Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Terorisme, sebagai suatu konsep, sering diperdebatkan di kalangan

akademik karena kompleksitas dan dinamikanya. Definisi teoritis terorisme

merangkum berbagai perspektif yang mencoba menjelaskan esensi dari tindakan

tersebut.

Menurut Schmid dan Jongman (1988) dalam Hamid (2020) terorisme

adalah metode peperangan yang tidak konvensional, terutama sebagai sarana

komunikasi. Dalam arti ini, "terorisme adalah taktik peperangan yang digunakan

dengan harapan untuk mempengaruhi masyarakat luas, bukan hanya korban

langsung dari kekerasan."

Terorisme di satu sisi dilihat sebagai tindakan kekerasan oleh aktor non-

negara. Wilkinson (2001) dalam Fabri dkk (2023) berpendapat, terorisme

biasanya dilakukan organisasi pribumi atau transnasional yang beroperasi di luar

kendali pemerintah.

Terorisme biasanya ditargetkan pada sipil untuk menciptakan suasana

ketakutan. Ganor (2002) dalam Sarinastiti dan Vardhani (2018) mendefinisikan

terorisme sebagai "serangan yang disengaja terhadap sipil untuk mencapai tujuan

politik." Ini menciptakan perbedaan antara terorisme dan tindakan kekerasan lain

yang ditujukan pada target militer.

1
2

Terorisme juga dianggap sebagai bentuk komunikasi. Menurut Crenshaw

dalam Mustofa, 2005) tindakan teroristik adalah pesan yang ditujukan tidak hanya

kepada korban, tetapi juga kepada audiens yang lebih luas. Ini berfungsi sebagai

sarana untuk mempengaruhi opini publik atau memaksa pemerintah untuk

bertindak.

Union European mendefinisikan terorisme sebagai "serangkaian tindakan,

termasuk penggunaan kekerasan, yang dilakukan oleh individu atau kelompok

dengan tujuan merongrong atau menghancurkan struktur politik, ekonomi, atau

sosial suatu negara." Council of the European Union (2002) dalam Narendra

(2017).

Terorisme, suatu fenomena yang telah ada sepanjang sejarah manusia,

telah menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dan berevolusi seiring

berjalannya waktu. Bahkan di zaman kuno, terorisme telah menjadi bagian dari

strategi perang dan pemberontakan. Kaum Zealot di Palestina pada abad pertama

Masehi, misalnya, menentang penjajahan Romawi dengan serangkaian aksi

kekerasan, dan sering dianggap sebagai salah satu kelompok teroris pertama

(Hoffman dalam Nugroho, 2022). Sementara itu, di Timur Tengah pada Abad

Pertengahan, kelompok Hashshashin (Assassin) dikenal karena metode

pembunuhan tingkat tinggi yang ditargetkan pada pemimpin politik dan agama

untuk mencapai tujuan mereka (Daftary, dalam Usman dkk. 2017).

Ketika memasuki era modern, bentuk terorisme menjadi semakin

kompleks. Di Rusia, pada akhir abad ke-19, kelompok Narodnaya Volya memulai

serangkaian pembunuhan politik sebagai bentuk perlawanan terhadap


3

pemerintahan Tsar (Geifman, dalam Hadianto, 2016). Abad ke-20 melihat

munculnya kelompok nasionalis seperti IRA di Irlandia Utara dan ETA di

Spanyol yang menggunakan terorisme sebagai alat untuk mencapai tujuan politik

mereka. Namun, mungkin tidak ada peristiwa terorisme yang lebih mengubah

dunia daripada serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat oleh Al-Qaeda.

Peristiwa tragis ini menandai awal dari era baru terorisme global di mana

kelompok-kelompok teroris transnasional menargetkan serangan massal untuk

menciptakan dampak global (Crenshaw, dalam Mustofa, 2005). Sejak saat itu,

kelompok-kelompok seperti ISIS telah menonjol, mendorong ideologi ekstremis

mereka melalui tindakan kekerasan yang menyebar di seluruh dunia.

Kendati bentuk dan metode terorisme telah berubah sepanjang waktu, tujuannya

tetap konsisten: untuk menciptakan rasa ketakutan, mempengaruhi opini publik,

dan memaksa pemerintah untuk mengubah kebijakannya.

Sejak kemerdekaan Indonesia, telah mengalami berbagai pemberontakan.

Salah satu pemberontakan awal yang memiliki ciri-ciri ekstremis adalah Darul

Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berlangsung antara 1949 hingga

1962. Dalam upayanya mendirikan negara Islam di Indonesia, DI/TII, kerap

menggunakan kekerasan (van Bruinessen, dalam Sulasman, 2015). Kemudian,

pada awal abad ke-21, Indonesia kembali diguncang dengan serangan bom di

Kuta, Bali pada tahun 2002. Serangan ini dilakukan Jemaah Islamiyah (JI) dan

menewaskan 202 orang, kebanyakan dari mereka adalah wisatawan asing

(Kingsbury, dalam Zuhdi, 2018:27). Hanya setahun kemudian, hotel JW Marriott


4

di Jakarta menjadi sasaran serangan bom yang menewaskan 12 orang, dengan JI

kembali sebagai dalang dari insiden ini (Abuza dalam Surwandono dkk, 2018).

Pada 2004, Kedutaan Besar Australia di Jakarta juga mengalami serangan,

dengan 10 korban jiwa dan lebih dari 150 orang luka-luka, lagi-lagi JI dituding

sebagai pelakunya (Ramakrishna dalam Wahyudi, 2021). Bali sekali lagi menjadi

sasaran teror pada tahun 2005, dengan serangan di Jimbaran dan Kuta yang

menewaskan 20 orang, dengan JI sebagai pelakunya (Jones, 2005). Pada tahun

2009, dua hotel mewah di Jakarta, JW Marriott dan Ritz-Carlton, diserang,

menewaskan 7 orang (Singh dalam Kurniawan, 2018).

Tahun 2004 : Terjadi peristiwa Bom Palopo, pada tanggal 10 Januari

2004. Peristiwa ini menewaskan empat orang. Kemudian pada tanggal 9

September 2004 terjadi peristiwa Bom Kedubes Australia, Jakarta. Ledakan besar

terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya

luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan gedung di sekitarnya seperti

Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI. Kemudian pada 12 Desember

2004 terjadi peristiwa Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah.

Tahun 2005 : Pada tanggal 21 Maret 2005 terjadi peristiwa dua bom

meledak di Kota Ambon. Kemudian pada tanggal 28 Mei Maret 2005, terjadi

peristiwa ledakan Bom Tentena. Akibatnya 22 orang tewas. Pada tanggal 8 Juni

terjadi peristiwa ledakan Bom Pamulang, Tangerang. Bom meledak di halaman

rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril

alias M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa. Peristiwa terorisme yang

menarik perhatian dunia adalah peristiwa Bom Bali, yang terjadi pada 1 Oktober
5

2005. Akibatnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang

terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di

Nyoman Café Jimbaran. Pada tahun yang sama terjadi peristiwa Bom di Palu,

pada tanggal 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulteng

menewaskan 8 orang dan melukai 45 orang.

Tahun 2009 : Terjadi peristiwa Bom Jakarta, pada tanggal 17 Juli

2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta.

Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB.

Tahun 2010 : Terjadi peristiwa Penembakan warga sipil di Aceh pada

bulan Januari 2010. Terjadi juga peristiwa Perampokan bank CIMB Niaga pada

bulan September 2010.

Tahun 2011 : Terjadi peristiwa Bom Cirebon, pada tanggal 15 April

2011. Ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon saat Salat Jumat

yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya. Kemudian terjadi

peristiwa Bom Gading Serpong, pada tanggal 22 April 2011. Rencana bom yang

menargetkan Gereja Christ Cathedral Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan

diletakkan di jalur pipa gas, namun berhasil digagalkan pihak Kepolisian RI.

Selanjutnya terjadi peristiwa Bom Solo, pada tanggal 25 September 2011.

Ledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai kebaktian

dan jemaat keluar dari gereja. Satu pelaku bom bunuh diri tewas dan

mengakibatkan 28 orang lainnya terluka.


6

Tahun 2012 : Terejadi peristiwa Bom Solo, pada tanggal 19 Agustus

2012. Granat meledak di Pospam Gladak, Solo, Jawa Tengah. Ledakan ini

mengakibatkan kerusakan kursi di Pospam Gladak.

Tahun 2013 : Terjadi peristiwa Bom Polres Poso, pada tanggal 9 Juni

2013 dengan target personel polisi yang sedang apel pagi. Bom meledak di depan

Masjid Mapolres Poso, Sulawesi Tengah. Akibatnya 1 orang petugas bangunan

terluka di tangan sebelah kiri, sementara pelaku bom bunuh diri tewas di tempat.

Pada tahun 2016 : Terjadi peristiwa Bom dan baku tembak di Jakarta,

pada tanggal 14 Januari 2016. Ledakan dan baku tembak di sekitar Plaza Sarinah,

Jl MH Thamrin, Jakpus. Pada tanggal 5 Juli 2016, terjadi peristiwa ledakan bom

bunuh diri meledak di halaman Markas Kepolisian Resor Kota Surakarta,

Surakarta, Jawa Tengah. Akibatnya 1 pelaku tewas dan 1 petugas kepolisian luka-

luka. Pada tanggal 28 Agustus 2016, sebuah ledakan bom bunuh diri terjadi di

Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Jalan Dr Mansur, Kota Medan. Pelaku

mengalami luka bakar, seorang pastor luka ringan. Pada 13 November 2016,

sebuah bom molotov meledak di depan Gereja Oikumene Kota Samarinda,

Kalimantan Timur. Akibatnya empat anak-anak terluka dan satu korban di

antaranya meninggal dunia dalam perawatan di rumah sakit. Pada 14 November

2016, sebuah bom molotov meledak di Vihara Budi Dharma, Kota Singkawang,

Kalimantan Barat.

Tahun 2017 : Pada tanggal 24 Mei 2017, sebuah Bom Panci meledak di

Kampung Melayu, Jakarta Timur. Peristiwa tersebut terjadi di Terminal Kampung

Melayu, Jakarta Timur. Pada 27 Februari 2017, sebuah Bom panci meledak di
7

Taman Pandawa Cicendo, Bandung. Pelaku diketahui bernama Yayat Cahdiyat

alias Dani alias Abu Salam (41) yang merupakan anggota Jamaah Ansharut

Daulah (JAD) jaringan Bandung Raya.

Pada tahun 2018 : Pada tanggal 8 Mei 2018, terjadi peristiwa

penyanderaan sejumlah anggota brimob dan densus 88 selama 36 jam oleh 156

Napi Terorisme di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Dilaporkan, 5 perwira

Polri gugur dan 1 napi teroris tewas, sedangkan 4 perwira Polri luka berat/ringan.

Kemudian pada pada tanggal 13-14 Mei 2018 terjadi peristiwa Bom Surabaya.

Sedikitnya lima belas orang tewas dan puluhan lainnya terluka setelah

serangkaian pengeboman bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Pada

malam harinya, sebuah bom meledak di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Jawa

Timur. Keesokan harinya, sebuah bom meledak di Mapolrestabes Surabaya, Jawa

Timur, pada 14 Mei 2018, pukul 08.50 WIB. Semua pelaku yang melakukan

rentetan teror bom di Surabaya dan Sidoarjo ini merupakan anggota dari jaringan

Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan

Syam (ISIS). Pada tanggal 16 Mei 2018, terjadi peristiwa Mapolda Riau diserang

oleh kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Setidaknya, satu orang

polisi gugur, dua orang polisi luka-luka, dan dua jurnalis luka-luka. Empat orang

teroris tewas tertembak, sedangkan satu orang teroris yang berperan sebagai

pengemudi mobil melarikan diri. Pada bulan Mei 2018, terjadi Teror bom terjadi

di Surabaya, yang dilakukan oleh pasangan suami-istri Dita Oeprianto dan Puji

Kuswati.
8

Pada tahun 2019 : Di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, terjadi

peristiwa penyerangan nekat yang dilakukan oleh pasangan suami isteri terhadap

Menko Polhukam Wairanto yang baru turun dari pesawat untuk melakukan suatu

kunjungan. Kemudian Terjadi peristiwa bom bunuh diri yang mengguncang

Markas Polrestabes Medan.

Markas Besar (Mabes) Polri mengeluarkan pernyataan resmi soal

dugaan ledakan bom di Polsek Astana Anyar Bandung Jawa Barat pada tahun

2022. Kemudian terjadi peristiwa penangkapan-penangkapan terhadap terduga

teroris di berbagai daerah.

Puncak serangkaian terorisme di dekade tersebut adalah serangan pada

2016 di pusat Jakarta, di mana ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan

yang menargetkan area Sarinah dan Thamrin, menewaskan 8 orang (IPAC, 2016).

Terlepas dari kenyataan bahwa setiap negara saat ini cenderung

mengadopsi definisi terorisme yang didasarkan pada perspektif, dinamika,

tantangan, dan kebutuhan masing-masing, penanggulangan terorisme di Indonesia

telah muncul sebagai salah satu isu dan tantangan global yang paling signifikan di

abad ke-21 ini. Melihat kenyataan bahwa belum ada kesepakatan internasional

mengenai definisi terorisme itu sendiri, terorisme dipandang sebagai ancaman

terhadap keamanan suatu negara. Sehubungan dengan metodologi ini, perang

psikologis pada umumnya dilihat sebagai penggunaan kebiadaban politik terhadap

suatu kelompok yang obyektif, umumnya orang-orang biasa, penggunaan

kekuatan atau kekejaman yang tidak disetujui terhadap orang atau harta benda
9

untuk memaksa dan menakut-nakuti badan legislatif untuk mentolerir tujuan

politik, ketat, atau filosofis.

Terorisme telah menjadi ancaman global yang mempengaruhi banyak

negara, termasuk Indonesia. Upaya pencegahan terorisme menjadi penting untuk

memastikan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme (BNPT) didirikan sebagai respons Indonesia terhadap

ancaman ini. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, yang mengubah Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Terorisme didefinisikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau

ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara

meluas, dengan cara menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara

menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara menimbulkan kerusakan

atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup,

fasilitas publik, atau fasilitas internasional. Definisi ini diadopsi sesuai dengan

Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

(Kemenlu, Direktorat KIPS, 07/April/2019 )

Berdasarkan pada penjabaran atas definisi terorisme tersebut, terorisme

adalah kejahatan serius (serious crime).

Dari berbagai definisi tersebut, terdapat kesamaan kunci yang menjadi

pedoman studi ini yaitu: (1) tujuan/agenda terorisme terkait dengan tujuan politis

atau ideologis, (2) memiliki karakter strategis, (3) menggunakan cara kekerasan

dan teror, (4) diarahkan terhadap target yang luas, (5) memiliki dampak psikologis

yang kuat, (6) diarahkan terhadap penduduk sipil (non-combatants).


10

Secara umum, berbagai studi dan literatur menunjukkan bahwa

penanggulangan terorisme mengambil tiga dimensi yaitu preemtif/preventif,

represif, dan rehabilitatif/integratif. Pendekatan preemtif atau pencegahan dini

mengacu pada upaya menghilangkan niat dan rencana seseorang untuk melakukan

tindak pidana terorisme. Metode preventif atau pencegahan mengacu pada upaya

menghilangkan kesempatan seseorang untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Pendekatan represif merujuk pada penanganan langsung dan penegakan hukum

terhadap tindak pidana terorisme. Pendekatannya mencakup strategi untuk

menangani radikalisasi dan ekstremisme, pelibatan dan partisipasi masyarakat,

deradikalisasi, rehabilitasi, reintegrasi sosial, dan peran masyarakat sipil.

Memakai kerangka kerja analitis sebelumnya, kedua pendekatan besar

tersebut dapat dirujuk ke dalam beberapa fase yaitu pencegahan (soft approach),

penanganan (hard approach) serta deradikalisasi, rehabilitasi, dan reintegrasi

sosial (soft approach). Urgensi kombinasi kedua pendekatan tersebut tidak dapat

ditawar lagi. Pendekatan lunak secara khusus dinilai strategis untuk membangun

ketahanan masyarakat agar warganya tidak bergabung dan mendukung terorisme.

Dalam konteks Indonesia, berbagai upaya dan langkah perang terhadap terorisme

telah diadopsi pemerintah, khususnya sejak kejadian Bom Bali pada 2002. Secara

umum, ada dua dimensi dalam upaya Indonesia tersebut yaitu memerangi

terorisme domestik dan mendukung perang global terhadap terorisme.

Menurut Wilkinson respons negara dalam kerangka liberal-demokratis

terhadap terorisme umumnya dilakukan melalui tiga koridor, yaitu: (1) politik,
11

diplomasi, dan proses damai, (2) penegakan hukum dan system peradilan tindak

kriminal, (3) penggunaan kekuatan militer dalam penanggulangan terorisme.

Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di

Indonesia merupakan respons langsung dari pemerintah terhadap serangkaian

serangan teroris yang terjadi di Indonesia, khususnya pada awal abad ke-21.

Pasca-serangan tragis seperti bom Bali 2002 dan serangan bom lainnya di Jakarta,

terasa jelas bahwa Indonesia memerlukan mekanisme terpadu untuk

menanggulangi ancaman terorisme yang semakin meningkat.

BNPT didirikan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 46 Tahun

2010 tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Dengan

dibentuknya BNPT, pemerintah berupaya untuk memiliki lembaga yang berfokus

khusus dalam upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan dampak

terorisme. BNPT juga bertugas melakukan kerja sama dengan lembaga terkait,

baik dalam maupun luar negeri, untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan

terorisme (BNPT, 2010). Hal ini didasarkan pada kewajiban asasi negara

Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945, yaitu: “...Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia...” (Pembukaan UUD 1945, Pokok

Pikiran Pertama). Pokok pikiran ini selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 27 ayat 3

UUD 1945, bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya

pembelaan negara.”
12

Pembentukan BNPT juga mengindikasikan transisi dari pendekatan yang

semata-mata bersifat keamanan menjadi pendekatan yang lebih komprehensif.

Selain fokus pada pencegahan serangan teroris, BNPT juga menekankan

pentingnya pendekatan deradikalisasi, rehabilitasi, serta pemahaman dan

pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya radikalisme dan terorisme. Ini

merupakan suatu pendekatan yang menyeluruh, menggabungkan upaya keras

(hard approach) dengan upaya lunak (soft approach) dalam menghadapi ancaman

terorisme.

Sebagai upaya pencegahan, BNPT juga bekerja sama dengan berbagai

stakeholder, termasuk agama, pendidikan, dan komunitas untuk memerangi

ideologi ekstremis dan mendukung inisiatif deradikalisasi. Upaya-upaya tersebut

menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk tidak hanya merespons

serangan teroris yang telah terjadi, tetapi juga mencegah agar insiden serupa tidak

terulang di masa mendatang.

Kejahatan terorisme dipandang sebagai kejahatan bersifat lintas negara,

terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas serta berpotensi mengancam

keamanan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara, serta perdamaian

dunia seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2018.

Sehingga penanggulangan terorisme tidak bisa hanya dilakukan oleh satu badan

atau satu Negara saja. Poros utama hukum pemberantasan terorisme adalah

Undang-Undang No. 5 Tahun 2018. Dalam undang-undang ini disebutkan secara

jelas lembaga-lembaga yang terkait. Bahkan, dalam undang-undang tersebut,

terdapat bab khusus tentang kelembagaan yakni Bab VIIB Pasal 43E-43J. Secara
13

gamblang disebutkan dalam Pasal 34E ayat (1), “Badan yang menyelenggarakan

urusan dibidang penanggulangan terorisme yang selanjutnya disebut Badan

Nasional Penanggulangan Terorisme, berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Presiden”. Dengan demikian, lembaga sentral pemberantasan terorisme di

Indonesia adalah BNPT RI. Salah satu upaya pemerintah Indonesia yang

dilakukan BNPT RI dalam memberantas tindak pidana terorisme adalah melalui

penanggulangan terorisme berdasarkan kepada strategi soft approach yang

dilakukan oleh BNPT RI melalui kegiatan Sinergisitas Antar

Kementerian/Lembaga di Indonesia. Sehingga disamping perlu mengetahui

konsep dari penanggulangan terorisme itu sendiri, perlunya memahami konsep

sinergi yang dimaksud serta pendekatan berbasis tipologi masyarakat radikal yang

diharapkan mampu menurunkan tingkat radikalisme di lokus sasaran kegiatan

Sinergisitas Antar Kementerian/Lembaga.

Dalam aturan yang lebih teknis, sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor

46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2012, BNPT

memiliki tugas antara lain menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di

bidang penanggulangan terorisme. Selain itu juga mengoordinasikan instansi

pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang

penanggulangan terorisme (Pasal 2 ayat 1). Bidang penanggulangan terorisme

sebagaimana dimaksud meliputi bidang pencegahan, perlindungan, deradikalisasi,

penindakan dan penyiapan kesiapsiagaan nasional (Pasal 2 ayat 2). Kewenangan

BNPT RI dalam penanggulangan terorisme mencakup penyiapan kesiap-siagaan


14

nasional, kontra-radikalisasi dan deradikalisasi kembali dikuatkan dalam Undang-

Undang terbaru, yakni UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (Pasal 43B, 43C, dan 43D).

Kebijakan penanggulangan terorisme diperkuat juga melalui penetapan

Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Hal ini mengingat, sebagaimana ditegaskan

dalam bagian pertimbangan bahwa unsur pendanaan merupakan salah satu faktor

utama dalam setiap aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan tindak pidana

terorisme harus diikuti dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap

pendanaan terorisme. Lebih dari itu, Indonesia telah meratifikasi International

Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (Konvensi

Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme) tahun 1999 berkewajiban

membuat atau menyelaraskan peraturan perundang-undangan terkait dengan

pendanaan terorisme sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam konvensi

tersebut (UU Nomor 9 Tahun 2013, poin (a) dan (b) bagian pertimbangan).

Penanggulangan terorisme yang dikoordinasikan BNPT RI memadukan

beberapa langkah yaitu: (a) upaya pencegahan penyadaran/deradikalisasi dan

kontra radikal terorisme dengan sasaran masyarakat, melalui lembaga-lembaga

pendidikan, tempat-tempat ibadah, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah

terkait; (b) koordinasi pengungkapan jaringan terorisme dan penegakan hukum

terhadap pelaku tindak pidana terorisme; (c) menjalin kerjasama internasional


15

baik dilingkup regional, multilateral dan global di bidang penanggulangan

terorisme.

Sebagai institusi pemerintah yang memiliki tugas pokok

mengoordinasikan upaya-upaya penanggulangan terorisme, BNPT RI selama ini

menganut dua pendekatan yaitu hard approach dan soft approach. Pendekatan

keras (hard approach) dilaksanakan dengan mendorong aparat penegak hukum

(polisi, jaksa dan hakim) untuk melaksanakan penegakan hukum secara

profesional dan transparan, sedangkan pendekatan lunak (soft approach)

dilaksanakan melalui program deradikalisasi, program yang dilaksanakan kepada

pelaku aksi teror, narapidana teroris, mantan narapidana teroris, keluarga dan

jaringannya; dan kontra radikalisasi, yang dilaksanakan kepada masyarakat umum

untuk meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap paparan paham radikal

terorisme. Penanganan aksi kejahatan terorisme selama ini lebih banyak

dititikberatkan pada penindakan para pelaku aksi teror. Pendekatan ini terkesan

reaktif dan tidak menyelesaikan akar permasalahan yang mendasari munculnya

pelaku teror dan kejahatan yang dilakukannya. Hal ini mengingat akar penyebab

permasalahan terorisme di Indonesia bukan saja karena alasan ideologis,

melainkan juga karena faktor-faktor lain yang bersifat multi-dimensional seperti

faktor ekonomi, kesenjangan sosial, lemahnya wawasan kebangsaan, dan lainlain.

Sementara itu, tantangan dalam melaksanakan penanganan dan pembinaan

narapidana terorisme, mantan narapidana terorisme, mantan teroris, keluarga dan

jaringannya serta berbagai potensi radikal lainnya yang keberadaannya tersebar ke

berbagai wilayah Indonesia, membuat BNPT RI membutuhkan dukungan yang


16

kuat dan komprehensif dari seluruh stakeholder serta partisipasi masyarakat dari

hulu ke hilir. BNPT RI memiliki langkah-langkah strategis dalam rangka

pencegahan dan penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia. Salah

satunya melalui kegiatan bernama Sinergisitas antar Kementerian/Lembaga.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI)

sebagai Institusi Pemerintah yang memiliki tugas pokok mengoordinasikan upaya-

upaya penanggulangan terorisme perlu melibatkan Kementerian/Lembaga terkait

untuk membangun sinergi.

Masalah terorisme, sebagai suatu kejahatan transnasional yang bersifat

multi-dimensional, kompleks dengan risiko penanganan yang tinggi, memerlukan

program penanggulangan yang efektif. Program penanggulangan terorisme yang

dilakukan oleh BNPT RI tidak dapat dikerjakan secara sendiri dan parsial.

Program penanggulangan terorisme sendiri pada dasarnya merupakan tanggung

jawab bersama seluruh komponen bangsa. Untuk memaksimalkan program

penanggulangan terorisme di Indonesia, BNPT RI secara aktif menggalang

dukungan lintas sektor antar Kementerian/Lembaga terkait dalam menanggulangi

terorisme dari berbagai aspek.

BNPT RI melakukan kerjasama Sinergisitas Antar Kementerian/Lembaga

secara berkelanjutan dan konsisten bersama-sama dalam program penanggulangan

terorisme. Pada tanggal 20 Oktober 2016 pemerintah melalui Kementerian

Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam)

menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 77 Tahun 2016 tentang Tim Koordinasi


17

antar K/L dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Terorisme sebagai salah

satu upaya dan pendekatan terpadu dalam menanggulangi terorisme di Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari kebijakan di atas, BNPT RI mengkoordinasikan

program pendekatan terpadu Sinergisitas Antar Kementerian/Lembaga (K/L)

dalam penanggulangan terorisme dengan membentuk suatu Sekretariat

Sinergsitas. Meski telah diinisiasi sejak tahun 2016 sesuai dengan Keputusan

Menkopolhukam tersebut, program ini baru mulai efektif berjalan pada tahun

2018 dan berkelanjutan hingga tahun 2019.

Dalam perspektif penanggulangan terorisme yang dikoordinasikan oleh

BNPT, mestinya rangkaian peristiwa pemboman di wilayah Negara Republik

Indonesia yang mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban,

menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda,

sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi,

politik, dan hubungan internasional. Tidak terjadi lagi. Namun kenyataan, sejak

terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, perisstiwa-peristiwa terorisme di Indoneus tetap terjadi.

Menurut Tina (2014), beberapa peritiwa terorisme dapat dikronoligiskan sebeagai

berikut; pada tanggal 3 Februari 2003 terjadi peristiwa Bom Kompleks di Mabes

Polri, Jakarta,. Bom rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri

Jakarta. Tidak ada korban jiwa. Kemudian terjadi peristiwa Bom Bandara

Soekarno-Hatta, Jakarta, pada tanggal 27 April 2003. Bom meledak di area

publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng,

Jakarta. Akibatnya 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.
18

Selanjutnya terjhadi peristiwa Bom JW Marriott pada tanggal 5 Agustus 2003.

Bom bunuh diri ini menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott. Akibatnya

sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.

Perisatiwa ini terpublikasi secara luas oleh berbagai media dalam dan luar negeri.

Dampak dari rangkaian peristiwa terorisme yang demikian itu tentu tidak

terbatas hanya pada akibat tindak kekerasan fisik saja seperti kematian, kecatatan

fisik dan sebagainya. Dampak dari rangkaian peristiwa terorisme di Indonesia

bisa sampai pada permasalahan sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu,

pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

(BNPT) menjuadi suatu fenomena unit kerja birokrasi yang menarik untuk diteliti

menurut pendekatan Ilmu Pemerintahan. Untuk itu, diajukan quesi “Bagaimana

efektivitas BNPT dalam melaksanakan fungsi pencegahan teorisme di

Indonesia?” Guna menjawab quesi secara konseptual dan faktual, maka

dipandang perlu diadakan suatu pendekatan penelitian terhadap efektivitas BNPT

dalam melaksanakan fungsi pencegahan terorisme di Indonesia. Untuk itu, dipilih

judul penelitian berikut :

“Efektivitas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam

Melaksanakan Fungsi Pencegahan Terorisme di Indonesia”

Judul tersebut dipilih dengan alasan bahwa efektivitas BNPT dalam

melaksanakan fungsi pencegahan terorisme merupakan bagian integral

pelaksanaan fungsi penegakkan hukum. Fungsi penegakkan hukum adalah salah

satu fungsi pemerintahan yang menjadi obyek forma Ilmu Pemerintahan. Fungsi-
19

fungsi pemerintahan lainnya adalah fungsi perlindungan, fungsi pertahanan,

fungsi perwakilan, fungsi pengaturan, fungsi pengawasan, fungsi pembangunan,

fungsi pemberdayaan, fungsi pelayanan dan fungsi hubungan antar pemerintahah.

Dengan demikian pemilihan judul penelitian layak dianggap telah

merepresentasikan obyek forma Ilmu Pemerintahan.

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dimaksudkan untuk menemukan perspektif

penelitian menurut efektivitas peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

dalam menyelenggarakan penanggulangan terorisme di Indonesia. Dengan

demikian dapat teridentifikasi paradigma penelitian yang terbentuk dari judul

penelitian yang dipilih. Identifikasi efektivitas yang dimaksud adalah sebagai

berikut :

1. Masih adanya serangkaian peristiwa terorisme di Indonesia;

2. Masih tingginya ancaman terorisme di Indonsia;

3. Belum optimalnya komunikasi antar lembaga negara dalam pencegahan dan

penanggulangan terorisme;

4. Koordinasi yang belum optimal dalam pencegahan dan penanggulangan

terorisme di Indonesia;

5. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam koordinasi pelaksanaan

perlindungan terhadap obyek-obyek yang potensial menjadi target serangan

terorisme belum optimal terintegrasi dengan lembaga negara lainnya.


20

1.3 Pembatasan Masalah

Dengan menyadari adanya keterbatasan sumber daya dan waktu untuk

melaksanakan penelitian efektivitas Badan Nasional Penanggulangan Teororisme,

maka penulis memandang perlu memberi batasan masalah agar obyek dan fokus

penelitian menjadi jelas dan terjangkau. Selanjutnya, sesuai dengan judul

penelitian, maka obyek dan fokus penelitian dibatasi hanya pada pembahasan

Efektivitas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam

Melaksanakan Fungsi Pencegahan Terorisme di Indonesia. Dengan demikian

dapat dipastikan bahwa,

- Object penelitian adalah efektivitas (efectiveness) atau pencapaian kinerja

suatu institusi/birokrasi pemerintahan;

- Focus penelitian adalah pelaksanaan fungsi pencegahan terorisme di

Indonesia; dan

- Locus penelitian adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

1.4 Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian diajukan dengan pertanyaan-pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam

melaksanakan fungsi pencegahan terorisme di Indonesia?

2. Bagaimana model dalam upaya pelaksanaan fungsi penanggulangan terorisme

oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di Indonesia?


21

1.5 Tujuan Penelitian

Dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut ditetapkan tujuan

penelitian sebagai berikut :

1. Membahas efektivitas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam

melaksanakan fungsi pencegahan terorisme di Indonesia;

2. Menyusun model dalam upaya pelaksanaan fungsi penanggulangan terorisme

oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di Indonesia.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat praktis dan manfaat teoritis yang diharapkan dari seluruh

rangkaian kegiatan penelitian dan hasil penelitian adalah sebagai berikut :

1.6.1 Manfaat Praktis

Manfaat praktis bagi Pemerintah, terutama bagi Pimpinan Badan

Nasional Penanggulangan Terorisme adalah bahwa hasil penelitian yang tersusun

menjadi implikasi praktis kiranya dapat diterima sebagai suatu masukan yang

bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan, program dan

kegiatan pencegahan terorisme di Indonesia dan kerjasama internasional. Manfaat

praktis bagi para pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian, diharapkan

hasil penelitian yang tersusun menjadi implikasi praktis dan implikasi teoritis

dapat dijadikan rujukan dalam menelaah fenomena terorisme di Indonesia.

Manfaat praktis bagi penulis, seluruh rangkaian kegiatan penelitian dan hasil

penelitian dapat lebih memperkuat dan memperluas konsep pemahaman aplikasi


22

disiplin Ilmu Pemerintahan yang dipelajari selama mengikuti Program Doktor

Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri.

1.6.2 Manfaat Teoritis

Model yang disusun berdasarkan temuan empirik yang diperoleh melalui

pembahasan hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan kontribusi bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi pengembangan Ilmu

Pemerintahan yang semakin fungsional untuk mengkritisi penyelenggaraan

pemerintahan. Lebih dari itu, model juga dapat dijadikan kerangka acuan studi

oleh para peneliti lain yang memilih obyek penelitian yang sama atau hampir

sama; dan diharapkan para peneliti lain dapat mengembangkan hasil penelitian

yang dimaksud menjadi suatu konsep penelitian yang lebih luas dan mendalam,

agar dengan demikian pembahasan terhadap efektivitas Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme akan semakin tajam dan mendalam dalam menyikapi

dan mengatasi fenomena terorisme di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai