Modul Belajar William Kaye Estes
Modul Belajar William Kaye Estes
William Kaye Estes lahir pada tahun 1919, mengawali karier profesionalnya di University Of
Indiana. Estes kemudian pindah ke Stanford University dan selanjutnya ke Rockfeller University
dan mengakhiri kariernya di Harvard di mana dia mendapat gelar profesor emeritus, (B.R
Hergenhah dan Matthew H. Olson, 2008: 250).
Pada 1997 Estes dianugerahi Medal of Science yang merupakan penghargaan tertinggi yang
diberikan oleh National Sience Foundation. Penghargaan ini diberikan berkat jasanya bagi teori
kognisi dan belajar fundamental yang mengubah bidang psikologi eksperimental dan memicu
perkembangan ilmu kognitif kuantitatif. Metode modeling kuantitatif dan penekanannya pada
ketepatan dan ketelitian telah menjadi standar bagi ilmu psikologi modern.
William K. Estes belajar bersama Skinner ketika Skinner berada di Universitas Minnesota
dan di sana pula ia menerima gelar Ph.D-nya di bidang psikologi pada tahun 1943. Karya
bersama Estes dengan Skinner mengenai efek hukuman menghasilkan kontribusi penting bagi
pemikir Skinner dalam topik tersebut. Bagaimanapun juga, minatnya untuk membangun model-
model pembelajaran matematis telah memisahkan arah yang ditempuhnya dari antiteoretis
Skinner. Selain itu, asumsi-asumsi dalam teori Estes nampak lebih memperlihatkan pengaruh
Guthrie yang tidak pernah menjadi rekan studinya, karena pengaruh Skinner.
B. Konsep Teoretis Utama
Ada beberapa asumsi yang dibuat oleh Estes menurut B.R Hergenhah dan Matthew H.
Olson (2008: 251) yang dijabarkan sebagai berikut:
Asumsi 1. Situasi belajar terdiri dari banyak elemen stimulus dalam jumlah tertentu. Elemen-
elemen ini terdiri dari banyak hal yang dapat dialami pembelajar pada awal percobaan belajar.
Stimuli-stimuli itu bisa mencakup kejadian eksperimental seperti cahaya, suara berisik, materi
verbal yang disajikan dalam drum memori, palang dalam kotak Skinner, jalur T. Stimuli itu juga
bisa stimuli yang dapat diubah atau stimuli sementara seperti perilaku eksperimenter, suhu, suara
tambahan di dalam dan di luar ruang dan kondisi di dalam diri subjek eksperimen seperti
keletihan atau sakit kepala. Semua elemen stimulus ini secara kolektif disimbolkan sebagai S.
Sekali lagi, S adalah jumlah total dari stimuli yang mengiringi satu percobaan dalam situasi
belajar.
Asumsi 2. Semua respon yang diberikan dalam situasi eksperimen dapat digolongkan menjadi
dua kategori. Jika responnya adalah yang dicari oleh eksperimenter (seperti keluarnya air liur,
mata berkedip, menekan palang, berbelok ke kanan di jalur T, atau melafalkan suku kata yang
tak bermakna dengan benar), ini dinamakan respon A 1. Jika responnya adalah bukan yang dicari
oleh eksperimenter diberi label A2. Jadi, Estes membagi semua respon yang mungkin muncul
dalam eksperimen belajar menjadi dua kelompok, (A1) respon yang benar atau (A2) respon yang
lainnya.
Asumsi 3. Semua elemen di S dilekatkan dengan A1 atau A2. Ini adalah situasi all or nothing.
Semua unsur stimulus dalam S adalah dikondisikan ke respon yang diinginkan atau benar (A 1)
atau ke respon yang tidak relevan atau salah (A 2). Pada awal eksperimen, hampir semua stimuli
akan dikondisikan ke A2 akan menimbulkan respon A2. Respon yang benar terjadi hanya setelah
respon dihubungkan dengan stimuli dalam konteks eksperimental.
Asumsi 4. Pembelajar terbatas kemampuannya dalam mengalami S. Pembelajar mengalami
hanya sebagian dari stimuli yang tersedia pada setiap percobaan belajar dan besarnya sampel
diasumsikan tetap konstan di sepanjang eksperimen. Proporsi konstan dari S yang dialami pada
awal setiap percobaan belajar dilambangkan dengan Ɵ (theta). Sesudah setiap percobaan, elemen
Ɵ dikembalikan ke S. Jadi teori Estes mengamsusikan sampling dengan penggantian (sampling
with replacement). Elemen-elemen yang dijadikan sampel pada satu percobaan mungkin akan
dijadikan sampel lagi pada percobaan selanjutnya.
Asumsi 5. Percobaan belajar berakhir ketika respon terjadi, jika respon A1 menghentikan
percobaan elemen-elemen stimulus dikondisikan dalam respon A1.
Asumsi 6. Karena Elemen di (Ɵ) dikembalikan ke S pada akhir percobaan, dan arena
tetha (Ɵ) yang dijadikan sampel pada awal percobaan belajar pada dasarnya adalah acak,
proporsi elemen yang dikondisikan ke A1 dalam S akan tercermin dalam elemen dalam
tetha (Ɵ) pada awal setiap percobaan baru
Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, maka Estes mengemukakan empat konsep teoretis
utama (B.R Hergenhah dan Matthew h. Olson, 2008: 256), yaitu:
1. Generalisasi
Generalisasi dari situasi belajar awal ke situasi belajar lainnya dapat dengan mudah dijelaskan
dengan teori sampling stimulus. Transfer terjadi sepanjang dua situasi memiliki elemen stimulus
yang sama. Jika banyak dari elemen yang sebelumnya dikondisikan ke respon A1 ada didalam
situasi belajar yang baru, probabilitas respon A1 akan muncul ke dalam situasi baru itu akan
cukup tinggi. Kita bisa mengambil contoh dalam dunia olahraga misalnya pada saat pelatih
pertama kali mengajarkan teknik menendang bola kaki bagian dalam dengan bermain, pada
pertemuan selanjutnya pelatih mengajarkan teknik menendang bola menggunakan kaki bagian
dengan dril. Namun atlit masih terbawa dalam teknik yang salah pada saat pertama kali pelatih
memberikan latihan.
2. Pelenyapan
Estes menjelaskan problem pelenyapan dengan cara yang pada dasarnya sama dengan yang
dilakukan Guthrie karena dalam pelenyapan satu percobaan biasanya diakhiri setelah subjek
melakukan sesuatu selain A1, elemen stimulus yang sebelumnya dikondisikan ke A1 pelan-pelan
akan kembali lagi ke A2. Hukum untuk pelenyapan adalah sama. Apa yang dinamakan
pelenyapan muncul setiap kali kondisi disusun sedemikian rupa sehingga elemen stimulus
digeser dari respon A1 ke respon A2. Sebagai contoh pelatih akan mencoba memberikan teknik
menendang bola menggunakan kaki bagian dalam dengan metode bermain dan secara pelan-
pelan pelatih akan juga akan memberikan teknik dalam menendang bola dengan kaki bagian
dalam dengan dril.
3. Pemulihan Spontan
Merupakan munculnya kembali respon yang dikondisikan setelah respon itu mengalami
pelenyapan. Dengan kata lain pemulihan spontan dijelaskan dengan mengasumsikan bahwa
proses pelenyapan (pergeseran elemen dari A1 ke A2) pada awalnya tidak pernah
komplet. Misalnya pelatih sudah memberikan teknik menendang bola menggunakan kaki bagian
dalam dengan cara dril, namun teknik menendang bola menggunakan kaki bagian dalam dengan
metode bermain masih ada sisa-sisa teknik yang melekat pada atlit.
4. Pencocokan Probabilitas
Eksperimen pencocokan probabilitas tradisional adalah menggunakan sinyal cahaya yang diikuti
satu atau dua cahaya lain. Ketika sinyal menyala, subjek percobaan menduga cahaya mana dari
dua cahaya lain yang akan muncul. Misal, cahaya kanan muncul 80% dari waktu, subjek akan
memprediksi bahwa cahaya itu akan muncul 80% dari waktu percobaan. Contohnya apabila atlit
melakukan tendangan ke arah gawang, maka yang dilihat hanya si atlit berhasil memasukkan
bola ke gawang atau tidak, tanpa memandang jumlah kotraksi otot yang tidak terhitung
banyaknya yang menghasilkan salah satu dari dua hal di atas.
C. Model Belajar Markov Menurut Estes
Model Belajar Markov menurut B.R Hergenhah dan Matthew H. Olson (2008: 258) yang
dijabarkan sebagai berikut: Semua teori belajar statistikal bersifat probabilitias; yakni, variabel
bebas yang mereka studi adalah probabilitas respons. Tetapi, ada perbedaan opini mengenai apa
sifat dari belajar yang ditunjukkan oleh perubahan probabilitas respons ini kepada kita.
Perdebatan klasiknya adalah soal apakah belajar itu gradual atau langsung lengkap dalam satu
kali percobaan Thorndike berpendapat bahwa belajar adalah bertahap dan bertambah sedikit
demi sedikit dari satu percobaan ke percobaan selanjutnya. Hull dan Skinner sepakat dengan
Thorndike. Guthrie berpendapat lain dengan mengatakan bahwa belajar terjadi dalam cara all-
or-none (secara sekaligus atau tidak sama sekali), namun kelihatan gradual karena kompleksnya
tugas yang mesti dipelajari. Berdasarkan penjelasan diatas, contoh dalam dunia olahraga
misalnya ada seorang atlit sepak bola melakukan tendangan meggunakan kaki kidal (kiri), lalu
pelatih mengajarkan/ melatih si atlit melakukan tendangan dengan menggunakan kaki kanan
hingga pada akhirnya atlit sudah mulai terbiasa melakukan tendangan menggunakan kaki kanan,
namun terkadang atlit masih memunculkan tendangan menggunakan kaki yang kidal di tengah-
tengah tendangan kaki kanan yang sudah mulai terbiasa.