Anda di halaman 1dari 8

SAMUEL REYNALDI (215010100111157)

UTS HUKUM ACARA PERADILAN KONSITUSI

1. Hukum acara peradilan konstitusi adalah seperangkat aturan dan prosedur yang

mengatur cara penyelesaian sengketa konstitusional di pengadilan konstitusi. Hukum

acara peradilan konstitusi menetapkan tata cara mengajukan permohonan, termasuk

syarat dan waktu yang harus dipenuhi, serta cara memproses permohonan tersebut di
pengadilan konstitusi.

Hukum acara peradilan konstitusi merupakan bagian penting dari sistem peradilan

konstitusi karena mengatur tata cara penyelesaian sengketa konstitusional yang

kompleks dan sensitif. Aturan-aturan ini memastikan bahwa semua pihak yang terlibat
dalam sengketa konstitusional diperlakukan secara adil dan bahwa keputusan pengadilan

konstitusi didasarkan pada hukum yang berlaku.

Beberapa contoh hal yang diatur dalam hukum acara peradilan konstitusi antara lain

syarat-syarat pengajuan permohonan, tahapan-tahapan persidangan, hakim-hakim yang


berwenang dalam mengadili sengketa konstitusional, dan cara mengajukan banding

terhadap putusan pengadilan konstitusi.

Sistem hukum acara peradilan konstitusi dapat berbeda-beda antara negara, namun

tujuannya tetap sama, yaitu untuk memastikan bahwa penyelesaian sengketa


konstitusional dilakukan secara adil, tepat waktu, dan dengan cara yang transparan dan

terbuka.

b. Sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia meliputi:


 UUD 1945: Konstitusi merupakan sumber hukum acara utama peradilan konstitusi.

UUD 1945 mengatur hak dan kewajiban Mahkamah Konstitusi, yurisdiksi, tata cara

pemeriksaan, dan putusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi.


 Undang-Undang: Undang-undang juga merupakan sumber hukum acara

peradilan konstitusi yang penting. Undang-undang ini mengatur tata cara

pengajuan permohonan, persidangan, tata cara pemeriksaan, putusan, dan


pelaksanaannya. Salah satu undang-undang terkait Mahkamah Konstitusi adalah

UU No. 24 Tahun 2003.

 Peraturan Mahkamah Konstitusi: PMK-PMK adalah peraturan-peraturan yang

dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan mengatur tata cara penyelesaian


sengketa di Mahkamah Konstitusi. Beberapa PMK yang penting antara lain PMK

Nomor 006/PMK/2005, PMK Nomor 008/PMK/2006, PMK Nomor 15/PMK/2008,

PMK Nomor 16/PMK/2009, PMK Nomor 17/PMK/2009, PMK Nomor 18/PMK/2009,

PMK Nomor 19/PMK/2009, dan PMK Nomor 21/PMK/2009.


 Putusan Mahkamah Konstitusi: Yurisprudensi atau putusan-putusan Mahkamah

Konstitusi juga dapat menjadi sumber hukum acara peradilan konstitusi. Putusan-

putusan ini memberikan panduan dalam penerapan aturan-aturan hukum yang

terkait dengan tata cara penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi.


 Konvensi/Perjanjian Internasional: Konvensi atau perjanjian internasional juga

dapat menjadi sumber hukum acara peradilan konstitusi, terutama jika perjanjian

tersebut telah diratifikasi dan diakui sebagai bagian dari hukum nasional oleh

Indonesia.

c. Penggabungan perkara adalah proses menggabungkan dua atau lebih perkara yang

berkaitan atau memiliki persamaan dalam hal yang diperiksa atau dituntut, dan kemudian

diproses dan diselesaikan bersama-sama dalam satu proses persidangan. Tujuannya


adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses peradilan dengan

menghindari tumpang tindih, pengulangan, atau inkonsistensi putusan.

Ada beberapa alasan mengapa perkara dapat digabungkan. Pertama, jika ada dua atau

lebih perkara yang memiliki fakta atau hukum yang sama atau serupa, maka
menggabungkannya dapat menghindari pengulangan dalam proses peradilan. Ini akan

menghemat waktu dan biaya, serta mencegah terjadinya keputusan yang berbeda dalam

perkara yang seharusnya serupa.


Kedua, penggabungan perkara dapat menghindari tumpang tindih dalam pemeriksaan

fakta dan bukti dalam persidangan. Dalam situasi di mana dua atau lebih perkara terkait,

banyak fakta dan bukti yang sama yang diperlukan untuk memutuskan kasus tersebut.

Dengan menggabungkan perkara, persidangan dapat diatur sedemikian rupa sehingga


fakta dan bukti hanya diperiksa satu kali, sehingga menghemat waktu dan biaya.

Ketiga, penggabungan perkara dapat menghasilkan keputusan yang konsisten dan akurat.

Dalam situasi di mana dua atau lebih perkara terkait, keputusan yang berbeda-beda dapat

menghasilkan kebingungan dan ketidakpastian hukum. Dengan menggabungkan perkara,


persidangan dapat memastikan bahwa keputusan yang diambil bersifat konsisten dan

akurat, sehingga memberikan kepastian hukum yang lebih besar bagi para pihak yang

terlibat.

Dalam praktiknya, penggabungan perkara dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
penggabungan perkara pada tahap pemeriksaan permohonan atau pengajuan gugatan,

penggabungan perkara pada tahap persidangan, atau penggabungan perkara pada tahap

banding atau kasasi. Namun, penggabungan perkara harus dilakukan dengan hati-hati

dan harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat, serta harus
mematuhi aturan hukum acara yang berlaku.

2. Undang-undang formal dan undang-undang materiil adalah dua jenis undang-undang

yang berbeda dalam sistem hukum.


Undang-undang formal mengatur tentang prosedur pembentukan undang-undang,

termasuk persyaratan dan mekanisme yang harus diikuti oleh lembaga legislatif dalam

proses pengesahan undang-undang. Dalam hal ini, undang-undang formal sering juga
disebut sebagai undang-undang formil. Contoh undang-undang formal adalah UU No.

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sementara itu, undang-undang materiil mengatur tentang hak, kewajiban, dan larangan
yang harus dipatuhi oleh warga negara. Undang-undang materiil mengatur isi dan

substansi hukum dan sering juga disebut sebagai undang-undang materil. Contoh

undang-undang materiil adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai wewenang untuk menguji konstitusionalitas dari


kedua jenis undang-undang tersebut. Dalam hal undang-undang formal, MK dapat

menguji konstitusionalitas dari prosedur pembentukan undang-undang, termasuk proses

pengesahan dan persyaratan yang harus dipenuhi. Dalam hal undang-undang materiil,

MK dapat menguji konstitusionalitas dari isi dan substansi undang-undang, untuk


memastikan bahwa undang-undang tersebut sesuai dengan UUD 1945 dan tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional.

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting dalam memastikan

keberadaan undang-undang yang sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional dan


memastikan bahwa kedua jenis undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan

UUD 1945.

3. Kedudukan hukum atau legal standing dalam konteks hukum mengacu pada hak
seseorang atau kelompok untuk mengajukan gugatan atau memperjuangkan suatu

kepentingan di depan pengadilan atau badan pengatur lainnya. Legal standing

memungkinkan pemohon untuk mengajukan gugatan atau permohonan pengujian

undang-undang dengan tujuan untuk menentukan kesesuaian atau konstitusionalitas


suatu undang-undang atau tindakan pemerintah.

Untuk memiliki legal standing dalam sebuah perkara pengujian undang-undang,

pemohon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:


Kepentingan yang Nyata: Pemohon harus memiliki kepentingan yang nyata atau

langsung terhadap masalah yang diajukan di pengadilan. Pemohon harus menunjukkan

bahwa mereka terkena dampak langsung atau berpotensi terkena dampak dari undang-
undang atau tindakan pemerintah yang akan diuji.

Kerugian: Pemohon harus menunjukkan bahwa mereka telah menderita atau akan

menderita kerugian sebagai akibat dari undang-undang atau tindakan pemerintah yang

akan diuji.
Hubungan Kausal: Pemohon harus dapat menunjukkan bahwa kerugian yang mereka

alami atau akan alami adalah akibat langsung dari undang-undang atau tindakan

pemerintah yang akan diuji.

Kapasitas untuk Bertindak: Pemohon harus memiliki kapasitas untuk bertindak secara
hukum. Artinya, mereka harus memiliki kapasitas hukum dan kapasitas prosesual untuk

mengajukan gugatan atau permohonan pengujian undang-undang.

Tidak Ada Gugatan yang Lebih Sesuai: Pemohon harus menunjukkan bahwa tidak ada

gugatan atau cara lain yang lebih sesuai untuk menyelesaikan masalah yang diajukan,
selain pengujian undang-undang.

Jika pemohon berhasil memenuhi semua syarat tersebut, maka mereka memiliki legal

standing dan berhak mengajukan gugatan atau permohonan pengujian undang-undang.

Namun, jika mereka gagal memenuhi syarat-syarat tersebut, maka mereka tidak memiliki
legal standing dan tidak dapat mengajukan gugatan atau permohonan pengujian

undang-undang.

4. Pengujian formil dan pengujian materiil adalah dua jenis pengujian yang dilakukan

pada undang-undang atau peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah. Pengujian

pengujian materiil adalah dua jenis pengujian yang berbeda dan saling melengkapi dalam
menilai konstitusionalitas suatu undang-undang.
Pengujian formil adalah pengujian terhadap prosedur atau mekanisme yang digunakan

dalam proses pembentukan undang-undang. Tujuan dari pengujian formil adalah untuk

menilai apakah proses pembentukan undang-undang tersebut telah dilakukan dengan


benar dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh konstitusi atau undang-undang

yang lebih tinggi. Misalnya, apakah undang-undang tersebut telah dibahas dan disetujui

oleh semua lembaga legislatif yang terlibat dalam pembentukan undang-undang

tersebut.
Sementara itu, pengujian materiil adalah pengujian terhadap substansi atau isi dari

undang-undang atau peraturan tersebut. Tujuan dari pengujian materiil adalah untuk

menilai apakah undang-undang tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional

dan hak asasi manusia. Misalnya, apakah undang-undang tersebut tidak bertentangan
dengan hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi atau undang-undang yang

lebih tinggi.

Perbedaan utama antara pengujian formil dan pengujian materiil adalah pada fokusnya.

Pengujian formil fokus pada prosedur atau mekanisme pembentukan undang-undang,


sementara pengujian materiil fokus pada substansi atau isi dari undang-undang tersebut.

Kedua jenis pengujian ini saling melengkapi dan penting dalam menilai konstitusionalitas

suatu undang-undang. Oleh karena itu, pengujian formil dan materiil sering dilakukan

secara bersamaan untuk menentukan apakah undang-undang atau peraturan tersebut


konstitusional atau tidak.

5. Putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan putusan tidak

konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) adalah dua jenis putusan yang


dapat dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi atau badan pengadilan lainnya dalam kasus

pengujian undang-undang atau peraturan.

Putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dikeluarkan ketika

Mahkamah Konstitusi atau badan pengadilan menilai bahwa suatu undang-undang atau
peraturan memang bertentangan dengan konstitusi atau undang-undang yang lebih

tinggi, namun Mahkamah memberikan kesempatan bagi pemerintah atau lembaga

legislatif untuk memperbaiki atau mengubah undang-undang tersebut dalam jangka


waktu tertentu. Artinya, Mahkamah menunda pelaksanaan putusan tersebut selama

periode tertentu dan memberikan kesempatan pada pemerintah atau lembaga legislatif

untuk melakukan perbaikan atau perubahan pada undang-undang atau peraturan

tersebut agar sesuai dengan konstitusi atau undang-undang yang lebih tinggi.
Sementara itu, putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)

dikeluarkan ketika Mahkamah Konstitusi atau badan pengadilan menilai bahwa suatu

undang-undang atau peraturan bertentangan dengan konstitusi atau undang-undang

yang lebih tinggi, namun Mahkamah memberikan kesempatan bagi pemerintah atau
lembaga legislatif untuk menghilangkan ketidaksesuaian tersebut dalam jangka waktu

tertentu. Artinya, Mahkamah tetap menyatakan undang-undang atau peraturan tersebut

tidak konstitusional, namun memberikan kesempatan pada pemerintah atau lembaga

legislatif untuk menghilangkan ketidaksesuaian tersebut dalam jangka waktu tertentu.


Jika dalam jangka waktu tersebut tidak ada tindakan yang dilakukan, maka undang-

undang atau peraturan tersebut akan dianggap tidak berlaku.

Perbedaan utama antara putusan konstitusional bersyarat dan putusan tidak

konstitusional bersyarat terletak pada sifat kesesuaian undang-undang atau peraturan


tersebut dengan konstitusi atau undang-undang yang lebih tinggi. Pada putusan

konstitusional bersyarat, Mahkamah Konstitusi atau badan pengadilan tetap

menganggap undang-undang atau peraturan tersebut sesuai dengan konstitusi atau

undang-undang yang lebih tinggi, namun memberikan kesempatan bagi pemerintah atau
lembaga legislatif untuk memperbaiki atau mengubahnya. Sedangkan pada putusan tidak

konstitusional bersyarat, Mahkamah Konstitusi atau badan pengadilan menyatakan

undang-undang atau peraturan tersebut tidak sesuai dengan konstitusi atau undang-
undang yang lebih tinggi, namun memberikan kesempatan bagi pemerintah atau

lembaga legislatif untuk menghilangkan ketidaksesuaian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai