Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Global Position System (GPS)
1. Metode Penentuan Posisi dengan GPS
a. Global Positioning System
GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. Nama
formalnya adalah NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning
System). GPS didesain untuk memberikan informasi posisi, kecepatan dan waktu. Pada
dasarnya GPS terdiri atas 3 segmen utama, yaitu:
1) Segmen angkasa (space segment)
Terdiri dari 24 satelit yang terbagi dalam 6 orbit dengan inklinasi 55° dan ketinggian 20.200
km dan periode orbit 11 jam 58 menit.
2) Segmen sistem kontrol (control system segment)
Mempunyai tanggung jawab untuk memantau satelit GPS supaya satelit GPS dapat tetap
berfungsi dengan tepat. Misalnya untuk sinkronisasi waktu, prediksi orbit dan monitoring
“kesehatan” satelit.
3) Segmen pemakai (user segment)
Segmen pemakai merupakan pengguna, baik di darat, laut maupun udara, yang
menggunakan receiver GPS untuk mendapatkan sinyal GPS sehingga dapat menghitung
posisi, kecepatan, waktu dan parameter lainnya.
b. Metode Penentuan Posisi Menggunakan GPS
Pada dasarnya konsep penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan ke
belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit
GPS yang koordinatnya telah diketahui. Posisi yang diberikan oleh GPS adalah posisi 3
dimensi (x,y,z atau j,l,h) yang dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic System) 1984,
sedangkan tinggi yang diperoleh adalah tinggi ellipsoid. Adapun pengelompokkan metode
penentuan posisi dengan GPS berdasarkan mekanisme pengaplikasiannya dapat dilihat pada
tabel berikut.

II-1
Tabel 2.1 Metode Penentuan Posisi dengan GPS
Metode Absolute Differensial Titik Receiver
(1 receiver) (min 2
receiver)
Static v v Diam Diam
Kinematik v v Bergerak Bergerak
Rapid static v Diam Diam (singkat)
Pseudeo kinematik v Diam Diam & bergerak
Stop and go v Diam Diam & bergerak

Pengamatan GPS Statik adalah Metode survei GPS dengan waktu pengamatan yang relatif
lama (beberapa jam) di setiap titiknya. Dengan catatan titik-titik yang akan ditentukan posisinya
diam (tidak bergerak).

Gambar 2.1 GPS Statik

II-2
Tabel 2.2 Prosedur Pengamatan Tipikal dengan GPS Geodetik

Sumber: Pengamatan GPS Geodetik Pilar Batas BIG


c. Pengolahan Data
Setelah seluruh titik telah diamati, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pemindahan
data (download) dari receiver ke laptop. Secara umum tahapan pengukuran dan pengolahan
data GPS geodetik ini dapat dilihat pada diagram alir berikut ini:
Gambar 2.2 Diagram Alir Pengukuran dan Pengolahan Data GPS

d. Ketelitian Penentuan Posisi dengan GPS


Ketelitian posisi yang didapat dari pengamatan GPS secara umum bergantung pada 4 faktor:
1) Ketelitian data
a) Tipe data yang digunakan
b) Kualitas receiver GPS
c) Level dari kesalahan dan bias
2) Geometri satelit

II-3
a) Jumlah satelit
b) Lokasi dan distribusi satelit
c) Lama pengamatan
3) Metode penentuan posisi
a) Absolute dan differensial positioning
b) Static, rapid static, pseudo-kinematic, stop and go, dan kinematic
c) Satu dan multi stasiun monitor
4) Strategi pemrosesan data
a) Real-time dan post processing
b) Strategi eliminasi dan pengkoreksian kesalahan dan bias
c) Metode estimasi yang digunakan
d) Pemrosesan baseline dan perataan jaring

e. Kesalahan dan Bias


Kesalahan dan bias yang mempengaruhi signal GPS dapat dikelompokkan menjadi:
1) kesalahan ephemeris (orbit)
2) bias ionosfer
3) bias troposfer
4) multipath
5) ambiguitas fase (cycle ambiguity)
6) cycle slips
7) selective availability
8) anti spoofing
9) kesalahan jam satelit dan receiver
Kesalahan dan bias harus diperhitungkan secara benar karena akan mempengaruhi ketelitian
data yang diperoleh (posisi, kecepatan, percepatan, waktu) serta proses penentuan
ambiguitas fase sinyal. Adapun cara yang dapat diterapkan dalam menghadapi kesalahan dan
bias GPS adalah:
1) Menerapkan mekanisme pembeda data
2) Estimasi parameter kesalahan dan bias dalam hitung perataan
3) Menghitung besarnya kesalahan dan bias dengan data ukuran langsung
4) Menghitung besarnya kesalahan dan bias berdasarkan model
5) Menggunakan strategi pengamatan yang tepat

II-4
6) Menggunakan strategi pengolahan data yang tepat
7) Mengabaikan kesalahan dan bias

f. WGS 84
WGS 84 merupakan sistem koordinat kartesian geosentrik menggunakan ellipsoid GRS
(Geodetic Refrence System) 80. Adapun parameter yang digunakan adalah:
A = 6378137 m
B = 6356752.3142 m
F = 1/298.257223563

Gambar 2.3 Sistem Koordinat WGS 1984

2. Metode Penentuan Posisi dengan PPK (Post Processing Kinematic)

Metode PPK ini sebenarnya hampir sama dengan RTK, hanya saja koreksi dilakukan setelahnya
(post processing). Metode ini membuat foto udara yang dihasilkan telah mempunyai koordinat
tetapi belum terkoreksi sehingga masih menyimpang dari ketelitian yang diharapkan.

Gambar 2.4 Sistem PPK

II-5
Pada saat pesawat nirawak mendapatkan koordinat dari satelit GPS maka titik acuan juga
mendapatkan signal yang sama. Dengan demikian maka koordinat yang dihasilkan oleh pesawat
nirawak akan dapat dikoreksi oleh titik acuan berdasarkan korelasi waktu. Tingkat ketelitiannya
sangat bagus jika menggunakan metode PPK ini.

Saat menggunakan RTK (Real Time Kinematic), data koreksi adalah proses secara real-time.
Data ini dapat diterima melalui tautan radio UHF, koneksi Internet (NTRIP) atau modem seluler.
Segera setelah penerima GNSS Anda mulai menerapkan data koreksi ini ke posisi terhitung, ia
akan melaporkan bahwa posisi terhitung adalah "RTK-FIXED" dan menghasilkan posisi akurat
sub-sentimeter ke perangkat lunak Anda sebagai kalimat NMEA0183. Karena data posisi sudah
diproses secara real-time, tidak perlu merekam data apa pun di penerima GNSS Anda.

Namun, dalam kasus di mana tidak mungkin memiliki koneksi Internet atau seluler (misalnya
ketika survei di daerah terpencil), Anda tidak akan memiliki akses ke data koreksi real-time ini,
sehingga tidak dapat mengirim data posisi yang akurat ke perangkat lunak akuisisi. Di sinilah PPK
dapat memberikan solusi. Pada skenario ini kami masih mencatat posisi kami yang tidak akurat,
tetapi kami menggunakan penerima GNSS kami untuk mendapatkan pengamatan satelit seperti
ID satelit, frekuensi (L1 / L2 / L5 dll), konstelasi, pseudo-range, fase pembawa, Doppler dan rasio
sinyal-ke-kebisingan. Informasi ini disimpan ke dalam format file RINEX atau milik.

RINEX adalah singkatan dari 'Receiver Independent Exchange Format' dan banyak digunakan
dalam aplikasi PPK. Beberapa penerima, seperti Trimble, dapat menggunakan format data
kepemilikan mereka sendiri (File T01) yang nantinya dapat dikonversi ke file RINEX
menggunakan utilitas konversi. Secara umum, sebagian besar penerima GNSS yang mampu
menggunakan RTK juga akan memiliki kemampuan untuk merekam data RINEX. Namun, tidak
mungkin menggunakan penerima GPS berbiaya rendah untuk melakukan PPK, karena mereka
sering kekurangan kemampuan untuk menyimpan data satelit mentah.

B. Photogrammetry UAV Aerial Mapping

1. Pengertian Fotogrametri

Fotogrametri adalah suatu metode pemetaan objek-objek dipermukaan bumi yang menggunakan
fotto udara sebagai media. Sebagai bahan dasar dalam pembuatan peta secara fotogrametris
yaitu foto udara yang bertampalan. Umumnya foto tersebut di peroleh melalui pemotretan udara
pada ketinggian tertentu menggunakan pesawat UAV. Keunikan fotogrametri adalah dapat

II-6
melakukan pengukuran objek atau pemetaan daerah tanpa kontak langsung atau dengan kata
lain tanpa perlu menjejakan kaki pada daerah tersebut. Berdasarkan definisi tersebut,
fotogrametri dapat mencakup dua bidang yaitu fotogrametri metric dan fotogrametri interpretative
(Wolf P. R, 1993).

Gambar 2.5 Fotogrametri


Fotogrametri merupakan seni, ilmu, dan teknologi perolehan informasi tentang objek fisik dan
lingkungan melaui perekaman, pengukuran, dan penafsiran foto udara (Thomson dan Gruner,
1980).

2. Kamera

Kamera pada fotogrametri digunakan untuk keperluan akuisisi data. Karena kamera diletakan
pada pesawat yang bergerak maka waktu pemotretan dan pemotretan ulang harus singkat, lensa
bekerja cepat, dan penutup bekerja efisien (Wolf P. R, 1993). Hal yang sangat penting dari
kamera untuk keperluan fotogrametri adalah kualitas geometri dari citra. Kualitas geometri yang
rendah akan mengakibatkan ketidakakuratan posisi pada citra yang dihasilkan.

Untuk aplikasi fotogrametri menggunakan UAV kamera yang digunakan umumnya adalah kamera
berformat kecil, bukan kamera metric ataupun kamera dirgantara. Dalam praktikum kali ini
menggunakan kamera SONY ILCE-5100.

II-7
Gambar 2.6 Kamera Sony ILCE-5100

3. Pesawat Tanpa Awak (UAV)

UAV adalah terminologi dari Unmanned Aerial Vehicle atau pesawat tanpa awak, dikenal juga
dengan sebutan drone. Penerbangan UAV dapat dikontroll secara autonomous oleh komputer
didalamnya (autopilot), semi- autonomous, atau dikendalikan dengan remote control oleh seorang
navigator atau pilot diatas tanah. Pesawat dengan model ini di lengkapi dengan berbagai sensor
fotogrametri yang biasa di gunakan untuk pesawat berawak. Sensor yang biasa di gunakan
adalah kamera metric,video dan sistem kamera yang sangat canggih seperti inframerah,system
LIDAR udara, atau kombinasi keduanya. UAV dapat terbang rendah dengan ketinggian dibawah
awan. Tinggi terbang UAV dapat diatur sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. UAV juga dapat
dimanfaatkan untuk misi yang berbahaya jika dilakukan oleh pesawat udara berawak.

Ada berbagai macam tipe UAV, dilihat dari material penyusun, jenis sayap dan struktur badan,
daya jelajah, serta tenaga penggerak. Material penyusun UAV dapat berupa kayu, besi, ataupun
sterofoam.

Gambar 2.7 Pesawat UAV Matrice 300 RTK

II-8
4. Desain Jalur Terbang

Dalam suatu pekerjaan fotogrametri memerlukan suatu rencana jalur terbang agar foto yang di
hasilkan mempunyai kualitas baik. Proses pengambilan jalur terbang biasanya diambil jarak yang
terpanjang untuk melakukan perekaman, hal ini untuk memperoleh kestabilan pesawat di saat
pemotretan.

Gambar 2.8 Desain Jalur Terbang

Gambar 2.9 Typical Flight Plan

II-9
Dalam mendesain jalur terbang di buat sepanjang garis yang sejajar untuk membuat foto yang
bertampalan. Hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
a. Tampalan Ke Depan
Tamapalan ke depan (overlap) ialah tampalan antara foto yang berurutan sepanjang jalur
terbang.

Gambar 2.10 Tampalan ke depan (overlap)


Tampalan tersebut mencerminkan ukuran bujur sangkar medan yang terliput oleh sebuah foto
tunggal, B ialah basis atau jarak antara stasiun pemotretan sebuah pasangan foto stereo.
Besarnya pertampalan kedepan pada umumnya dinyatakan dalam persen (PE).

G−B
PE = ( ) x100
G
b. Tampalan ke samping (sidelap).
Tampalan ke samping ialah tampalan antara jalur terbang yang berdempitan secara
berurutan.

Gambar 2.11 Tampalan ke samping (sidelap)

II-10
W merupakan jarak antara jalur terbang yang berurutan atau jalur- jalur terbang yang
berhimpitan. Besarnya tampalan samping (PS) dinyatakan dalam persen.

G −W
PE = ( ) x100
G
c. Luas liputan (G)
Setelah memilih skala foto rata-rata dan dimensi format kamera, daerah permukaan lahan
yang terliput dapat langsung dihitung dengan persaman berikut:

df
G=
Sr
Keterangan:
Sr = skala rata-rata
Df = dimensi foto

d. Tinggi Terbang
Berbicara tentang tinggi terbang sangat erat kaitan dengan skala. Untuk itu, setelah memilih
panjang fokus kamera dan skala foto rata- rata yang dikehendaki, tinggi terbang rata-rata
diatas permukaan tanah dapat ditetapkan secara otomatis sesuai dengan persaman skala :

Keterangan:
H = tinggi terbang
hr = tinggi terbang terhadap tinggi tanah rata-rata
sr = skala rata-rata
f = panjang fokus kamera

e. Jarak antara dua jalur terbang

Keterangan:
W = adalah jarak antara dua jalur penerbangan
PS = pertampalan ke samping (sidelap)
lf = lebar sisi foto
s = skala foto

II-11
f. Interval waktu pemotretan
Interval waktu pemotretan (eksposur) diset pada intervalometer sesuai dengan panjang
basis udara (B) dan kecepatan pesawat terbang (Vkm/jam). Sedangkan panjang basis udara
dihitung dari skala foto dan pertampalan kedepan (overlap) yang ditetapkan:
g. Menghitung jumlah foto/strip (jalur terbang)

Keterangan:
P = panjang daerah
pf = panjang sisi bingkai foto
lf = lebar sisi foto

h. Jumlah strip (jalur terbang)

Keterangan:
l = lebar daerah
pf = panjang sisi bingkai foto
lf = lebar sisi foto
Untuk foto metric pf = lf = G = 23cm, s = bilangan skala foto

i. Total foto yang diperlukan = nf x ns


Untuk foto metric pf = lf = G = 23cm, s = bilangan skala foto Cara ini hanya dapat digunakan
untuk bentuk daerah yang mempunyai bentuk persegi empat atau kombinasi bentuk persegi
empat. Cara ini hanya dapat digunakan untuk bentuk daerah yang mempunyai bentuk persegi
empat atau kombinasi bentuk persegi empat.

II-12
Gambar 2.12 Total foto

Gambar 2.13 Pola Pemotretan Pada Jalur Terbang

C. Titik Kontrol Tanah (Ground Control Point)

Ground Control Point adalah suatu titik ikat lapangan yang mengarahkan citra pada lokasi
sebenarnya di lapangan. GCP terdiri dari atas sepasang koordinat x dan y yang terdiri atas koordinat
sumber dan koordinat referensi diukur menggunakan GPS Geodetik di area yang akan difoto. Citra
yang belum terkoreksi geometric tidak memiliki GCP atau titik ikat lapangan. Citra yang seperti ini
tidak dapat digunakan sebagai pemandu lapangan, karena tidak dapat menunjukkan posisi
sebenarnya dimuka bumi. Citra yang belum terkoreksi geometrik ini perlu dilakukan koreksi dengan
cara pemasangan titik ikat lapangannya.

Gambar 2.14 Gound Control Point (GCP)

II-13
Sebagai tahap awal dalam melakukan kegiatan foto udara, diperlukan pembuatan GCP. GCP di buat
dengan warna mencolok agar terlihat pada saat pengolahan foto di studio. Titik retro berfungsi untuk
proses orientasi relative antar foto.Keberadaan retro dijadikan pendekatan posisi relatif antar foto.
Selain itu Retro di gunakan pula untuk mengkoreksi foto dari pemotretan udara. Fungsi retro yang
lain adalah menyatukan hasil olah data yang terpisah, missal olah data area A dan area B dengan
cepat dan efektif, daripada proses penyatuan berdasakan seluruh pointcloud.

D. Digital Surface Modelling (DSM)

Digital Surface Modelling (DSM) adalah sebuah model permukaan pantulan gelombang pertama
yang memuat fitur-fitur elevasi terrain alami sebagai tambahan dari fitur- fitur vegetasi alami dan
buatan, seperti bangunan.Atau secara sederhana, DSM (Digital Surface Model) dapat diartikan
sebagai data ketinggian permukaan objek yang ada di muka bumi seperti pepohonan dan bangunan.
(Aronoff, 1991).

Sumber data DSM meliputi : FU stereo, Citra satelit stereo, Data pengukuran lapangan: GPS,
Theodolit, EDM, Total Station, Echosounder, Peta Topografi , Linier array image,Data hasil DTM
atau DEM, Pengukuran langsung di lapangan,Data bersumber dari Teknologi Pemetaan dengan
Airborne IFSAR,Data bersumber dari informasi tematik satu lembar peta dapat diturunkan dari Citra
SAR.

Gambar 2.15 Digital Surface Modelling (DSM)

II-14
E. Digital Elevation Modelling (DEM)

DEM adalah data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau
bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan
algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat (Tempfli,
1991).

DEM merupakan suatu sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, prosessing, dan
penyajian informasi medan. Susunan nilai - nilai digital yang mewakili distribusi spasial dari
karakteristik medan, distribusi spasial di wakili oleh nilai-nilai pada sistem koordinat horisontal X Y
dan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian medan dalam sistem koordinat Z (Frederic J. Doyle,
1991).

DEM khususnya digunakan untuk menggambarkan relief medan. Gambaran model relief rupabumi
tiga dimensi (3-Dimensi) yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata (real world)
divisualisaikan dengan bantuan teknologi komputer grafis dan teknologi virtual reality (Mogal, 1993).

Gambar 2.16 Foto DEM

F. Mosaik Foto

Secara sederhana dapat dikatakan sebagai proses penyambungan foto, sehingga diperoleh format
ukuran yang lebih luas. Dalam rangkaian pekerjaan pemetaan fotogrametri, yang dibuat mosik
adalah foto terektifikasi atau orthophoto, dan dikontrol dengan adanya titik ikat. Istilah yang lebih
tepat sering disebut mosaik terkontrol.

II-15
Gambar 2.17 Mosaik Foto
Sumber: (generalgeomorfology.2014)

Mosaik foto ialah serangkaian foto daerah tertentu yang disusun menjadi satu lembar foto. Ini
dimaksudkan untuk menggambarkan daerah penelitian secara utuh. Mosaik dapat memberikan
gambaran yang lebih menyeluruh tentang lokasi yang diamati. Secara detail Wolf (1983) menyatakan
mosaik foto udara merupakan gabungan dari dua atau lebih foto udara yang saling bertampalan
sehingga terbentuk paduan citra (image) yang berkesinambungan dan menampilkan daerah yang
lebih luas.

1. Uncontrolled Mosaic (Mosaik Tanpa Kontrol)


Mosaik-mosaik yang tidak terkontrol dibuat dari kombinasi foto uadara tanpa perubahan skala
dan hanya memakai gambar dari fotografi untuk penyesuaian. Pergeseran relief akan
menimbulkan perubahan bentuk (deformasi) pada mosaik dan bahkan menimbulkan
ketidaksinambungan pada beberapa tempat. Walaupun pergeseran relief dapat dikurangi dengan
memakai kamera-kamera yang berjarak fokus panjang, kita ketahui bahwa hampir untuk semua
survei sumber-sumber alam, kamera-kamera dengan sudut-sudut besar mempunyai keuntungan-
keuntungan. Tinggi terbang yang yang lebih rendah dan rasio tinggi basis yang lebih baik, yang
memungkinkan pembedaan yang lebih tepat dari perbedaan-perbedaan ketinggian, semuanya
merupakan keuntungan-keuntungan yang mengimbangi kesulitan-kesulitan yang diakibatkan
oleh ketidak serasian mosaik-mosaik.

2. Semi controlled Mosaic (Mosaik dengan Sebagian Kontrol)


Mosaik semi kontrol dilakukan rektifikasi foto yang digabungkan tanpa titik kontrol, dimana titik
kontrol digunakan untuk membatasi foto yang direktifikasi. Ini berarti bahwa dalam satu dan hal
lain posisi relatif dari titk utama dari tiap-tiap foto udara terhadap foto-foto di sisinya harus
diketahui. Dalam hal dimana permukaan tidak datar, diharapkan beberapa metode triangulasi
radial, terutama template slot (slotted template), bahkan jika tidak ada titik kontrol permukaan

II-16
yang diketahui. Hasilnya adalah bahwa dalam sembarang sistem koordinat yang dipakai untuk
bagan templet slot dan pada skala foto yang diperkirakan, koordinat-koordinat dari semua titik
utama dan enam titik yang lain pada tiap foto diketahui.

Dengan memakai posisi-posisi ini perpindahan relief akan menghasilkan ketidak cocokan akan
tetapi hal ini lebih baik daripada memakai kecocokan sebagai petunjuk untuk merangkaikan
mosaik tersebut. Dapat menguntungkan bahkan posisi relatif, misal saja penyimpangan-
penyimpangan geologis dari suatu sifat yang terbatas dengan orang spesialis, sementara
mencatat ciri-cirinya dapat denagn mudah menilai dengan jalan memasukkan nilai perkiraan dari
pergeseran relief.

3. Controlled Mosaic (Mosaik Dengan Kontrol)


Mosaik-mosaik yang terkontrol sepenuhnya diperoleh jika mendapat kemungkinan untuk
membuat bagan slotted templet normal dengan foto- foto udara dari permukaan yang datar,
bagan mana disesuaikan antara titik-titik dan kontrol permukaan. Dengan menggantikan
lembaran tersebut dengan emulsi foto pada bahan yang tidak menyusut, akan diperoleh sebuah
gambar positif yang merupakan proyeksi vertikal yang murni dari permukaan dengan skala
mosaik. Dengan cara ini pengaruh perbedaan skala antara gambar-gambar negatif dan pengaruh
ujung (tip) dan kemirinagn dari sumbu optik dari kamera fotografik dapat dihilangkan dnagn positif-
positif yang diluruskan ini terbentuklah mosaik tadi. Pada lembaran dasar koordinat-koordinat
yang sama dipetakan, yang mana digunkan untuk prosedur pelurusan.

Hasilnya ialah bahwa masing-masing foto udara terbentuk tepat dalam posisinya. Pada foto
mosaik yang demikian suatu sistem koordinat grid benar-benar memenuhi syarat. Dalam hal ini
kita memperoleh peta foto (photo map). Grid pada peta foto ini dengan sendirinya merupakan grid
yang sama digunakan untuk memetakan titik-titik kontrol. Jelas bahwa dengan sistem yang
demikian sekalipun, tidak ada mosaik terkontrol yang baik dengan keserasian yang baik pula
antara gambar-gambarnya, yang dapat dibuat dari foto-foto udara dari permukaan yang
bergunung-gunung atau berbukit-bukit. Perbaikan kecil dapat diperoleh dengan memakai bagian
tengah saja daripada tiap-tiap gambar, dimana untuk permukaan datar penegakan (pelurusan)
hanya dapat diterima untuk foto udara kedua.

II-17
G. Orthophoto

Orthophoto adalah penyajian ortogafik tanah dalam bentuk foto yang di jabarkan dari foto udara
dengan proses yang disebut rektifikasi diferensial. Proses orthopoto akan menjadikan foto dalam
proyeksi orthogonal seperti peta, foto ortho hanya mempunyai satu skala. Orthopoto dilakukan
apabila permukaan tanah yang di potret itu bergunung dengan asumsi bahwa beda tinggi setiap titik
pengamatan > 0,5 % x tinggi terbang terhadap tinggi rata- rata pada foto yang bersangkutan. Akan
tetapi , meskipun pergeseran letak oleh medan yang berbdea telah dikoreksi, masih ada satu
keterbatasan orthopoto yang berupa pergeseran letak oleh relif bagi permukaan tegak seperti
tembok bangunan yang tidak dapat di tiadakan.

Gambar 2.18 Orthophoto

H. Digitasi

Digitasi merupakan usaha untuk menggambarkan kondisi bumi kedalam sebuah bidang
menggunakan komputer. Atau dapat disebut sebagai pengubahan data peta hardcopy menjadi
softcopy. Sumber data peta untuk digitasi di bagai menjadi beberapa bagian antara lain:
1. Peta analog
2. Image remote sensing
3. Image Scaning

Digitasi secara umum dapat didefinisikan sebagai proses konversi data analog ke dalam format
digital. Obyek-obyek tertentu seperti jalan, rumah, sawah dan lain-lain yang sebelumnya dalam
format raster pada seuah citra satelit resolusi tinggi dapat diubah kedalam format digital dengan
proses digitasi. Metode dan proses digitasi secara umum dibagi dalam dua macam:

1. Digitasi menggunakan digitizer


Dalam proses ini digitasi memerlukan sebuah meja digitasi atau digitizer.

2. Digitasi onscreen di layar monitor

II-18
Digitasi onscreen paling sering dilakukan,tidak memerlukan tambabahan peralatan lainya, dan
lebih mudah untuk dikoreksi apabila terjadi kesalahan.

Gambar 2.19 Digitasi Peta

I. Layout Peta

Layout peta ialah menyusun penempatan-penempatan dari pada peta judul, legenda, skala, sumber
data, penerbit, macam-macam proyeksi dan lain-lainnya.

Gambar 2.20 Layout Peta


Semua informasi yang diletakkan pada peta harus diatur secara tepat di atas lembar peta sehingga
dapat menjamin optimal dalam mudahnya dibaca dan kelihatan ekonomis. Dengan memperhatikan
beberapa unsur di dalamnya antara lain:

II-19
1. Judul Peta
Judul peta merupakan merupakan komponen yang sangat penting, karena sebelum
memperhatikan isi peta pasti judul yang terlebih dahulu dibacanya. Judul peta hendaknya
memuat informasi yang sesuai dengan isi peta. Selain itu, judul peta jangan sampai menimbulkan
penafsiran ganda pada peta.

2. Skala Peta
Peta merupakan kenampakan permukaan bumi yang digambarkan pada bidang datar yang jauh
lebih kecil dari kenyataannya. Perbandingan antara ukuran / besarnya kenampakan yang
digambar dalam peta dengan kenampakan aslinya disebut skala peta. Skala peta adalah
perbandingan antara jarak yang memisahkan kedua titik di peta dengan jarak sebenarnya antara
dua titik yang sama di permukaan bumi atau skala adalah perbandingan jarak antara dua titik
sembarang di peta dengan jarak sebenarnya di permukaan bumi, dengan satuan ukuran yang
sama. Skala ini sangat erat kaitannya dengan data yang disajikan. Dengan singkatnya dapat
dinyatakan:

Angka perbandingan yang dinyatakan harus menggunakan satuan ukuran yang sama, misalnya
cm, yard, inci, dan sebagainya. Jarak yang dimaksud di peta adalah jarak horizontal yaitu jarak
yang diproyeksikan dari hasil pengukuran di lapangan. Bila ingin menyajikan data yang rinci,
maka digunakan skala besar, misalnya 1:5000. Sebaliknya, apabila ingin ditunjukkan hubungan
kenampakan secara keseluruhan, digunakan skala kecil, misalnya skala 1:1.000.000.

Contoh: Skala 1:500.000 artinya 1 bagian di peta sma dengan 500.000 jarak yang sebenarnya,
apabila dipakai satuan cm maka artinya 1 cm jarak di peta sama dengan 500.000 cm (5 km) jarak
sebenarnya di permukaan bumi.

3. Simbol Peta
Pada peta, kita akan melihat simbol-simbol, gunanya agar informasi yang disampaikan tidak
membingungkan. Simbol-simbol dalam peta harus memenuhi syarat, sehingga dapat
menginformasikan hal-hal yang digambarkan dengan tepat. Syarat-syarat peta adalah sebagai
berikut:
a. Sederhana
b. Mudah Dimengerti
c. Bersifat Umum
d. Warna

II-20
Penggunaan warna pada peta harus sesuai maksud/tujuan di pembuat peta dan kebiasaan
umum.
e. Laut, danau digunakan warna biru.
f. Temperatur (suhu) digunkan warna merah atau coklat.
g. Curah hujan digunakan warna biru atau hijau.
h. Dataran rendah (pantai) ketinggian 0 sampai 200 meter dari permukaan laut digunakan warna
hijau.
i. Daerah pegunungan tinggi/dataran tinggi (2000 sampai 3000 meter) digunakan warna coklat
tua.
j. Warna berdasarkan sifatnya, ada dua macam yaitu warna bersifat kualitatif dan bersifat
kuantitatif.

4. Legenda atau Keterangan


Legenda pada peta menerangkan arti dari simbol-simbol yang terdapat pada peta. Legenda itu
harus dipahami oleh pembaca peta, agar tujuan pembuatan peta itu mencapai sasaran. Legenda
biasanya diletakkan di pojok kiri bawah peta. Selain itu legenda peta dapat juga diletakkan pada
bagian lain peta, sepanjang tidak mengganggu kenampakan peta secara keseluruhan.

5. Sumber dan Tahun Pembuatan Peta


Sumber memberi kepastian kepada pembaca peta, bahwa data dan informasi yang disajikan
dalam peta tersebut benar-benar absah (dipercaya/akurat). Selain sumber, bisa juga
memperhatikan tahun pembuatannya. Pembaca peta dapat mengetahui bahwa peta itu masih
cocok atau tidak untuk digunakan pada masa sekarang atau sudah kadaluarsa karena sudah
terlalu lama.

6. Lattering
Para ahli kartografer membuat kesepakatan untuk membuat tulisan (lattering) pada peta sebagai
berikut :
a. Nama geografis ditulis dengan bahasa dan istilah yang digunakan penduduk setempat.
b. Nama jalan yang ditulis harus sesuai dengan arah jalan tersebut.
c. Nama kota ditulis dengan empat cara, yaitu :
1) Di bawah simbol kota
2) Di atas simbol peta
3) Di sebelah kiri simbol peta
4) Di sebelah kanan simbol peta

II-21

Anda mungkin juga menyukai