Anda di halaman 1dari 13

MODUL ETHIC AND PROFESSIONALISM

SELF LEARNING REPORT


CASE STUDY IV

Dosen:

Drg. Riski Amalia Hidayah, M.PH.

Disusun Oleh:
Wizni A'dila A'ziza
(G1B019020)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI


UNIPERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2022
Case Study 4
MODUL ETHICS & PROFESSIONALISM
TAHUN AJARAN 2021/2022
“BIOETIKA PENGGUNAAN TEKNOLOGI TERBARU”

Skenario 1 :
Sepasang suami-istri yang kurang subur bermaksud melakukan reproduksi dengan teknologi In
Vitro Fertilization (IVF). Mereka datang ke klinik dokter spesialis kandungan terbaik di kota
tersebut. Saat bertemu dengan dokter, mereka mengutarakan bahwa mereka menginginkan anak
laki-laki dari reproduksi ini. Diskusikan :
a. Apakah tindakan suami-istri dapat dibenarkan secara etis maupun hukum? Sebutkan
alasannya!

Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang mengatur teknik reproduksi buatan diatur


dalam:

1. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 127”, yang menyatakan
bahwa: “Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan
suami isteri yang sah dengan ketentuan antara lain, hasil pembuahan sperma dan ovum
dari suami isteri yang bersangkutan ditanam dalam rahim isteri darimana ovum berasal.
Selanjutnya ketentuan mengenai persyaratan kehamilan diluar cara alamiah
sebagaimana dimaksud tersebut akan diatur dengan Peraturan Undang-undangan”.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan:

a. Ayat 1: “Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir
untuk membantu suami-istri mendapat keturunan”.

b. Ayat 2: Upaya kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
hanya dapat dilaksanakan oleh pasangan suami istri yang sah, dengan ketentuan:

a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri darimana ovum itu berasal;

b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan


untuk itu;
c. Ada sarana kesehatan tertentu.

c. Ayat 3: Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan diluar cara


alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditentukan dengan Peraturan
Pemerintah (Darwis, 2016).

2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999/Tentang Penyelenggaraan


Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan tentang, Ketentuan Umum, Perizinan,
Pembinaan, dan Pengawasan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.Atas
keputusan Menkes RI tersebut telah dibuat Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah
Sakit oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta Departemen Kesehatan RI antara
lain:

1) Pelayanan Teknologi Buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur sperma suami
isteri yang bersangkutan;

2) Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun;

3) Dilarang melakukan jual beli embrio, ova danspermatozoa;

4) Dilarang melakukan penelitian terhadap atau dengan menggunakan embrio manusia


yang berumur lebih dari 14 hari sejak tanggal fertilisasi (Darwis, 2017).

3. Dalam perspektif hukum penyelenggaraan proses pengadaan “Bayi Tabung” tersebut


antara lain yaitu:

1) Bayi tabung dengan sperma-ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya
mubah (boleh), sebab hal itu termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah agama Islam;

2) Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami-isteri yang
sah hukumnya adalah “haram”, karena itu statusnya sama zina;

3) Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan dititipkan pada rahim wanita lain,
hukumnya haram, karena akan menimbulkan masalah rumit dalam ikatannya masalah
warisan.

Berdasarkan keterangan tersebut maka prosedur IVF pada pasutri dalam skenario benar
secara etis dan diperbolehkan di Indonesia.
Pasangan suami-isteri yang dapat mengikuti pembuahan dan pemindahan embrio,
adalah pasangan suami-isteri yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Telah dilakukan pengelolaan infertilitas (kekurangsuburan) secara lengkap.

2) Terdapat alasan yang sangat jelas.

3) Sehat jiwa dan raga pasangan suami-isteri.

4) Mampu membiayai prosedur ini, dan kalau berhasil mampu membiayai persalinannya dan
membesarkan bayinya.

5) Mengerti secara umum seluk beluk prosedur fertilisasi in vitro dan pemindahan embrio
(FIV-PE).

6) Mampu memberikan izin kepada dokter yang akan melakukan prosedur FIV-PE (fertilisasi
in vitro dan pemindahan embrio) atas dasar pengertian (informed consent).

7) Isteri berusia kurang dari 38 tahun (Sondakh, 2015).

b. Jika menurut Saudara tindakan suami-istri ini tidak dibenarkan, utarakan alasannya!
IVF tidak etis jika pasutri melakukan :
1) Seleksi gender dengan tujuan :
a) Untuk family balancing
b) Untuk anak pertama
c) Tujuan nonmedis (tidak untuk menghindari penyakit/kelainan/cacat pada janin)
2) Seleksi gender yang mengakibatkan aborsi selektif (aborsi ketika jenis kelamin bayi
dalam rahim tidak seperti yang diharapkan) (Budiyanti, 2020).
3) Penitipan embrio hasil IVF ke rahim wanita lain (Suwito, 2011).
Serta hal-hal dalam perspekrif hukum islam yang telah dijelaskan di atas.

Skenario 2 :
Seorang ilmuwan genius diketahui memiliki anak semata wayang yang sangat disayanginya.
Suatu hari, anak tersebut sakit dan kondisinya semakin buruk dari hari ke hari. Karena rasa
sayangnya yang begitu besar, ilmuwan tersebut bermaksud untuk mempergunakan suatu sel dari
anaknya yang di ambang ajal untuk mengkloning seorang bayi lain sebagai upaya untuk
“menghidupkan” lagi anak tersebut. Bagaimana menurut Saudara mengenai tindakan ilmuwan
tersebut?
Jawaban:

Tindakan ilmuwan tersebut tidak dibenarkan di Indonesia baik secara etis maupun
hukum. Hal ini diatur dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indoneisa
(IDI) melalui muktamar XXIII IDI pada tahun 1997 di Padang menolak kloning sebagai metode
reproduksi buatan untuk manusia karena reproduksi kloning dapat menurunkan martabat
manusia hingga setingkat dengan bakteri (reproduksi aseksual). Lebih lanjut, reproduksi
melalui kloning dapat merusak tatanan hukum dan sosial manusia. bahwa tentang kloning,
Tindakan ilmuwan tersebut tidak dibenarkan dalam (Ikatan Dokter Indonesia, 2002).
Semiawan, dkk. (1988) dalam Suryanti, (2019) berpendapat bahwa teknologi kloning
manusia memiliki aspek postif, yaitu:
a) dapat mempertahankan eksistensi manusia-manusia “super” dalam berbagai bidang keahlian
dan keilmuan yang juga dilengkapi dengan sifat-sifat luhur terhadap kesejahteraan sesama
manusia
b) munculnya kembali makhluk-makhluk yang sudah musnah atau baru saja mati.
Sedangkan aspek negatifnya adalah:
a) akan muncul manusia-manusia yang seragam, dan keseragaman bukanlah ciri makhluk hidup
yang tinggi tingkatannya.
b) terdapat keseragaman daya tahan tubuh pada manusia hasil kloning yang dapat terancam
punah jika berjangkit wabah penyakit.
The Council on Bioethics (2002) di Washington D.C. dalam ringkasan eksekutifnya
sepakat penuh menyatakan bahwa kloning reproduktif bukan hanya tidak aman, tapi juga tidak
dapat diterima secara moral, dan seharusnya tidak dilakukan. Ada lima hal yang diidentifikasi
terkait dengan kloning reproduktif:
a) masalah identitas dan individualitas manusia hasil kloning
b) kekhawatiran akan komersialisasi dan industrialisasi terhadap manusia hasil kloning
c) prospek terhadap eugenika baru, masalah dalam hubungan keluarga, dan pengaruh terhadap
masyarakat.
Eugenika adalah suatu teori yang berhubungan dengan peningkatan kualitas keturunan
melalui pinsip-prinsip genetika. Selain itu, dalam proses kloning manusia terdapat tindakan
pembunuhan terencana yang disengaja, hasil klon yang tidak sesuai dengan kriteria yang
diharapkan akan disingkirkan (dibunuh) (Suryanti, 2019).
Pada tanggal 28 Juni–3 Juli 1997, ulama sedunia bertemu di Makkah al-Mukarramah
dalamkegiatan seminar bertemakan “Islamic Fiqh Academy” dengan topik utama meninjau
kedudukan dan hukum kloning dalam syariat Islam. Secara aklamasi diputuskan bahwa kloning
terhadap hewan dan tumbuhan diperbolehkan, sedangkan kloning terhadap manusia diharamkan.
Selanjutnya larangan tentang kloning manusia dikeluarkan oleh jawatan kuasa Fatwa Majelis
Kebangsaan Malaysia pada 11 Maret 2002 melalui keputusan mudzakarah yang ke 51 yang
menetapkan bahwa:
(1) Untuk tujuan apapun kloning manusia adalah haram, karena bertentangandengan fitrah
kejadian manusia, sebagaimana yang ditentukan oleh Allah SWT,
(2) Penggunaan stem cells dengan tujuan medis diperbolehkan selama tidak bertentangan
dengan hukum syara’(Sudjana, 2015) (Suryanti, 2019).
Berdasarkan Keputusan Fatwa Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia
(nomor: 3/MUNAS VI/MUI/2000) tentang kloning musyawarah nasional VI majelis ulama
indonesia menetapkan bahwa Kloning terhadap manusia dengan cara bagaimanapun yang
berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram. Dalam pertimbangannya
menyebutkan bahwa kloning terhadap manusia dapat menimbulkan mafsadat (dampak negatif)
yang tidak sedikit, antara lain:
(a) menghilangkan nasab anak hasil kloning yang berakibat hilangnya banyak hak anak dan
terabaikan-nya sejumlah hukum yang timbul dari nasab;
(b) institusi perkawinan yang telah disyari’atkan sebagai media berketurunan secara sah menjadi
tidak diperlukan lagi, karena proses reproduksi dapat dilakukan tanpa melakukan hubungan
seksual;
(c) lembaga keluarga (yang dibangun melalui perkawinan) akan menjadi hancur, dan akan terjadi
pula kehancuran moral (akhlak), budaya, hukum, dan syari’ah Islam lainnya;
(d) tidak akan ada lagi rasa saling mencintai dan saling memerlukan antara laki-laki dan
perempuan;
(e) hilangnya maqashid syari’ah dari perkawinan, baik maqashid awwaliyah (utama) maupun
maqashid tabi’ah (sekunder) (Muchtar, M., 2016).
Skenario 3 :
Pandemi Covid-19 memiliki dampak hebat bagi masyarakat di Dunia. Berbagai macam cara
digunakan untuk menanggulangi wabah ini, salah satunya Vaksin. Banyak Vaksin yang
dikembangkan untuk menangkal virus Covid-19, salah satunya yang di kembangkan di Negara
X. Di negara ini banyak polemik yang terjadi karena munculnya vaksin tersebut, yang di rasa
hanya sebagai gagah-gagahan saja. Bukan hanya itu, beberapa ahli menyatakan bahwa vaksin
tersebut belum layak edar. Diskusikan tentang etika dan tahap dalam melakukan uji vaksin.

Jawaban:

Prof. Dr. Meita Dhamayanti, dr., Sp.A(K), M.Kes. menjelaskan dalam sebuah seminar
bahwa studi mengenai vaksin bertujuan untuk memberi dampak bagi kesehatan atau kehidupan,
untuk mengetahui apakah dapat merangsang mekanisme tubuh, memastikan bahwa vaksin dapat
diberikan secara sederhana dan mudah, dan dapat bermanfaat jangka panjang. Dalam
pengembangan vaksin, memerlukan waktu yang tidak sebentar dan melalui berbagai tahapan.
Tujuannya, adalah untuk menguji keamanan keamananan, khasiat, dan kualitas. Saat melakukan
uji klinis suatu vaksin, diperlukan adanya keseimbangan antara etika penelitian dan kualitas
keilmuan. Ada 14 standar yang harus dipenuhi dalam GCP (Good Clinical Practice)
(Hendriyana, 2021).

Fase-fase uji vaksin adalah sebagai berikut :


1. Uji Praklinis Vaksin

Rintangan prinsip untuk setiap desain vaksin baru adalah bagaimana mengukur
efektivitas dalam populasi sasaran. penggunaan dari model hewan yang secara akurat
meniru penyakit manusia dapat menetapkan bukti prinsip tetapi tidak mudah
diterjemahkan ke dalam kekebalan yang berguna korelasi perlindungan. Sayangnya,
dalam banyak kasus seperti korelasi perlindungan tidak diketahui baik untuk infeksi
alami atau selama pengembangan vaksin awal. Selain itu, tindakan tersebut mungkin
belum tentu menjelaskan semua mekanisme kekebalan yang akhirnya berkontribusi pada
pengendalian infeksi. Misalnya respons yang didahulukan oleh vaksinasi dapat dengan
cepat menginduksi antibodi spesifik untuk memperlambat infeksi awal melalui netralisasi
patogen, sedangkan adaptif tambahan berikutnya (tidak terkait vaksin) kekebalan yang
dimediasi sel dapat berkembang untuk menargetkan sel yang terinfeksi virus untuk
memberikan pembersihan infeksi. Desain vaksin akhir perlu diuji secara komprehensif
untuk:
a. toksisitas dosis tunggal dan berulang
b. imunogenisitas
c. farmakodinamik
d. farmakokinetk
e. toleransi lokal.

Untuk studi in vivo, usia yang relevan dan keadaan fisiologis hewan uji untuk menilai
dosis, rute, dan rejimen pengobatan vaksin, termasuk langkah-langkah stabilitas bahan
kandidat, semuanya persyaratan yang diperlukan sebelum memulai studi klinis (Stern,
2020).

2. Uji klinis

Pengembangan lebih lanjut memerlukan pengujian vaksin pada sukarelawan sehat


untuk mengevaluasi keamanan, imunogenisitas, dan kemanjuran klinis dalam 3 fase
berbeda. Ketika ada pengobatan yang efektif untuk penyakit manusia, sukarelawan
menyetujui paparan patogen setelah vaksinasi adalah cara yang berharga untuk menguji
vaksin di mana tidak ada model hewan yang tersedia (misalnya, HPV dan malaria).

a. Studi fase 1 difokuskan pada keamanan


b. percobaan fase II berkonsentrasi pada penetapan konsep imunogenisitas dan rentang
dosis (kadang-kadang data kemanjuran)
c. studi fase III yang lebih besar dirancang untuk mengevaluasi apakah dosis dan jadwal
vaksinasi dapat memberikan dampak yang diinginkan pada masalah klinis dengan
profil keamanan yang dapat diterima. Pada saat yang sama, kualitas fisikokimia dan
biologis vaksin harus ditetapkan untuk konsistensi dengan pengujian banyak vaksin
yang diproduksi dengan waktu yang berbeda. Untuk memungkinkan keberhasilan,
ada kebutuhan untuk titik akhir imunologis dan klinis yang spesifik dan relevan,
terutama ketika tidak ada korelasi perlindungan kekebalan yang diketahui.

Rancangan percobaan memerlukan perkiraan ukuran sampel yang akurat berdasarkan


kejadian penyakit, dengan kecukupan jumlah. Keselamatan sangat penting melalui semua
studi klinis dan prosedur pemantauan berkelanjutan, sehingga setiap efek samping yang
ditandai pada kesempatan paling awal wajib dilakukan. Beberapa kategori efek samping
setelah imunisasi perlu dicatat. Ini termasuk reaksi atau peristiwa yang diinduksi untuk
vaksinasi yang diberikan dengan benar, seperti nyeri, kemerahan, bengkak, atau demam
atau disebabkan oleh sifat vaksin seperti adanya bahan pembantu yang menyebabkan
reaksi inflamasi lokal atau demam ringan atau ruam setelah imunisasi dengan vaksin
yang dilemahkan. Reaksi seperti itu didokumentasikan selama prosedur, yang mengarah
ke lisensi, dan dapat membatasi atau menyempurnakan prosedur vaksinasi atau populasi
target, tetapi secara keseluruhan harus aman dan dapat ditoleransi, sehingga tidak
melebihi manfaat dari perlindungan dari vaksinasi.

Peristiwa lain termasuk kesalahan imunisasi yang terjadi dalam penyiapan,


penanganan, atau maladministrasi vaksin; peristiwa kebetulan yang dapat terjadi segera
setelah imunisasi tetapi tidak disebabkan oleh vaksin; reaksi kecemasan imunisasi seperti
sinkop dan serangan panik; kegagalan vaksin, dan akhirnya, peristiwa yang tidak
diketahui tanpa penyebab yang dapat diatribusikan. Ketika efek samping dicatat,
mengevaluasi apakah ada hubungan sebab akibat dengan pemberian vaksin atau apakah
itu hanya kebetulan sangat penting. Sistem pemantauan harus cukup sensitif untuk
mengaktifkan pertanyaan lebih lanjut bila diperlukan. Ada serangkaian definisi klinis dari
efek samping dan beberapa standarisasi proses yang membantu menyatukan konsistensi
pelaporan di seluruh dunia. Investigasi semacam itu perlu dianalisis secara forensik
karena konsekuensinya bisa jauh jangkauannya tanpa alasan yang cukup (Stern, 2020).

Dalam penelitian uji klinis (clinical trial) untuk menjaga kualitas ilmiah dan etik suatu uji
klinis, secara internasional telah diberlakukan harmonisasi (standarisasi) sebagaimana tertuang
dalam International Conference on Harmonization of Technical Requirements for Registration of
Pharmaceuticals for Human Use, Guideline for Good Clinical Practice (ICH-GCP). GCP
adalah suatu “standar” kualitas etik dan ilmiah internasional untuk mendisain, melaksanakan,
mencatat dan melaporkan uji klinik yang melibatkan subyek manusia. Dengan mematuhi GCP
diharapkan suatu penelitian uji klinik akan memenuhi standar etik dan ilmiah, sehingga uji klinik
tersebut dapat terpercaya. Dengan kata lain, GCP adalah “standarisasi metodologi penelitian uji
klinis”. Dalam ICH-GCP memuat tiga belas (13) prinsip

GCP (CUKB), yakni:


1) Clinical Trial Conduct. Uji klinik dilaksanakan sesuai dengan prinsip etik yang berasal
dari Deklarasi Helsinki, dan sejalan dengan GCP dan ketentuan yang berlaku.
2) Risk Assessment. Sebelum uji klinik diprakarsai, semua risiko dan ketidaknyamanan yang
dapat diduga sebelumnya harus ditimbang terhadap manfaat yang diharapkan bagi subyek
uji klinik dan masyarakat.
3) Subject’s Rights and Safety. Hak, keamanan dan kesejahteraan subyek uji klinik
merupakan pertimbangan yang paling penting dan harus mengalahkan kepentingan ilmu
pengetahuan dan masyarakat.
4) Background information. Informasi nonklinik dan klinik mengenai suatu produk yang
diteliti harus memadai untuk menunjang uji klinik yang diusulkan.
5) Clinical Trial Protocol. Uji klinik harus berlandaskan ilmiah yang kuat, dan diuraikan
dalam protokol dengan rinci dan jelas.
6) Ethics Review and Approval. uji klinik harus dilaksanakan sesuai dengan protokol yang
sebelumnya dan telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Independen (KE).
7) Medical Care of Trial Subject. Pelayanan medik yang diberikan kepada, dan keputusan
medik yang dibuat atas nama subyek harus selalu menjadi tanggung jawab seorang dokter
yang berkualifikasi atau, jika sesuai, seorang dokter gigi yang memenuhi syarat.
8) Qualification of Clinical Trial Personnel. Setiap individu yang terlibat dalam
pelaksanaan suatu uji klinik memenuhi syarat pendidikan, pelatihan, dan pengalaman
untuk melaksanakan tugasnya masing-masing.
9) Informed Consent Process. PSP (Informed consent) yang diberikan bebas dari tekanan
dan diperoleh dari setiap subyek sebelum ia ikut serta dalam uji klinik.
10) Data Management. Semua informasi uji klinik direkam, ditangani, dan disimpan dengan
cara yang memungkinkan untuk dilaporkan, diinterpretasi, dan diverifikasi secara akurat.
11) Patient Confidentiality. Kerahasiaan rekaman yang dapat mengidentifikasi subyek harus
dilindungi, demi menghargai hak pribadi dan peraturan kerahasiaan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
12) Investigational Product Manufacturing, Handling and Storage. Produk yang diteliti harus
dibuat, ditangani, dan disimpan sesuai dengan Good Manufacturing Practice yang
berlaku, dan harus digunakan sesuai dengan protokol yang disetujui.
13) Quality Assurance. Sistem dengan prosedur yang menjamin mutu dari setiap aspek uji
klinik harus diberlakukan (Siswanto,2012).

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanti, R.T., 2020, Comparative Study of Sex Selection in Assisted Reproductive


Technology’s Regulation Between Indonesia and England, SOEPRA Jurnal Hukum
Kesehatan, Vol. 6 (1):33 – 44.

Darwis, N. 2017. Program bayi tabung dalam perspektif sosiologis, hukum islam dan hukum
adat. Fakultas Hukum Universitas Suryadarma. 10-37
Hendriyana, A., 2021. Uji Klinis Vaksin Harus Menyeimbangkan Etika Penelitian dan Kualitas
Keilmuan. Universitas Padjajaran. https://www.unpad.ac.id/2021/03/uji-klinis-vaksin-
harus-menyeimbangkan-etika-penelitian-dan-kualitas-keilmuan/ (diakses 30 Mei 2022
15.45).

Ikatan Dokter Indonesia. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan
Kode Etik Kedokteran Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia,
Ikatan Dokter Indonesia.
Muchtar, M., 2016. Kloning manusia dalam perspektif etika keilmuan dan pengaturan hukumnya
di indonesia. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. 27 (2) : 103-110.

Siswanto,2012. Good clinical practice (GCP). Newsletter PTTK&EK. Vol. 1 (2) : 2-6.

Sondakh, H. R., 2015. Aspek hukum bayi tabung di indonesia. Lex Administratum. 3 (1): 66-74.

Stern, P. L., 2020. Key steps in vaccine development. Ann Allergy Asthma Immunol. 125:17-
27.

Suryanti, E. 2019. Tinjauan Etika terhadap Kloning Manusia. Titian Ilmu: Jurnal Ilmiah Multi
Sciences. 11 (1):10-19
Suwito, S. 2011. Problematika Bayi Tabung Dan Alternatif Penyelesaiannya. Al-Hukama': The
Indonesian Journal of Islamic Family Law. 1(2) : 150-175.

Anda mungkin juga menyukai