradisional Jawa

yang menganggap hubungan kekeluargaan lebih kuat dari kesetiaannya kepada

negara atau bisa dikatakan menjadi pegawai negara bersifat sekunder

dibandingkan keluarga atau komunitasnya. Perbandingan budaya yang mirip

dengan budaya Jawa terkait dengan perilaku korupsi pejabat adalah budaya

Korea (Dalton, 2005) dan Cina (Chow,2006).

Konfusianisme memberikan kontribusi dengan mentoleransi perilaku

korupsi dengan jalan disamarkan sehingga dapat diterima dalam konteks budaya

Korea. Penggunaan uang dalam segala aktivitasnya merupakan gambaran

budaya Cina yang dipraktekkan juga oleh pejabat pemerintah untuk mengambil
133

keuntungan diri sendiri, melakukan penggelapan dana publik, mengambil suap

dari warga yang membutuhkan bantuan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam

melaksanakan program pembangunan pedesaan. Studi Jacoby (2010)

memberikan pandangan berbeda tentang budaya lokal yang dikurangi

resistensinya sehingga perilaku korupsi dapat dikurangi dengan memberikan

petunjuk administrasi teknis perubahan ekonomi oleh negara negara Uni Eropa.

Pemahaman atas budaya Jawa diatas sebagai dasar dalam melihat

budaya “ngrosak” baik yang dilakukan oleh pihak ekstern maupun pihak intern

yang merefleksifkan bahwa melakukan perbuatan baik dalam birokrasi

pemerintah itu sulit. Budaya “ngrosak” merupakan bagian dari budaya Jawa

khususnya Jawa Timur sebagai keinginan untuk menikmati kemewahan birokrasi

Indonesia. Budaya “ngrosak” yang dilakukan oleh pihak ekstern maupun aparatur

pemerintah itu sendiri tidak akan terjadi apabila pelaksanaan SPIP terutama

dalam lingkungan pengendalian betul-betul berjalan yang ditandai dengan

komitmen pimpinan, kejujuran, integritas dan perilaku etis yang dilakukan dalam

birokrasi pemerintahan. Wartawan dan LSM yang sering “ngrosak” di Satuan

Kerja anggaplah seperti fungsi kontrol dari luar untuk melakukan tugasnya dalam

melakukan cross check program dan kegiatan. Satuan Kerja apabila benar-benar

menerapkan clean government tentu saja tidak perlu untuk takut kepada pers

dan LSM.

Rangkaian kejadian dalam pelaksanaan SPIP di Satuan Kerja mulai dari

pemahaman akan sistem pengendalian intern yang diterjemahkan sebagai

pengendalian rutin berdasarkan pengalaman sehari-hari, praktik pengaturan

keuangan, dilema etika aparatur pemerintah, budaya “ngrosak” dalam birokrasi,

belanja bantuan keuangan yang ruwet, inspektorat yang cuma menyalahkan

merupakan gambaran realitas sistem pengendalian yang berbenturan dengan

faktor politik, budaya dan birokrasi. Satuan kerja kebanyakan sudah


134

mempraktekan aturan atau mekanisme sistem pengendalian tetapi hanya pada

tataran teknis. Unsur lingkungan pengendalian yang merupakan hakikat dari

SPIP terutama tentang integritas dan nilai etika ternyata tidak bisa memberikan

energi positif untuk menjalankan sistem seperti yang pemerintah inginkan dalam

PP 60 tahun 2008. Laila (2010) menjelaskan dalam penyelenggaraan dan

keberhasilan SPIP di daerah tergantung pada komitmen dari Kepala Daerah.

Kepala Satuan Kerja sebagai orang yang dipercaya Kepala Daerah harus bisa

memberi komitmen untuk melaksanakan SPIP secara utuh.

Komitmen Kepala Daerah atau pemegang jabatan politis merupakan hal

yang terpenting dalam kesuksesan pelaksanaan SPIP. Kepala Daerah harus

mampu menciptakan lingkungan birokrasi yang bersih, jujur dan lepas dari

pengaruh politik dalam aktivitasnya sehari-hari. Permasalahan yang membelit

birokrasi di Indonesia selama ini yang akhirnya menyeret banyak Kepala Daerah

terjerat kasus korupsi, penyelewengan dana publik disebabkan masalah politik

transaksional yang membawa aparatur pemerintah sebagai PNS ikut ambil

bagian melakukan fraud. SPIP hanya sebagai salah satu alat sedangkan

aparatur pemerintah yang menjalankan sistem pengendalian intern. Kecanggihan

sistem pengendalian intern tidak akan dapat mengatasi permasalahan korupsi

yang melanda Indonesia tanpa diimbangi dengan akhlak budi pekerti yang

dijabarkan dalam lingkungan pengendalian sebagai pelaksanaan integritas dan

nilai etika.

7. 4. Ringkasan

SPIP sebagai sistem yang diadopsi dari COSO ketika diterapkan di sektor

publik perlu untuk dikaji ulang dalam pelaksanaanya. Bukan berarti SPIP gagal

untuk diterapkan dalam birokrasi di Indonesia melainkan perlu untuk

menyederhanakan dan mengakomodasi unsur politik, sosial dan budaya yang


135

terjadi di instansi yang berbeda. Budaya “ngrosak” merupakan realitas yang

diterima Satuan Kerja ketika mengakomodasi pihak-pihak eksternal dan internal

dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsinya. Budaya “ngrosak” menguatkan

praktik-praktik yang melemahkan sekaligus tantangan bagi SPIP dalam

penerapannya. Tindakan maksimilasi kepentingan pribadi dan budaya “ngrosak”

merupakan cermin pelaksanaan SPIP di Satuan Kerja untuk menyesuaikan

sistem pengendalian dengan realitas birokrasi Indonesia.

SPIP murni bisa dilaksanakan apabila unsur-unsur yang menghambat

seperti dijelaskan dalam Satuan Kerja dalam penelitian ini tidak mencampuri

urusan birokrasi pemerintahan. Maksimilasi kepentingan pribadi merupakan

pokok dari penjelasan teori keagenan yang menjelaskan perilaku pelaksanaan

SPIP. Tindakan yang dilakukan baik oleh Satuan Kerja dan pihak ekstern

membuktikan bahwa motif untuk mengambil keuntungan pribadi dapat dijelaskan.

Praktik-praktik korupsi, penyalahgunaan anggaran dan perilaku tidak etis lainnya

akan tereduksi apabila unsur-unsur politik, sosial dan budaya tidak mencampuri

operasional dari birokrasi pemerintahan.


BAB VIII

PENUTUP

8. 1. Simpulan

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah sesuai dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 merupakan adopsi dari COSO yang

diaplikasikan pada sektor publik di Indonesia untuk melakukan kontrol di segala

aktivitas dengan mengutamakan efisiensi dan efektivitas. Pemahaman tentang

arti Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dari aparatur pemerintah menjadi

sangat penting mengingat pemahaman antar individu yang berbeda akan

berakibat pada pelaksanaan pengendalian intern sehari-hari di Satuan Kerja.

Responden mengemukakan pemahaman dan arti Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah sesuai dengan apa yang telah dilakukan sehari-hari yang dianggap

sebagai pengendalian intern. Pengalaman dalam melaksanakan tugas mewarnai

dari pemahaman SPIP yang dikemukakan oleh responden akan esensi

pengendalian intern.

Pelaksanaan SPIP sejak tahun 2008 sampai sekarang sudah

disosialisasikan tetapi perilaku korupsi, penyalahgunaan anggaran dan

kecurangan yang ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi

Pemberantasan Korupsi semakin meningkat. Fenomena tersebut menjadi

menarik untuk dicari akar penyebabnya melalui sudut pandang politik, budaya

dan mentalitas aparat pemerintah menjadi titik kajian dalam pelaksanaan SPIP

pada salah satu Satuan Kerja di Jawa Timur.

136
137

Pelaksanaan pengendalian intern pada salah satu Satuan Kerja di Jawa

Timur terdapat fenomena perilaku aparatur pemerintah dalam menggunakan

APBD yang dikenal sebagai pengaturan keuangan. Pengaturan keuangan

menjadi kebiasaan pada pelaksanaan penatausahaan keuangan dan selama ini

tidak banyak diangkat dalam penelitian karena dianggap rahasia dan tabu untuk

dibahas. Fenomena pelaksanaan pengaturan anggaran yang biasa terjadi di

birokrasi pemerintah sedikit banyak menjelaskan masalah perilaku

penyimpangan anggaran yang semakin meningkat walaupun pemerintah telah

mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang pengendalian intern. Praktik

pengaturan keuangan dalam sistem birokrasi politik yang dominan dan

ketidakberdayaan aparatur pemerintah secara etika serta motif ekonomi dalam

birokrasi yang mendorong lemahnya pelaksanaan SPIP.

Dilema etika terjadi karena ketidakberdayaan aparatur pemerintah

terhadap intervensi politis yang terjadi di birokrasi pemerintah. Aparatur

pemerintah masih bisa membedakan baik dan buruk atas tindakan yang selama

ini dilakukan. Perilaku tidak etis aparatur pemerintah seharusnya tidak perlu

terjadi dengan mengembalikan fungsi utamanya untuk tunduk dan patuh kepada

kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau kelompok

tertentu yang cenderung untuk berbuat menyimpang.

Kendala pelaksanaan SPIP yang berkaitan dengan pihak ekstern seperti

partai politik menarik untuk dicermati seperti dijelaskan dalam pelaksanaan

Belanja Bantuan Keuangan Partai Politik yang ruwet. Satuan Kerja mempunyai

mekanisme dan pengendalian/kontrol yang jelas dimulai dengan tahap

perhitungan, mekanisme bantuan keuangan, pencairan dan laporan

pertanggungjawaban. Temuan BPK atas permasalahan bantuan keuangan partai

politik pada salah satu Satuan Kerja di Jawa Timur tidak serta merta merupakan

kelalaian Satuan Kerja dalam melaksanakan pengendalian intern melainkan ada


138

kekuatan secara politik yang menghambat mekanisme kontrol. Partai politik

seharusnya melaksanakan pertanggungjawaban bantuan keuangan seperti yang

diamanatkan undang-undang untuk membuat laporan pertanggungjawaban

penggunaan bantuan keuangan dengan melakukan pembukuan dan memelihara

bukti penerimaan dan pengeluaran atas dana bantuan keuangan.

Peran inspektorat yang cuma menyalahkan dan menghakimi Satuan

Kerja merupakan bagian dari belum optimalnya pelaksanaan SPIP di Satuan

Kerja. Satuan Kerja menginginkan keterlibatan inspektorat sebagai auditor

internal dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program

kegiatan. Fungsi konsultatif selama ini tidak berjalan padahal Satuan Kerja

sangat membutuhkannya.

Kerangka untuk menjelaskan perilaku oportunistik pada pelaksanaan

SPIP menggunakan teori agensi. Penjelasan tentang hubungan keagenan untuk

melihat perilaku oportunistik serta moral hazard yang dilakukan baik oleh agen

maupun prinsipal. Fokus utama dari tindakan tersebut adalah maksimilasi

kepentingan pribadi baik yang dilakukan oleh agen dan prinsipal dalam

melaksanakan SPIP. Kejadian yang menjelaskan pelaksanaan SPIP dapat

dilihat pada budaya “ngrosak” baik yang dilakukan oleh pihak ekstern dan

aparatur pemerintah dalam memanfaatkan APBD sebagai bagian dari konflik

kepentingan antara Satuan Kerja dengan wartawan, LSM dan aparatur

pemerintah sendiri. Kepentingan Satuan Kerja untuk tidak diganggu dengan

pemberitaan negatif dalam melaksanakan aktivitasnya dan kepentingan untuk

menikmati uang negara bagi pihak ekstern yang dijelaskan dalam budaya

“ngrosak” di birokrasi. Pelajaran sekaligus kritik bagi aparatur pemerintah di

Satuan Kerja dalam budaya “ngrosak” dapat dijelaskan pada fenomena

Tunjangan Hari Raya untuk Pegawai Negeri Sipil yang selama ini tidak

terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan.


139

8. 2. Saran

Satuan Kerja seharusnya melaksanakan SPIP secara substansi yang

tercermin dalam lingkungan pengendalian terutama penegakan integritas dan

nilai etika. Integritas dan etika merupakan kunci kesuksesan pelaksanaan SPIP

selain dari faktor komitmen atau keinginan yang kuat dari pimpinan. Kepala

Daerah harus mampu berkomitmen juga untuk menjamin terlaksananya birokrasi

yang bersih lepas dari intervensi politik, sosial dan budaya yang merusak atau

menghambat dalam pelaksanaan SPIP.

8. 3. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah: pertama, keterbatasan

penafsiran atau intepretasi peneliti. Perbedaan interpretasi antara peneliti dan

informan bisa dipahami berbeda dalam suatu kejadian atau fenomena. Peneliti

mengalami kendala dalam menganalisis dan mengambil kesimpulan terutama

jika fenomena yang tampak adalah fenomena yang bersifat tabu untuk

dibicarakan terutama terkait dengan kerahasiaan Satuan Kerja. Kedua,

keterbatasan data. Data penelitian ini hanya berupa data wawancara dan

observasi partisipan yang difokuskan pada pelaksanaan SPIP. Peneliti tidak

melakukan penelitian lebih jauh terhadap dampak pelaksanaan SPIP yang

berhubungan dengan pihak ekstern lainnya karena kerahasiaan Satuan Kerja

yang tidak bisa memberikan data-data sekunder untuk dianalisis. Ketiga,

keterbatasan metodologi penelitian. Metodologi yang peneliti gunakan mungkin

memiliki kelemahan sehingga memungkinkan ada fenomena yang tidak peneliti

lihat lewat perspektif yang peneliti gunakan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syukriy. 2009. Penelitian APBD: Pengantar untuk Agency Theory. Link
blog: http://syukriy.wordpress.com/2009/10/13/penelitian-dengan-topik-
apbd-pengantar-untuk-agency-theory/

Abdullah, Syukriy dan Jhon Andra Asmara. 2007. Perilaku Oportunistik Legislatif
dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris Atas Aplikasi Agency di
Sektor Publik. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 10 (1).

Albrecht, W Steve, Albrecht, Connan C & Albrecht, Chad O. 2006. Fraud


Examination. Canada. Thomson South-Western

Amudo, A. dan Inanga, E. L., 2009. Evaluation of internal control systems: A case
study from Uganda. International Research Journal of Finance and
Economics. Vol 3. h 124 –144.

Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener & Tina
Søreide. 2001. Corruption A Review of Contemporary Research. Chr.
Michelsen Institute Development Studies and Human Rights Report.

Ardianawati, W dan Puspita. 2012. Demoralisasi Birokrasi: (Fenomena Korupsi


Dan Red Tape Di Sektor Publik). Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan
Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN) ke-2 di Universitas Slamet
Riyadi, Surakarta

Audifax. 2008. Research: Sebuah Pengantar untuk "Mencari-Ulang" Metode


Penelitian dalam Psikologi. Yogyakarta. Penerbit Jalasutra.

Badara, Mu'azu Saida., dan Saidin, Siti Zabedah., 2013. Impact of the Effective
Internal Control System on the Internal Audit Effectiveness at Local
Government Level, Journal of Social and Development Sciences, Vol 4
No 1, h 16-23.

Baltaci, Mustafa dan Yilmaz, Serdar. 2006. Keeping An Eye On Subnational


Governments: Internal Control And Audit At Local Levels. The
International Bank for Reconstruction and Development/The World
Bank. Washington.

Bastian, I. 2006. Sistem Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.

Benedek, M. Szenténé, K. T., Béres, D., 2014. Internal Controls in Local


Governments, Public Finance Quarterly, 2014

140
141

Budiman, A. Roan, A dan Callan, V. 2012. Rationalizing Ideologies, Social


Identities and Corruption Among Civil Servants in Indonesia During the
Suharto Era. Journal Business Ethics (2013) 116:139–149

Burrel, G. Dan G. Morgan. 1994. Sociological Paradigms and Organisational


Analysis: Elements of The Sociology of Corporate Life. Ashgate
Publishing Limited. England.

Carr, Jered B. & Ralph S. Brower. 2000. Principled Opportunism: Evidence From
The Organizational Middle. Public Administration Quarterly (Spring):
109-138.

Chow, Gregory, C. 2006. Corruption and China’s Economic Reform in the Early
21st Century. International Journal Of Business, 11(3).

Christensen, T. and P. Laegreid. 2001. New Public Management. The Effects Of


Contractualism And Devolution On Political Control. Public Management
Review. Volume 3 Issue 1:73-94

Cressey, Donald R.1953. Others people money. A study in the Social Psychology
of Embezzlement. Montclair: Patterson Smith

Dalton, D. W. 2005. Corruption in Cultural Context: Contradictions Within the


Korean Tradition. Crime, Law & Social Change 43: 237–262

Defitri, SY. 2010. Kajian Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Jurnal Ilmiah
Advance. Volume 4 Nomor 2 Maret – Agustus

Downs, A. (1957). An Economic Theory of Democracy. Harper and Row: New


York.

Febriyanto, I. Dialektika Kebijakan Publik: Studi Komparasi Teori New Public


Management Dengan Good Governance Dalam Perspektif Kebijakan
Publik. Jurnal Ilmu Administrasi Negara.Volume 7. p 52-70

Filipovic, D., Podrug, N., Kristo, M. 2010. Assessment Of Relations Between


Stewardship And Stakeholder Theory. Annals of DAAAM for 2010 &
Proceedings of the 21 st International DAAAM Symposium, Vol. 21, No.
1.

Fischer, Frank. 2007. Handbook of Public Policy Analysis. Theory, Politics, and
Methods. CRS Press.

Funnell, W. 2011. Keeping Secrets ? Or What Government Performance Auditors


Might Not Need To Know. Critical Perspective On Accounting 22 :714-
721. Elsevier.
142

Gamar, Nur. 2014. “Wabah” Dalam Peran Auditor Internal Di Pemerintah Daerah.
Tesis (tidak dipublikasi). Program Magister Akuntansi Universitas
Brawijaya.

Garfinkel, Harold. 1967. Studies In Ethnomethodology. Prentice Hall, Inc.


Englewood Cliffs. New Jersey

Garfinkel, Harold. 1996. Ethnomethodology’s Program. Social Psychology


Quarterly. Volume 59 No. 1

Gauld, Robin. 2007. Principal-Agent Theory And Organisational Change Lessons


From New Zealand Health Information Management. Policy Studies. Vol.
28, No 1.

Gilardi, Fabrizio. 2001. Principal-agent Models go to Europe: Independent


Regulatory Agencies as Ultimate Step of Delegation. Paper presented at
the ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001.

Gyorgi, A., Gyorgy, A. C., 2010. Principal-Agent Relations Between Local


Authorities And Public Service Providers In Romania. Annals of DAAAM
for 2010 & Proceedings of the 21 st International DAAAM Symposium,
Vol. 21, No. 1.

Halim, Abdul dan Syukriy Abdullah. 2006. Hubungan dan masalah keagenan di
pemerintahan daerah: Sebuah peluang penelitian anggaran dan
akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64. Artikel ini juga
dimuat diblog berikut: http://kelembagaandas.wordpress.com/teori-
agensi-principal-agent-theory/abdul-halim-dan-syukriy-abdullah/.
Hindriani, Hanafi dan Domai. 2012. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Anggaran di Daerah (Studi
Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun). Wacana, Volume 15
Nomor 3

Huefner, Ronald J. 2011. Internal Control Weaknesses in Local Government


Evidence from Town and Village Audits. The CPA Journal.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan


Pengawasan Melekat

Jacoby, Tim. 2010. Turkey And Europe: Culture, Capital And Corruption. Review
of International Studies. Volume 36. p 663–684.

Jasin, M. (2013). Birokrasi Zero Korupsi. Jakarta. Penerbit Itjen News Inspektorat
Jenderal Kementerian Agama RI

Kamal, Mustofa. 2010. Harmonisasi Waskat Dengan SPIP. Diunduh di


http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/artikel/namafile/55/Harmonisasi_Waskat_
dg_SPIP.pdf
143

Kasim, Azhar. 2013. Bureaucratic Reform and Dynamic Governance for


Combating Corruption: The Challenge for Indonesia. International
Journal of Administrative Science & Organization, Volume 20, Number 1.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor


Kep/46/M.PAN/4/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan
Melekat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Kreikebaum, H. 2008. Corruption as A Moral Issue. Social Responsibility Journal.


Vol. 4. p 82-88

Lane, Jan-Erik. 2000. The Public Sector – Concepts, Models and Approaches.
London: SAGE Publications.

Ludigdo, U. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar.

Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 2000. Representation Or Abdication? How


Citizens Use Institutions To Help Delegation Succeed. European Journal
of Political Research 37: 291-307.

Mahmudi. 2003. New Public Management (NPM) : Pendekatan Baru Manajemen


Sektor Publik. Sinergi Kajian Bisnis dan Manajemen. Volume 6 No. 1.p
69-76

Mahmudi. 2010. Manajemen Kinerja sektor Publik. Edisi kedua. Yogyakarta : Unit
Penerbit dan Percetakan Sekolah tinggi Ilmu Manajemen YKPN

Mare, E. 2010. Financial Control System In Romania, Revista Academiei Fortelor


Terestre, Nr. 1 (57)

Marobela, M. 2008. New Public Management And The Corporatisation Of The


Public Sector In Peripheral Capitalist Countries. International Journal of
Social Economics. Volume 35 No. 6. p 423-434

Marquette, Heather Marquette. 2012. ‘Finding God’ Or ‘Moral Disengagement’ In


The Fight Against Corruption In Developing Countries? Evidence From
India And Nigeria. Public Administration And Development. Volume 32.

Matakovic, H. 2010. Development Of Political Parties And Party Funding:Models


And Characteristics. CES Working Papers – Volume VII, Issue 1

Mayston, D., 1993. Principals, Agents And The Economics Of Accountability In


The New Public Sector. Accounting, Auditing & Accountability Journal.
Vol. 6 No. 3

Megdal, S. B., 1983. The determination of local public expenditures and the
principal and agent relation: A case study. Public Choice 40: 71-87
144

Moeller, Robert R., 2007. COSO Enterprise Risk Management:


Understanding The New Integrated ERM Framework. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc

Moleong, L. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya.


Bandung

Mulyani dan Suryawati. 2011. Analisis Peran Dan Fungsi Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah (SPIP/PP No.60 Tahun 2008) Dalam Meminimalisasi
Tingkat Salah Saji Pencatatan Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah.
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 7 Nomor 2

Mwangi, O. G. 2008. Political Corruption, Party Financing And Democracy in


Kenya. Journal of Modern African Studies, 46, 2 (2008), pp. 267–285.

Nam-Katoti, Wilbert. 2011. Financing Political Parties In Ghana. Journal of


Applied Business and Economics vol. 12(4) 2011

Nielsen, P.R. 2003. Corruption Networks And Implications For Ethical Corruption
Reform. Journal of Business Ethics 42. Netherlands

Nolan, Lord. 1998. Just And Honest Government. Public Administration And
Development. Volume 18, p 447-455.

Olach, Tom dan Weeramantri, Shayamini. 2009. How COSO has Improved
Internal Controls In The United States. Internal Auditing. Nov/Des 2009

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian


Intern Pemerintah. Jakarta, Kementerian Hukum dan HAM

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006Tentang Pedoman


Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta, Kementerian Dalam Negeri

Petrie, M. 2002. A Framework For Public Sector Performance Contracting. OECD


Journal on Budgeting 2: 117-153.

Podrug, N.,Filipovic, D., Milic, S. 2010. Critical Overview Of Agency Theory.


Annals of DAAAM for 2010 & Proceedings of the 21 st International
DAAAM Symposium, Vol. 21, No. 1.

Pollitt, C. 2000. Is The Emperor In His Underwear ? An Analysis Of The Impacts


Of Public Management Reform. Public Management. Volume 2 issue 2. p
181-199

Pratiwi, W. 2012. Analisis Penerapan Sistem Pengendalian Intern (Studi Kasus :


Pemerintah Kabupaten Bungo). Jurnal Ekonomi STIE Haji Agus Salim
Bukittinggi Vol. XII, No. 2, September 2012.
145

Preston, Noel. 1999. Ethics And Government: Preliminary Considerations.


Australian Journal of Public Administration. Volume 58(4).

Raho, B. 2007. Teori sosiologi Modern. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit Prestasi
Pustaka.

Ramos, Michael. 2004. Evaluate the Control Environment. AICPA Article.

Reginato,E., Paglietti, P., Fadda, I. 2011. Formal or Substantial Innovation:


Enquiring the Internal Control System Reform in the Italian Local
Government. International Journal of Business and Management Vol. 6 No.
6; June 2011

Robertson-Snape, Fiona. 1999. Corruption, collusion and nepotism in Indonesia.


Third World Quality, Vol 20, No 3, pp 589-602

Sari, D. 2012. Pengaruh Pengendalian Internal Terhadap Transparansi Laporan


Keuangan Pemerintah Daerah. Proceedings Seminar Nasional Akuntansi
dan Bisnis. Bandung.

Schillemans,T. 2013. Moving Beyond The Clash Of Interests On stewardship


theory and the relationships between central government departments and
public agencies. Public Management Review Vol. 15, No. 4, 541-562.

Sukoharsono, E.G. 2006. Alternatif Riset Kualitatif Sains Akuntansi: Biografi,


Phenomenologi, Grounded Theory, Critical Ethnografi dan Case Study.
Analisis Makro dan Mikro Jembatan Kebijakan Ekonomi Indonesia. Badan
Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Supriyanto, Didik dan Wulandari, Lia. 2012. Bantuan Keuangan Partai Politik.
Metode Penetapan Besaran, Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan.
Jakarta : Yayasan Perludem.

Triyuwono, I. 2011. “Sususaya” Melampaui Paradigma-Paradigma Metodologi


Penelitian. Accounting Research Training Series 2 FEB UB. 7-8 Desember:
1-15.

Triyuwono, I. 2013. (Makrifat) Metode Penelitian Kualitatif (Dan Kuantitatif) Untuk


Pengembangan Disiplin Akuntansi. Simposium Nasional Akuntansi XVI
Manado. 25-27 September: 1-14.

Van Slyke, D. M., 2006. Agents or Stewards: Using Theory to Understand the
Government-Nonprofit Social Service Contracting Relationship. Journal of
Public Administration Research and Theory. Vol. 17:157–187
146

Wallace, W. A. 1981. Internal Control Reporting Practices in the Municipal Sector.


The Accounting Review Vol. Lvl. No. 3, July 1981

Wilopo. 2006. Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap


Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi Pada Perusahaan Publik
Dan Badan Usaha Milik Negara Di Indonesia. Simposium Nasional
Akuntansi 9 Padang.

Wolfe, David T., Dana R. Hermanson. 2004. The fraud diamond: Considering the
Four Elements of Fraud. The CPA Journal, 38-42.

Yudi, E.G. Sukoharsono, D.P Affandy. 2010. Studi Fenomenologis Terhadap


Pelaksanaan Pengendalian Akuntansi Sektor Publik pada Satuan Kerja
Pengelola Keuangan Daerah kota Pusako di Provinsi Jambi dalam
Pemahaman Functionalism Structural Parsons.
http://smartaccounting.files.wordpress.com.

Zekos, Georgios, I. 2004. Ethics Versus Corruption in Globalization. The Journal


of Management Development. Volume 23.

Anda mungkin juga menyukai