Anda di halaman 1dari 7

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, maka kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemaksaan Perkawinan Termasuk Cerai
Gantung” dan dengan harapan semoga makalah ini bisa bermanfaat dan menjadikan
referensi bagi kita sehingga lebih mengenal tentang kekerasan seksual. Akhir kata
semoga bisa bermanfaat bagi para pelajar, umum khususnya pada diri kami sendiri
dan semua yang membaca makalah ini semoga bisa dipergunakan dengan semestinya.

Biluhu, Agustus 2023

Penyusun
Kelompok 2

DAFTAR ISI
Kata pengantar
Daftar isi
BAB I – PENDAHULUAN
a. Latar belakang
b. Perumusan masalah
c. Tujuan penulisan
BAB II – PEMBAHASAN
Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung
BAB III – PENUTUP
Kesimpulan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, pemahaman yang
berkembang mengenai konsep kehidupan rumah tangga sangat dekat pada
doktrin yang dirumuskan dalam teori fiqih klasik, sehingga pola pikir yang
berkembang cenderung patriliniel, di mana laki-laki diposisikan sebagai
penentu mutlak dalam berbagai persoalan apapun, terutama dalam kehidupan
rumah tangga, termasuk bagaimana menjalin ikatan perkawinan (Mohsi
2020). Bahkan posisi laki-laki terlegimitasi sebagai salah satu rukun dalam
perkawinan, yaitu sebagai wali nikah dari mempelai perempuan (Ja’far 2021).

B. Perumusan masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
Bagaimana pemahaman tentang pemaksaan perkawinan termasuk
cerai gantung ?

C. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui pemahaman tentang perkawinan paksa termasuk
cerai gantung

BAB II
PEMBAHASAN
Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung

Pemaksaan perkawinan bertentangan dengan prinsip dan nilai


kemanusiaan yang diakui dalam sistem hukum nasional dan internasional,
khususnya dalam Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 1999 dan Convention on
Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) yang
menyatakan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki
untuk memasuki jenjang perkawinan dan memilih pasangan dengan
persetujuan secara bebas dan sepenuhnya. Sedangkan dalam perspektif UU
Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pemaksaan perkawinan merupakan salah
satu jenis delik kekerasan seksual, sehingga terhadap pelaku dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai dengan Pasal 10 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual
karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari
perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut.
Ada beberapa praktik di mana perempuan terikat perkawinan di luar
kehendaknya sendiri.
1. Ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali
mengikuti kehendak orang tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan
dengan orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang yang tidak
dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa.
2. Praktik memaksa korban perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu
dianggap mengurangi aib akibat perkosaan yang terjadi.
3. Praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus
berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun,
gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan
baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya.
4. Praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu memaksakan perempuan untuk
menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk
dengan mantan suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya
dalam hukum Islam). Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun
masih ditemukan di berbagai daerah.

Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu terjadinya perkawinan paksa


tersebut, antara lain karena akibat telah terjadinya perzinahan di antara laki-
laki dan perempuan yang bukan mahromnya, sementara salah satu atau
keduanya belum siap untuk menikah. Ada pula karena faktor usia yang dinilai
telah cukup untuk menikah, namun masih belum menemukan pasangannya
sehingga orang tua berusaha mencarikan pasangan untuk anaknya tersebut.
Selain itu, kawin paksa dapat juga terjadi karena tradisi masyarakat setempat
yang untuk memelihara keturunann mengharuskan si anak untuk menikah
dengan sepupu atau saudaranya yang lain. Termasuk juga perkawinan paksa
yang terjadi akibat adanya hutang piutang dan sebagainya (Hasibuan 2020).
Penyebab kawin paksa :
 Akibat terjadinya perzinahan
 Karena telah cukup usia namun belum menikah
 Karena adanya tradisi harus menikah dengan sepupu atau saudara
 Karena masalah hutang piutang

Jika diperhatikan secara seksama beberapa faktor yang menjadi penyebab


terjadinya kawin paksa di atas, maka hakikatnya perkawinan paksa
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hak asasi
manusia, karena perkawinan dilaksanakan tanpa adanya kehendak dari salah
satu atau kedua belah pihak, melainkan atas dasar keterpaksaan atau bahkan
mungkin ancaman. Padahal diketahui bahwa setiap individu memiliki hak
untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak pribadinya sebagai bagian
dari hak kebebasan individu yang diatur dalam Pasal 4 UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan perkawinan
paksa misalnya seperti penelitian yang ditulis oleh Anis Aljalis Rahmah, dkk,
menjelaskan bahwa para orang tua yang menikahkan anaknya secara paksa
memiliki motivasi tertentu, yakni untuk meminimalisir beban dan tanggung
jawab mereka selaku orang secara materi, karena dalam pandangan para
orang tua, ketika anak-anak mereka telah menikah, maka mereka telah lepas
dari tanggung jawab terhadap anak-anaknya (Rahmah, Sumadi, dan Rudi
2020). Hal ini jelas menunjukkan bahwa ada sebagian orang tua yang masih
berpandangan bahwa anak merupakan beban dan tanggung jawab bagi dirinya
dan salah satu cara untuk menghilangkan beban tersebut ialah dengan
mengalihkan tanggung jawab itu kepada laki-laki pilihannya untuk segera
mungkin menikahi putrinya.
Selain itu, ada juga penelitian yang ditulis oleh Masthuriyah Sa’dan
mengenai tradisi kawin paksa di Madura memaparkan bahwa perkawinan
paksa di Madura lebih disebabkan pada lemahnya pengetahuan kaum
perempuan akan hak-hak mereka karena rendahnya akses terhadap dunia
pendidikan. Untuk meminimalisir praktik kawin paksa tersebut, maka anak-
anak perempuan di Madura perlu diberi kesempatan untuk belajar dan
menempuh pendidikan yang setinggi-tingginya, agar mereka memiliki
kesadaran dan pengetahuan yang mendalam akan hak-hak mereka yang
dilindungi dan dijamin oleh konvensi nasional maupun internasional (Sa’dan
2015).
Bahkan dalam penelitian yang dipaparkan oleh Misbakhul Munir, dkk,
menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan dengan tanpa persetujuan
salah satu atau kedua mempelai merupakan salah satu bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, karena dalam hukum Islam seseorang tidak boleh
dipaksa untuk menikah dengan pilihan orang tuanya (Munir, Subekti, dan
Rodafi 2020).
Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa kawin paksa
seolah seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, orang tua berkeinginan
untuk segera melepaskan tanggung jawabnya dari anaknya dengan cara
menikahkan si anak secara paksa dengan laki-laki pilihannya, agar
beban keluarga menjadi lebih ringan. Sementara di sisi yang lain,
sebagian kalangan menganggap kawin paksa adalah salah satu bentuk
diskriminasi terhadap kaum perempuan yang harus dilawan. Di sinilah
poin penting penelitian ini dilakukan, yang secara khusus perkawinan paksa
akan dikaji dalam perspektif hak asasi manusia dan rancangan undang-undang
penghapusan kekerasan seksual. Terlebih hingga saat ini, belum ada aturan
perundang-undangan yang mengatur secara spesifik tentang perkawinan paksa
tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka pemaksaan hubungan seksual yang


terjadi akibat adanya perkawinan yang tidak diinginkan oleh seseorang,
khususnya perempuan atau perkawinan paksa, dapat dikatakan sebagai bagian
dari bentuk kekerasan seksual. Kriminalisasi pemaksaan perkawinan ini
menjadi sangat penting karena secara praktis berbagai peraturan perundangan-
undangan yang mengatur tentang kekerasan seksual belum mampu mencegah,
melindungi, memberikan keadilan, dan memulihkan serta memenuhi hak-hak
korban tindak kekerasan seksual.

Oleh karena itu, guna mencegah dan melindungi kepentingan korban


perkawinan paksa, maka terhadap pelaku perlu diberi sanksi yang dapat
memberi efek jera. Berdasarkan Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU No 12 Tahun 2022,
maka pelaku pemaksaan perkawinan, yang dilakukan dengan
menyalahgunaakan kekuasaannya, terlebih dengan memaksa secara melawan
hukum, baik atas dasar tradisi/budaya, maupun melakukan pemaksaan
terhadap korban dengan pelaku perkosaan, diancam dengan pidana penjara
paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,-.
Dengan demikian, hakim yang menangani kasus pemaksaan perkawinan dan
terbukti secara sah dan menyakinkan, dapat menjatuhkan sanksi pidana
kepada pelaku baik secara kumulatif maupun fakultatif, di mana maksimal
pidana penjara yang dapat dijatuhkan ialah 9 tahun, sementara untuk
dendanya maksimal 200 juta rupiah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dalam pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam perspektif Hak Asasi Manusia, perkawinan yang
ideal ialah perkawinan yang didasarkan atas kerelaan masing-masing pihak,
baik calon suami maupun calon istri. Hal ini karena perkawinan bukan
sekedar sarana pelampiasan nafsu biologis semata, tetapi lebih dari itu, yaitu
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita di dalam membina
rumah tangga demi mencapai kebahagiaan yang kekal dan kesejateraan
bersama, sebagaimana amanah Pasal 28H UUD 1945, Pasal 6 UU No. 1
Tahun 1974, Pasal 10 UU No. 39 Tahun 1999, maupun Pasal 16 ayat 1 huruf
a dan b CEDAW. Sedangkan dalam perspektif UU Tindak Pidana Kekerasan
Seksual, pemaksaan perkawinan merupakan salah satu jenis delik kekerasan
seksual, hal ini karena didasarkan pada pertimbangan bahwa salah satu
pemicu terjadinya kekerasan seksual ialah terjadinya perkawinan yang tidak
diinginkan oleh salah satu pihak (perkawinan paksa). Oleh sebab itu, pelaku
pemaksaan perkawinan dalam UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual diancam dengan sanksi yang berat, yakni pidana penjara
maksimal 9 tahun dan/atau pidana denda maksimal 200 juta rupiah.

Anda mungkin juga menyukai