Anda di halaman 1dari 19

TAFSIR ALMUTHAFIFIN

Jika diperhatikan urutan serta isinya, Surat Al-Muthaffifin yang diletakkan setelah Surat
At-Takwir dan Al-Infithar merupakan keindahan tersendiri dari rangkaian-rangkaian
surat-surat yang terdapat dalam Al-Quran. Surat At-Takwir berbicara tentang
dahsyatnya hari kiamat secara detail, mulai dari keadaan langit pada hari kiamat kelak,
keadaan bumi, keadaan lautan, dan lain sebagainya, Allah sebutkan secara detail
tentang kedahsyatannya. Kemudian selanjutnya surat Al-Infithar Allah menyebutkan
sebagian saja dari dahsyatnya hari kiamat lalu menyebutkan tentang celaan Allah
terhadap orang yang kafir dan lupa akan nikmat Allah subhanallahu wata’ala, serta
tidak terhadap hari kiamat. Di dalam Surat Al-Infithar juga disebutkan tentang dua
golongan manusia yaitu Al-Abrar (orang-orang baik yang mendapatkan kenikmatan)
dan Al-Fujjar (orang-orang fajir yang mendapatkan kesengsaraan).

Sedangkan pada surat Al-Muthaffifin, Allah menyebutkan bagaimana keadaan golongan


Al-Abrar dan Al-Fujjar secara detail pada hari akhirat kelak. Sehingga apabila kita
merenungi tentang urutan dari surat At-Takwir kemudian Al-Infithar lalu Al-Muthaffifin
akan kita dapati pengaturan yang sangat indah dari rangkaian–rangkaian surat-surat
tersebut.

Surat Al-Muthaffifin diperselisihkan oleh para ulama tentang statusnya apakah dia
merupakan surat makiyyah atau surat madaniyyah. Kebanyakan ulama berpendapat
bahwasanya surat Al– Muthaffifin adalah surat madaniyyah. Seperti salah seorang
ulama ahli tafsir dari madzhab Syafi’i Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam
tafsirnya Tafsir Al-Quranul ‘Adzhim, beliau menjelaskan asbabun nuzul (sebab
turunnya) ayat ini adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam berhijrah dari kota
Mekah ke Madinah beliau mendapati penduduk madinah sangat buruk dalam menakar
dan menimbang. Jika mereka yang membeli barang, mereka ingin agar takarannya
sempurna, namun ketika menjual barang, mereka mengurangi takarannya. Praktek
semacam ini sering dilakukan oleh para penduduk kota Madinah sebelum Nabi datang
ke kota Madinah. Sehingga turunlah Surat Al-Muthaffifin setelah itu sebagai teguran
bagi mereka. Ini adalah pendapat sebagian ulama mengapa surat Al-Muthaffifin adalah
Surat madaniyyah.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwasanya surat Al-Muthaffifin adalah surat
makiyyah. Karena jika dicermati lebih lanjut tentang isi dari surat Al-Muthaffifin akan
didapati konteks pembicaraannya masih ditujukan untuk orang-orang kafir Mekah yang
mengingkari hari kebangkitan. Diantara ayat yang menunjukkan bahwasanya Al-
Muthaffifin adalah surat makiyyah seperti dalam firman Allah :

َ ِ‫ِإ َذا تُ ْتلَ ٰى َعلَ ْي ِه آيَاتُنَا قَا َل َأ َسا ِطي ُر اَأْل َّول‬
‫ين‬
“Yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berkata, ‘Itu adalah dongeng-
dongeng orang terdahulu’.” (QS Al-Muthaffifin : 13)

Ungkapan seperti ini adalah salah satu contoh ungkapan yang sering dikeluarkan oleh
orang-orang kafir Quraisy di Mekkah. Demikian juga firman-Nya di akhir-akhir surat:

َ ‫َوِإ َذا َمرُّ وا بِ ِه ْم يَتَ َغا َم ُز‬


‫ون‬
“Dan apabila mereka (orang-orang beriman) melintas di hadapan mereka, mereka
saling mengedip-ngedipkan matanya.” (QS Al-Muthaffifin : 30)

Ejekan-ejekan seperti ini tidak akan terdengar di kota Madinah karena Madinah adalah
negara Islam, dan tidak ada oran orang-orang munafik yang mengejek dengan ejekan-
ejekan seperti itu. Sehingga ejekan seperti itu hanya terjadi di Mekkah. Oleh karena
itu, sebagian ulama menyatakan bahwa surat Al-Muthaffifin adalah surat makiyyah.

Ada pula sebagian ulama yang berusaha mengambil jalan tengah. Mereka mengatakan
bahwasanya surat Al-Muthaffifin turun di antara Mekkah dan Madinah yaitu ketika Nabi
hendak berhijrah. Sebagaimana pendapat Thahir bin ‘Asyur dalam tafsirnya untuk surat
Al-Muthaffifin bahwasanya surat Al-Muthaffifin turun diantara kota Mekkah dan Madinah
(Lihat At-Thrir wa At-Tanwiir 30/187), yaitu ketika Rasulullah shallallahu’ alaihi
wassallam sedang melakukan perjalanan hijrah turunlah surat Al-Muthaffifin sebagai
pengingat akan adanya keburukan di kota Madinah, yaitu praktek sebagian orang-
orang yang menimbang dengan tidak benar. Hal ini dimaksudkan agar ketika Nabi tiba
di kota Madinah, penyakit kebiasaan tersebut sudah hilang. Sehingga disambut dengan
kondisi yang baik oleh penduduk kota madinah. Terlepas apakah surat Al-Muthaffifin
makiyyah atau madaniyyah, perbedaan-perbedaan pendapat ulama akan hal tersebut
hanya sekedar wawasan dan tidak mempengaruhi isi dari ayat-ayat tersebut serta tidak
pula berkaitan dengan nasikh dan mansukh.

Di awal surat Al-Muthaffifin Allah menyinggung salah satu keburukan yang di sepelekan
oleh sebagian orang dan dianggap sebagai perkara ringan yaitu mengurangi timbangan
dari yang seharusnya. Ketahuilah bahwasanya, meskipun kebanyakan manusia
menganggap hal tersebut adalah perkara ringan, tetapi ini bukanlah perkara yang
ringan di sisi Allah subhanallahu wata’ala karena berkaitan dengan hak orang lain.
Karenanya dalam Al-Quran tidak ada surat yang di buka dengan kata ‫ َو ْي ٌل‬yang artinya
“celakalah” kecuali 2 surat, yaitu surat Al-Muthaffifin dan surat Al-Humazah.

Surat Al-Muthaffifin berkaitan dengan melanggar hak milik orang lain dari sisi harta
dengan melakukan kecurangan di dalam menimbang dengan cara menguranginya.
Sedangkan Al-Humazah berisi tentang orang-orang yang suka mengumpat dan
mencela serta merendahkan harga diri orang lain. Dan kedua surat ini punya
kesamaan, yaitu berkaitan dengan hak orang lain, yang satu berkaitan dengan harta
orang lain yang satu berkaitan dengan harga diri orang lain. Ini menunjukkan
bahwasanya perkara ini berbahaya. Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda dalam
khutbahnya ketika Haji Wada’:

‫ فِي بَلَ ِد ُك ْم‬،‫ َكحُرْ َم ِة يَ ْو ِم ُك ْم هَ َذا فِي َشه ِْر ُك ْم هَ َذا‬،‫ِإ َّن ِد َما َء ُك ْم َوَأ ْم َوالَ ُك ْم َح َرا ٌم َعلَ ْي ُك ْم‬
‫هَ َذا‬
“Sesungguhnya darah dan harta kalian, haram bagi sesama kalian. Sebagaimana
haramnya hari ini, haramnya bulan ini di negeri kalian ini.“ (HR. Muslim).

Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak menggampangkan dosa terutama yang
berkaitan dengan hak orang lain. Meskipun sama-sama berat tetapi dosa yang
berkaitan antara dia dengan Allah subhanallahu wata’ala itu masih lebih ringan
dibanding dosa yang berkaitan dengan hak-hak orang lain. Karena Allah subhanallahu
wata’ala itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Berbeda jika itu berkaitan dengan
hak orang lain karena pada dasarnya orang lain di akhirat kelak ingin menuntut kita,
agar dia bisa mendapatkan tambahan amalan yang diambil kita. Itulah sebabnya
mengapa dosa yang berkaitan dengan hak orang lain itu lebih berbahaya.

Oleh karenanya, Sufyan Ats-Tsauri rahimahullāh pernah berkata :

ُ‫ْك ِم ْن َأ ْن تَ ْلقَاه‬
َ ‫ك َوبَي َْن هَّللا ِ تَ َعالَى َأ ْه َو ُن َعلَي‬ َ ‫يت هَّللا َ تَ َعالَى بِ َس ْب ِع‬
َ َ‫ين َذ ْنبًا فِي َما بَ ْين‬ َ ِ‫ِإ ْن لَق‬
‫ك َوبَي َْن ْال ِعبَا ِد‬َ َ‫اح ٍد فِي َما بَ ْين‬ ٍ ‫بِ َذ ْن‬
ِ ‫ب َو‬
“Jika engkau bertemu Allāh (meninggal dunia) dengan membawa 72 dosa antara
engkau dan Allāh masih lebih ringan bagimu, daripada engkau bertemu Allāh dengan
membawa satu dosa antara engkau dengan hamba-Nya.” (Tanbiihul Goofiliin bi Ahaadiit
Sayyidil Anbiyaa’ wal Mursaliin, As-Samarqondi hal 380)

Allah subhanallahu wata’ala berfirman dalam surat Al-Muthaffifin:

َ ِ‫ َو ْي ٌل لِّ ْل ُمطَفِّف‬.1
‫ين‬
“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)”

Terkait dengan kata ٌ ‫َو ْيل‬


, ada dua pendapat di kalangan para ahli tafsir. Pendapat
yang pertama mengatakan bahwaٌ‫ َو ْيل‬adalah nama sebuah lembah di neraka jahannam.
Ada riwayat yang menunjukkan hal ini tetapi sebagian ulama melemahkan riwayat
tentang hal ini. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa kata ‫ َو ْي ٌل‬di kembalikan kepada
ushlub bahasa arab, sehingga artinya adalah kecelakaan dan kebinasaan. Sehingga
pendapat yang kedua lebih kuat jika ditinjau dari sisi bahasa. Selain itu, ancaman ini
akan menimbulkan kesan yang lebih mengerikan karena dia tidak mengetahui
kecelakaan dan kebinasaan apa yang akan menimpanya, yang tahu hanyalah Allah
kecelakaan apa yang pantas dia dapatkan.

Adapun firman Allah َ‫ِّل ْل ُم َط ِّففِين‬


, maka kata diambil dari kata ُ‫ال َّت ْط ِفيْف‬
yang ُّ
ُ‫الط َفاف‬
maknanya adalah ukuran kurang dari segenggam tangan sehingga makna ُ‫الط َفاف‬ ُّ adalah
sedikit tambahan (Lihat At-Thrir wa At-Tanwiir 30/189). Ibnu Jarir juga berkata :

‫ َوهُ َو ْالقَلِي ُل‬،‫يف‬


ِ ِ‫ك ِم َن ال َّش ْي ِء الطَّف‬
َ ِ‫َوَأصْ ُل َذل‬
“Dan asal hal ini dari sesuatu yang at-Thofiif yaitu sesuatu yang sedikit” (Tafsir At-
Thobari 24/185)

Jadi maksudnya Allah mencela orang-orang yang malakukan pengurangan timbangan


dan takaran meskipun pengurangan tersebut hanyalah sedikit. Dan memang yang biasa
dilakukan oleh para pedagang adalah mengurangi hanya sedikit timbangan dan
takaran, karena itulah yang samar bagi penjual. Kalau mereka mengurangi banyak
timbangan maka pasti akan ketahuan.

Kemudian Allah berfirman:

َ ُ‫ست َْوف‬
‫ون‬ ِ ‫ين ِإ َذا ا ْكتَالُوا َعلَى النَّا‬
ْ َ‫س ي‬ َ ‫ الَّ ِذ‬.2
“(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka
minta dicukupkan”

‫ون‬ ِ ‫ وَِإ َذا َكالُو ُه ْم َأو َّو َزنُو ُه ْم يُ ْخ‬.3


َ ‫س ُر‬
“dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka
mengurangi”

Para ulama menyebutkan bahwasanya perbuatan curang seperti ini adalah salah satu
contoh perkara yang dianggap sepele oleh sebagian orang. Tetapi ternyata masalah
mengurangi timbangan bukanlah perkara yang ringan, bahkan perkara ini pernah
menjadi sebab dihancurkannya sebuah umat, yaitu kaum Madyan, umatnya Nabi
Syu’aib ‘alaihissallam. Allah subhanallahu wata’ala berfirman :

‫َوِإلَ ٰى َم ْديَ َن َأ َخاهُ ْم ُش َع ْيبًا ۚ قَا َل يَا قَ ْو ِم ا ْعبُ ُدوا هَّللا َ َما لَ ُكم ِّم ْن ِإ ٰلَ ٍه َغ ْي ُرهُ ۖ َواَل تَنقُصُوا‬
‫يط‬
ٍ ‫اب يَ ْو ٍم ُّم ِح‬ َ ‫اف َعلَ ْي ُك ْم َع َذ‬ ُ ‫ان ۚ ِإنِّي َأ َرا ُكم بِ َخي ٍْر َوِإنِّي َأ َخ‬ َ ‫ال َو ْال ِمي َز‬
َ َ‫ْال ِم ْكي‬
Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata,
“Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak engkau sembah
selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku
melihat kamu dalam keadaan yang baik (makmur). Dan sesungguhnya aku khawatir
kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (Kiamat).” (QS Hud : 84)

Perkara yang sebagian dari kita anggap sepele tersebut ternyata pernah menjadi sebab
diturunkannya adzab pada suatu kaum karena pembangkangan kaum Madyan tidak
mau mengikuti perintah Allah. Hendaknya setiap orang dalam menakar dan menimbang
harus sempurna tidak boleh dikurangi dari ukuran seharusnya. Allah subhanallahu
wata’ala berfirman:

َ ِ‫اس ْال ُم ْستَقِ ِيم ۚ ٰ َذل‬


‫ك َخ ْي ٌر َوَأحْ َس ُن تَْأ ِوياًل‬ ِ َ‫َوَأ ْوفُوا ْال َك ْي َل ِإ َذا ِك ْلتُ ْم َو ِزنُوا بِ ْالقِ ْسط‬
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS Al-Isra’ : 35)

Kebanyakan penduduk Madinah menggunakan takaran karena mayoritas pekerjaan


mereka adalah pengepul. Apabila mereka menjual kurma mereka akan menggunakan
ukuran so’ dimana ukuran tersebut adalah ukuran voume. Adapun penduduk kota
Mekkah kebanyakan mereka menggunakan timbangan karena kebanyakan mereka
adalah para pedagang, seperti menjual emas dan perak yaitu dengan cara ditimbang.
Dan kedua-duanya baik takaran maupun timbangan harus disempurnakan.

Suatu hal yang sangat disayangkan, karena ternyata praktik seperti ini adalah praktik
yang masih sering dijumpai sampai sekarang. Terutama para syarikat-syarikat,
perusahaan-perusahaan besar, atau penjual-penjual yang menjual dalam jumlah besar.
Terkadang orang miskin terpaksa membelinya padahal mereka tahu bahwa
timbangannya kurang. Kadang tertulis 50kg di suatu kantong beras tetapi setelah
ditimbang kurang dari 50kg. Bisa jadi kekurangan 1kg ini dianggap sepele oleh
penjualnya, tetapi disisi Allah ini adalah masalah yang besar. Praktek seperti ini
berbahaya dan diancam oleh Allah dengan kebinasaan dan kehancuran.

Para ulama menyebutkan bahwasanya apa yang disebutkan oleh Allah subhanallahu
wata’ala tentang mengurangi takaran dan timbangan ini adalah sekedar contoh dan
bukan merupakan batasan. Artinya ini bisa diqiyaskan kepada permasalahan lainnya.
Seperti ketika menilai orang lain, ketika seseorang membenci orang lain maka dia
hanya menyebutkan keburukan-keburukannya tanpa menyebutkan kebaikan-
kebaikannya. Orang yang seperti ini takarannya tidak benar. Padahal ini juga berkaitan
dengan harga diri orang lain dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh
Allah subhanallahu wata’ala.

Sebagian ulama juga mengaitkannya dengan orang yang hanya bisa menuntut tetapi
tidak mau dituntut. Dalam ayat ini Allah mencela orang jika membeli dia ingin
timbangannya sempurna, tetapi jika menjual dia mengurangi timbangannya. Jadi apa
yang berkaitan dengan hak dia, dia tuntut. Tetapi kalau berkaitan dengan hak orang
lain dia anggap remeh. Sehingga setiap orang yang hanya ingin haknya dipenuhi
sementara hak orang lain tidak diperdulikannya maka dia termasuk dalam ayat ini.

Sampaipun dalam permasalahan keluarga, seorang suami yang selalu menuntut


istrinya agar menjadi istri yang shalihah, taat kepadanya, tidak boleh membantah.
Tetapi berkaitan dengan hak istri dia lalai. Dia tidak pernah membantu istrinya
mengurus rumah, tidak pernah membantu istrinya mencuci pakaian dan memasak,
tidak ada waktu untuk istrinya, istrinya butuh belaian dan sentuhan suaminya tetapi
tidak pernah diperdulikannya. Sesungguhnya ini termasuk perbuatan yang dicela
sebagaimana ayat ini, hak dia ingin dipenuhi tetapi hak orang lain tidak dia penuhi.

Termasuk pula dalam hal ini yatu hubungan antara rakyat dengan pemimpin, terkadang
atau malah banyak dijumpai rakyat yang selalu menuntut haknya agar dipenuhi
pemerintah, tetapi kewajibannya sebagai rakyat tidak diperhatikan, dengan cara selalu
melanggar peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah. Demikian juga sebaliknya bisa
jadi pemerintah selalu menuntut hak kepada rakyat dengan mewajibkan mereka untuk
membayar ini dan itu, akan tetapi hak-hak dan kesejahteraan rakyat tidak mereka
penuhi.

Demikian juga para pekerja yang mencuri-curi waktu kerjaan, mereka datang
terlambat dalam pekerjaan atau mereka keluar lebih dahulu sebelum waktu kerja
berakhir, namun tatkala menuntut gaji maka mereke menuntut agar gaji mereka
dipenuhi 100 persen.

Kemudian Allah berfirman :

َ ُ‫ َأاَل يَظُنُّ ُأو ٰلَِئ َك َأنَّ ُهم َّم ْب ُعوث‬.4


‫ون‬
“Tidakkah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan”
Dalam ayat-ayat sebelumnya, Allah mencela perilaku tidak adil dalam menimbang dan
menakar itu. Namun setelah itu, Allah tidak menjelaskan mengapa praktik-praktik
seperti itu bisa berdosa sehingga berdampak pada celaan Allah terhadapnya. Hal ini
disebabkan karena mengurangi takaran dan timbangan itu adalah suatu keburukan
menurut fitrah manusia, semua menganggapnya itu adalah hal yang buruk. Sehingga
Allah tidak perlu menyebutkan dalil, mengapa praktik seperti ini bisa mendatangkan
dosa, tetapi Allah langsung menyampaikan mauidzhah (nasehat) tentang hari
kiamat/hari pembalasan. Dengan menanyakan apakah mereka tidak mengetahui bahwa
akan adanya kebangkitan di hari akhir nanti.

Kemudian Allah berfirman:

‫يم‬
ٍ ‫ لِيَ ْو ٍم َع ِظ‬.5
“Pada suatu hari yang dahsyat”

َ ‫ب ا ْل َعالَ ِم‬
‫ين‬ ُ َّ‫ يَ ْو َم يَقُو ُم الن‬.6
ِّ ‫اس لِ َر‬
“(yaitu) pada hari (ketika) manusia bangkit menghadap Tuhan seluruh alam”

Hari kiamat memiliki nama-nama lain yang banyak, diantaranya yaumul qiyamah.

Dinamakan yaumul qiyamah diambil dari mashdar dari ‫ َقا َم َيقُ ْو ُم قِ َيا ًما‬yang artinya
ُ ‫ ال ِّق َيا‬yang ditambahkan
adalah “berdiri”. Adapun al-qiyamah yaitu diambil dari ‫م‬
dengan ‫ ة‬di akhirnya sebagai bentuk mubaalaghoh (hiperbola), sehingga maknanya
adalah benar-benar berdiri. Hal ini dikarenakan manusia pada hari kiamat kelak akan
berdiri dalam waktu yang sangat lama untuk menanti kedatangan Allah untuk
menyidang mereka (Lihat Tafsir At-Thobari 24/188-192)

Hari tersebut adalah hari yang sangat mengerikan. Allah menurunkan matahari sampai
berjarak 1 mil, sehingga manusia dalam keadaan yang sangat parah dan sangat
kepanasan. Ditambah manusia pada hari itu dibangkitkan dalam keadaan telanjang
bulat, tidak memakai alas kaki, belum disunat, dan tidak membawa apa-apa. ‘Aisyah
menggambarkan peristiwa ini yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ُول هللاِ النِّ َسا ُء َوالرِّ َجا ُل‬َ ‫ يَا َرس‬:‫ت‬ ُ ‫يُحْ َش ُر النَّاسُ يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة ُحفَاةً ُع َراةً ُغرْ اًل قُ ْل‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَا َعاِئ َشةُ اَأْل ْم ُر َأ َش ُّد ِم ْن‬ َ ‫ قَا َل‬،‫ْض‬ ٍ ‫ضهُ ْم ِإلَى بَع‬ ُ ‫َج ِميعًا يَ ْنظُ ُر بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم ِإلَى بَع‬
‫ْض‬ ُ ‫َأ ْن يَ ْنظُ َر بَ ْع‬
“Manusia akan digiring pada hari kiamat (di Padang Mahsyar) dalam keadaan tidak
memakai alas kaki, telanjang, dan belum dikhitan”. Lalu ‘Aisyah berkata, ”Wahai
Rasulullah, perempuan dan laki-laki semuanya? Sebagian mereka melihat sebagian
lainnya?” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Keadaannya lebih
mengerikan dari membuat mereka berpikir demikian”. (HR Muslim no. 2859)

Bagaimana tidak, manusia dikumpulkan di atas suatu dataran yang rata, tidak ada
gunung dan tidak ada lembah yang disebut dengan padang mahsyar. Ditambah
matahari didekatkan hingga jarak 1 mil. Semua manusia sejak nabi
Adam ‘alaihissallam sampai manusia yang terakhir hidup di bumi dikumpulkan di
padang mahsyar tersebut. Mereka berdiri menunggu kehadiran Allah subhanallahu
wata’ala dalam keadaan penuh ketakutan. Keringat mereka bercucuran, sampai-sampai
disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bahwasanya keringat seseorang
sesuai dengan imannya. Orang yang imannya tinggi maka keringatnya akan sedikit.
Sebaliknya semakin buruk imannya maka semakin tinggi keringatnya. Ada yang
keringatnya sampai betisnya, ada yang sampai pahanya, pinggangnya, mulutnya,
kepalanya, wajahnya. Inilah bukti dahsyatnya hari kiamat.

Nabi bersabda :
ُ‫ون النَّاس‬
ُ ‫ فَيَ ُك‬،‫يل‬ٍ ‫ار ِم‬ ِ ‫ون ِم ْنهُ ْم َك ِم ْق َد‬
َ ‫ َحتَّى تَ ُك‬،‫ق‬ ِ ‫تُ ْدنَى ال َّش ْمسُ يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة ِم َن ْال َخ ْل‬
ُ ‫ َو ِم ْنهُ ْم َم ْن يَ ُك‬،‫ون ِإلَى َك ْعبَ ْي ِه‬
‫ون ِإلَى‬ ُ ‫ فَ ِم ْنهُ ْم َم ْن يَ ُك‬،‫ق‬ ِ ‫َعلَى قَ ْد ِر َأ ْع َمالِ ِه ْم فِي ْال َع َر‬
َ ‫ َوَأ َش‬:‫ال‬
‫ار‬ َ َ‫ق ِإ ْل َجا ًما» ق‬ ُ ‫ َو ِم ْنهُ ْم َم ْن ي ُْل ِج ُمهُ ْال َع َر‬،‫ون ِإلَى َح ْق َو ْي ِه‬ ُ ‫ َو ِم ْنهُ ْم َم ْن يَ ُك‬،‫ُر ْكبَتَ ْي ِه‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِيَ ِد ِه ِإلَى فِي ِه‬ َ ِ‫َرسُو ُل هللا‬
“Matahari pada hari kiamat didekatkan kepada manusia, hingga jaraknya dari mereka
hanya satu mil. Maka orang-orang berdasarkan amalannya dalam hal keringat. Ada
diantara mereka yang keringatnya hingga dua mata kakinya, diantaranya ada yang
keringatnya hingga kedua lututnya, ada yang keringatnya hingga kedua pinggangnya,
dan ada yang keringatnya samapi ke mulutnya menahan mulutnya” (HR Muslim No.
2864)

Pada hari itu Allah membangkitkan manusia dengan bentuk yang lain. Allah membuat
manusia kuat untuk menahan panasnya matahari dalam kepayahan, dan meskipun
tidak ada makanan dan minuman. Oleh karena itu, meskipun manusia dalam kondisi
yang sangat sulit dan kepanasan, namun mereka kuat dan tidak bisa mati. Adapun
sekarang, seandainya matahari diturunkan sedikit saja, mungkin manusia sudah
binasa.

Pada hari itu semua manusia menanti kapan Allah akan memulai persidangannya. Ada
yang mengatakan manusia menunggu sampai 40.000 tahun, ada pula yang
mengatakan 50.000 tahun, intinya manusia menunggu dalam waktu yang sangat lama.

Adapun orang-orang beriman maka mereka merasa menunggu hanya dalam waktu
yang singkat. Abu Sa’id al-Khudri berkata :

‫ َما‬،‫ف َسنَ ٍة‬ َ ‫ين َأ ْل‬


َ ‫ان ِم ْق َدا ُرهُ َخ ْم ِس‬ َ ‫ يَ ْو ًما َك‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ِ‫ُول هللا‬ ِ ‫يل لِ َرس‬ َ ِ‫ق‬
ُ‫ ِإنَّه‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ” َوالَّ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه‬
َ ‫هللا‬ ِ ‫ال َرسُو ُل‬ َ َ‫ط َو َل هَ َذا ْاليَ ْو َم؟ فَق‬ْ ‫َأ‬
‫صلِّيهَا فِي ال ُّد ْنيَا‬ َ ُ‫صاَل ٍة َم ْكتُوبَ ٍة ي‬ َ ‫ف َعلَ ْي ِه ِم ْن‬ َّ ‫ون َأ َخ‬ َ ‫ َحتَّى يَ ُك‬،‫ف َعلَى ْال ُمْؤ ِم ِن‬ ُ َّ‫لَيُ َخف‬
“Dikatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : Suatu hari yang ukurannya
50 ribu tahun, sungguh betapa panjang hari tersebut?”. Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berkata, “Demi Yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh diringankan
bagi seorang mukmin, hingga lebih ringan dari sholat fardu yang ia kerjakan di
dunia” (HR Ahmad no 11717) 1

Kemudian Allah subhanallahu wata’ala berfirman :

‫ين‬ ِ ‫َاب ا ْلفُ َّجا ِر لَفِي‬


ٍ ‫س ِّج‬ َ ‫ َكاَّل ِإنَّ ِكت‬.7
“Sekali-kali tidak. Sesungguhnya catatan orang yang durhaka benar-benar
tersimpan dalam sijjin.”

َّ‫َكل‬
Dalam Al-Quran sering dijumpai kalimat‫ ا‬. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam
Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya, bahwa ‫ َكاَّل‬terkadang sebagai kalimat yang

mengingkari perkataan sebelumnya. Terkadang pula maknanya adalah yaitu untuk ‫َح ًّقا‬
penekanan, untuk membenarkan perkataan sebelumnya2. Dan Imam Ibnu Katsir

rahimahullah mengatakan bahwa ‫ َكاَّل‬pada ayat ini bermakna ‫ َح ًّقا‬yaitu “sungguh


benar-benar”.

Ada dua penafsiran para ulama dalam hal ini :

Pertama : Allah menyampaikan bahwa nama-nama orang fajir semuanya telah tercatat
dalam sebuah kitab atau dalam sebuah batu, yang catatan tersebut tercatat di batu
hitam yang terletak di lapisan bumi yang ketujuh yang paling bawah. Namun hanya
Allah yang mengetahui bagaimana hakikatnya
Maksudnya yaitu orang yang beriman kepada takdir meyakini bahwasanya seluruh
orang-orang yang masuk neraka jahannam sudah dicatat dalam catatan
Allah subhanallahu wata’ala. Tiada satu orang pun yang akan lepas dari catatan
tersebut. Mereka yang melakukan kemaksiatan, kefajiran, dan kekufuran, telah tercatat
dalam sebuah catatan

Kedua : Maksud dari ِ َّ‫اب ْالفُج‬


‫ار‬ َ ‫ ِك َت‬yaitu -sebagaimana perkataan Ibnu Katsir- َّ‫ِإن‬
‫ْأ‬
ٍ ِّ‫ير ُه ْم َو َم َوا ُه ْم َلفِي سِ ج‬
‫ين‬ َ ِ‫“ مَص‬Kesudahan mereka dan tempat mereka adalah tempat
yang sempit” (Tafsir Ibnu Katsir 8/345) Dan ‫ين‬ ٍ ِّ‫ سِ ج‬secara bahasa diambil
dari ُ‫ السِّجْ ن‬yang artinya ‫ق‬ ُ ‫“ الض ِِّي‬sempit”, penjara yang sempit. Dan dalam hal ini ‫سِ جِّ ٍين‬
diartikan dengan neraka Jahannam sebagai tempat orang-orang fajir kafir. Dan ini yang
dirajihkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah. Beliau condong kepada pendapat
bahwa ٍ ِّ‫سِ ج‬
‫ين‬ adalah tempat yang menyesakan yang terletak di lapisan bumi yang
ketujuh yang paling bawah dan itulah tempat neraka Jahannam. (lihat Tafsir Ibnu
Katsir 8/346)

Kemudian Allah berfirman:

ِ ‫ َو َما َأد َْرا َك َما‬.8


ٌ‫س ِّجين‬
“Dan tahukah engkau apakah sijjin itu?”

Allah mengulangi penyebutan sijjin dalam bentuk pertanyaan. Ini adalah bentuk

uslub/metode dalam Al-Quran untuk menunjukkan bahwa adalah tempat yang ٌ‫سِ جِّ ين‬
mendatangkan penderitaan dan merupakan tempat yang sangat sempit. Allah
berfirman dalam Al-Quran :

َ ِ‫) ثُ َّم َر َد ْدنَاهُ َأ ْسفَ َل َسافِل‬4( ‫ان فِي َأحْ َس ِن تَ ْق ِو ٍيم‬


)5( ‫ين‬ َ ‫لَقَ ْد َخلَ ْقنَا اِإْل ن َس‬
“(4) Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; (5)
Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” (QS At-Tin : 4-
5)

Para ulama ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tempat yang
serendah-rendahnya adalah lapisan bumi yang paling bawah. Ini menguatkan tafsir dari
ayat sebelumnya.

Kemudian Allah berfirman :

‫َاب َّم ْرقُو ٌم‬


ٌ ‫ ِكت‬.9
“(yaitu) kitab yang telah terpahatkan”

Catatan amal tersebut seakan-akan telah dipahat oleh Allah subhanallahu wata’ala dan

tidak akan ada lagi perubahan. Jadi ‫ ِك َتابٌ َمرْ قُ ْو ٌم‬bukanlah tafsir dari ٌ‫ سِ جِّ ين‬akan
ِ َّ‫اب ْالفُج‬
tetapi tafsir dari ‫ار‬ َ ‫( ِك َت‬lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/346). Dan orang yang beriman
kepada takdir, meyakini bahwa ketika Allah menciptakan alam semesta, Allah juga
mencatat siapa yang akan menjadi penghuni surga dan siapa penghuni neraka
jahannam. Tidak akan ada perubahan sama sekali dalam catatan tersebut, hanya saja
tidak ada seorang pun yang mengetahui dia akan menjadi penghuni neraka atau
penghuni surga. Oleh karena itu jika ada yang mempertanyakan mengapa harus
beramal jika kita tahu kita akan menjadi penghuni neraka, maka jawabannya adalah
karena kita tidak tahu kita akan menjadi penghuni neraka atau surga, maka hendaklah
kita senantiasa beramal. Rasulullah bersabda:
‫ان ِم ْن َأ ْه ِل ال َّس َعا َد ِة فَيُيَ َّس ُر لِ َع َم ِل َأ ْه ِل‬
َ ‫ق لَهُ َأ َّما َم ْن َك‬ َ ِ‫ فَ ُك ٌّل ُميَ َّس ٌر لِ َما ُخل‬،‫ا ْع َملُوا‬
َ َ‫ان ِم ْن َأ ْه ِل ال َّشقَا ِء فَيُيَ َّس ُر لِ َع َم ِل َأ ْه ِل ال َّشق‬
‫او ِة‬ َ ‫ال َّس َعا َد ِة َوَأ َّما َم ْن َك‬
“Hendaklah kalian beramal! Setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan tujuan dia
diciptakan. Barangsiapa yang tergolong orang-orang yang berbahagia (penghuni surga)
maka ia akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang yang berbahagia
tersebut. Barangsiapa yang yang tergolong orang-orang yang sengsara (penghuni
neraka) maka ia akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang yang
sengsara itu.” (HR Bukhari no. 4949)

Kemudian Allah subhanallahu wata’ala berfirman:

َ ِ‫ َو ْي ٌل يَ ْو َمِئ ٍذ لِّ ْل ُم َك ِّذب‬.10


‫ين‬
“Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan”

Yaitu kecelakaan bagi mereka jika tiba hari kiamat, dimana Allah telah menyiapkan
bagi mereka ٌ‫ سِ جِّ ين‬dan adzab yang pedih

َ ُ‫ين يُ َك ِّذب‬
‫ون بِيَ ْو ِم الدِّي ِن‬ َ ‫ الَّ ِذ‬.11
“(yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan”

Yaitu orang-orang yang tidak membenarkan akan terjadinya hari kiamat dan mereka
merasa aneh dan tidak mungkin ada yang namanya hari pembalasan.

Allah berfirman:

َ ِ‫ين َكفَرُوا َأن لَّن يُ ْب َعثُوا ۚ قُلْ بَلَ ٰى َو َربِّي لَتُ ْب َعثُ َّن ثُ َّم لَتُنَبَُّؤ َّن بِ َما َع ِم ْلتُ ْم ۚ َو ٰ َذل‬
‫ك‬ َ ‫َز َع َم الَّ ِذ‬
‫َعلَى هَّللا ِ يَ ِسي ٌر‬
“Orang-orang yang kafir mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah
(Muhammad), ‘Tidak demikian, demi Tuhanku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian
diberitakan semua yang kamu kerjakan.’ Dan yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS
At-Taghabun : 7)

Kemudian Allah berfirman:

ٍ ِ‫ب ِب ِه ِإاَّل ُك ُّل ُم ْعتَ ٍد َأث‬


‫يم‬ ُ ‫ َو َما يُ َك ِّذ‬.12
“Dan tidak ada yang mendustakannya (hari pembalasan) kecuali setiap orang
yang melampaui batas dan berdosa.”

Terkait makna ‫ مُعْ َت ٍد‬dan ‫َأثِي ٌم‬, para ulama semisal Al-Hafidz Ibnu Katsir berpendapat

bahwa ‫مُعْ َت ٍد‬


adalah orang yang melakukan perbuatan dosa yang berkaitan dengan
perbuatannnya. Seperti meminum khamr, berzina, atau membunuh orang lain, dan lain
sebagainya. Sedangkan ‫ َأثِي ٌم‬adalah dosa yang berkaitan dengan perkataannnya, seperti
berdusta. (Tafsir Ibnu Katsir 8/346)

Pendapat yang lain mengatakan bahwa ‫ مُعْ َت ٍد‬adalah dosa yang berkaitan dengan
mendzalimi orang lain. Sedangkan ‫َأثِي ٌم‬
adalah dosa yang berkaitan dengan mendzalimi
diri sendiri. (lihat Tafsir Al-Qurthubi 19/259). Diantara dosa yang berkaitan dengan
orang lain yaitu dengan mendzalimi orang lain, mengambil harta orang lain tanpa hak,
menipu orang lain, menjatuhkan harkat dan martabat orang lain, menuduh orang lain
dengan tuduhan yang tidak-tidak. Bayangkanlah, jika mengurangi timbangan sedikit
saja yang berkaitan dengan hak orang lain Allah ancam dengan kebinasaan dan
kesengsaraan, maka bagaimana pula orang yang mengambil harta rakyat dengan cara
mengkorupsinya. Betapa banyak rakyat yang terdzalimi yang akan menuntutnya pada
hari kiamat kelak.

Sedangkan mendzalimi diri sendiri adalah bermaksiat berkaitan dengan dirinya sendiri.
Dia tidak ragu melakukan yang haram, tidak ragu memandang yang haram, tidak ragu
memakan yang haram. Hal ini semua terjadi karena dia tidak beriman kepada hari
akhirat. Bisa jadi dia tidak merasa akan dibangkitkan di hari kiamat dan dimintai
pertanggung jawabannya oleh Allah subhanallahu wata’ala. Ketahuilah bahwa keimanan
pada hari kiamat merupakan perkara yang paling membuat orang tidak bermaksiat.
Jika ada orang yang berani melakukan kemaksiatan, maka menunjukkan bahwa
imannya terhadap hari akhirat itu kurang. Apabila dia beriman bahwa dia akan
dibangkitkan oleh Allah dengan keimanan yang kuat dan yang kokoh, dia akan takut
melakukan kemaksiatan atau ketika dia terjerumus ke dalam kemaksiatan dia akan
segera bertaubat kepada Allah subhanallahu wata’ala.

Kemudian Allah subhanallahu wata’ala berfirman:

َ ِ‫سا ِطي ُر اَأْل َّول‬


‫ين‬ َ ‫ ِإ َذا تُ ْتلَ ٰى َعلَ ْي ِه آيَاتُنَا قَا َل َأ‬.13
“yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berkata, ‘Itu adalah
dongeng orang-orang dahulu’.”

Perkataan semacam inilah yang sering dilontarkan oleh kaum kafir Quraisy terhadap
Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam. Mereka menganggap bahwa ayat-ayat yang
disampaikan oleh Nabi adalah bukan dari Allah subhanallahu wata’ala melainkan
hanyalah cerita-cerita yang disusun oleh Muhammad atau dongeng-dongeng yang
didiktekan kepada beliau. Atau Nabi hanya mengumpulkannya dari buku-buku
terdahulu lalu disusun kembali.

Allah berfirman :

ِ ‫ين ا ْكتَتَبَهَا فَ ِه َي تُ ْملَى َعلَ ْي ِه بُ ْك َرةً َوَأ‬


‫صياًل‬ َ ِ‫َوقَالُوا َأ َسا ِطي ُر اَأْل َّول‬
Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya
dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang” (QS
Al-Furqon : 5)

Demikianlah tuduhan-tuduhan dusta yang ditujukan kepada Rasulullah. Namun semua


tuduhan itu tidak benar.

Padahal Nabi tidak bisa baca dan tidak bisa tulis, lantas bagaimana Nabi menelaah
kitab-kitab terdahulu?.

Allah berfirman

َ ُ‫اب ْال ُمب ِْطل‬


‫ون‬ َ َ‫ك ِإ ًذا اَل رْ ت‬ ُّ ‫ب َواَل تَ ُخ‬
َ ِ‫طهُ بِيَ ِمين‬ ٍ ‫ت تَ ْتلُو ِم ْن قَ ْبلِ ِه ِم ْن ِكتَا‬
َ ‫َو َما ُك ْن‬
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu
tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu) (QS
Al-‘Ankabuut : 48)

Lagi pula isi Al-Quran bukanlah dongeng-dongeng, tetapi peringatan. Kisah-kisah yang
dibawakan tersebut itupun kisah-kisah nayata untuk memberi pelajaran dan
peringatan, bukan hanya sekedar cerita kosong pengantar tidur. Perhatikanlah isi Al-
Quran, akan dijumpai berbagai macam pembahasan baik itu tentang hukum, kisah-
kisah umat terdahulu, ataupun peringatan-peringatan tentang hari akhirat, tentang hari
kiamat, bahkan tentang muamalah, tentang akhlak, dan lain sebagainya. Sungguh jauh
apa yang dituduhkan oleh mereka.
Kemudian Allah berfirman:

‫ون‬ ِ ‫ان َعلَ ٰى قُلُوبِ ِهم َّما َكانُوا يَ ْك‬


َ ُ ‫سب‬ َ ‫ َكاَّل ۖ بَ ْل ۜ َر‬.14
“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati
mereka”

‫ َكاَّل‬dalam ayat ini bermakna “sekali-kali tidak” yaitu mengingkari. Hal ini karena ada
kalimat sebelumnya yang ingin dibantah oleh Allah. Yaitu tidak benar persangkaan
mereka bahwa al-Qur’an adalah dongeng orang terdahulu.

Yang benar yaitu al-Qur’an adalah firman Allah, hanya saja kaum musyrikin tidak
beriman kepada al-Qur’an yang begitu indah dikarenan hati mereka yang telah tertutup
dikarenakan banyaknya dosa dan kesalahan yang mereka lakukan.

Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut.

‫ال « ِإ َّن ْال َع ْب َد ِإ َذا َأ ْخطََأ‬َ َ‫َع ْن َأبِى هُ َر ْي َرةَ َع ْن َرسُو ِل هَّللا ِ –صلى هللا عليه وسلم– ق‬
‫اب ُسقِ َل قَ ْلبُهُ َوِإ ْن َعا َد‬ َ َ‫ت فِى قَ ْلبِ ِه نُ ْكتَةٌ َس ْو َدا ُء فَِإ َذا هُ َو نَ َز َع َوا ْستَ ْغفَ َر َوت‬
ْ َ‫َخ ِطيَئةً نُ ِكت‬
‫ان َعلَى قُلُوبِ ِه ْم َما‬ ُ ‫ِزي َد ِفيهَا َحتَّى تَ ْعلُ َو قَ ْلبَهُ َوهُ َو الر‬
َ ‫َّان الَّ ِذى َذ َك َر هَّللا ُ ( َكالَّ بَلْ َر‬
َ ‫َكانُوا يَ ْك ِسب‬
» )‫ُون‬
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam
hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta
bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka
ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar–
raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka’.” (HR At Tirmidzi no. 3334, Ibnu Majah no. 4244, Ibnu Hibban (7/27) dan
Ahmad (2/297). At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dalam hadist di atas disebutkan bahwa seorang hamba apabila melakukan dosa, maka
akan di catatkan di hatinya titik hitam. Semakin melakukan kemaksiatan maka semakin
banyak titik hitam dicatatkan di hatinya, sehingga hatinya bisa tertutup dengan warna
hitam. Pada saat itu itu dia sudah tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang
buruk. Dia melihat kemungkaran seperti kebaikan dan dia tidak mempunyai rasa malu
melakukan kemungkaran, karena hatinya telah tertutup. Oleh karena itu, seseorang
apabila melakukan kemaksiatan hendaklah segera bertaubat dan beristigfar kepada
Allah subhanallahu wata’ala agar titik hitam yang dicatatkan tadi dihapus kembali oleh
Allah subhanallahu wata’ala. Adapun orang-orang kafir maka hati mereka telah tertutup
kelam, sehingga mereka tidak lagi mengetahui mana yang baik dan mana yang baik,
dan tidak lagi memperdulikan jika mereka melakukan kemungkaran. Karena hati
mereka telah ditutup oleh Allah, akibat ulah perbuatan mereka sendiri.

Kemudian Allah subhanallahu wata’ala berfirman:

َ ُ‫ َكاَّل ِإنَّ ُه ْم َعن َّربِّ ِه ْم يَ ْو َمِئ ٍذ لَّ َم ْح ُجوب‬.15


‫ون‬
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang
dari (melihat) Tuhannya”

Yakni mereka tidak bisa melihat Allah subhanallahu wata’ala di hari kiamat kelak. Al-
Hafidz Ibnu Katsir rahimahulah dalam tafsirnya mengatakan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i
berdalil dengan ayat ini bahwasanya kaum mukminin kelak akan melihat wajah Allah
pada hari kiamat. Imam As-Syaf’’i berkata :
َ ِ‫وفي هَ ِذ ِه اآْل يَ ِة َدلِي ٌل َعلَى َأ َّن ْال ُمْؤ ِمن‬
‫ين يَ َر ْونَهُ َع َّز َو َج َّل يَ ْو َمِئ ٍذ‬
“Pada ayat ini ada dalil yang menunjukan bahwa kaum mukminin melihat Allah ‘Azza
wa Jalla pada hari itu”.

Yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i berdalil dengan mafhum ayat ini (lihat Tafsir Ibnu Katsir
8/347)

Melihat wajah Allah merupakan kenikmatan yang paling lezat yang akan dirasakan oleh
orang-orang beriman di surga kelak. Kenikmatan tersebut merupakan tambahan dari
nikmat yang telah mereka rasakan di dalam surga. Oleh karena itu, dalam ayat yang
lain Allah berfirman

)23( ٌ‫اظ َرة‬


ِ َ‫) ِإلَ ٰى َربِّهَا ن‬22( ٌ‫ض َرة‬
ِ ‫ُوجُوهٌ يَ ْو َمِئ ٍذ نَّا‬
“(22) Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri ; (23) Melihat kepada
Tuhannya.” (QS Al-Qiyamah : 22-23)

Ini juga merupakan dalil bahwasanya Allah subhanallahu wata’ala memiliki wajah dan
sifat-sifat lainnya, namun tidak kita tahu akan hakikatnya. Allah memiliki wajah yang
berbeda dengan wajah manusia. Pendengaran Allah juga berbeda dengan pendengaran
manusia yang penuh dengan keterbatasan. Jika ada dua orang yang berbicara
bersamaan, maka pendengaran manusia tidak akan bisa menangkapnya dengan baik
kedua pembicaraan tersebut. Adapun pendengaran Allah tidak demikian, tatkala jutaan
manusia berkumpul di padang arafah padang musim haji dan semua berdoa kepada
Allah subhanallahu wata’ala dalam satu waktu dengan doa yang berbeda-beda maka
semuanya didengar oleh Allah. Demikian juga penglihatan Allah berbeda dengan
penglihatan manusia, manusia penglihatannya terbatas namun penglihatan Allah
melingkupi segala sesuatu. Begitupun kekuatan Allah berbeda dengan kekuatan
manusia, dan seluruh sifat-sifat lainnya. Allah berfirman:

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء ۖ َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬


‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” (QS As-Syura : 11)

Dan diantara keyakinan Imam Asy-Syafii rahimahullah berikut seluruh Ahlussunnah wal
Jamaah bahwasanya orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allah pada hari
kiamat. Rasulullah juga mengajarkan supaya berdoa kepada Allah agar kelak di hari
kiamat diberikan kesempatan melihat wajah Allah dalam kenikmatan. Diantara doa
Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam:

َ ُ‫َأ ْسَأل‬
َ ‫ك لَ َّذةَ النَّظَ ِر ِإلَى َوجْ ِه‬
‫ك‬
“Aku memohon kenikmatan memandang wajah-Mu.” (HR. An-Nasai, Ahmad)

Adapun Ibnu Jarir At-Thobari maka beliau berpendapat bahwa ayat ini umum
mencakup terhalanginya kaum kafir dari melihat wajah Allah dan juga terhalangi dari
karomah/kemuliaan Allah, yaitu Allah tidak akan melihat mereka, tidak akan
mensucikan merekan dan bagi mereka adzab yang pedih (lihat Tafsir At-Thobari
24/206)

Kemudian Allah subhanallahu wata’ala berfirman:

َ َ‫ ثُ َّم ِإنَّ ُه ْم ل‬.16


ِ ‫صالُو ا ْل َج ِح‬
‫يم‬
“Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masukkan ke dalam neraka”

َ ُ‫ ثُ َّم يُقَا ُل ٰ َه َذا الَّ ِذي ُكنتُم ِب ِه تُ َك ِّذب‬.17


‫ون‬
“Kemudian, dikatakan (kepada mereka), ‘Inilah (adzab) yang dahulu kamu
dustakan’”

Maka kelak di hari kiamat akan dikatakan kepada mereka kalimat demikian sebagai
bentuk penghinaan dan perendahan kepada mereka, karena dahulu di dunia orang-
orang musyrikin mendustakan adzab neraka Jahannam, hingga akhirnya mereka
merasakan sendiri apa yang mereka dustakan.

Setelah Allah menyampaikan keadaan golongan al-fujjar beserta adzab yang akan
mereka dapatkan di hari kiamat, kemudian Allah menyebutkan keadaan al-abrar
beserta kenikmatan yang disediakan untuk mereka di hari kiamat kelak.

Allah berfirman:

َ ِّ‫َاب اَأْل ْب َرا ِر لَفِي ِعلِّي‬


‫ين‬ َ ‫ َكاَّل ِإنَّ ِكت‬.18
“Sekali-kali tidak. Sesungguhnya catatan orang yang berbakti benar-benar
tersimpan dalam ‘illiyyin.”

Terkait makna َ ‫عِ لِّي‬


‫ِّين‬ maka ada yang mengatakan yaitu tempat yang tinggi di langit
yang ke tujuh, ada pula yang mengatakan di surga. Bahwasanya Allah sudah mencatat
nama-nama orang yang akan masuk surga dalam suatu catatan yang tidak akan diubah
lagi oleh Allah subhanallahu wata’ala.
Pada ayat ini juga ada dua pendapat, pertama yaitu “Sesungguhnya kesudahan dan
tempat menetap orang-orang yang baik adalah di surga” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir
8/348). Pendapat kedua : yaitu bahwasanya nama-nama para orang-orang baik sudah
tercatat di tempat yang tinggi di langit yang ketujuh. Dan ini berkaitan dengan taqdir.

َ ‫ َو َما َأد َْرا َك َما ِعلِّ ُّي‬.19


‫ون‬
“Dan tahukah engkau apakah ‘illiyyin itu?”

‫َاب َّم ْرقُو ٌم‬


ٌ ‫ ِكت‬.20
“(yaitu) kitab yang berisi catatan (amal)”

َ ُ‫ش َه ُدهُ ا ْل ُمقَ َّرب‬


‫ون‬ ْ َ‫ ي‬.21
“yang disaksikan oleh (malaikat-malaikat) yang didekatkan (kepada Allah)”

Para ahli tafsir mengatakan bahwa ini adalah bentuk kemulian yang akan didapatkan
oleh para penghuni surga. Adapun catatan nama-nama mereka akan dibuka oleh
Allah subhanallahu wata’ala dan dihadiri oleh malaikat yang ada di langit sembari
menyaksikan penyebutan nama-nama mereka dalam kitab tersebut. Dan ini merupakan
bentuk kemuliaan bagi seseorang. Sebagaimana seseorang yang mendapatkan
penghargaan, kadar kemuliaan bisa dilihat dari banyaknya manusia yang menghadiri
penyerahan penghargaan tersebut. Demikianlah kemuliaan yang didapatkan oleh para
al-abrar yang kitab amalnya disaksikan oleh para malaikat yang ada di langit. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 8/348)

Kemudian Allah berfirman:

ٍ ‫ ِإنَّ اَأْل ْب َرا َر لَفِي نَ ِع‬.22


‫يم‬
“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga
yang penuh) kenikmatan”
َ ‫ اَأْلب َْر‬adalah jamak dari ُّ‫ ال َبر‬atau ُّ‫ ْال َبار‬dan maknanya adalah
‫ار‬
‘’kelapangan/keluasan’’ sebagaimana yang telah dijelaskan pada tafsir surat Al-Infithar.
Artinya orang yang disebut ُّ‫ ْالبَار‬berbuat kebaikan yang sangat banyak. Jika
bersilaturrahmi, dia tidak hanya bersilaturrahmi kepada ayahnya dan ibunya, tetapi dia
juga bersilaturrahmi kepada pamannya, bibinya, kakaknya, adik-adiknya, yaitu apabila
dia menjalanlan suatu amalan maka dikerjakannya dengan sangat baik. Jika dia shalat,
dia tidak hanya shalat 5 waktu saja tetapi dia shalat 5 waktu di masjid ditambah
shalat-shalat Sunnah lainnya. Jika dia mengeluarkan zakat maka dia tidak
mencukupkan dengan yang wajib saja tetapi dia juga bersedekah kepada para fakir
miskin, kepada para penuntut ilmu, dan semua itu dia berikan dalam keadaan lapang
dada dan ikhlas. Dia tidak hanya mengerjakan yang wajib-wajib saja akan tetapi
disempurnakan dengan amalan dan kebaikan-kebaikan lain yang banyak. Inilah yang

dinamakan dengan َ ‫ اَأْلب َْر‬.


‫ار‬
Mereka benar-benar dalam kenikmatan yaitu kenikmatan surga. Allah menyiapkan
kenikmatan-kenikmatan yang luar biasa untuk para penghuni surga. Sebagaimana
dalam sebuah hadist qudsi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َوالَ َخطَ َر‬، ‫ت‬ ْ ‫ َوالَ ُأ ُذ َن َس ِم َع‬، ‫ت‬ ْ ‫ين َما الَ َعي َْن َرَأ‬ َ ‫ت لِ ِعبَا ِدى الصَّالِ ِح‬ ُ ‫قَا َل هَّللا ُ َأ ْع َد ْد‬
) ‫ فَا ْق َر ُءوا ِإ ْن ِشْئتُ ْم ( فَالَ تَ ْعلَ ُم نَ ْفسٌ َما ُأ ْخفِ َى لَهُ ْم ِم ْن قُ َّر ِة َأ ْعي ٍُن‬، ‫ب بَ َش ٍر‬ِ ‫َعلَى قَ ْل‬
“Allah berfirman: Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang sholeh surga yang tidak
pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbetik
dalam hati manusia.” Bacalah firman Allah Ta’ala, “Tak seorang pun mengetahui
berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka,
atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As Sajdah: 17) (HR. Bukhari no. 3244 dan
Muslim no. 2824)

Sehingga apa saja kenikmatan yang pernah kita khayalkan atau pernah terbersit di
dalam hati, belum ada apa-apanya dengan apa yang nyata di dalam surga. Bidadari
yang disediakan bagi para penghuni surga akan lebih cantik dari secant-cantik
perempuan yang pernah dilihat oleh mata manusia, bahkan ketika ia membayangkan
bentuk sempurna dari seorang wanita, niscaya bidadari melebihi khayalan dan angan-
angannya.

Allah berfirman

َ ‫ َعلَى اَأْل َراِئ ِك يَنظُ ُر‬.23


‫ون‬
“mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan”

ُ ‫ اَأْل َراِئ‬adalah jamak dari ‫ اَأل ِر ْي َك ُة‬dan dia bukan hanya sekedar dipan, tetapi dipan
‫ك‬
khusus yang dihiasi -seperti tempat tidur yang disiapkan untuk pengantin baru-.
Tempat tidur yang terdapat padanya tirai-tirai yang menutup, kemudian diberikan
perhiasan-perhiasan, diberikan wewangian yang semerbak3. Demikianlah penghuni
surga, mereka berada di atas dipan-dipan yang dihiasi dalam keadaan santai dan mata
memandang.

Para ahli tafsir menyebutkan tentang apa yang dipandang oleh mereka diatas dipan-
dipannya. Sebagian mengatakan bahwa mereka memandang nikmat-nikmat yang
mereka rasakan. Mereka takjub dengan nikmat-nikmat yang disediakan untuk mereka.
Bahkan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

‫ ُكلَّ َما‬، ُ‫ الَ يَ َملُّهَا َوالَ تَ َملُّه‬، ً‫ق ْال َح ْو َرا َء َس ْب ِعي َْن َسنَة‬ ُ ِ‫ِإ َّن ال َّر ُج َل ِم ْن َأ ْه ِل ْال َجنَّ ِة لَيُ َعان‬
ْ ‫ َو ُكلَّ َما َر َج َع ِإلَ ْيهَا َعا َد‬، ‫َأتَاهَا َو َج َدهَا بِ ْكرًا‬
‫ت ِإلَ ْي ِه َشه َْوتُهُ ؛ فَي َُجا ِم ُعهَا بِقُ َّو ِة َس ْب ِعي َْن‬
‫ الَ يَ ُك ْو ُن بَ ْينَهُ َما َمنِ ٌّي ؛ يَْأتِي ِم ْن َغيِرْ َمنِ ٍّي ِم ْنهُ َوالَ ِم ْنهَا‬، َ‫َر ُجال‬
“Sesungguhnya seorang penghuni surga sungguh akan memeluk bidadari selama 70
tahun, ia tidak bosan dengan bidadari tersebut dan sang bidadari juga tidak bosan
dengannya, setiap kali ia menjimaknya ia mendapati sang bidadari kembai perawan,
dan setiap kali ia kembali kepada sang bidadari maka syahwatnya akan kembali. Maka
iapun menjimak bidadari tersebut dengan kekuatan 70 lelaki, tidak ada mani yang
keluar dari keduanya, ia menjimak bidadari tanpa keluar mani, dan sang bidadari juga
tidak keluar mani.” (Tafsiir Al-Qurthubi 15/45)

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa mereka memandang diantara mereka satu
sama lain. Ketika di dunia mereka adalah sahabat dekat, dan tatkala di surga mereka
dipertemukan kembali. Dan ini adalah kenikmatan tersendiri. Sebagaimana apabila kita
lama tidak berjumpa dengan kawan di dunia tetapi dalam suatu waktu dipertemukan,
pasti kita akan merasakan kebahagiaan.

Ada pula yang mengatakan bahwa mereka memandang kepada penghuni neraka
Jahannam. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Shaff dan Al-A’raf tentang dialog
antara penghuni surga dan penghuni neraka Jahannam. Para penghuni surga melihat
bagaimana penghuni neraka jahannam disiksa, sehingga mereka bersyukur bisa
merasakan kenikmatan yang luar biasa dan menyelamatkan mereka dari siksaan pedih
yang dialami oleh para penghuni neraka jahannam.

Dan sebagian ulama berpendapat bahwa semua itu bisa benar. Karena diantara kaidah
ilmu tafsir, apabila maf’ul bihnya (objek) dihapus maka akan memberi faidah
keumuman. Sehingga mereka memandang suatu kelezatan yang membahagiakan
mereka, apakah itu memandang wajah Allah subhanallahu wata’ala, atau memandang
saudara-saudara mereka di dunia yang kemudian dipertemukan di surga, atau
memandang nikmat-nikmat yang mereka rasakan, atau memandang adzab neraka
jahannam yang membuat mereka bersyukur kepada Allah karena telah diselamatkan
dari adzab tersebut. Maka ayat ini bisa mencakup semua pendapat-pendapat
sebelumnya.

Adapun Ibnul Qoyyim rahimahullah maka beliau berpendapat bahwa ayat ini khusus
mengenai pandangan penghuni surga melihat wajah Allah. Karena pada ayat
sebelumnya Allah menyebutkan orang-orang kafir yang terhalangi dari melihat wajah
Allah maka sebaliknya para penghuni surga mendapatkan kemuliaan dengan
memandang wajah Allah (lihat Ighootsatul Lahfaan hal 32)

Kemudian Allah berfirman:

ِ ‫ض َرةَ النَّ ِع‬


‫يم‬ ْ َ‫ تَ ْع ِرفُ فِي ُو ُجو ِه ِه ْم ن‬.24
“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup yang penuh
kenikmatan”

Sesungguhnya orang yang sedang bergembira akan nampak dari wajahnya. Dan wajah
dari penghuni surga akan nampak berseri-seri karena kegembiraan yang mereka
rasakan. Kemudian Allah berfirman:

ٍ ُ‫يق َّم ْخت‬


‫وم‬ ٍ ‫سقَ ْو َن ِمن َّر ِح‬
ْ ُ‫ ي‬.25
“Mereka diberi minum dari khamr yang murni (tidak memabukkan) yang
(tempatnya) masih ditutup (disegel)”

ٌ ‫ رَّ ح‬adalah salah satu jenis khamr, sebagaimana perkataan para salaf. Kita di
‫ِيق‬
dunia diharamkan meminum khamr, tetapi di akhirat nanti kita akan diberikan khamr
oleh Allah subhanallahu wata’ala. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi
wassallam pernah bersabda:

‫اآلخ َر ِة‬ ِ ‫ ح‬،‫ ثُ َّم لَ ْم يَتُبْ ِم ْنهَا‬،‫ب ال َخ ْم َر فِي ال ُّد ْنيَا‬


ِ ‫ُر َمهَا فِي‬ َ ‫َم ْن َش ِر‬
“Barangsiapa minum khamr semasa di dunia dan belum sempat bertaubat maka
diharamkan untuknya minum di akhirat kelak,” (HR Bukhari no. 5575 dan Muslim no.
2003)

Terdapat sebuah kaidah, “Barang siapa yang ingin bersegera mendapatkan hal-hal
yang tidak dibolehkan di dunia maka dia akan diharamkan untuk mendapatkannya di
akherat kelak.” Contoh lain penerapan kaidah ini adalah larangan lelaki memakai
pakaian sutra karena sutra adalah pakaian di akhirat. Dari Anas bin Malik, ia berkata
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ير فَِإنَّهُ َم ْن لَبِ َسهُ ِفى ال ُّد ْنيَا لَ ْم يَ ْلبَ ْسهُ فِى‬
‫اآلخ َر ِة‬ َ ‫الَ تَ ْلبَسُوا ْال َح ِر‬
“Janganlah kalian memakai sutera karena siapa yang mengenakannya di dunia, maka
ia tidak mengenakannya di akhirat.” (HR Bukhari no. 5633 dan Muslim no. 2069).

Juga terdapat riwayat dari Hudzaifah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َوالَ تَْأ ُكلُوا فِى‬، ‫ض ِة‬


َّ ِ‫ب َو ْالف‬
ِ َ‫اج َوالَ تَ ْش َربُوا فِى آنِيَ ِة ال َّذه‬َ َ‫ير َوالَ ال ِّديب‬ َ ‫الَ تَ ْلبَسُوا ْال َح ِر‬
‫ فَِإنَّهَا لَهُ ْم فِى ال ُّد ْنيَا َولَنَا فِى اآل ِخ َر ِة‬، ‫ص َحافِهَا‬
ِ
“Janganlah kalian mengenakan pakaian sutera dan juga dibaaj (sejenis sutera).
Janganlah kalian minum di bejana dari emas dan perak. Jangan pula makan di
mangkoknya. Karena wadah semacam itu adalah untuk orang kafir di dunia, sedangkan
bagi kita nanti di akhirat.” (HR. Bukhari no. 5426 dan Muslim no. 2067).

Dan khamr di dunia itu tidak sama dengan khamr di akhirat. Khamr di akhirat tidak
menimbulkan mabuk dan pusing, tidak pula menimbulkan sakit perut, baunya harum.
Tidak seperti khamr di dunia yang baunya tidak enak dan menimbulkan kemabukan
dan pusing. Oleh karena itu, Allah menyiapkan khamr dengan berbagai macam jenisnya
untuk para penghuni surga. Allah berfirman :

ْ‫آس ٍن َوَأ ْنهَا ٌر ِم ْن لَبَ ٍن لَ ْم يَتَ َغيَّر‬


ِ ‫ون ِفيهَا َأ ْنهَا ٌر ِم ْن َما ٍء َغي ِْر‬
َ ُ‫َمثَ ُل ْال َجنَّ ِة الَّتِي ُو ِع َد ْال ُمتَّق‬
‫ين‬
َ ِ‫ارب‬ ِ ‫طَ ْع ُمهُ َوَأ ْنهَا ٌر ِم ْن َخ ْم ٍر لَ َّذ ٍة لِل َّش‬
“Perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa
yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya,
sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr yang
lezat rasanya bagi peminumnya.” (QS Muhammad : 15)

Kemudian Allah berfirman:

ٰ
‫ون‬
َ ‫س‬ ِ َ‫س ٌك ۚ َوفِي َذلِ َك فَ ْليَتَنَاف‬
ُ ِ‫س ا ْل ُمتَنَاف‬ ْ ‫ ِختَا ُمهُ ِم‬.26
“Penutupnya dari kasturi. Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba”

Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama. Sebagian berpendapat sesuai dengan
makna dzahir ayat yaitu penutupnya dari kasturi, di akhir dia meminumnya akan keluar
aroma yang sangat wangi. Sebagian menyebutkan bahwa yang dimaksudkan adalah
bermakna ٌ ْ‫ م َِزا ُج ُه ِمس‬yaitu khamr tersebut dicampurkan dengan minyak wangi misk.
‫ك‬
Diantara pendapat yang lain mengatakan bahwa maknanya adalah ‫ة‬ ُ ‫َري َْح ُت ُه َري َْح‬
ِ‫ ْال ِمسْ ك‬yaitu aromanya adalah aroma minyak kasturi.
Ini menunjukkan perbedaan antara khamr dunia dan khamr akhirat. Khamr dunia
apabila diminum akan membuat kepala menjadi pusing, membuat sakit perut, dan
membuat lupa ingatan dan tidak sadarkan diri, berbicara dan berbuat sesuatu di luar
kesadarannya. Orang yang terpengaruh khamr maka bicaranya tidak akan terkontrol,
demikian juga perbuatannya seakan-akan orang gila yang berbuat sesukanya. Padahal
Allah telah memberikan karunia akal kepadanya tetapi dia menghilangkannya dengan
berani melanggar larangan Allah yaitu meminum khamr. Berbeda halnya jika khamrnya
adalah khamr akhirat, tidak membuat sakit kepala dan pusing, tidak membuat sakit
perut, khar tersebut sangat lezat, ditambah khamr tersebut sangat lezat, dan juga
mengeluarkan bau yang sangat harum, yaitu aroma minyak kasturi. Sehingga, jangan
sampai terbayangkan bahwa khamr dunia sama seperti khamr akhirat.

Oleh karena itu Allah mengatakan bahwa penutupnya adalah minyak kasturi. Setelah
diminum oleh para penghuni surga, mereka akan mengeluarkan bau yang sangat
harum. Para penghuni surga juga setiap meminum khamr, maka mereka akan meminta
tambahan terus-menerus. Setiap gelas yang mereka ambil dari khamr tersebut akan
memberikan rasa yang berbeda-beda. Allah memberikan kenikmatan yang beraneka
ragam. Allah berfirman:

‫َوُأتُوا بِ ِه ُمتَ َشابِهًا‬


“Mereka diberi kenikmatan yang serupa.” (QS Al-Baqarah : 25)

Khamr ada bukan dengan satu rasa saja tetapi dengan berbagi macam rasa. Dan
kesemuanya adalah kelezatan dan kenikmatan. Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin
meminum khamr di akhirat kelak dengan segala kenikmatannya maka hendaknya dia
menahan hawa nafsunya agar tidak meminum khamr di dunia ini.

Kemudian firman Allah dalam ayat yang sama memotivasi kita agar hendaknya orang-
orang berlomba-lomba. Allah mengajarkan kita agar memiliki himmah ‘aliyah yakni
semangat yang tinggi dalam beramal shalih. Jika dia melihat ada orang lain yang
beramal shalih maka dia tidak ingin kalah seakan-akan mengejar ketertinggalan, itulah
hakikatnya perlombaan. Hendaknya tidak merasa cukup dalam masalah agama, tetapi
dia selalu haus untuk meraup sebanyak-banyaknya amal shalih. Berbeda dalam
masalah dunia, kita dianjurkan untuk memiliki sifat qana’ah yaitu merasa cukup.
Karena bersikap qana’ah dalam masalah dunia adalah sifat yang mulia. Imam Asy-
Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan,

َ ‫ك ال ُّد ْنيَا َس‬


‫ـوا ُء‬ َ ‫ـوع فََأ ْن‬
ُ ِ‫ـت َو َمال‬ ٍ ‫ـت َذا قَ ْل‬
ٍ ُ‫ب قَن‬ َ ‫ِإ َذا َما ُك ْن‬
“Jika engkau memiliki hati yang selalu qana‘ah maka sesungguhnya engkau sama
seperti raja dunia.” (Diwan Imam Syafi’i hal. 15)

Seseorang yang memiliki hati yang qana’ah dan menerima nikmat yang Allah berikan
maka seakan-akan keadaannya seperti raja dunia yaitu sama-sama bahagia. Dalam
masalah dunia hendaknya kita menerima apa yang Allah berikan. Tetapi dalam masalah
akhirat kata Allah hendaknya berlomba-lomba. Jangan membandingkannya dengan
orang yang tidak pernah shalat sama sekali kemudian mencukupkan bagi dirinya shalat
dua kali sehari. Tetapi hendaknya dia menjadi orang yang berlomba. Jika ada orang
yang di depannya dalam masalah agama, maka dia pun berusaha mengejar orang
tersebut. Inilah sikap yang benar yang seharusnya dimiliki, karena orang-orang yang
beriman terhadap akhirat meyakini bahwa para penghuni surga juga bertingkat-tingkat.
Allah berfirman

َ ُ‫ك بِ َغافِ ٍل َع َّما يَ ْع َمل‬


‫ون‬ َ ُّ‫ات ِّم َّما َع ِملُوا ۚ َو َما َرب‬
ٌ ‫َولِ ُك ٍّل َد َر َج‬
“Dan masing-masing orang ada tingkatannya, (sesuai) dengan apa yang mereka
kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS Al-
An’am : 132)

Benar bahwasanya semua orang yang masuk ke dalam surga tidak akan ada yang
merasakan kesedihan. Tetapi surga itu bertingkat-tingkat, masing-masing diberikan
derajat sesuai dengan amalan perbuatan mereka. Semakin kita banyak beramal shalih
di dunia ini maka surga yang akan kita raih semakin tinggi.

Kemudian Allah berfirman:


‫يم‬
ٍ ِ‫سن‬ ُ ‫ َو ِم َز‬.27
ْ َ‫اجهُ ِمن ت‬
“Dan campurannya dari tasnim”

Tasnim adalah mata air yang merupakan puncak terlezat dari minuman yang ada di
surga kelak. Sebagaimana penjelasan sebagian ulama, tasnim diambil dari kata sanam
yang dalam bahasa Arab artinya tinggi. Seperti jika disebutkan sanam onta, maka
maksudnya adalah punuknya, itulah ketinggian. Oleh karena itu, tasnim adalah
minuman terlezat di akhirat. Dan kelak akan dicampur dengan khamr.

َ ُ‫ب بِ َها ا ْل ُمقَ َّرب‬


‫ون‬ ُ ‫ َع ْينًا يَش َْر‬.28
“(yaitu) mata air yang diminum oleh mereka yang dekat (kepada Allah)”

Para penghuni surga kelak akan meminum khamr yang dicampur dengan tasnim.
Namun yang meminum tasnim yang murni hanyalah al-muqarrabun yaitu yang
didekatkan oleh Allah. Ini dalil bahwasanya penghuni surga bertingkat-tingkat.
Diantaranya al-abrar yang akan mendapatkan limpahan kenikmatan, namun di atas itu
ada yang lebih tinggi lagi yaitu al-muqarrabun. Allah berfirman:

)11( ‫ُون‬ َ ‫) ُأو ٰلَِئ‬10( ‫ون‬


َ ‫ك ْال ُمقَ َّرب‬ َ ُ‫ون السَّابِق‬
َ ُ‫َوالسَّابِق‬
“(10) Dan orang-orang yang paling dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu
(masuk surga); (11) Mereka itulah orang yang dekat (kepada Allah).” (QS. Al-Waqi’ah :
10-11)

Al-Muqarrabun adalah orang-orang yang mendapatkan posisi sangat tinggi di surga


kelak, merekalah yang berhak meminum tasnim dengan murni, tidak dicampur sama
sekali dengan yang lainnya. Adapun penghuni surga yang lain yaitu al-abrar mereka
tidak minum tasnim secara murni melainkan telah dicampur dengan khamr.

Dalam ayat ini Allah tidak menggunakan huruf ْ‫ِمن‬


(dari) sehingga maknanya akan
menjadi “mata air yang para al-muqarrabun minum darinya” tetapi menggunakan
huruf ‫ْال َبا ُء‬
(dengan) sehingga maknanya menjadi “mata air yang para al-muqarrabun
minum dengannya”. Secara makna, kalimat yang lebih cocok adalah yang pertama,
yaitu minum dari mata air bukan minum dengan mata air. Namun para ulama
mengatakan bahwa ini merupakan salah satu uslub dalam bahasa arab yaitu uslub
tadmiin ُ‫ال َّتضْ ِميْن‬. Karenanya, mereka menafsirkan ayat ini dengan ‫َع ْي ًنا َي ْل َت ُّذ ِب َها‬
َ ‫ ْال ُم َقرَّ ب‬artinya “mata air yang para al-muqarrabun berlezat-lezat dengan mata air
‫ُون‬
tersebut”. Sehingga mereka tidak hanya sekedar minum tetapi berlezat-lezat.
Demikianlah para penghuni surga, mereka makan dan minum bukan dengan tujuan
untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga tetapi dalam rangka berlezat-lezat.

Kemudian pada pembahasan selanjutnya, Allah berbicara tentang kebiasaan orang-


orang musyrikin dan orang-orang kafir yang suka mengolok-olok orang-orang shalih,
yang mana ini akan terus berlajut hingga kiamat kelak bahwasanya orang-orang yang
shalih dan bertaqwa akan sering mejadi olok-olokan orang-orang kafir atau orang-
orang munafik. Allah berfirman:

َ ‫ين َأ ْج َر ُموا َكانُوا ِم َن الَّ ِذ‬


ْ َ‫ين آ َمنُوا ي‬
َ ‫ض َح ُك‬
‫ون‬ َ ‫ ِإنَّ الَّ ِذ‬.29
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang dahulu
mentertawakan orang-orang yang beriman”

َ ‫ وَِإ َذا َم ُّروا بِ ِه ْم يَتَ َغا َم ُز‬.30


‫ون‬
“Dan apabila mereka (orang-orang yang beriman) melintas di hadapan
mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya”
Orang-orang kafir atau orang-orang munafik dahulu jika mereka melihat orang shalih
lewat maka mereka akan saling melirikkan pandangan dan mengedipkan mata dalam
rangka untuk mengejek orang-orang beriman.

Namun yang menjadi masalah adalah jika yang mengolok-olok adalah sesama kaum
muslimin. Apabila ada sejumlah kaum muslimin yang berusaha mengamalkan Sunnah
Nabi, maka sebagian lainnya justru mengejek dan mengolok-oloknya. Orang yang
berjenggot dikatakan seperti jenggot kambing, orang yang berusaha menaikkan
celananya agar tidak isbal dikatakan kebanjiran, padahal demikianlah pakaian Nabi.
Jika shalat ke masjid dikatakan pura-pura shalih, jika dahinya menghitam karena bekas
sujudnya dikatakan sujud dengan menggosok-gosokkan kepalanya. Sungguh sangat
disayangkan, perkataan-perkataan semacam ini sering keluar dari mulut kaum
muslimin sendiri

Kemudian Allah berfirman:

َ ‫ وَِإ َذا انقَلَبُوا ِإلَ ٰى َأ ْهلِ ِه ُم انقَلَبُوا فَ ِك ِه‬.31


‫ين‬
“Dan apabila kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira ria”

Padahal mereka sudah mengejek kaum muslimin di hadapan mereka langsung, namun
setelah kembali ke rumahnya masing-masing dan bertemu keluarganya, mereka tidak
bosan dan tetap saja mengejek kaum muslimin dengan cara menggunjingnya di
belakangnya.

Kemudian Allah berfirman:

َ َ‫ وَِإ َذا َرَأ ْو ُه ْم قَالُوا ِإنَّ ٰ َهُؤ اَل ِء ل‬.32


َ ُّ‫ضال‬
‫ون‬
“Dan apabila mereka melihat (orang-orang mukmin), mereka mengatakan,
‘Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang sesat’”

Padahal merekalah yang sesat. Mereka berada di atas kesyirikan, mereka menyembah
selain Pencipta alam semesta, mereka menyembah Nabi, wali, malaikat, sapi, dewa-
dewa, atau menyembah patung. Sesungguhnya tidak ada yang menyembah pencipta
alam semesta ini secara murni dan Esa kecuali orang-orang Islam semata.

ِ ‫ َو َما ُأ ْر‬.33
َ ‫سلُوا َعلَ ْي ِه ْم َحافِ ِظ‬
‫ين‬
“Padahal (orang-orang yang berdosa itu) mereka tidak diutus sebagai penjaga
(orang-orang mukmin)”

Mereka tidak pernah diutus untuk mengurusi amalan-amalan orang shalih, tetapi
mereka tidak pernah luput dari mengomentari keadaan orang-orang shalih. Begitupun
sesama kaum muslimin seharusnya masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri, dan
tidak banyak mengomentari amalan-amalan saudaranya.

Kemudian Allah berfirman :

َ ‫ض َح ُك‬
‫ون‬ َ ‫ فَا ْليَ ْو َم الَّ ِذ‬.34
ْ َ‫ين آ َمنُوا ِم َن ا ْل ُكفَّا ِر ي‬
“Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman yang menertawakan orang-
orang kafir”

Itulah yang akan terjadi di akhirat kelak, giliran orang-orang beriman yang akan
menertawakan orang-orang kafir.

Abu Sholih :
َ ُ‫ فَِإ َذا َرَأ ْوهَا َم ْفت‬،‫اخ ُرجُوا‬
ً‫وحة‬ ْ :‫ َويُقَا ُل لَهُ ُم‬،‫ار َأ ْب َوابُهَا‬ ِ َّ‫ك َأنَّهُ يُ ْفتَ ُح لِ ْل ُكف‬
ِ َّ‫ار فِي الن‬ َ ِ‫َو َذل‬
‫ت‬ْ َ‫ُون ِإلَ ْي ِه ْم فَِإ َذا ا ْنتَهَ ْوا ِإلَى َأب َْوابِهَا ُغلِّق‬
َ ‫ون يَ ْنظُر‬َ ُ‫ َو ْال ُمْؤ ِمن‬،‫َأ ْقبَلُوا ِإلَ ْيهَا لِيَ ْخ ُرجُوا‬
َ ‫ون يَضْ َح ُك‬
‫ون‬ َ ُ‫ك بِ ِه ْم ِم َرارًا َو ْال ُمْؤ ِمن‬َ ِ‫ يُ ْف َع ُل َذل‬،‫ُدونَهُ ْم‬
“Yaitu pintu-pintu neraka dibukakan untuk orang-orang kafir, lalu dikatakan kepada
mereka, “Keluarlah dari neraka !”. Jika mereka melihat pintu-pintu terbuka maka
mereka segera menuju ke pintu-pintu tersebut untuk keluar, sementara kaum
mukminin melihat mereka. Jika mereka sampai di pintu-pintu tersebut maka ditutuplah
pintu-pintu tersebut, dan hal ini dilakukan kepada mereka berulang-ulang, sementara
kaum mukminin mentertawakan mereka” (Tafsiir Al-Baghowi 8/369)

Allah berfirman:

َ ‫ َعلَى اَأْل َراِئ ِك يَنظُ ُر‬.35


‫ون‬
“Mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan”

Orang-orang beriman berada di atas dipan-dipan yang dihias, merasakan kenikmatan


bersama para bidadari kemudian menertawakan orang-orang kafir yang sedang diazab
di neraka jahannam.

َ ‫ َه ْل ثُ ِّو‬.36
َ ُ‫ب ا ْل ُكفَّا ُر َما َكانُوا يَ ْف َعل‬
‫ون‬
“Apakah orang-orang kafir itu diberi balasan (hukuman) terhadap apa yang
telah mereka perbuat?”

Maka jawabannya adalah jelas bahwasanya orang-orang kafir akan diberi ganjaran
terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Ini disebut dengan ‫االِسْ ِت ْف َها ُم‬
‫ ال َّت ْق ِري ِْري‬pertanyaan untuk penetapan.

Anda mungkin juga menyukai