Anda di halaman 1dari 20

RELASI TUHAN – MANUSIA - ALAM

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Lingkungan

Dosen Pengampu : Ibu Liana Dewi Susanti, M.E.Sy

Disusun Oleh :

Darma Krisnanto (2103031003)

Dini Palupi ( 2103030012 )

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) METRO

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Segala puji bagi Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat
hamba-hambanya. Alhamdulillah karena berkat rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah fiqh lingkungan ini. Adapun
maksud dan tujuan kami disini yaitu menyajikan beberapa hal yang menjadi
materi dari makalah kami. Makalah ini membahas mengenai “Relasi Tuhan -
Manusia - Alam”.

Kami menyadari bahwa di dalam makalah kami ini masih banyak


kekurangan, kami mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan
makalah kami agar lebih baik dan dapat berguna semaksimal mungkin. Akhir
kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan dan menyempurnakan makalah ini.

Metro, 13 September 2022

Penyusun

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuhan Allah adalah kata dalam bahasa arab yang merujuk pada nama Tuhan.
Kata Allah ini lebih banyak dikenal sebagai sebutan tuhan oleh penganut agamaIslam.
Kata ini sendiri dikalangan para penutur bahasa arab adalah kata yang umum untuk
menyebut tuhan, terlepas dari agama mereka, termasuk penganut Yahudi dan
Kristen Arab Allah ialah Sang maha kuasa segala hal, penciptaannya,
kebesarannya tidak terukur oleh suatu apa pun. Dialah Sang Maha pemilik dunia ini,
manusia yang selalu terikat oleh Allah, begitu juga Alam, yang kesemua itu
diciptakan semata hanya untuk menyembahnya, dan menjadikan keseimbangan
kesempurnaan di dunia agar manusia hidup dengan baik menuju jalan kebenarannya, dan
pemperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat

Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut


biologis, rohani,dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis,
manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens, sebuah spesies primata dari
golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian,
mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi dimana dalam agama
dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup.
Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan
bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan
teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya membentuk kelompok dan
lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.

Alam semesta merupakan lingkungan yang ada di sekitar kita yang


perlu dilestarikan dan dijaga keindahannya. Agar tercipta keseimbangan
dunia. Alam semesta adalah fana. Di antara tuhan, manusia, dan alam sangatlah
mengikat erat dalam komposisi kehidupan di bumi ini, saling menghubungkan satu
dengan yang lainuntuk kehidupan yang seimbang berjalan sempurna.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Tuhan Dalam Perspektif Islam

Salah satu konsep utama Islamic Worldview adalah konsep Tuhan.


Islam sendiri memiliki konsep Tuhan yang berbeda dari agama-agama lain,
begitu pula berbeda dengan konsep Tuhan yang ada pada filsafat, budaya dan
peradaban lainya. Yang membuatnya berbeda ialah cara dalam memahami
wujud (existensi), yang dimana wujud dalam Islam tidak hanya tidak hanya
berhubungan dengan fisik saja, namun juga mencakup aspek dunia dan
akhirat.1

Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, wujud (existensi) tidak


hanya mental tapi juga nyata. Menurutnya existensi tidak hanya sebatas entitas
mental yang terkait dengan realitas dunia external, namun juga nyata. Sehingga
terbentuk consept of existense dan reality of existense.2 Menurut pemikiran Al-
Attas sesuatu itu adalah esensinya. Bagi Al-Attas esensi dan reality tidak
memiliki perbedaan. Esensi dan reality hanya berbeda dalam pemikiran dan
tidak dalam kenyataan.

Al-Attas membedakan antara esensi (essense) dan mahiyyah (quiddity).


Realitas sesuatu disebut dengan essensi.3 Sedangkan mahiyyah dalam makna
yang umum adalah esensi (quidity in this general sense what we mean by
essence)4.

Essensi menurut Al-Attas adalah eksistensi dan mahiyyah, akan tetapi


mahiyyah bukanlah realitas sesuatu. Realitas sesuatu adalah wujud (eksistensi).
Oleh sebab itu Tuhan adalah Eksistensi Mutlak yang dari-Nya, alam semesta
merupakan manifestasi (tajalli) dari Eksistensi-Nya.5

1
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam. An Exposition of the
Fundamental Elements of Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 1–2.
2
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 217–218.
3
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 233.
4
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 234.
5
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 234.

2
Pemikiran Al-Attas mengenai konsep wujud ini terinspirasi dari
beberapa ayatal-Aqur’an yang menjelaskan tentang konsep wujud, seperti pada
surat Al-Qashashayat ke-88.

“Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak
ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa,
kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-
Nya kamu dikembalikan.” (QS. Al-Qasas : 88)

“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di


sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah : 115)

3
“ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang
belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” “(QS. Al-A'raf : 172)

Menurut Al-Attas konsep kita dapat mengenal Tuhan melalui wahyu-


Nya al-Qur’an di mana di dalamnya telah dijelaskan sifat-sifat serta nama-
nama Allah yang baik. Al-Attas membedakan konsep Tuhan sebagai Rabb dan
Tuhan sebagai Ilah. Hal ini sesuai dengan konsep Islam mengenai Tauhid,
yang secara umum terbagai dalam tiga kategori, yakni tauhid rububiyah, tauhid
al-uluhiyah serta tauhid asma’ dan sifat sifat Tuhan. Pandangan AL-Attas
mengenai pembagian tauhid menjadi tiga sejalan dengan pemikiran Ibnu
Taimiyyah tentang Tauhid. Pembagian tauhid menjadi tiga, yakni tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma’ dan sifat, ini pertama kali
dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah yang diikuti oleh Syakh Muhammad bin
Abdul Wahhad, perintis ajaran Wahhabi.6

1. Tauhid rububiyah

Kata tauhid memiliki arti kata yang berarti kesan Allah,


kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Menurut etimologis kata tauhid
memiliki arti mengesakan yang maksudnya adalah meyakini bahwa
Allah Swt. adalah Esa, Tunggal atau Satu. Sedangkan Tauhid
rububiyah, adalah meyakini bahwa Tuhan Rabbul ‘Alamin, pencipta
alam raya adalah satu yakni Allah Swt.

Kata Rabb (Tuhan) yang digunakan al-Qur’an memiliki tiga unsur


makna yakni, Yang Menciptakan, Yang Memiliki, Yang Mengatur.
Dari asal kata Rabb ini kemudian muncullah kata rububiyah. Menurut

6
Madzhab Al-Asy’ari benarkah Ahlussunnah Wal - Jama’ah? : jawaban terhadap aliran Salafi /
Muhammad Idrus Ramli ; penata isi & penyelaras bahasa : A. Ma’ruf Asrori (Surabaya: Khalista, 2009),
224.

4
Muhammad Rasyid Ridha, sebagaimana yang dikutip oleh Firdaus, kata
rububiyah memiliki makna pengaturan dan pemeliharaan.7

Meyakini Tuhan sebagai Rabb, berarti meyakini Tuhan sebagai


penguasa seluruh alam, Dia adalah pencipta yang menghidupkan dan
mematikan, yang metetapkan seluruh aturan dan hukum atas semua
makhluk ciptaan-Nya, Pemberi rezeki, Pengatur alam. Tuhan memiliki
kekuasaan yang mutlak, bertindak sebagaimana keinginan-Nya, tanpa
ada yang dapat menghalangi dan menghambat- Nya. Bila Dia
berkehendak untuk memberikan manfaat (kebaikan) kepada seseorang,
maka tak seorang pun mampu untuk menolaknya. Begitu pula bila Dia
berkehendak lain, maka tak seorang pun dapat menghalangi-Nya. Tidak
ada daya untuk dapat menghindari perbuatan dosa kecuali dengan
pemeliharaan-Nya, dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan
kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya. Sebagaimana dijelaskan
dalam surat al-An’aam :17,

“ Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak


ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan jika Dia
mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu. “ (QS. Al-An'am : 17)

7
Firdaus, Konsep AL-Rububiyah, ... 106.

5
2. Tauhid uluhiyah

Jika tauhid rububiyah adalah meyakini bahwa Tuhan Sang


Pencipta alam semesta adalah satu, tauhid uluhiyah adalah meyakini
bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Tuhan yang berhak untuk
disembah, sebaga tempat khudhu’ (tunduk / merendah) bagi hamba-
hamba-Nya dalam beribadat dan taat.8 Tauhid uluhiyah juga
merealisaskan arti dari kalimat tauhid Laa illaha illallah. Para rasul dan
Nabi yang diutus oleh Allah selalu mendakwahkan tauhid uluhiyah.9

Menurut Ibnu Qoyyim, sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah


bin Abdul Muhsin, menegaskan bahwa keyakinan terhadap Tuhan
sebagai Ilah harus disertai dengan kesempurnaan cinta dan rasa rendah
diri (kamalul hubb dan kamalul al-dzill).Dengan meyakini tauhid
uluhiyah maka seseorang harus mengabdikan diri-Nya semata-mata
hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, hanya Allah tempat
bergantung dan sandaran bagi segala harapan.10 Sejalan dengan Ibnu
Qoyyim Said Aqil Siraj menjelaskan bahwa ketika seorang hamba
berupaya menyembah dan beribadah kepada Allah secara tulus dan
murni serta diiringi perasaan mahabbah, khauf, raja’, dan tawakkal,
maka hamba itu telah memasuki wilayah tauhiduluhiyah.11

Menurut Al-Attas meyakini Tuhan sebagai Ilah berarti tidak


menyekutukan-Nya dan tunduk serta taat kepada-Nya degan cara,
metode serta jalan yang telah ditunjukkan dan disetujui oleh-Nya.

sehingga manusia tidak hanya mengimani atau meyakini Tuhan


sebagai Sang Pencipta, Pemberi rezeki saja namun harus disertai juga
dengan menyakini, tunduk dan taat kepada Tuhan dan segenap hukum-
hukum yang telah ditetapkan Tuhan sebagai cara yang benar untuk
beribadah kepada-Nya. keyakinan terhadap tauhid rububiyah harus
8
Daud Rasyid, Islam dalam berbagai dimensi /Daud Rasyid (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), 19.
9
Abdullah bin Abdul Muhsin Nabhani Idris dan Atturki, Dasar-dasar aqidah para imam salaf =
(Ahlussunnah Wal Jamaah) (Beirut: Muassasah Risalah, 1995), 161.
10
Muhammad Said Al-Qahthani dan dkk, Memurnikan laa ilaaha illallah (Jakarta: Gema Insani,
1991), 19.
11
Said Aqil Siroj dan K.h Ahmad Baso, Tasawuf Sebaga Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), 317.

6
disertai juga dengan tauhid uluhiyah karena tauhid uluhiyahlah yang
membedakan orang yang bertauhid murni dengan orang musyrik.
Hukum-hukum serta metode yang telah ditetapkan Tuhan dapat
diketahui melalui ajaran-ajaran para nabi dan rasul-Nya.

“ Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap


umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut”,
kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan
ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi
dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan
(rasul-rasul).” (QS. An-Nahl : 36)

B. Konsep Manusia Dalam Perspektif Islam

Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arab yaitu
Nasiya yang berarti lupa. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena
manusia memiliki sifat lupa.12 Manusia dalam pengertian insan menunjukan
makhluk yang berakal, yang berperan sebagai subyek kebudayaan. Dapat juga
dikatakan bahwa manusia sebagai insan menunjukan manusia sebagai makhluk
psikis yang mempunyai potensi rohani, seperti fitrah, kalbu, akal. Potensi inilah
yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang tertinggi martabatnya
dibandingkan makhluk-makhluk lainnya.13

1. Hakikat manusia

Penciptaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang jelas


dan pasti. Ada tiga misi yang bersifat givenyang diemban manusia,

12
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987), 53.
13
Hasan Langgulung, 25.

7
yaitu misi utama untuk beribadah seperti yang tercantum dalam Al-
Qur’an, surah az-Zariyat ayat 56 berikut ini.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya


mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat : 56)

Dalam klasifikasi makhluk hidup di alam semesta terdapat tiga


kingdom (almawaldat-thalathah), yakni hewan, tumbuhan dan mineral.
Manusia sebagai makhlus monodualistik yang memiliki sisi fisik
sebagai bashar dan sekaligus segi rohani sebagai insan, menganggap
dirinya termasuk dalam klasifikasi animal kingdom, karena memandang
dirinya sendiri dari aspek biologis adalah sama dengan hewan, hanya
berbeda pada derajat saja. Meskipun demkiam menurut Al-Attas,
sesungguhnya sifat biologis manusia berbeda dengan hewan. Hal ini
dikarenakan sifat biologis manusia sebagai bashar memiliki hubungan
erat dan yang tidak dapat dipisahkan dengan sifat rohani sebagai insan.
Lebih dari itu seharusnya manusia memiliki klasifikasi kingdomnya
sendiri, hal ini sebagaimana yang dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an
Surat al-Baqarah ayat 30.

8
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata,
“Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu
dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”” (QS. Al-Baqarah : 30)

Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan


keistimewaan dari makhluk-makhluk lainya. Manusia diberi mandat
sosial oleh Allah untuk menjadi khalifah-Nya di bumi. Oleh sebab itu
Al-Attas berpendapat bahwa benar jika manusia diberikan klasifikasi
sendiri yang disebut the kingdom of man, khalifah Allah di bumi. Di
dalam the kingdom of man ini tidak ada klasifikasi untuk genera, spesies
ataupun jenis, hanya ada klasifkasi dalam ras bangsa, suku dan
individu.14

C. Konsep Alam Dalam Perspektif Islam

Manusia diperintahkan untuk mengetahui alam dan seisinya, sebelum


mengetahui dan memikirkan penciptanya, anugrah akal bagi manusia
merupakan kekuatan terbesar untuk memahami mekanisme kerja alam semesta
dan kemudian dipergunakan untuk merekonstruksi asal muasal alam semesta,
planet, dan system tatasurya. Akal manusia dipergunakan untuk memahami
dan menginterpretasi fakta-fakta kauniyah dan juga ayat-yat Qur’aniyah.

Keberadaan akal menjadi kunci untuk memahami posisi alam semesta


bagi kehidupan manusia sendiri, jalan untuk mengenal Allah sebagai pencipta
dirinya dan juga sebagai pencipta alam semesta. Surah al-Baqarah: 164
merupakan salah satu contoh bahwa fenomena pencipta langit (samawati) dan
bumi (ardi), fenomena pergantian siang dan malam, fenomena pelayaran di
atas lautan, air yang diturunkan dari langit, fungsi air menghidupkan bumi,
pengisaran angin dan awan, sunguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
menggunakan akal.15

14
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam. An Exposition of the
Fundamental Elements of Worldview of Islam, 41.

9
1. Hakikat alam
Menurut Al-Jurjani terma alam secara bahasa berarti segala hal yang
menjadi tanda bagi suatu perkara sehingga dapat dikenali, sedangkan secara
terminologi berarti segala sesuatu yang maujud selain Allah, yang dengan ini
Allah dapat dikenali baik dari segi nama maupun sifatnya-Nya. 16 Segala
sesuatu selain Allah itulah alam secara sederhana. Pengertian ini merupakan
pengertian teologis, dalam arti berdasarkan yang dikemukakan oleh para
teologi Islam. Alam adalah kumpulan jauhar (substansi) yang tersusun dari
materi (maddah) dan bentuk (shurah) dilangit dan di bumi. Segala sesuatu
yang ada di langit dan di bumi, itulah alam berdasarkan rumusan filsafat. Alam
dalam pengertian ini merupakan alam semesta atau jagat raya.17 Pemahaman
Astronom untuk mengungkapkan benda-benda langit, fenomena langit dan
ruang yang ditempati oleh benda langit, ruang tempat hukum-hukum alam
yang bekerja dalam ruang dan waktu masih berlaku dinamakan alam semesta
Alam semesta dalam Al-Qur‟an diungkapkan dengan bahasa langit dan bumi
dan semua yang ada antara keduanya, hal ini sebagaimana yang dapat
dipahami dari ayat Al-Qur’an Surat Al-ahqaf ayat 3.

“Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang
ditentukan. Namun orang-orang yang kafir, berpaling dari peringatan yang
diberikan kepada mereka.” (QS. Al-Ahqaf : 3)

15
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2019), 74.
16
Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab AL-Ta’rifat (Beirut: Dar-Al Kutub Al-Ilmiyyah, 1998), 145.
17
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan,
75.

10
Setelah langit dan bumi tercipta, Allah menciptakan isi jagat raya ini.
Salah satu dari ciptaan Allah yang disempurnakan perwujudannya adalah
bumi, yang merupakan lokasi hunian bagi makhluk hidup. Selanjutnya
diciptakan pula makhluk-makhluk lain yang akan mengisi bumi dan langit atau
ruang yang terdapat di atas bumi. Semua makhluk Allah ini diciptakan secara
berkesinambungan tanpa henti. Maksud dari ungkapan ini adalah bahwa ketika
Allah selesai dengan suatu penciptaan, maka kemudian dia melanjutkannya
dengan ciptaan lain. Dari sini terdapat dua hal dari aktivitas penciptaan, yaitu
keberlanjutan penciptaan dan kronologinya.

Penciptaan jagat raya terus berlanjut dan tidak pernah berhenti. Allah
sengaja melakukan yang demikian untuk mengisyaratkan bahwa apa yang
dilakukan-Nya selalu berkelanjutan. Pada sisi lain, hal seperti ini memberikan
informasi bahwa Allah selalu dalam keadaan aktif, dan tidak diam atau
menganggur, seperti dugaan sebahagian orang, hal ini sebagaimana yang dapat
dipahami dari ayat Al-Qur’an Surat al-A‟raf ayat 54

“Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi


dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan)

11
matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah!
Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan
seluruh alam.” (QS. Al-A'raf : 54)

Alam diciptakan Allah tidak secara bersamaan. Dalam penciptaan,


terjadi proses yang menunjukan bahwa ada yang lebih dahulu dicipta dan ada
yang belakangan. Semua itu menunjukan adanya kronologi dari penciptaan.
Dalam surah an-naziat:27-33 menjelaskan sebagai berikut

“Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah Telah


membinanya, iameninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, Dan dia
menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang
benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.Ia memancarkan
daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.Dan
gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk
kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”(QS. An-Nazi'at, ayat
27-33)

D. Hubungan Manusia Dengan Tuhan

1. Manusia sebagai hamba Allah


Tujuan awal dari penciptaan dan eksistensi manusia adalah untuk
mengabdi kepada Allah. Pengabdian kepada Allah ini disebut dengan ibadah.
Kata ibadah memiliki makna yang merujuk kepada segala bentuk perbuatan
pengabdian yang dilakukan oleh manusia dengan penuh kesadaran dan
keinginan karena Allah semata dan sesuai dengan syari’at-Nya, termasuk di

12
dalamnya ibadah wajib. Jika dalam melakukan ibadah manusia dapat
mengekang keinginan hewaninya dan menjadikannya tunduk kepada jiwa
akalinya, maka seseorang tersebut digambarkan telah mencapai kebebasan
dalam arti telah memenuhi tujuan penciptaan dan eksistensinya sertamencapai
kedamaian tertinggi, yang di dalam Al-Qur’an disebut dengan al-nafsu
almutma’innah.18

Al-Attas menjelaskan tentang hubungan antara Pencipta dengan


makhluk-Nyaa berdasarkan pandangan-pandangan Ibn Arabi. Hubungan
antara Pencipta dan ciptaan-Nya dikenal dengan istilah tanazzul dan taraqqi.
Yang pertama, yakni tanazzul dalam konteks tajalli wa ta’ayun Sang Pencipta
kepada ciptaan-Nya. Sang Pencipta menampakkan diri melalui ayat-ayat-Nya
kepada hambanya sesuai level dan martabat sang hamba. Menurut Al-Attas
terdapat beberapa tingkatan kewujudan yang berawal dari Wujud Mutlak dan
berakhir pada wujud mumkin, yakni:

a) Kesatuan Ilahi (al-Wahidiyah)


b) Nama-Nama dan Sifat-sifat (Al-Asma wa al-Sifat)
c) Arkitep Permanen (Al-a’yan al-Tsabitah)
d) Arketip-arketip luar (Al-a’yan al-Kharijiyah)
e) Dunia yang tampak (Alam al-Shahadah)19

Hubungan yang kedua adalah taraqqi, di mana sang hamba kembali


kepada Sang Pencipta. Taraqqi adalah upaya seseorang untuk meningkatkan
kemuliannya dengan cara ihsan (level tertinggi iman).20

2. Manusia sebagai khalifah Allah di bumi


Secara garis besar tugas manusia sebaga khalifah di bumi dapat
dibagimenjadi tiga bagian:

a) Tugas manusia sebagai khalifah bagi dirinya sendiri

Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah tidak


akan lepas dari tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik,

18
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam. An Exposition of the
Fundamental Elements of Worldview of Islam, 86–87.
19
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 260, 267–310.
20
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 260.

13
khususnya bagi dirinya sendiri. Dalam perjalanan hidup seorang
pemimpin harus bisa menjaga dirinya sendiri sebelum melakukan
yang lebih bagi orang lain. Sehingga langkah pertama dalam
menjalankan amanah Allah manusia harus memperbaiki,
memantaskan dan mempersiapkan dirinya. Secara logis manusia bisa
menjalankan amanah jika ia sudah bisa mengontrol diri dan
mengusai dirinya sendiri.21

b) Tugas manusia sebagai khalifah bagi masyarakat


Tugas manusia sebagai khalifah pada masyarakat adalah
melindungi rakyatnya dalam menjalankan segala aktifitas serta
menjaga keutuhan alamdari kerusakan yang dapat merubah
ekosistem yang ada pada tempat tersebut. menjadi khalifah tidak
harus duduk dipemerintahan tapi hidup ditengah masyarakat dengan
membangun masyarakat yang cinta damai sudah merupakan upaya
menjalankan amanah kekhalifahannya. Sehingga tidak terbatas pada
kepimpinanan formal, seperti menjadi salah satu pejabat
pemerintahan menjadi rakyat biasapun merupakan tugas
kepemimpinan.

c) Tugas manusia sebagai khalifah bagi alam semesta


Allah menciptakan alam semesta ini untuk diambil manfaatnya
bagi manusia. Manusia dijadikan oleh Allah sebaga khalifah-Nya di
bumi, dan memberikan kepada manusia wewenang untuk mengatur
dan mengeksplorasi alam semesta dan seisinya. Akan tetapi Allah
juga memberikan tanggung jawab kepada manusia untuk senantiasa
menjaga kelestarian alam. Dengan mengelolah alam dan isinya
berarti manusia telah menggunakan potensinya dengan baik.
Meskipun manusia diberikan wewenang untuk mengeksplorasi
alam semesta beserta isinya, bukan berarti manusia dapat semena-
mena dalam mengelola dan mengeksplorasi alam semesta ini. Dalam
interaksinya dengan alam manusia wajib memperhatikan rambu-
rambu yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah. Prinsp tauhid,

21
Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah Dalam Islam (Yogyakarta: Perpustakaan Pusat UII, 1984), 4.

14
amanah, slah, rahmah,‘adalah, iqtisad, ri’ayah, hirasah dan
hafadzah, merupakan prinsip-prinsip yang seharusnya selalu
dipahami dan diterapkan pada diri manusia dalamberinteraksi dengan
alam.22

E. Hubungan Manusia Dengan Alam


Dalam petspektif ekologis, hubungan manusia dan alam merupakansuatu
keniscayaan. Antara manusia dan alam tetdapat ketethubungan, ketetkaitan, dan
keterlibatan timbal balik yang sama dan tidak dapat ditawar. Hubungan tercebut
betsifat dinamis, artinya terjalin secara sadar, terhayati, dan dijadikan sebagai dasar
kepribadian manusia itu sendiri.23 Sebaliknya, secara ekologis, hubungan manusia
dengan alam bukan bersifat statis, artinya keterjalinan antara manusia dengan alam
bukan bersifat deterministis24 yang harus diterima apa adanya, tetapi bersifat sukarela
yang harus drpikirkan oleh manusia. Hubungan tersebut juga bukan bersifat
verbalistik tanpa makna, tetapi reflektif penuh makna.

”Hanya orang-orang yang mendengar sajalah yang mematuhi (seruan Allah),


dan orang-orang yang mati, kelak akan dibangkitkan oleh Allah, kemudian kepada-
Nya mereka dikembalikan.” (QS. Al-An'am : 36)

Kata umam (‫ ) َو ْال َم‬dalam ayat di atas, bentuk jamak dari kata ummah (‫)أمة‬. Kata
tersebut menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik secata sadar
maupun terpaksa. Binatang yang ada di bumi dikategorikan sebagai umam
sebagaimana manusia, karena memiliki kesamaan seperti hajat hidup, kebutuhan
22
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Pelestarian Lingkungan Hidup (Jakarta: Lajnah, 2009), 5, 8.
23
Musa Asy’arie, Filsafat Islam (Yogyakarta: LESFI, 1999), 116.
24
P.Leenhouwers, Manusia dalam Lingkungannya (Jakarta: Gramedia, 1988), 82.

15
naluri, dan lain-lain. Dalam hubungan ini, manusia bukan pemilik lingkungan atau
juga sebaliknya. Dengan demikian, ia dituntut berlaku waiar terhadap mahkluk
sesamanya.25

25
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah dan Keserasian (Ciputat: Lentera Hati, 2000), 82.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam memiliki konsep Tuhan yang berbeda dari agama-agama lain.
Yang membuatnya berbeda ialah cara dalam memahami wujud (existensi), yang
dimana wujud dalam Islam tidak hanya tidak hanya berhubungan dengan fisik
saja, namun juga mencakup aspek dunia dan akhirat.
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan keistimewaan
dari makhluk-makhluk lainya. Manusia diberi mandat sosial oleh Allah untuk
menjadi khalifah-Nya di bumi. Tujuan awal dari penciptaan dan eksistensi
manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah. Pengabdian kepada Allah ini
disebut dengan ibadah.
Manusia diperintahkan untuk mengetahui alam dan seisinya, sebelum
mengetahui dan memikirkan penciptanya, anugrah akal bagi manusia merupakan
kekuatan terbesar untuk memahami mekanisme kerja alam semesta dan
kemudian dipergunakan untuk merekonstruksi asal muasal alam semesta, planet,
dan system tatasurya
Al-Attas menjelaskan tentang hubungan antara Pencipta dengan
makhluk-Nyaa berdasarkan pandangan-pandangan Ibn Arabi. Hubungan antara
Pencipta dan ciptaan-Nya dikenal dengan istilah tanazzul dan taraqqi. Yang
pertama, yakni tanazzul dalam konteks tajalli wa ta’ayun Sang Pencipta kepada
ciptaan-Nya. Hubungan yang kedua adalah taraqqi, di mana sang hamba
kembali kepada Sang Pencipta.
Dalam petspektif ekologis, hubungan manusia dan alam merupakan
suatu keniscayaan. Antara manusia dan alam tetdapat keterhubungan,
ketetkaitan, dan keterlibatan timbal balik yang sama dan tidak dapat ditawar.

B. Saran
Menyadari bahwa dalam menyusun kata dan kalimat jauh dari kata
sempurna, untuk kedepannya penyusun akan lebih fokus dan detail dalam
menjelaskan tentang makalah diatas, maka dari itu penulis menerima kritik dan
saran untuk bisa memperbaiki makalah selanjutnya.

17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Abdul Muhsin Nabhani Idris dan Atturki. Dasar-dasar aqidah para imam salaf
= (Ahlussunnah Wal Jamaah). Beirut: Muassasah Risalah, 1995.
Ahmad Azhar Basyir. Falsafah Ibadah Dalam Islam. Yogyakarta: Perpustakaan Pusat UII,
1984.
Ali bin Muhammad Al-Jurjani. Kitab AL-Ta’rifat. Beirut: Dar-Al Kutub Al-Ilmiyyah, 1998.
Al-Qahthani, Muhammad Said dan dkk. Memurnikan laa ilaaha illallah. Jakarta: Gema
Insani, 1991.
Firdaus. Konsep AL-Rububiyah, t.t.
Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Lajnah,
2009.
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah dan Keserasian. Ciputat: Lentera Hati, 2000.
Muhammad Idrus Ramli, dan Achmad Ma’ruf Asrori. Madzhab Al-Asy’ari benarkah
Ahlussunnah Wal - Jama’ah? : jawaban terhadap aliran Salafi / Muhammad Idrus
Ramli ; penata isi & penyelaras bahasa : A. Ma’ruf Asrori. Surabaya: Khalista, 2009.
Musa Asy’arie. Filsafat Islam. Yogyakarta: LESFI, 1999.
P.Leenhouwers. Manusia dalam Lingkungannya. Jakarta: Gramedia, 1988.
Rasyid, Daud. Islam dalam berbagai dimensi /Daud Rasyid. Jakarta: Gema Insani Press,
1998.
Said Aqil Siroj dan K.h Ahmad Baso. Tasawuf Sebaga Kritik Sosial Mengedepankan Islam
sebagai Inspirasi bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, 2006.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Prolegomena to the Metaphysics of Islam. An Exposition
of the Fundamental Elements of Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.
Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2019.

18

Anda mungkin juga menyukai