Bayi tabung atau dalam bahasa kedokteran disebut In Vitro Fertilization (IVF)
atau fertilisasi in vitro adalah suatu upaya memperoleh kehamilan dengan jalan
mempertemukan sel sperma dan sel telur dalam suatu wadah khusus. Pada kondisi
normal, pertemuan ini berlangsung di dalam saluran tuba. Proses bayi tabung ini
berlangsung di laboratorium dan dilaksanakan oleh tenaga medis sampai menghasilkan
suatu embrio dan diimplantasi di dalam rahim wanita dan akan terjadi proses kehamilan
layaknya kehamilan normal di rahim wanita tersebut.(1,2)
Fertilisasi boleh dilakukan jika pada keadaan terdapatnya kerusakan atau
sumbatan pada saluran reproduksi wanita, infertilitas pada laki-laki, dan infertilitas yang
tidak diketahui sebabnya (idiopatik). Sebelum proses fertilisasi in vitro dilakukan,
terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: umur wanita tidak boleh lebih
dari 30 tahun, mempunyai status hormonal yang normal dengan ovulasi regular, setidaktidaknya didapatkan satu indung telur yang normal, dan dapat dicapai untuk melakukan
aspirasi sel telur (ovum pick up).(1,3,4)
Prosedur fertilisasi in vitro secara umum dapat dibagi menjadi beberapa tahapan.
Tahapan awal sebelum memasuki 5 prosedur dasar proses bayi tabung adalah seleksi
dan persiapan pasien terlebih dahulu. Jika pasien ada indikasi untuk mengikuti program
bayi tabung, maka langkah selanjutnya adalah:
Artinya: Setiap ada kesulitan, ada kemudahan (QS. Al-Insyirah: 5).
Aspek hukum penggunaan bayi tabung didasarkan kepada sumber sperma dan ovum
serta rahim. Dalam hal ini bayi tabung ada tiga macam, yaitu:
a. Jika dilakukan dengan sperma dan ovum pasangan suami istri yang sah dan
diimplantasikan ke istri yang sah maka hukumnya mubah. Dalam hal ini kaidah
fiqih menentukan bahwa Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan
seperti dalam keadaan terpaksa (emergency) padahal keadaan darurat/terpaksa
membolehkan hal-hal yang terlarang.
b. Proses bayi tabung yang dilakukan dengan menggunakan sperma dan ovum dari
donor maka hukumnya haram karena hukumnya sama dengan melakukan zina
sehingga anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung tersebut tidak sah dan
nasabnya hanya dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya. Termasuk juga
haram menggunakan sperma mantan suami yang telah meninggal dunia, sebab
antara keduanya tidak terikat perkawinan lagi sejak suaminya meninggal dunia.
c. Haram hukumnya bayi tabung yang diperoleh dari sperma dan ovum dari suami istri
yang terikat perkawinan yang sah namun transfer embrio ke rahim wanita yang
bukan ibu biologisnya. Atau dengan donor sperma yang bukan suami sah dari
pasangan tersebut. Ini berarti bahwa kondisi darurat tidak menolerir perbuatan zina
atau bernuansa zina, zina tetap haram dalam keadaan darurat sekalipun.
b.
3. Kaidah Fiqih
Islam pada dasarnya memperbolehkan proses inseminasi bayi tabung dalam
pelaksanaannya jika sperma dan ovum yang digunakan dari pasangan suami istri yang
sah, namun ada beberapa hal yang membuat mafsadah (bahaya) bayi tabung, terutama
pada proses bayi tabung dengan donor sperma maupun donor ovum.
a. Pencampuran nasab, karena pencampuran hasil donor akan berkaitan dengan
masalah mahrom dan hukum waris.
b. Bertentangan dengan sunnatullah.
c. Statusnya sama dengan zina, karena pencampuran sperma dan ovum tanpa
perkawinan yang sah.
d. Anak yang dilahirkan dari hasil bayi tabung dengan donor akan menjadi sumber
konflik karena perbedaan gen sifat/fisik dan karakter serta mental yang tidak sama
dengan ibu/bapaknya.
e. Anak yang dilahirkan melalui bayi tabung yang pencampuran nasabnya terselubung
dan dirahasiakan donornya, lebih jelek daripada anak adopsi yang umumnya
diketahui asal atau nasabnya.
f. Bayi tabung dengan menggunakan rahim sewaan akan lahir tanpa proses kasih
sayang yang alami (tidak terjadi hubungan mental antar ibu dan janin).
Nabi Muhammad SAW bersabda, diriwayatkan dari Anas RA Menikahlah
kalian dengan wanita-wanita yang subur, sebab sesungguhnya aku akan berbangga di
hadapan para Nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat nanti.
(HR.Ahmad). Syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak berputus asa dan
menganjurkan untuk senantiasa berusaha dalam menggapai karunia Allah, termasuk
dalam kesulitan reproduksi manusia. Dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran
dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka
bersyukur dan menggunakannya sesuai dengan kaidah-kaidah ajaranNya.
Kesulitan reproduksi tersebut dapat diatasi dengan upaya medis agar pembuahan
antara sel sperma suami dengan sel telur istri dapat terjadi di luar tempatnya yang alami.
Hal ini diperbolehkan dengan syarat jika upaya pengobatan untuk mengusahakan
pembuahan dan kelahiran alami telah dilakukan dan tidak berhasil. Dalam proses
pembuahan di luar tempat yang alami tersebut, setelah sel sperma suami dapat sampai
dan membuahi sel telur istri dalam suatu wadah yang mempunyai kondisi mirip dengan
kondisi alami rahim maka sel telur yang telah terbuahi diletakkan pada tempatnya yang
alami (rahim istri). Dengan demikian, kehamilan alami diharapkan dapat terjadi dan
selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal. Proses seperti itu merupakan
upaya manusia melalui medis untuk mengatasi kesulitannya dalam reproduksi dan
hukumnya boleh menurut syara. Sebab upaya tersebut merupakan upaya untuk
mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam yaitu kelahiran dan perbanyak anak,
yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan sebagaimana hadits di
atas.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. (Q.S At-Tiin: 4). (2,8,9,10)
Wallahualam bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
http://indonesiaindonesia.com/f/82005-kontroversi-bayi-tabung-