Anda di halaman 1dari 19

PENINGKATAN KUALITAS KEBERAGAMAAN ANAK ANAK DAN REMAJA DI

DESA BANJAR MALAYU KECAMATAN BATANG NATAL KABUPATEN


MANDAILING NATAL

KELOMPOK : 12

DESA : Banjar Malayu

KECAMATAN : Batang Natal

KABUPATEN : Mandailing Nata

ANGGOTA KELOMPOK
No NAMA NIM JABATAN
1 SAIFUL SALIM MARBUN 2030200015 KORDES
2 ALI YAHYA MUHTADIN HRP 1940200161 WAKIL
KORDES
3 YUSNITA DAMAYANTI DAULAY 2020100003 SEKRETARIS
4 SILVI ANGGRI WATI POHAN 2040200138 BENDAHARA
5 MUHAMMAD ALI RIDWAN 2020100133 ANGGOTA
6 SAMSIUS HARAHAP 2020100091 ANGGOTA
7 JULYANA RAMBE 2020500100 ANGGOTA
8 AYU LESTARI SIREGAR 1920500171 ANGGOTA
9 SURYA MAHARANI HARAHAP 2010100022 ANGGOTA
10 MAISARO SIAGIAN 2020800020 ANGGOTA
11 NUR ASIAH HASIBUAN 2021000006 ANGGOTA
12 IMELDA MONIKA 2040100005 ANGGOTA
13 RESMINA RAMBE 1940200241 ANGGOTA
UIN SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY PADANGSIDIMPUAN

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM)

TAHUN 2023
PENINGKATAN KUALITAS KEBERAGAMAAN ANAK ANAK DAN REMAJA DI
DESA BANJAR MALAYU KECAMATAN BATANG NATAL KABUPATEN
MANDAILING NATAL

Abstarak
Agama memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat khususnya di
Indonesia.Yang mana hal ini di jelaskan didalam salah satu isi ideologi bangsa Indonesia
yaitu Pancasila. Pada Sila yang pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini
menekankan pada fundamen etis religius dari negara Indonesia yang bersumber dari moral
ketuhanan yang diajarkan agama-agama dan kenyakinan yang ada. Sila ini sekaligus berperan
sebagai pengakuan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat Indonesia. Agama
sesungguhnya menjadi alat pengontrol moral bangsa. Menurut bahasa sansekerta agama
diartikan sebagai peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang
dihadapinya dalam hidup, bahkan menjelang matinya. Selain membantu orang dari
kebingungan dunia dan memberikan jawaban tentang berbagai permasalahan, agama juga
memberikan kekuatan moral. Moral agama pada masyarakat sesungguhnya merupakan alat
pengontrol untuk berkehidupan yang baik.

Kata kunci : Peningkatan Kualitas Keberagamaan Anak Anak Dan Remaja

Abstract

Religion plays an important role in people's lives, especially in Indonesia. This is explained
in one of the contents of the Indonesian nation's ideology, namely Pancasila. The first precept
is "Belief in the One and Only God". This principle emphasizes the religious ethical
fundamentals of the Indonesian state which originate from the divine morals taught by
existing religions and beliefs. This precept also serves as an acknowledgment of the existence
of God Almighty for the people of Indonesia. Religion is actually a means of controlling the
nation's morals. According to Sanskrit, religion is defined as rules that can free humans from
the chaos they face in life, even before death. Apart from helping people out of the world's
confusion and providing answers to various problems, religion also provides moral strength.
Religious morality in society is actually a controlling tool for a good life.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dibekali oleh Allah beberapa potensi dasar yang sangat membantu manusia
dalam melakukan kegiatan-kegiatan hidupnya. Potensi tersebut berupa potensi ragawi atau
fisik, potensi nalar atau akal, dan potensi hati nurani atau qalbu. Kebutuhan pengembangan
ketiga potensi dasar manusia tersebut akan memberikan kualitas manusia yang utuh.
Disitulah pentingnya peranan agama dan moral. Dan apabila pengembangan potensi dasar
tersebut tidak dilakukan secara seimbang dan harmoni maka akan menimbulkan gejala-gejala
sekunder aspek kejiwaan dan rohani, seperti munculnya manusia pecah kepribadian dan krisis
dimensi, contohnya manusia privat dan egosentris. Agama yang dianggap sebagai suatu jalan
hidup bagi manusia (way of life) menuntun manusia agar hidupnya tidak kacau. Agama
berfungsi untuk memelihara dan mengatur integritas manusia dalam membina hubungan
dengan Tuhan hubungan dengan sesama manusia dan dengan alam yang mengintarinya.

Dalam bidang psikologi, anak merupakan manusia laki-laki atau perempuan yang
belum mencapai tahap dewasa secara fisik dan mental, atau setidaknya belum mencapai
masa pubertas. Anak dikategorikan berada pada usia-usia masa bayi hingga masa-
masa sekolah dasar, atau bahkan hingga masa remaja tergantung penggolongannya. Dalam
bidang tersebut, anak laki-laki dapat disebutnjaka atau cowok, sedangkan anak perempuan
dapat disebut gadis atau cewek. Anak merupakan buah hati kedua orang tua tanpa
memedulikan usianya. Dalam bidang yang sama, anak laki-laki disebut juga putra, sedangkan
anak perempuan disebut juga putri. Dalam sistem hukum di Indonesia, terutama menurut
Undang-Undang Perlindungan Anak, anak merupakan "seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan". Penggolongan ini
terutama penting dalam proses hukum dan pengadilan di Indonesia, di mana
seorang kriminal yang dikategorikan sebagai anak akan diadili dalam pengadilan khusus yang
disebut Pengadilan Anak.

Remaja adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa.


Anak-anak jelas kedudukannya, yaitu yang belum dapat hidup sendiri, belum matang dari
segala segi, tubuh masi kecil, organ-organ belum dapat menjalankan fungsinya secara
sempurna, kecerdasan, emosi dan hubungan sosial belum selesai pertumbuhannya. Masa
remaja merupakan periode dimana individualisme semakin menampakkan wujudnya, pada
masa tersebut memungkinkan mereka untuk menerima tanggung jawab atas perilaku mereka
sendiri dan menjadi sadar terlibat pada perkara hal, keinginan, cita-cita yang mereka pillih.
Masa muda merupakan tahap yang penting dalam pertumbuhan religious. Para remaja
membutuhkan sosok pelindung yang mampu diajak berdialog dan berbagi rasa.

Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seorang yang
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan bentuk kepercayaannya. Religiusitas
atau sikap keagamaan yang dimiliki oleh seorang individu terbentuk oleh teradisi keagamaan
merupakan bagian dari pernyataan jati diri individu tersebut dalam kaitan dengan agama yang
dianutnya. Religiusitas menurut Japar dapat dimaknakan sebagai kualitas penghayatan
seseorang dalam beragama atau dalam memeluk agama yang diyakininya, semakin dalam
seseorang dalam beragama makin religius dan sebaliknya semakin dangkal seseorang dalam
beragama akan makin kabur.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan keberagaman ?
2. Bagaiman Perilaku keberagamaan anak anak dan remaja desa banjar malayu ?
3. Bagaimana upaya Peningkatan kualitas Keberagamaan anak anak dan remaja di desa
banjar malayu ?
4. Apa saja Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberagamaan ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Upaya Peningkatan kualitas Keagamaan


anak anak dan remaja di desa banjar malayu kecamatan batang natal kabupaten mandailing
natal serta bagaimana perilaku Keberagamaan anak anak dan remaja di desa banjar malayu
kecamatan batang natal kabupaten mandailing natal dan apa saja Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Keberagamaan.
BAB II

TEORI

A. Peningkatan

Peningkatan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah “proses, cara,


perbuatan meningkatkan.” Peningkatan yang dimaksud dari penulis adalah proses atau
perbuatan meningkatkan kualitas Keberagamaan anak anak dan remaja di desa banjar malayu
kecamatan batang natal kabupaten mandailing natal.1

B. Sikap Keagamaan

Sikap keagamaan berasal dari 2 kata yakni sikap dan keagamaan. Sikap adalah
“kecenderungan yang relative menetap untuk beraksi dengan cara baik atau buruk terhadap
orang atau barang tertentu”. Sedangkan pengertian agama adalah kepercayaan kepada Tuhan
yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta.
Dalam pandangan fungsionalisme, agama (religion atau religi) adalah satu system yang
kompleks yang terdiri dari kepercayaan, keyakinan, sikap sikap dan upacara-upacara yang
menghubungkan individu dengan satu keberadaan wujud yang bersifat ketuhanan. Jadi sikap
keagamaan seseorang dapat terbentuk hasil dari pemahaman dan pengalaman seseorang
dalam beragama.

C. Anak Anak

Anak dikategorikan berada pada usia-usia masa bayi hingga masa-masa sekolah
dasar, atau bahkan hingga masa remaja tergantungpenggolongannya. Dalam bidang tersebut,
anak laki-laki dapat disebutnjaka atau cowok, sedangkan anak perempuan dapat disebut gadis
atau cewek. Anak merupakan buah hati kedua orang tua tanpa memedulikan usianya. Dalam
bidang yang sama, anak laki-laki disebut juga putra, sedangkan anak perempuan disebut juga
putri. Dalam sistem hukum di Indonesia, terutama menurut Undang-Undang Perlindungan
Anak, anak merupakan "seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan".

D. Remaja

Masa remaja (adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa kanak-
kanak hingga masa dewasa yang mencakup perubahanperubahan biologis, kognitif, dan sosial

1
Kamisa, “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia” (Surabaya:Kartika, 1997), h. 68
emosional. Masa remaja adalah masa puber dan sudah akil baligh, dimana perkembangan
fisik dan mental mereka mengalami perubahan yang cepat sekali. Mulainya masa remaja atau
akal baligh antara anak yang satu dengan anak yang lain sering berbeda, terkadang selisih
satu atau dua tahun.Menurut Dr. Zakiah Daradjat dalam bukunya kesehatan
mentalmengemukakan bahwa Masa remaja adalah masa peralihan diantara masa anak-anak
dan masa dewasa, dimana anak-anak mengalami pertumbuhan cepat dalam segala bidang,
mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap, cara berpikir dan bertindak, tetapi
bukan pula orang dewasa yang telah matang.2

Remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari kata dalam bahasa Latin
“adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan dewasa.
Santrock (2003), remaja adalah masa perkembangan transisi antaramasa kanak-kanak dan
masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitifdan sosial-emosional. Papalia dan
Olds (2008), masa remaja merupakan suatu tahap perkembangan antara masa kanak-kanak
dan masa dewasa yang mengandung perubahan besar fisik, kognitif, dan psikososial.Menurut
Rice (dalam Gunarsa, 2004), masa remaja adalah masa peralihan, ketika individu tumbuh dari
masa anak-anak menjadi individu yang memiliki kematangan. Menurut World Health
Organization 1974 remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama
kali ia menunjukkan tandatanda seksualitas sampai saat ini mencapai kematangan
seksualitasnya, individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-
kanak menjadi dewasa, dan terjadi peralihan dari ketergantungan sosial yang penuh, kepada
keadaan yang relative mandiri (Sarwono, 2004).

22
Ida Uami, “Psikologi Remaja”,( Yogyakarta JL. Amarta Diro RT 58 Pendowoharjo Sewon Bantul, 2019 ) hlm 5
BAB III

METODELOGI

Metode penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan secara bertahap mulai dari
penentuan topik, pengumpulan data, dan analisa data. Hal ini harus dilakukan bertahap
karena berlangsung mengikuti suatu proses tertentu sehingga langkah-langkah tersebut perlu
dilalui sebelum melangkah pada tahap berikutnya.

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini bersifat penelitian lapangan dengan memanfaatkan metode


kualitatif. Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan di kancah atau medan
terjadinya gejala. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari seseorang yang dapat diamati. Adapun jenis
penelitian kualitatif ini termasuk penelitian partisipatoris. Menurut Agus Afandi penelitian
partisipatorik yaitu merupakan penelitian yang melibatkan secara aktif semua pihak-pihak
yang relevan dalam nengkaji tindakan yang sedang berlangsung (dimana pengalaman mereka
sendiri sebagai persiapan) dalam rangka melakukan perubahan dan perbaikan ke arah yang
lebih baik. Disebut penelitian partisipatoris karena peneliti ada di dalam lingkungan itu.3

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan Psikologi Agama dengan
memperhatikan fenomena keberagamaan (religiosity). Konsep religiusitas pun sangat
beragam. Konsep yang diambil penulis adalah konsep yang dirumuskan oleh ahli psikologi
dan sosiologi C.Y Glock dan R. Stark, yakni bahwa untuk menjelaskan tingkat keberagamaan
seseorang secara ilmiah, ada beberapa dimensi yang bisa dijadikan indikasi, yaitu; dimensi
keyakinan, dimensi ritual agama, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan agama, dan
dimensi konsekuensi.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian lapangan, penulis menggunakan metode pengumbulan


data yang terbagi atas :

a. Interview

3
Zuchri Abdussamad, “Metode Penelitian Kualitatif,,( CV, Syakir Media Press, 2021 ) hlm 30
Interview ialah teknik pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab secara
langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber atau informan untuk
mendapatkan informasi. Pada teknik pengumpulan data ini akan penulis gunakan, untuk
wawancara dengan lembaga pendidikan keagamaan anak Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah
Kajen.

b. Observasi Langsung

Observasi langsung adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami,


mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena sosial-keagamaan (perilaku, kejadian-
kejaadin, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa
memengaruhi fenemona yang diobservasinya dengan mencatat, merekam, memotret
fenomena tersebut guna penemuan data analisis.

c. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Maksud tertentu itu adalah
guna mendapatkan informasi mengenai orang, kejadian, organisasi, proses dan sebagainya.
Dengan wawancara peneliti akan mengetahui lebih mendalam tentang hal-hal tersebut.
Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakukan
melalui tatap muka (face to face) maupun dengan menggunakan telepon. Wawancara penulis
lakukan terhadap pengasuh (ustadz Abu Shokhib), para guru, santri dan masyarakat sekitar.
Wawancara yang penulis lakukan meliputi metode yang dilakukan dalam upaya
meningkatkan kualitas keberagamaan anak anak dan remaja di desa banjar malayu kecamatan
batang natal kabupaten mandailing natal.4

4
Abdullah, “ Berbagi Metodologi Dalam Penelitian Pendidikan Dan Manajemen,” ( Gunadarma Ilmu Samata
Gowa,2018 ) hlm.3
BAB IV

PEMBAHASAN / HASIL PENELITIAN

A. Pengertian Keberagamaan

Keberagamaan (religiusitas) berasal dari kata religi yang jika dalam bahasa Latin
menjadi “religio” yang berarti mengikat. Mengikat dalam arti bahwa setiap agama pada
umumnya memiliki seperangkat aturan dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan
oleh pemeluknya. Hal ini berfungsi untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam
hubungannya dengan tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar.

Adapun pendapat lain menyebutkan jika keberagamaan (religiusitas) adalah sebuah


perilaku yang berupa penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang dapat dilihat dan ditandai
tidak hanya melalui ketaatan ritual dalam beribadah, namun juga dengan adanya keyakinan,
pengalaman, dan pengetahuan mengenai agama yang dianutnya. Sebuah agama yang dipeluk,
dipraktekkan dan dihayati oleh manusia itu juga dimaksud dengan keberagamaan
(religiusitas). Salah satu fakta dari adanya keberagamaan adalah dimensi yang dapat
menyentuh emosi dan jiwa pada sebuah individu. Jadi bisa disimpulkan bahwa keberagamaan
yang baik akan mempengarihi jiwanya sehingga menjadi jiwa yang sehat dan membentuk
kepribadian yang kokoh dan seimbang.

Dari pemapaaran di atas dapat ditarik kesimpulan jika keberagamaan (religiusitas)


merupkan bentuk ukuran dari kualitas orang yang beragama, dan agama sebagai wadah yang
mengatur tata cara ritual penyembahan manusia kepada tuhannya. Keberagamaan sendiri
berkembang dari usia dini melalui proses perpaduan antara potensi bawaan keagamaaan
dengan pengaruh yang datang dari luar diri manusia. Selain itu keberagamaan juga sangat
dipengaruhi dengan pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada masa
kecil agar dapat dibawa dan diperaktekkan hingga dewasa nanti.

Ada sebuah konsep tentang keberagamaan yang sekarang ini dianut banyak ahli
Psikolog dan Sosiolog iyalah konsep yang dirumuskan dari Glock dan Stark yang
menyatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah komitmen beragama, yang dijadikan
sebagai kebenaran beragama, dimana perilaku dan emosi serta pengalaman yang terjadi itu
didasari oleh agamanya, serta bagaimana seseorang hidup dan terpengaruh berdasarkan
agama yang dianutnya.
Perkembangan keberagamaan ini sangat penting untuk digali mulai dari usia dini,
yaitu dari usia kanak-kanak. Pada perkembangan keberagamaan masa kanak-kanak ini, yang
paling penting adalah mutu pengalaman yang berlangsung lama dengan orang-orang dewasa
yang berarti dan penting bagi mereka. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari Sigmund Frued,
bahwa tuhan tidak lain adalah orang tua yang diproyeksikan. Jadi tuhan pertama anak-anak
adalah orang tuanya, yang terdiri dari Bapak dan Ibu. Karena dari lingkungan yang penuh
kasih sayang yang diciptakan oleh orangtua, maka akan lahir pengalaman keagamaan yang
mendalam.

Sebagaimana yang dikutip oleh M. Nurhadi Pada buku The Development of Religious
of Children karya dari Ernest Harms mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-
anak melalui tiga fase, berikut diantaranya:

1. Fase Dongeng (The Fairy Tale Stage)

Pada fase ini dimulai pada anak usia 3-6 tahun, pada masa ini konsep mengenai tuhan
masih dipengaruhi oleh emosi dan fantasi yang diperoleh dari dongeng, hal ini yang menjadi
dominasi pemikiran anak terhadap ajaran agamanya.

2. Fase Kenyataan (The Realistic Stage)

Fase ini terjadi ketika anak mulai menginjak masuk Sekolah Dasar hingga ke masa
usia remaja. Pada maasa ini konsep tentang Tuhan sudah mulai berdasarkan kepada
kenyataan. Konsep ini dipengaruhi dan timbul oleh adanya lembaga keagamaan atau orang
dewasa yang berada di sekelilingnya Ide keagamaan anak pada fase ini didasarkan dorongan
emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.

3. Fase Individual (The Individual Stage)

Pada masa ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan
perkembangan usia mereka. Jadi pada masa ini anak sudah mempunyai pemikiran yang khas
sesuai dengan pemahaman agama yang sudah diketahui dan dimengertinya.

Jadi dapat disimpulkan jika keberagamaan (religiusitas) merupakan bentuk ukuran


dari kualitas orang yang beragama, yang muncul dari proses perpaduan antara potensi
bawaan keagamaaan dengan pengaruh yang datang dari luar. Keberagamaan sudah
berkembang mulai dari usia dini yang dapat dipengari dari ada tiga fase diatas yaitu fase
dongeng, fase kenyataan dan fase individu.
A. Perilaku Keberagamaan Anak Anak Dan Remaja Desa Banjar Malayu

Agama dipeluk dan dihayati oleh manusia, praktek dan penghayatan agama tersebut
di istilahkan sebagai keberagamaan (religiusitas). Keberagamaannya, manusia menemukan
dimensi terdalam dirinya yang menyentuh emosi dan jiwa. Oleh karena itu, keberagamaan
yang baik akan membawa tiap individu memiliki jiwa yang sehat dan membentuk
kepribadian yang kokoh dan seimbang. Agama bersumber pada wahyu Tuhan. Oleh karena
itu, keberagamaan pun merupakan perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung
kepada wahyu Tuhan juga.5

Keberagamaan memiliki beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain


dimensi pertama adalah aspek kognitif keberagamaan, dua dari yang terakhir adalah aspek
behavioral keberagamaan dan yang terakhir adalah aspek afektif keberagamaan. Oleh karena
itu, setiap muslum baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak haruslah didasarkan pada
nilai dan norma ajaran Islam. Bagi seorang muslim, keberagamaan dapat dilihat dari seberapa
dalam keyakinan, seberapa jauh pengetahuan, seberapa konsisten pelaksanaan ibadah ritual
keagamaan, seberapa dalam penghayatan atas agama Islam serta seberapa jauh implikasi
agama tercermin dalam perilakunya. Dalam Islam, keberagamaan akan lebih luas dan
mendalam jika dapat dirasakan seberapa dalam penghayatan keagamaan seseorang.

Keberagamaan dalam Islam tidak hanya diwujudkan dalam bentuk ritual ibadah saja
namun juga aktifitas lainnya. Sebagai sistem yang menyeluruh, Islam mendorong
pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula. Dimensi keyakinan dapat disejajarkan
dengan akidah, keyakinan manusia terhadap rukun iman, kebenaran agama dan masalah-
masalah gaib yang di ajarkan agama.6

Dimensi praktek agama disejajarkan dengan syariah menunjuk pada seberapa jauh
kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana
diperintahkan oleh agama. Syariah adalah peraturan yang diciptakan pokoknya agar manusia
berpegang kepadanya dalam melakukan hubungan dengan Tuhan, dengan saudara sesama
muslim, dengan saudara sesama manusia, dalam alam semesta dan dengan kehidupan.
Dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlaq, berkaitan dengan kegiatan seseorang dalam
merealisasikan ajaran agama. Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa

5
Nurhasnah, Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta, Aswaja Pressido 2018) hlm 12
6
Sandra handayani DKK, “Dinamika Perkembangan Remaja Problematika Dan Solusi”, ( Jl.Tambra Raya No. 23
Rawaangun. Jakarta 2020 ), hlm 3
jauh keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran agamanya. Dimensi pengetahuan
agama menunjuk pada seberapa jauh pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap
ajaran-ajaran agamanya. Dimensi pengamalan atau penghayatan menunjuk pada seberapa
jauh seorang muslim merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-
pengalaman religius.

Dari pembahasan di atas, yang dimaksud dengan keberagamaan dalam penelitian ini
adalah perilaku seseorang yang didasarkan pada keyakinan, pengetahuan, ajaran-ajaran,
aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku dan sesuai dengan agama yang diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.

B. Upaya Meningkatkan Kualitas Keberagamaan Anak Anak Dan Remaja Desa


Banjar Malayu

Kualitas itu sangat penting dan tentu saja tidak dikecualikan dalam beragama. Banyak
orang yang sudah sekian lama menganut agama, namun ternyata tidak mudah meraih kualitas
yang diinginkan, dan bahkan termasuk yang diinginkan oleh yang bersangkutan sendiri.
Mereka ingin meraih kualitas terbaik, namun apa yang diinginkan ternyata tidak mudah
tercapai. Bukan persoalan tidak mampu menjalankannya, tetapi karena tidak memiliki
dorongan untuk melaksanakannya.

Seharusnya dengan beragama, semua yang mencakup tentang kualitas diri seseorang
dan bahkan tentang ringkasan dengan orang lain, semunya berhasil terselesaikan. Sebagai
buah dari keberagamaannya, seseorang seharusnya memiliki sifat sabar, jujur, berdisiplin,
ikhlas, tanggung jawab, amanah, bijak, dan berbagai sifat terbaik lainnya yang kemudian
selalu berhasil berperilaku dalam kehidupan sehari-hari secara istiqomah. Dengan demikian,
ketika yang bersangkutan berada di mana, dan menduduki posisi apa, selalu tampak yang
terbaik.

Demikian pula sebaliknya, seseorang yang disebut berhasil menyelesaikan urusan


dirinya sendiri sebagai buah keberagamaannya, tidak akan memiliki sifat tamak, dengki, iri
hati, bakhil, permusuhan, fitnah memfitnah, sombong dan sifat-sifat kurang terpuji lainnya.
Akan tetapi pada kenyataannya, hingga di tempat-tempat yang dikembangkan dan bahkan
pelayanan kehidupan beragama sendiri masih belum terselesaikan. Akibat sifat dengki, iri
hati, hasut, permusuhan, dan lain-lain, pada komunitas beragama meskipun masih terjadi
perebutan, konflik, saling menjatuhkan dan sejenisnya. Maka artinya, meraih kualitas
beragama yang terbaik ternyata tidak selalu mudah. Dengan itu upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan kualitas keberagamaan anak anak dan remaja adalah sebagai berikut :

1. Pemantapan beraqidah dengan mengarahkan anak anak dan remaja untuk


memiliki kemantapan bertauhid, yaitu kemantapan pengakuan akan Ke-Esaan
Allah swt.
2. Pemantapan beribadah dengan mengerjakan ibadah wajib dan ibadah sunat
sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Al-Hadits, dan tidak lagi menganggap
nya sebagai kewajiban, akan tetapi sudah merupakan kebutuhan.
3. Pemantapan berakhlak mulia dengan pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan akhlak mulia meliputi:
a) Pemantapan akhlak terhadap Allah swt. diwujudkan dengan
mendirikan shalat.
b) Pemantapan akhlak terhadap Rasulullah saw. menghayati bagaimana
cara yang lebih baik dan tepat mencintai, menghormati, dan
memuliakan Rasulullah saw. sebagai penerima wahyu dari Allah swt.,
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, serta rahmat bagi
seluruh alam.
c) Pemantapan akhlak terhadap diri sendiri tidak menjolimidiri sendiri.

Orang beragama dianjurkan agar menjalin hubungan tali sillaturrahmi, membangun


kedekatan antar sesama, saling mengenal, memahami, menghargai, berkasih sayang, dan
selanjutnya saling bertolong menolong, namun yang terjadi bisa saja justru sebaliknya.
Banyak orang, dan bahkan di antara mereka yang seagama, masih menganggap hal biasa
terlibat saling menyalahkan, merendahkan, menghina, dan lainnya. Hal demikian tersebut
lagi-lagi menunjukkan bahwa kualitas beragama masih perlu selalu dipupuk, ditumbuhkan,
dan ditingkatkan secara terus menerus.7

Untuk meningkatkan kualitas keberagamaan itu sendiri sebenarnya telah tersedia


pendekatan yang seharusnya dijalankan. Secara spiritual misalnya, beragama dianjurkan agar
selalu mengingat Allah dan Rasul-Nya, menjalankan shalat lima waktu, menunaikan zakat,
berpuasa di Bulan Ramadhan, naik haji bagi mereka yang berkemampuan, dan lain-lain.
Akan tetapi pada kenyatanya, kegiatan ritual yang dimaksudkan itu ternyata juga belum

7
Zainal Abiding, Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti, ( Jakarta Selatan, Fatmawati, 2021 ) hlm 34
selalu menghasilkan sifat dan perilaku yang dipandang ideal sebagaimana dijelaskan dalam
ajaran agama yang dipeluknya itu.

Demikian pula dengan orang lain atau antar sesama, dalam ajaran agama diberikan
petunjuk tentang hak-hak dan kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Di dalam beragama
diajarkan dari hal sederhana tetapi mendasar, mulai tentang bagaimana berkeluarga,
bertetangga, berkelompok, dan bahkan juga bernegara. Termasuk dalam hubungan dengan
orang lain, agama mengajarkan berbagai hal tentang harta kekayaan, kewajiban terhadap
orang yang lemah, seperti anak yatim, orang miskin, terhadap sesama yang mengalami
kesulitan dalam perjalanan, menegakkan keadilan, dan orang lain. Manakala semua hal
dijalankan dan selalu pedoman, maka sebenarnya beragama dijadikan pintu atau jalan masuk
menuju kehidupan yang terbaik.

Namun gambaran yang begitu indah dan mulia tersebut ternyata tidak selalu mudah
dijalankan di dalam berbagai kehidupan, baik pribadi maupun bersama-sama di tengah
masyarakat. Hal demikian itu tentu banyak hal yang menyebabkannya. Misalnya, kualitas
pengetahuan yang dimiliki oleh yang bersangkutan belum memadai. Pengetahuan misalnya
tentang konsep siapa sebenarnya dirinya itu sendiri, amanah yang seharusnya dijalankan,
sosok tauladan yang harus diikuti, fase-fase panjang yang akan dijalani dalam kehidupannya,
kepada siapa seharusnya semua perbuatan itu akan dipersembahkan, dan seterusnya.
Menyangkut tentang keberadaan dirinya sendiri misalnya, tidak semua orang mengetahui dan
menyadari tentang asal usul muasal, amanah yang seharusnya dijalankan, kekuatan
sebenarnya yang dimiliki, dan akhir dari kehidupannya.

Dalam hal memperbaiki kualitas kehidupan, agama memberikan tuntutan secara


komprehensif, hingga menyentuh sumber perilaku seseorang yang paling dalam. Sebagai
contoh sederhana, untuk mendisiplinkan orang, tidak cukup hanya dibuat aturan, cara
menjalankan, dan ancaman terhadap mereka yang melangggarnya. Sebab, kedisiplinan tidak
hanya mencakup aspek yang tampak, tetapi justru ditentukan oleh kekuatan yang tidak
tampak dan berada pada diri seseorang yang paling dalam itu. Sedangkan aspek yang
dimaksud tidak tampak itu adalah suara hati, ruh, atau jiwa. Aspek yang ada di dalam diri
manusia yang seharusnya dipandang sebagai kekuatan yang tidak boleh diabaikan. Agama
memberi petunjuk bahwa dalam mengatur perilaku manusia agar hingga menyentuh seluruh
aspek secara sempurna, yaitu meliputi aspek lahir maupun batin yang dimaksud. Jika
demikian yang dijalankan, maka beragama menjadi berkualitas, dan tampak berfungsi dalam
membangun kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan hasil riset dan observasi menurut kesepakatan dari para ahli Psikologi,
kebutuhan manusia sesungguhnya tidak hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum,
pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Manusia mempunyai keinginan dan
kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan lainnya, bahkan
mengatasi kebutuhan akan kekuasaan, hal itu merupakan kebutuhan kodrati, yaitukeinginan
untuk mencitai dan dicintai oleh Tuhan.

Berdasarkan kesimpulan dari hal tersebut manusia ingin mengabdikan dirinya kepada
Tuhan atau sesuatu yang dianggap sebagai zat yang mempunyai kekuasaan tertinggi.
Keinginan itu terdapat pada setiap kelompok golongan atau masyarakat manusia dari yang
paling primitive hingga yang paling modern. Hal tersebut juga berlaku pada anak-anak.
Pandangan tuhan pada anak memiliki beberapa ciri dan karakteristik yang sesuai dengan
tingkat perkembangan usia mental anak, yang pada umumnya pandangan Tuhan pada anak
bersifat antropomorfik dan personal. Gambaran Tuhan antropomorfik dan personal adalah
gambaran yang menyamakan Tuhan dan manusia dari segi fisik dan kekuatan, hal ini
merupakan ciri khas yang melekat pada anak TK dan usia SD karena sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif mereka.8

Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata-kata orang yang ada
dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada
permulaan tidak adanya perhatian terhadap Tuhan, ini dikarenakan ia belum mempunyai
pengalaman yang akan membawanya ke sana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun
yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang di sekelilingnya yang
disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah
perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh oleh karena ini terdapat beberapa sifat
keagamaan pada anak sebagai berikut:

1. Unreflective (tidak mendalam/tanpa kritik) Seperti yang dikutip oleh Jalaludin dan
Ramayulis ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Machion terkaid dengan
konsep ketuhanan pada anak, hasil yang ditemukan 73% anak menganggap Tuhan
itu bersifat seperti manusia. Selanjutnya di sebuah sekolah ada yang mengatakan
bahwa Santa Klaus yang memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dari sini

8
Muhammad julijanto, keberagamaan mencerahkan dan mensejahterahkan ( Jakarta 2019 ) hlm 27
dapat ditarik kesimpulan bahwa anggapan mereka tentang ajaran agama dapat
diterima tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak mendalam dan cukup
sekadarnya saja dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang
kurang masuk akal.
2. Egosentris ialah rasa kesadaran pada diri sendiri yang dimiliki oleh anak sejak
tahun pertama usia perkembangannya dan akan dilanjutkan perkembangannya
sesuai dengan pengalamannya.
3. Antropomorphis ialah konsep ketuhanan pada anak yang menggambarkan
pengalamannya di kala berhubungan dengan orang lain. Konsep ketuhanan yang
terjadi pada tahap berpegang pada aspek-aspek kemanusiaan.
4. Verbalis dan Ritualis, ialah sebuah kehidupan pada anak yang sebagian besar
tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal
kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka kerjakan
berdasarkan pengalamannya.
5. Imitative ialah tindakan keagamaan yang dilakukan oleh anakanak yang pada
dasarnya didapat dari meniru.
6. Rasa heran dan kagum hal ini merupakan tanda sifat teraakhir pada anak, yang
mana pada fase ini anak masih bersifat kritis dan kreatif dalam menjelaskan dan
melihat apa yang ada disekelilingnya, sehingga mereka hanya kagum dengan
keindahan lahiriyah saja.9
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberagamaan

Yang dimaksud dengan faktor yang mempengaruhi keberagamaan adalah hal-hal yang
turut memberikan andil baik positif maupun negatif terhadap keberagamaan masyarakat.

a. Faktor Sosial

Faktor sosial yaitu mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap
keberagamaan yaitu: pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, dan tekanan-tekanan
lingkungan sosial.

b. Faktor Pengalaman

Ada tiga jenis pengalaman yang bisa dimasukkan di antara berbagai faktor yang
membagi sumbangan terhadap sikap keagamaan, pengalaman mengenai dunia nyata,

9
Mustahdi, pendidikan agama islam dan budi pekerti, ( Jakarta kementerian pendidikan dan kebudayaan 2017
) hlm 23
mengenai konflik moral, dan mengenai keadaan-keadaan emosional tertentu yang tampak
memiliki kaitan dengan agama.

c. Faktor kebutuhan.

Adanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi secara sempurna dimana-dimana


sehingga mengakibatkan terasa adannya kebutuhan akan kepuasan-kepuasan agama.
Diantaranya, kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk
memperoleh harga diri, dan kebutuhan yang timbul karena adannya kematian.10

d Faktor proses pemikiran.

Yaitu berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual) yang berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk yang berfikir dan salah satu dari akibat pemikirannya.

10
Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar Social Culture,Refika Aditama 2018 Hlm 123
BAB V

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Untuk meningkatkan kualitas keberagamaan itu sendiri sebenarnya telah tersedia


pendekatan yang seharusnya dijalankan. Secara spiritual misalnya, beragama dianjurkan agar
selalu mengingat Allah dan Rasul-Nya, menjalankan shalat lima waktu, menunaikan zakat,
berpuasa di Bulan Ramadhan, naik haji bagi mereka yang berkemampuan, dan lain-lain.
Akan tetapi pada kenyatanya, kegiatan ritual yang dimaksudkan itu ternyata juga belum
selalu menghasilkan sifat dan perilaku yang dipandang ideal sebagaimana dijelaskan dalam
ajaran agama yang dipeluknya itu.

B. Saran

Berdasarkan hasil, pembahasan dan kesimpulan, maka saran yang diberikan antara
lain: Bagi Instansi (Pemerintah). Pemerintah harus memberikan dorongan dan semangat
kepada anak anak dan remaja agar memiliki motivasi dalam meningkatkan kualitas kagamaan
Pemerintah dapat melakukannya dengan mengadakan sosialisasi atau pendampingan secara
langsung ke daerah pedesaan, agar tercapai desa yang melahirkan penerus bangsa yang
cerdas dan bertaqwa.

Bagi Mayarakat yaitu masyarakat harus lebih bijak dalam memberikan pendidikan
terhadap anak-anak. Bagi Peneliti yaitu dengan melakukan penelitian ini semoga peneliti
mampu untuk ikut meningkatkan kualitas keagamaan sebagi strategi dalam sebuah desa yang
sejahtera, kami berharap untuk kedepannya Desa banjar malayu jauh lebih baik, sejahtera dan
maju.

Penulisan penelitian kami ini masih banyak memiliki kekurangan yang harus
diperbaiki.Oleh karena itu, berbagai macam kritik dan saran dari pembaca yang membangun
sangat diharapkan guna bahan evaluasi kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Berbagi Metodologi Dalam Penelitian Pendidikan Dan Manajemen,


Gunadarma Ilmu Samata Gowa,2018

Ida Uami, Psikologi Remaja, Yogyakarta JL. Amarta Diro RT 58 Pendowoharjo


Sewon Bantul, 2019

Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya:Kartika, 1997

Sandra handayani DKK, Dinamika Perkembangan Remaja Problematika Dan


Solusi, Jl.Tambra Raya No. 23 Rawaangun. Jakarta 2020

Muhammad julijanto, keberagamaan mencerahkan dan mensejahterahkan (


Jakarta 2019

Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar Social Culture,Refika Aditama 2018 Hlm
123

Mustahdi, pendidikan agama islam dan budi pekerti, Jakarta kementerian


pendidikan dan kebudayaan 2017

Nurhasnah, Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta, Aswaja Pressido 2018

Zainal Abiding, Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti, ( Jakarta Selatan,
Fatmawati, 2021

Zuchri Abdussamad, “Metode Penelitian Kualitatif, CV, Syakir Media Press, 2021

Anda mungkin juga menyukai