Tata kelola kolaboratif mengacu pada cara pemberian kebijakan dan layanan yang
beralih dari lingkungan yang berpusat pada pemerintah atau pasar ke lingkungan di
mana sektor publik, nirlaba swasta, dan pelaku usaha swasta secara bersama-sama
terlibat dan bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan dan pemberian layanan
untuk menciptakan nilai publik yang tidak dapat dicapai jika tidak dilakukan (Voets
et al. 2021). Tata kelola kolaboratif adalah cara kolaborasi mengatur diri mereka
sendiri untuk mencapai tujuan mereka. Tata kelola kolaboratif mencakup proses,
struktur, dan dinamika pengambilan keputusan dan koordinasi, melintasi batas-batas
organisasi dan sektoral termasuk komunitas (Chaplyn and Fraser 2020). Sementara,
menurut Emerson, Nabatchi, dan Balogh (2012) tata kelola kolaboratif ialah proses
dan struktur pengambilan keputusan dan pengelolaan kebijakan publik yang
melibatkan masyarakat secara konstruktif melintasi batas-batas lembaga publik,
tingkat pemerintahan, dan/atau ranah publik, swasta, dan sipil untuk melaksanakan
tujuan publik yang tidak dapat dicapai tanpanya. Tata kelola kolaboratif merupakan
penerus administrasi publik tradisional (yaitu birokrasi Weberian yang memberikan
kebijakan dan layanan) (Voets dkk. 2021). Perbedaannya dapat dilihat sebagai
berikut:
1
lain. Mereka sering kali sejalan kebutuhan dan konteks
dengan pandangan dunia Barat permasalahan, komunitas,
dan pola pikir bisnis dan partisipan. Tata kelola
kolaboratif dapat
menggabungkan beragam
budaya pengambilan
keputusan dan proses
komunikasi
2
pertumbuhan dan; ada jalur yang jelas dari
masalah ke solusi dan
• kerangka akuntabilitas dan
rencana untuk mengatasi
manajemen risiko.
masalah ini didasarkan pada
pembelajaran yang
3
politik) dan diperlukan
untuk memahami dan
mencapai tujuan bersama.
Tabel 1. Perbedaan antara Tata Kelola Tradisional dan Tata Kelola Kolaboratif. Sumber:
(Chaplyn and Fraser 2020).
Emerson and Nabatchi (2015) menelusuri penggunaan pertama istilah “tata kelola
kolaboratif” hingga tahun 1978, dalam literatur pendidikan yang membahas cara-cara
baru dalam mengajar. Tata kelola kolaboratif telah muncul sebagai alternatif
terhadap cara pengambilan dan implementasi kebijakan yang bersifat manajerial dan
bersifat adversarial (Ansell and Gash 2008). Selain itu, tata kelola kolaboratif juga
muncul dari banyak eksperimen lokal, seringkali sebagai reaksi terhadap kegagalan
tata kelola sebelumnya (Ansell and Gash 2008). Menurut Joris Voets dkk., (2021)
tata kelola kolaboratif ada tiga hal yang membuat tata kelola kolaboratif menjadi
populer untuk digunakan secara saintifik ataupun secara praktikal beberapa dekade
belakangan, yakni:
4
terciptanya pemerintahan yang lebih ramping dan mengakibatkan penurunan
organisasi pada departemen dan lembaga publik di banyak negara.
3. Shifting pada paradigma era kompetisi menjadi era kolaborasi
Penggunaan model-model tata kelola kolaboratif telah menjadi semakin relevan dan
esensial dalam dunia bisnis dan organisasi modern. Model-model ini membantu
mengatur dan mengelola kerja sama di antara individu, tim, atau bahkan organisasi
yang lebih besar dengan lebih efektif. Dalam era di mana kerja tim dan kolaborasi
adalah kunci untuk keberhasilan, pemahaman yang baik tentang berbagai model tata
kelola kolaboratif menjadi penting.
Model-model tata kelola kolaboratif adalah kerangka kerja yang memainkan peran
penting dalam memandu bagaimana organisasi dan tim bekerja bersama untuk
mencapai tujuan bersama. Dalam era yang semakin kompleks dan terhubung,
kolaborasi yang efektif menjadi kunci kesuksesan. Model-model ini mencakup
berbagai strategi, prosedur, dan prinsip-prinsip yang membantu mengelola,
memfasilitasi, dan mengoptimalkan interaksi antarindividu, kelompok, atau
departemen dalam suatu organisasi. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi beberapa
model tata kelola kolaboratif yang telah terbukti efektif dalam berbagai konteks,
serta bagaimana mereka dapat diterapkan untuk meningkatkan kerja sama,
kreativitas, dan pencapaian tujuan bersama.Terdapat beberapa model tata kelola
kolaboratif, berikut penjelasannya.
tata kelola di mana satu atau lebih lembaga publik secara langsung melibatkan
pemangku kepentingan non-negara dalam proses pengambilan keputusan kolektif
yang formal, berorientasi pada konsensus, dan musyawarah, serta bertujuan untuk
membuat atau melaksanakan kebijakan publik atau mengelola program atau aset
publik.
5
mempunyai tanggung jawab khusus). Hal tersebut dapat dilihat pada model di
bawah:
Gambar 1. Model Tata Kelola Kolaboratif Ansell dan Gash. Sumber: (Ansell and Gash
2008).
Kerangka kerja Ansell dan Gash bersifat sistemik dalam arti memberikan perhatian
pada konteks awal perjanjian kemitraan, dengan fokus utama pada proses aktual
yang terlibat dalam perjanjian dan dinamika yang tercipta, dan Perhatian khusus
diberikan pada kepemimpinan fasilitasi dan rancangan kelembagaan dan akhirnya
menjadi luaran dari proses ini. Dengan menambahkan kondisi awal, kerangka kerja
ini menegaskan bahwa kerja sama tidak terjadi begitu saja: kerja sama melibatkan
aktor-aktor yang sumber dayanya (termasuk pengetahuan) dan kekuasaannya
seringkali tidak seimbang. Para aktor mengalami insentif dan hambatan terhadap
kerja sama, dan riwayat kerja sama atau konflik mereka menentukan tingkat
kepercayaan awal. Proses kolaboratif itu sendiri merupakan siklus dialog, negosiasi,
kepercayaan, komitmen, kesepakatan, dan evaluasi yang dapat menghasilkan “hasil
antara” yang pada akhirnya menjadi dasar hasil sosial.
6
Model 2: Emerson dan Nabatchi
Ansell dan Gash mencoba membatasi definisi mereka, sedangkan Emerson dan
Nabatchi (2015) memperluas definisi tersebut untuk mencakup lebih banyak aktor,
struktur, dan proses. Bagi Emerson dan Nabatchi, tata kelola kolaboratif adalah
proses dan struktur pengambilan keputusan dan manajemen kebijakan publik yang
melibatkan masyarakat di seluruh lembaga publik, tingkat pemerintahan, dan/atau
sektor publik, swasta, dan sipil untuk melaksanakan kebijakan publik yang memiliki
tujuan umum yang tidak dapat dicapai dengan cara lain (Emerson and Nabatchi
2015). Emerson dan Nabatchi menggunakan definisi luas tata kelola kolaboratif
untuk menggabungkan berbagai perspektif teoretis, normatif, dan empiris serta untuk
mengembangkan konsep rezim tata kelola kolaboratif yang menjadi inti kerangka
kerja mereka. Menurut, Gray dan Purdey (2018) penggunaan istilah-istilah seperti
“rezim” dan “sistem” memperjelas bahwa mereka ingin menekankan bahwa perlu
adanya tingkat stabilitas dan formalisasi yang memadai sehingga komitmen bersama
yang nyata terhadap tujuan dan proses sangatlah penting.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan model Emerson dan
Nabatchi, yakni:
7
1. Model Emerson dan Nabatchi terbuka untuk tata kelola kolaboratif informal
2. Menciptakan hubungan baru dengan nilai/tujuan publik
3. Mengacu secara tidak langsung pada keuntungan kolaboratif
Berbeda dengan Ansell dan Gash dan Emerson dan Nabatchi, Bryson dan rekannya
memberikan gambaran umum tentang kerangka teoritis utama dan temuan empiris.
Dengan landasan yang kuat pada pengamatan empiris yang berkelanjutan terhadap
kolaborasi lintas sektor, kerangka kerja Bryson, Crosby, dan Middleton Stone
mempertimbangkan realitas umum kekuasaan dan otoritas dengan menekankan
potensi konflik dan ketegangan, serta peran penting yang dimainkan oleh
akuntabilitas. Model tata kelola kolaboratif mereka menggemakan komponen yang
ditemukan dalam karya Ansell dan Gash atau Emerson dan Nabatchi. Pertama,
mereka juga menyoroti kondisi umum penting yang dapat memberikan insentif atau
membantu mengungkap apakah kolaborasi merupakan pendekatan terbaik. Kedua,
Bryson, Crosby, dan Middleton Stone juga mengambil pandangan yang dinamis.
Jennifer Chaplyn dan Sharon Fraser membagi kerangka tata kelola kolaboratif
mereka ke dalam tiga fase, yakni: fase awal (Pembangunan Kesiapan), fase tengah
(Landasan untuk Agenda Bersama), dan tahap kematangan (Menskalakan Dampak)
(Chaplyn and Fraser 2020). Pada fase pertama, tata kelola kolaboratif bertujuan
8
untuk memastikan bahwa pendekatan kolaboratif merupakan respons yang paling
tepat terhadap tantangan yang teridentifikasi; melibatkan orang lain dalam
menentukan proses memulai pekerjaan dan melakukan pekerjaan awal; memahami
apa yang terjadi; dan membangun ruang yang cukup untuk melibatkan orang lain
dalam tantangan yang ada dan kebutuhan untuk mengatasinya bersama (Chaplyn and
Fraser 2020). Pemerintah dapat menjadi penggerak yang kuat dalam tata kelola
kolaboratif awal dengan mengatasi ketegangan antara memfasilitasi kemajuan,
membangun momentum, dan meletakkan landasan bagi masyarakat untuk memimpin
(Chaplyn and Fraser 2020).
Pada fase tengah, tujuan dari tata kelola kolaboratif ialah membangun kemampuan,
pemahaman dan proses bersama untuk kerja kolaboratif; memahami konteks dan
sistem seputar tantangan yang sedang ditangani; dan memastikan sumber daya yang
aman untuk fungsi backbone (Chaplyn and Fraser 2020). Pada fase ini, Chaplyn dan
Fraser, membentuk model yang mereka sebut sebagai Constellation Diagram.
9
Gambar 3. Constellation Diagram. Sumber: (Chaplyn and Fraser 2020)
Kemudian, pada fase matang tujuan dari tata kelola kolaboratif ialah memastikan
adanya komitmen dan keselarasan sumber daya dan upaya di seluruh sistem dengan
agenda bersama; menanamkan infrastruktur untuk pembelajaran bersama,
pengukuran dan komunikasi untuk melacak kemajuan, kolaborasi dan perubahan
sistem; memanfaatkan pengetahuan untuk dampak yang lebih luas; dan menanamkan
praktik atau cara kerja baru ke dalam bisnis seperti biasa (Chaplyn and Fraser 2020).
Selain itu, pada fase ini, struktur dan proses tata kelola harus mampu mengenali dan
merespons konteks lokal, negara bagian, dan nasional, untuk mencapai skala dan
pada akhirnya perubahan transformasional (Chaplyn and Fraser 2020).
Model 5: Ratner
Bagi Ratner (Ratner 2012), terdapat tiga fokus fase atau tiga tahapan yang
merupakan proses kolaborasi dalam tata kelola kolaboratif, yakni: identifikasi
hambatan dan peluang, strategi debat untuk mempengaruhi, dan merencanakan
tindakan kolaborasi.
10
Gambar 4. Tiga Tahap Penilaian Tata Kelola Kolaboratif Dan Perencanaan
Tindakan. Sumber: (Ratner 2012).
11
Gambar 5. Kompromi Jangka Panjang dalam Bentuk Otonomi, Kerja Sama dan
Kolaborasi. Sumber: (Astuti, Warsono, and Rachim 2020).
Konsep triple helix, menurut Astuti dkk., telah ada sejak masa perang dunia kedua, di
mana pada era tersebut konsep hubungan yang komprehensif antara ilmu
pengetahuan (akademisi), sektor industri atau perdagangan (dunia usaha) dan sektor
publik (pemerintah) tercipta (Astuti, Warsono, and Rachim 2020).
12
Gambar 6. Perbedaan Triple Helix, Quadruple Helix, dan Penta Helix. Sumber: (Astuti,
Warsono, and Rachim 2020).
DAFTAR PUSTAKA
Ansell, Chris, and Alison Gash. 2008. “Collaborative Governance in Theory and
Practice.” Journal of Public Administration Research and Theory 18(4): 543–
71.
Astuti, Retno Sunu, Hardi Warsono, and Abd. Rachim. 2020. Collaborative
Governance Dalam Perspektif Administrasi Publik. Semarang: DAP Press.
Chaplyn, Jennifer, and Sharon Fraser. 2020. Collaborative Governance An
Introductory Practice Guide. Australia.
Emerson, K, and T Nabatchi. 2015. Collaborative Governance Regimes.
Washington, D.C: Georgetown University Press.
Emerson, Kirk, Tina Nabatchi, and Stephen Balogh. 2012. “An Integrative
Framework for Collaborative Governance.” Journal of Public Administration
Research and Theory 22(1): 1–29.
Gray, B, and J Purdey. 2018. Collaborating For Our Future: Multistakeholder
Partnerships For Solving Complex Problems. Oxford: Oxford University Press.
Ratner, B. D. 2012. Collaborative Governance Assessment.
Schöttle, A, S Haghsheno, and S Haghsheno. 2014. “Defining Cooperation and
Collaboration in the Context of Lean Construction.”
Voets, Joris, Taco Brandsen, Christopher Koliba, and Bram Verschuere. 2021.
“Collaborative Governance. In Oxford Research Encylopedia of Politics.”
Oxford Research Encyclopedia of Politics (June): 1–21.
13
14