Makalah Pemaksaan Perkawinan Termasuk Cerai Gantung
Makalah Pemaksaan Perkawinan Termasuk Cerai Gantung
Dengan mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, maka kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemaksaan Perkawinan Termasuk Cerai
Gantung” dan dengan harapan semoga makalah ini bisa bermanfaat dan menjadikan
referensi bagi kita sehingga lebih mengenal tentang kekerasan seksual. Akhir kata
semoga bisa bermanfaat bagi para pelajar, umum khususnya pada diri kami sendiri
dan semua yang membaca makalah ini semoga bisa dipergunakan dengan semestinya.
Penyusun
Kelompok 2
DAFTAR ISI
Kata pengantar
Daftar isi
BAB I – PENDAHULUAN
a. Latar belakang
b. Perumusan masalah
c. Tujuan penulisan
BAB II – PEMBAHASAN
Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung
BAB III – PENUTUP
Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, pemahaman yang
berkembang mengenai konsep kehidupan rumah tangga sangat dekat pada
doktrin yang dirumuskan dalam teori fiqih klasik, sehingga pola pikir yang
berkembang cenderung patriliniel, di mana laki-laki diposisikan sebagai
penentu mutlak dalam berbagai persoalan apapun, terutama dalam kehidupan
rumah tangga, termasuk bagaimana menjalin ikatan perkawinan (Mohsi
2020). Bahkan posisi laki-laki terlegimitasi sebagai salah satu rukun dalam
perkawinan, yaitu sebagai wali nikah dari mempelai perempuan (Ja’far 2021).
B. Perumusan masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
Bagaimana pemahaman tentang pemaksaan perkawinan termasuk
cerai gantung ?
C. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui pemahaman tentang perkawinan paksa termasuk
cerai gantung
BAB II
PEMBAHASAN
Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dalam pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam perspektif Hak Asasi Manusia, perkawinan yang
ideal ialah perkawinan yang didasarkan atas kerelaan masing-masing pihak,
baik calon suami maupun calon istri. Hal ini karena perkawinan bukan
sekedar sarana pelampiasan nafsu biologis semata, tetapi lebih dari itu, yaitu
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita di dalam membina
rumah tangga demi mencapai kebahagiaan yang kekal dan kesejateraan
bersama, sebagaimana amanah Pasal 28H UUD 1945, Pasal 6 UU No. 1
Tahun 1974, Pasal 10 UU No. 39 Tahun 1999, maupun Pasal 16 ayat 1 huruf
a dan b CEDAW. Sedangkan dalam perspektif UU Tindak Pidana Kekerasan
Seksual, pemaksaan perkawinan merupakan salah satu jenis delik kekerasan
seksual, hal ini karena didasarkan pada pertimbangan bahwa salah satu
pemicu terjadinya kekerasan seksual ialah terjadinya perkawinan yang tidak
diinginkan oleh salah satu pihak (perkawinan paksa). Oleh sebab itu, pelaku
pemaksaan perkawinan dalam UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual diancam dengan sanksi yang berat, yakni pidana penjara
maksimal 9 tahun dan/atau pidana denda maksimal 200 juta rupiah.