Anda di halaman 1dari 14

<< MODEL TATA KELOLA KOLABORATIF>>

DR. RISMA NISWATY, S.S., M.Si., QPOA.


Universitas Negeri Makassar

DEFINISI DAN SEJARAH TATA KELOLA KOLABORATIF

Tata kelola kolaboratif mengacu pada cara pemberian kebijakan dan layanan yang
beralih dari lingkungan yang berpusat pada pemerintah atau pasar ke lingkungan di
mana sektor publik, nirlaba swasta, dan pelaku usaha swasta secara bersama-sama
terlibat dan bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan dan pemberian layanan
untuk menciptakan nilai publik yang tidak dapat dicapai jika tidak dilakukan (Voets
et al. 2021). Tata kelola kolaboratif adalah cara kolaborasi mengatur diri mereka
sendiri untuk mencapai tujuan mereka. Tata kelola kolaboratif mencakup proses,
struktur, dan dinamika pengambilan keputusan dan koordinasi, melintasi batas-batas
organisasi dan sektoral termasuk komunitas (Chaplyn and Fraser 2020). Sementara,
menurut Emerson, Nabatchi, dan Balogh (2012) tata kelola kolaboratif ialah proses
dan struktur pengambilan keputusan dan pengelolaan kebijakan publik yang
melibatkan masyarakat secara konstruktif melintasi batas-batas lembaga publik,
tingkat pemerintahan, dan/atau ranah publik, swasta, dan sipil untuk melaksanakan
tujuan publik yang tidak dapat dicapai tanpanya. Tata kelola kolaboratif merupakan
penerus administrasi publik tradisional (yaitu birokrasi Weberian yang memberikan
kebijakan dan layanan) (Voets dkk. 2021). Perbedaannya dapat dilihat sebagai
berikut:

Variabel Tata Kelola Tradisional Tata Kelola Kolaboratif

Urutan dan Model tata kelola tradisional Model tata kelola


Konteks ditetapkan pada atau sebelum kolaboratif dibangun dan
Pengembangan dimulainya proses perubahan. diformalkan dari waktu ke
Pendirian dapat terjadi dengan waktu dan dapat bersifat
cepat atau ditiru dari model unik sesuai dengan

1
lain. Mereka sering kali sejalan kebutuhan dan konteks
dengan pandangan dunia Barat permasalahan, komunitas,
dan pola pikir bisnis dan partisipan. Tata kelola
kolaboratif dapat
menggabungkan beragam
budaya pengambilan
keputusan dan proses
komunikasi

Pengambilan Keputusan dibuat dalam Keputusan dibuat melintasi


Keputusan, struktur hierarki dan terpusat batas-batas organisasi oleh
Ruang Lingkup, yang melaluinya wewenang orang-orang yang paling
Proses dan dilaksanakan dan dikendalikan. dekat dengan permasalahan
Konteks Sistem dan praktik sangat dalam struktur yang
terstruktur untuk mengelola terdesentralisasi. Sistem dan
dan mengurangi risiko serta praktiknya fleksibel dan
mengendalikan arus informasi. terbuka untuk
memungkinkan
pembangunan kepercayaan
Konteks pekerjaan mempunyai dan kepastian
cakupan dan batasan yang ketat
daya tanggap.
(misalnya berdasarkan
geografis/organisasi). Keluaran
dan hasil ditentukan oleh Karena konteks pekerjaan
strategi (rencana yang ini adalah perubahan di
disepakati) yang selaras tingkat komunitas/populasi,
dengan/diinformasikan oleh: maka cakupan pekerjaan ini
luas dan bersifat darurat.

• akuntabilitas dan prinsip


bisnis (misalnya persaingan); Tujuan bersama menentukan
bagaimana pekerjaan akan
• tujuan keberlanjutan dan
dilakukan bersama. Tidak

2
pertumbuhan dan; ada jalur yang jelas dari
masalah ke solusi dan
• kerangka akuntabilitas dan
rencana untuk mengatasi
manajemen risiko.
masalah ini didasarkan pada
pembelajaran yang

Data yang memberikan berkelanjutan melalui

informasi dalam pengambilan strategi uji dan coba dan


keputusan dan mengukur dapat berubah atau

kemajuan mencakup data beradaptasi berdasarkan

keuangan dan pasar, jangkauan pembelajaran baru.


target pasar, dan
partisipasi/keterlibatan atau
Data yang menjadi masukan
pemanfaatan. Staf bertanggung
dalam mengambil keputusan
jawab pada satu organisasi.
dan mengukur kemajuan
Jika kelompok tata kelola
mencakup angka dan cerita,
mencakup beberapa organisasi,
informasi komunitas, dan
staf melapor ke organisasi
analisis sistem.
mereka sendiri.

Hubungan dan Kepercayaan antar mitra Kepercayaan antar mitra


Keterlibatan bersifat implisit, bersifat bersifat eksplisit, disebutkan
Pemangku reputasi, dan bersifat pribadi secara sadar, dan dibangun
Kepentingan untuk tujuan komunikasi, kerja di seluruh sistem untuk
sama, dan koordinasi. tujuan kolaborasi dan
Kekuasaan bersifat formal dan integrasi. Kekuasaan bersifat
sering kali selaras dengan formal dan informal (sosial,
struktur hierarki. Keberagaman budaya), dan dikumpulkan
didefinisikan sebagai berbasis melalui kolaborasi untuk
keterampilan yang diperlukan mencapai tujuan.
untuk mewujudkan strategi Keberagaman mempunyai
banyak aspek (budaya,
gender, opini, sektor, afiliasi

3
politik) dan diperlukan
untuk memahami dan
mencapai tujuan bersama.

Ruang Lingkup Pemangku kepentingan Pemangku kepentingan


dan didefinisikan sesuai dengan ditentukan oleh peran dan
Keterlibatan pentingnya mereka dalam pengaruh mereka di seluruh
Pemangku mencapai tujuan. Mereka sistem dan dilibatkan
Kepentingan dilibatkan berdasarkan riset melalui perancangan
pasar dan pendekatan bersama untuk pemahaman
konsultasi berbasis kebutuhan. bersama, identifikasi
masalah, dan memberikan
gambaran bersama tentang
seperti apa kesuksesan itu.

Tabel 1. Perbedaan antara Tata Kelola Tradisional dan Tata Kelola Kolaboratif. Sumber:
(Chaplyn and Fraser 2020).

Emerson and Nabatchi (2015) menelusuri penggunaan pertama istilah “tata kelola
kolaboratif” hingga tahun 1978, dalam literatur pendidikan yang membahas cara-cara
baru dalam mengajar. Tata kelola kolaboratif telah muncul sebagai alternatif
terhadap cara pengambilan dan implementasi kebijakan yang bersifat manajerial dan
bersifat adversarial (Ansell and Gash 2008). Selain itu, tata kelola kolaboratif juga
muncul dari banyak eksperimen lokal, seringkali sebagai reaksi terhadap kegagalan
tata kelola sebelumnya (Ansell and Gash 2008). Menurut Joris Voets dkk., (2021)
tata kelola kolaboratif ada tiga hal yang membuat tata kelola kolaboratif menjadi
populer untuk digunakan secara saintifik ataupun secara praktikal beberapa dekade
belakangan, yakni:

1. Masyarakat dihadapkan pada tantangan-tantangan baru yang kompleks yang


memerlukan kebijakan-kebijakan baru dan pemberian layanan yang
disesuaikan, yang tidak dapat ditangani oleh pemerintah sendiri
2. Tekanan fiskal: Sejak krisis keuangan global, slogan penghematan dan
pemotongan anggaran menjadi semakin kuat, sehingga mendorong

4
terciptanya pemerintahan yang lebih ramping dan mengakibatkan penurunan
organisasi pada departemen dan lembaga publik di banyak negara.
3. Shifting pada paradigma era kompetisi menjadi era kolaborasi

MODEL-MODEL TATA KELOLA KOLABORATIF

Penggunaan model-model tata kelola kolaboratif telah menjadi semakin relevan dan
esensial dalam dunia bisnis dan organisasi modern. Model-model ini membantu
mengatur dan mengelola kerja sama di antara individu, tim, atau bahkan organisasi
yang lebih besar dengan lebih efektif. Dalam era di mana kerja tim dan kolaborasi
adalah kunci untuk keberhasilan, pemahaman yang baik tentang berbagai model tata
kelola kolaboratif menjadi penting.

Model-model tata kelola kolaboratif adalah kerangka kerja yang memainkan peran
penting dalam memandu bagaimana organisasi dan tim bekerja bersama untuk
mencapai tujuan bersama. Dalam era yang semakin kompleks dan terhubung,
kolaborasi yang efektif menjadi kunci kesuksesan. Model-model ini mencakup
berbagai strategi, prosedur, dan prinsip-prinsip yang membantu mengelola,
memfasilitasi, dan mengoptimalkan interaksi antarindividu, kelompok, atau
departemen dalam suatu organisasi. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi beberapa
model tata kelola kolaboratif yang telah terbukti efektif dalam berbagai konteks,
serta bagaimana mereka dapat diterapkan untuk meningkatkan kerja sama,
kreativitas, dan pencapaian tujuan bersama.Terdapat beberapa model tata kelola
kolaboratif, berikut penjelasannya.

Model 1: Ansell dan Gash

Ansell dan Gash (2008) mendefinisikan tata kelola kolaboratif sebagai:

tata kelola di mana satu atau lebih lembaga publik secara langsung melibatkan
pemangku kepentingan non-negara dalam proses pengambilan keputusan kolektif
yang formal, berorientasi pada konsensus, dan musyawarah, serta bertujuan untuk
membuat atau melaksanakan kebijakan publik atau mengelola program atau aset
publik.

Dari definisi tersebut, organisasi-organisasi publik bertindak sebagai penggagas


kolaborasi (dan oleh karena itu masih berada dalam posisi “memimpin” dan

5
mempunyai tanggung jawab khusus). Hal tersebut dapat dilihat pada model di
bawah:

Gambar 1. Model Tata Kelola Kolaboratif Ansell dan Gash. Sumber: (Ansell and Gash
2008).

Kerangka kerja Ansell dan Gash bersifat sistemik dalam arti memberikan perhatian
pada konteks awal perjanjian kemitraan, dengan fokus utama pada proses aktual
yang terlibat dalam perjanjian dan dinamika yang tercipta, dan Perhatian khusus
diberikan pada kepemimpinan fasilitasi dan rancangan kelembagaan dan akhirnya
menjadi luaran dari proses ini. Dengan menambahkan kondisi awal, kerangka kerja
ini menegaskan bahwa kerja sama tidak terjadi begitu saja: kerja sama melibatkan
aktor-aktor yang sumber dayanya (termasuk pengetahuan) dan kekuasaannya
seringkali tidak seimbang. Para aktor mengalami insentif dan hambatan terhadap
kerja sama, dan riwayat kerja sama atau konflik mereka menentukan tingkat
kepercayaan awal. Proses kolaboratif itu sendiri merupakan siklus dialog, negosiasi,
kepercayaan, komitmen, kesepakatan, dan evaluasi yang dapat menghasilkan “hasil
antara” yang pada akhirnya menjadi dasar hasil sosial.

6
Model 2: Emerson dan Nabatchi
Ansell dan Gash mencoba membatasi definisi mereka, sedangkan Emerson dan
Nabatchi (2015) memperluas definisi tersebut untuk mencakup lebih banyak aktor,
struktur, dan proses. Bagi Emerson dan Nabatchi, tata kelola kolaboratif adalah
proses dan struktur pengambilan keputusan dan manajemen kebijakan publik yang
melibatkan masyarakat di seluruh lembaga publik, tingkat pemerintahan, dan/atau
sektor publik, swasta, dan sipil untuk melaksanakan kebijakan publik yang memiliki
tujuan umum yang tidak dapat dicapai dengan cara lain (Emerson and Nabatchi
2015). Emerson dan Nabatchi menggunakan definisi luas tata kelola kolaboratif
untuk menggabungkan berbagai perspektif teoretis, normatif, dan empiris serta untuk
mengembangkan konsep rezim tata kelola kolaboratif yang menjadi inti kerangka
kerja mereka. Menurut, Gray dan Purdey (2018) penggunaan istilah-istilah seperti
“rezim” dan “sistem” memperjelas bahwa mereka ingin menekankan bahwa perlu

adanya tingkat stabilitas dan formalisasi yang memadai sehingga komitmen bersama
yang nyata terhadap tujuan dan proses sangatlah penting.

Gambar 2. Kerangka Integratif Untuk Tata Kelola Kolaboratif. Sumber: (Emerson


and Nabatchi 2015)

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan model Emerson dan
Nabatchi, yakni:

7
1. Model Emerson dan Nabatchi terbuka untuk tata kelola kolaboratif informal
2. Menciptakan hubungan baru dengan nilai/tujuan publik
3. Mengacu secara tidak langsung pada keuntungan kolaboratif

Model 3: Bryson, Crosby, and Middleton Stone

Berbeda dengan Ansell dan Gash dan Emerson dan Nabatchi, Bryson dan rekannya
memberikan gambaran umum tentang kerangka teoritis utama dan temuan empiris.
Dengan landasan yang kuat pada pengamatan empiris yang berkelanjutan terhadap
kolaborasi lintas sektor, kerangka kerja Bryson, Crosby, dan Middleton Stone
mempertimbangkan realitas umum kekuasaan dan otoritas dengan menekankan
potensi konflik dan ketegangan, serta peran penting yang dimainkan oleh
akuntabilitas. Model tata kelola kolaboratif mereka menggemakan komponen yang
ditemukan dalam karya Ansell dan Gash atau Emerson dan Nabatchi. Pertama,
mereka juga menyoroti kondisi umum penting yang dapat memberikan insentif atau
membantu mengungkap apakah kolaborasi merupakan pendekatan terbaik. Kedua,
Bryson, Crosby, dan Middleton Stone juga mengambil pandangan yang dinamis.

Bryson, Crosby, dan Middleton Stone memulai dengan pentingnya menentukan


kondisi awal, pendorong, dan mekanisme yang menghubungkan agar kolaborasi
dapat berjalan. Selanjutnya, Bryson, Crosby, dan Middleton Stone menunjukkan
tantangan-tantangan proses dan strukturasi yang penting dalam membuat kolaborasi
ini berhasil, dan mereka menekankan pentingnya tata kelola kepemimpinan, serta
kapasitas dan kompetensi untuk melakukan hal tersebut, namun mereka juga
menunjukkan pentingnya konflik dan ketegangan yang dapat berasal dari
ketidakseimbangan kekuasaan dan logika yang berbeda, dan sejenisnya. Terakhir,
Bryson, Crosby, dan Middleton Stone juga menaruh fokus pada komponen akhir,
yaitu hasil, namun memperluas poin ini ke pertanyaan akuntabilitas

Model 4: Jennifer Chaplyn dan Sharon Fraser

Jennifer Chaplyn dan Sharon Fraser membagi kerangka tata kelola kolaboratif
mereka ke dalam tiga fase, yakni: fase awal (Pembangunan Kesiapan), fase tengah
(Landasan untuk Agenda Bersama), dan tahap kematangan (Menskalakan Dampak)
(Chaplyn and Fraser 2020). Pada fase pertama, tata kelola kolaboratif bertujuan

8
untuk memastikan bahwa pendekatan kolaboratif merupakan respons yang paling
tepat terhadap tantangan yang teridentifikasi; melibatkan orang lain dalam
menentukan proses memulai pekerjaan dan melakukan pekerjaan awal; memahami
apa yang terjadi; dan membangun ruang yang cukup untuk melibatkan orang lain
dalam tantangan yang ada dan kebutuhan untuk mengatasinya bersama (Chaplyn and
Fraser 2020). Pemerintah dapat menjadi penggerak yang kuat dalam tata kelola
kolaboratif awal dengan mengatasi ketegangan antara memfasilitasi kemajuan,
membangun momentum, dan meletakkan landasan bagi masyarakat untuk memimpin
(Chaplyn and Fraser 2020).

Pada fase tengah, tujuan dari tata kelola kolaboratif ialah membangun kemampuan,
pemahaman dan proses bersama untuk kerja kolaboratif; memahami konteks dan
sistem seputar tantangan yang sedang ditangani; dan memastikan sumber daya yang
aman untuk fungsi backbone (Chaplyn and Fraser 2020). Pada fase ini, Chaplyn dan
Fraser, membentuk model yang mereka sebut sebagai Constellation Diagram.

9
Gambar 3. Constellation Diagram. Sumber: (Chaplyn and Fraser 2020)

Kemudian, pada fase matang tujuan dari tata kelola kolaboratif ialah memastikan
adanya komitmen dan keselarasan sumber daya dan upaya di seluruh sistem dengan
agenda bersama; menanamkan infrastruktur untuk pembelajaran bersama,
pengukuran dan komunikasi untuk melacak kemajuan, kolaborasi dan perubahan
sistem; memanfaatkan pengetahuan untuk dampak yang lebih luas; dan menanamkan
praktik atau cara kerja baru ke dalam bisnis seperti biasa (Chaplyn and Fraser 2020).
Selain itu, pada fase ini, struktur dan proses tata kelola harus mampu mengenali dan
merespons konteks lokal, negara bagian, dan nasional, untuk mencapai skala dan
pada akhirnya perubahan transformasional (Chaplyn and Fraser 2020).

Model 5: Ratner

Bagi Ratner (Ratner 2012), terdapat tiga fokus fase atau tiga tahapan yang
merupakan proses kolaborasi dalam tata kelola kolaboratif, yakni: identifikasi
hambatan dan peluang, strategi debat untuk mempengaruhi, dan merencanakan
tindakan kolaborasi.

Pada tahap pertama, pemangku kepentingan kolaborasi mengidentifikasi berbagai


kendala yang muncul selama proses kolaborasi (Ratner 2012). Pada tahap kedua,
tahap dialog, para pemangku kepentingan yang bekerja sama melakukan dialog atau
diskusi mengenai kendala-kendala yang teridentifikasi pada tahap pertama sebagai
langkah paling efektif untuk menyelesaikan masalah (Ratner 2012). Lalu, pada fase
terakhir, setelah melalui fase mendengarkan permasalahan yang muncul dalam
proses kolaboratif dan diskusi tentang menemukan strategi yang efektif untuk
mencegah masalah, para pemangku kepentingan pada fase ini mulai merencanakan
implementasi dari setiap strategi yang telah dibahas pada diskusi sebelumnya.
langkah tersebut sebagai langkah awal yang diambil dalam proses kolaboratif antar
pemangku kepentingan (Ratner 2012). Seluruh proses tersebut dapat dilihat secara
lebih detail pada gambar di bawah.

10
Gambar 4. Tiga Tahap Penilaian Tata Kelola Kolaboratif Dan Perencanaan
Tindakan. Sumber: (Ratner 2012).

Model 5: Schottle, Haghsheno dan Gehbauer

Schottle, Haghsheno, dan Gehbauer membandingkan faktor-faktor yang


mempengaruhi kegiatan yang bersifat mandiri, kooperatif, dan kooperatif. Hasilnya
kemudian mengarahkan Schottle, Haghsheno, dan Gehbauer untuk mengembangkan
model trade-off jangka panjang dalam bentuk otonomi, kerjasama, dan kolaborasi.
Hal ini didasarkan pada faktor-faktor kuat yang paling mempengaruhi kerjasama,
seperti kemauan berkompromi, komunikasi, komitmen, rasa saling percaya,
pertukaran informasi, berbagi pengetahuan dan kemauan mengambil risiko bersama-
sama, sedangkan yang lemah adalah munculnya potensi konflik, koordinasi, kontrol,
kemitraan dan kemandirian (Schöttle, Haghsheno, and Haghsheno 2014). Hal
tersebut dapat dilihat pada diagram berikut:

11
Gambar 5. Kompromi Jangka Panjang dalam Bentuk Otonomi, Kerja Sama dan
Kolaborasi. Sumber: (Astuti, Warsono, and Rachim 2020).

Model 6: Triple Helix, Quadruple Helix, dan Penta Helix

Konsep triple helix, menurut Astuti dkk., telah ada sejak masa perang dunia kedua, di

mana pada era tersebut konsep hubungan yang komprehensif antara ilmu
pengetahuan (akademisi), sektor industri atau perdagangan (dunia usaha) dan sektor
publik (pemerintah) tercipta (Astuti, Warsono, and Rachim 2020).

Kemudian konsep tersebut berkembang dan menjadi Quadruple Helix di mana


terdapat empat kelompok pemangku kepentingan.dalam konsep Quadruple Helix
terdapat satu penambahan elemen yakni masyarakat madani atau civil society (Astuti,
Warsono, and Rachim 2020). Sementara, pada konsep Penta Helix, disempurnakan
menjadi 5 (lima) yakni media massa (mass media).

12
Gambar 6. Perbedaan Triple Helix, Quadruple Helix, dan Penta Helix. Sumber: (Astuti,
Warsono, and Rachim 2020).

DAFTAR PUSTAKA

Ansell, Chris, and Alison Gash. 2008. “Collaborative Governance in Theory and
Practice.” Journal of Public Administration Research and Theory 18(4): 543–
71.
Astuti, Retno Sunu, Hardi Warsono, and Abd. Rachim. 2020. Collaborative
Governance Dalam Perspektif Administrasi Publik. Semarang: DAP Press.
Chaplyn, Jennifer, and Sharon Fraser. 2020. Collaborative Governance An
Introductory Practice Guide. Australia.
Emerson, K, and T Nabatchi. 2015. Collaborative Governance Regimes.
Washington, D.C: Georgetown University Press.
Emerson, Kirk, Tina Nabatchi, and Stephen Balogh. 2012. “An Integrative
Framework for Collaborative Governance.” Journal of Public Administration
Research and Theory 22(1): 1–29.
Gray, B, and J Purdey. 2018. Collaborating For Our Future: Multistakeholder
Partnerships For Solving Complex Problems. Oxford: Oxford University Press.
Ratner, B. D. 2012. Collaborative Governance Assessment.
Schöttle, A, S Haghsheno, and S Haghsheno. 2014. “Defining Cooperation and
Collaboration in the Context of Lean Construction.”
Voets, Joris, Taco Brandsen, Christopher Koliba, and Bram Verschuere. 2021.
“Collaborative Governance. In Oxford Research Encylopedia of Politics.”
Oxford Research Encyclopedia of Politics (June): 1–21.

13
14

Anda mungkin juga menyukai