Anda di halaman 1dari 6

TUGAS RANGKUMAN

MATA KULIAH : KAPITA SELEKTA HUKUM PERDATA


KELAS : C.1.4
DOSEN : Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, SH. MH.

DIKERJAKAN OLEH :
NAMA : MOCH. TEGUH BARGAWA
KELAS : C. 1.4
NPM : 41151010170205

BAB I
A. Pendahuluan
Secara umum mekanisme penyelesaian sengketa perdata dapat diselesaikan melalui dua cara,
pertama diselesaikan secara damai di luar pengadilan atau yang dikenal dengan non litigasi yaitu
dengan menggunakan cara-cara penyelesaian sengketa alternatif seperti negosiasi, mediasi,
konsiliasi dan arbitrase; serta cara penyelesaian sengketa secara konvensional melalui pengadilan
atau yang disebut dengan litigasi. Jika penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan
(litigasi) maka proses penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara yang berlaku, dalam hal ini
Hukum Acara Perdata. Hukum Acara Perdata merupakan serangkaian peraturan yang memuat
cara bagaimana orang harus bertindak terhadap orang lain dan di muka pengadilan, dan cara
bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan- peraturan hukum perdata.? Dengan kata lain, Hukum Acara Perdata adalah
sekumpulan peraturan yang mengatur tentang cara bagaimana seseorang harus bertindak
terhadap orang lain, atau bagaimana seseorang dapat bertindak terhadap negara atau badan
hokum (demikian juga sebaliknya) seandainya ada hak dan kepentingan mereka yang terganggu,
melalui suatu badan yang disebut badan peradilan, sehingga tercapai tertib hukum. Hukum acara
perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang
Darurat No.1 Tahun 1951 yang mengatur tentang Tindakan-tindakan untuk Menyelenggarakan
Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, adalah het Herzienne Indonesisch Reglement
(HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: Stb. 1848 no.16, Stb. 1941 no. 44), dan
Rechtsreglement Buitengewesten (RBg atau Reglemen daerah seberang: Stb. 1927 no.227). Baik
HIR maupun RBg keduanya mengatur hal yang sama yaitu tentang hukum acara perdata, hanya
wilayah hukum berlakunya yang berbeda. Namun demikian antara keduanya tidak dapat
disatukan dalam arti satu berlaku untuk seluruh Indonesia, karena secara formal sampai saat ini
belum ada satu ketentuan yang mempersatukan HIR dan RBg untuk diberlakukan disemua
wilayah yang sama. Karenanya sampai saat ini hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia
masih dualisme.
Sebagai Contoh misalnya pengaturan tentang diakuinya Sebagai dokumen/data elektronik
sebagai alat bukti yang sah dapat diajukan di persidangan diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai hukum materil bukan di dalam
hukum sebagai hukum formil, sehingga tidak acara mencerminkan kepastian hukum dalam
penerapannya ketika hukum menangani sengketa perdata dengan menggunakan dokumen
elektronik sebagai alat bukti." Hal ini terkait dengan sifat mengikat dari hukum acara sebagai
hukum formil.

B. Sifat Mengikat Hukum Acara Perdata

Hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah tidak hanya merupakan keseluruhan kaedah
dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga meliputi
lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam
kenyataan.' Dari pengertian hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum itu meliputi hukum
materiil dan hukum formal. Hukum materiil terwujud dalam bentuk undang-undang sebagai
hukum tertulis yang didasari oleh asas dan kaedah, serta hukum tidak tertulis yang merupakan
pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat
di dalam masyarakat, yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia.
Untuk melaksanakan atau mempertahankan hukum perdata materiil tersebut, diperlukan
rangkaian peraturan hukum lainnya di samping hukum perdata materiil itu sendiri. Peraturan
hukum inilah yang disebut dengan hukum perdata formil atau hukum acara perdata.
Oleh karena itu hukum acara perdata disebut juga dengan hukum formil yang diperuntukkan
untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil. Sebagai hukum formal, hukum acara bersifat
mengikat dan harus ditaati oleh semua pihak yang menggunakannya. Sifat mengikat dari hukum
acara timbul karena memang hukum acara merupakan hukum yang mengatur tentang cara
melaksanakan atau menerapkan hukum perdata materil terhadap sengketa-sengketa yang terjadi
di masyarakat dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Hukum acara perdata sebagai aturan permainan (spelregels) untuk melaksanakan hukum perdata
materiil, haruslah bersifat formil, resmi, (mengikat/memaksa), sehingga tidak boleh disimpangi
oleh hukum dan penegak hukum lainnya. seringkali terjadi para penegak hukum melakukan
penemuan hukum vang keliru dengan cara mengadopsi hukum acara asing (negara lain) dalam
mengajukan gugatan ke pengadilan serta memutus perkara tersebut, misalnya dengan adanya
tuntutan perdata (oleh pengacara) vang dikenal dengan actio populans atau citizen law suit, yang
tidak strict, fixed,correct,insed dan bersifat imperatif Namun kenyataannya, dalam praktik untuk
diproses serta penanganan perkaranya diselesaikan dan diputus ada pengaturannya dalam hukum
acara, tetapi gugatannya diterima oleh hukum.

Pengaturan hukum acara yang disisipkan pada hukum materiil seperti halnya pengaturan tentang
bukti elektronik berupa dokumen elektronik atau keluaran komputer lainnya adalah merupakan
alat bukti sah dipersidangan yang pengaturannya disisipkan dalam Pasal 5 UU ITE sebagai
hukum materiil, bukanlah merupakan hokum acara/hukum formil. Karenanya hukum
menerima/mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti di persidangan. Seharusnya
pengaturan dokumen sebagai alat bukti berada di dalam peraturan hukum acara perdata sebagai
hokum formil, sehingga hukum terikat untuk menerima dokumen elektronik dan keluaran
komputer lainnya sebagai alat bukti yang sah dipersidangan. tidaklah terikat untuk Sifat
mengikat dan memaksa (formalisme) dari hukum acara perdata ini perlu untuk menjamin adanya
ketertiban pemeriksaan perkara sehingga kedua belah pihak mempunyai kesempatan yang sama
untuk membela kepentingan masing-masing.

Peraturan yang sifatnya mengikat dan memaksa itu juga perlu untuk menjamin agar hukum tetap
bersifat tidak berat sebelah dalam melakukan pemeriksaan perkara. Sehingga pada akhirnya akan
tercapai ketertiban dan kepastian hukum. Tiga pilar dalam mewujudkan kepastian hukum di atas
dapat dibagi menjadi kepastian hokum dari unsur peraturan perundang- undangan, lembaga dan
pranata hukum, yang diwujudkan dalam putusan hukum. Untuk terciptanya kepastian hukum,
syarat yang penting untuk dipenuhi adalah adanya hukum atau peraturan perundang-undangan
yang jelas. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini terkadang multitafsir. Keadaan ini
mengharuskan badan-badan peradilan (hukum) untuk melakukan tindakan-tindakan guna
mencapai keadilan 10 pembentukan hukum seperti melakukan penafsiran, konstruksi hukum,
dalam rangka menemukan hukum untuk terciptanya kepastian hukum

C. Penegakan Hukum dan Ketertiban Hukum


Salah satu program dalam pembangunan nasional adalah pembangunan hukum. Pembangunan
hukum dilakukan dalam rangka pelaksanaan prioritas pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
supremasi hukum dan pemerintahan yang baik. hukum tidak hanya menyangkut mengenai
pembentukan atau pembaruan hukum saja, melainkan juga meliputi penegakan hukum yang
antara lain dilakukan oleh hukum melalui putusannya yang dijatuhkan dalam proses
penyelesaian sengketa di pengadilan (secara litigasi).

Tujuan đari penegakan hukum oleh hukum melalui terciptanya putusan hukum adalah
tercapainya keadilan, kepastian hukum, dan ketertiban. Tercapainya ketertiban dalam hal ini
tidak saja ketertiban masyarakat tetapi juga pembentukan hukum haruslah pula bertujuan untuk
tercapainya ketertiban hukum. Pembangunan ketertiban hukum. Oleh karenanya Pembentukan
hukum dewasa ini dilakukan secara parsial dengan cara mengatur bagian-bagian tertentu (tidak
secara menyeluruh) sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat pada saat undang-undang itu
dibentuk, sehingga seringkali undang-undang yang baru dibentuk tersebut tidak berumur panjang
dan harus diubah kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.

Sementara Pasal 16 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tanun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang
dilanjutkan kepadanya sekalipun dengan dalih hukumnya tidak jelas atau kurang jelas. Hal ini
tentu tidaklah dapat dipersalahkan blla pemahaman bahwa tidak ada harmonisasi antara kedua
ketentuan di atas mengenai kewenangan mengadili antara Pengadilan Negeri dan Arbitrase.
Timbul ns Di samping itu seringkali rumusan yang tidak jelas menimbulkan multi tafsir,
misalnya Pasal 6 ayat (7) Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
menyatakan bahwa hasil kesepakatan penyelesaian sengketa yang dibuat secara tertulis wajib
didaftarkan di Pengadilan Negeri. Ketentuan ini tidak jelas, apakah dengan pendaftaran tersebut
dimaksudkan untuk mendapat kekuatan hukum agar dapat dilaksanakan secara paksa, atau hanya
sekedar persyaratan administratif saja. Contoh lain dalam lingkup hukum àcara perdata, tentang
Kekuasaan Kehakiman sudah diatur dalam Undang-undang No.48 Tahun 2009 tetapi tidak ada
pengaturan tentang upaya hukum banding.

D. Pentingnya Pembaruan Hukum Acara Perdata

Pembaruan hukum acara perdata, yang tidak lain merupakan hukum formal dengan fungsi untuk
menerapkan hukum materiil ke dalam peristiwa konkrit yang terjadi di masyarakat, sangatlah
diperlukan dewasa ini. Hal ini mengingat semakin pesatnya perkembangan dan pembaruan
hukum materiil dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang dibentuk secara parsial
sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, guna mengatur hubungan hukum keperdataan yang
semakin berkembang dan beragam seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Seringkali peraturan perundangan yang baru dibentuk itu juga mengatur tentang
hukum acaranya apabila kelak terjadi sengketa, sekalipun pada dasarnya tetap bersumber pada
HIR/RBg sebagai hukum acara perdata positif. Hal ini menunjukkan bahwa dewasa ini peraturan
tentang acara perdata tidak terkodifikasi. Karena hokum acara perdata mempunyai sifat publik
dan mengikat secara, umum, maka untuk tercapainya kepastian hukum oleh hakim
dalammenyelesaikan sengketa perdata melalui pengadilan, serta untuk terwujudnya ketertiban
hukum dalam rangka penegakan hukum, diperlukan adanya suatu peraturan tentang acara perdata
vang terkodifikasi. Karenanya diperlukan adanya upaya pembaruan hokum acara perdata yang
sekarang berlaku secara nasional.

Dimulai tahun 1947 dengan dibentuknya Undang-undang No. 20 Tahun 1947 Tentang Acara
Banding, Undang-undang yang mengatur tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
tentang Mahkamah Agung, tentang Peradilan Umum, tentang Pengadilan Agama, tentang
Pengadilan Niaga, tentang Dokumen Perusahaan, dan juga Undang-Undang ITE. Namun bukan
dalam bentuk peraturan tentang acara perdata secara menyeluruh (Hukum Acara Perdata
Nasional) yang sifatnya unifikasi dan kodifikasi. Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan
dan Undang- Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, merupakan contoh dari sekian
banyak hukum materiil yang di dalamnya mengatur juga hukum formil, yaitu pengaturan
mengenai bukti elektronik. UU Dokumen Perusahaan menetapkan bahwa dokumen perusahaan
yang direkam dalam mikro film dan sarana elektronik sebagai media penyimpanan dokumen
diberi kedudukan sebagai alat bukti tertuls otentik, sedangkan UU ITE menetapkan bahwa
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat Kesemuanya seyogianya diatur
dalam Hukum Acara Perdata sebagar hukum formil.

BAB II

Anda mungkin juga menyukai