PENDAHULUAN
Dunia pendidikan di negara kita sudah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai
dengan banyaknya sekolah yang ada di wilayah negara kita dengan berbagai kualitas yang
berbeda-beda. Bermacam-macam model sekolah ada di Indonesia, mulai dari sekolah yang
biasa-biasa saja sampai sekolah internasional yang didirikan berkat kerjasama antara
pemerintah Indonesia dengan pemerintah luar negeri. Banyaknya sekolah intermasional juga
tidak berarti berkurangnya sekolah minim di Indonesia. Masih banyak seklah-sekolah yang
minim fasilitas di dalam melaksanakan kegiatan belajarnya. Banyak sekolah-sekolah yang
berdiri dengan bangunan yang tidak layak dijadikan sebagai ruang kelas. Pernah teman saya
bercerita bahwa karena kondisi kelas yang idak memadai, maka kegiatan belajar dilaksanakan
di makam samping sekolah. Kondisi inilah yang sangat bertolak belakang dengan situasi
sekolah-sekolah internasional yang beradapat di kota besar yang berlimpah denga fasilitas.
Banyak juga metode yang sekarang sudah mulai diterapkan dalam pembelajaran di
Indonesia. Banyak metode, model dan juga pendekatan yang diciptakan untuk memperbaiki
metode ceramah yang akhir-akhir ini dinilai tidak efektif. Abimanyu ( 2007 : 4) menyataan
bahwa metode ceramah memiliki beberapa kelemahan, yaitu siswa dapat menjadi jenuh
terutama jika guru tidak pandai menjelaskan, dapat menimbulkan verbalisme pada siswa,
materi ceramah terbatas pada apa yang diingat guru, siswa yang mempunyai ketrampilan
kurang dalam hal mendengarkan akan dirugikan, sisw dijejali dengan konsep yang belum
tentu dapat diingat terus menerus, terkadang informasi yang disampaikan sudah ketinggalan
zaman, tidak merangsang berkembangnya kreatifitas siswa, dan terjadinya interaksi satu arah,
yaitu dari guru terhadap siswa.
Menanggapi dari apa yang telah disampaikan di atas, penulis setuju dengan informasi
tersebut. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, metode ceramah membutuhkan
kreatifitas guru yang lebih besar jika dibandingkan dengan metode yang lain. Kreatifitas yang
dimaksud disini adalah kreatifitas dalam menyampikan materi pembelajaran dalam bentuk
ceramah tersebut. Kreatifitas dapat ditunjukkan denga menampilkan lelucon yang dapat
menyegarkan suasana. Jika guru hanya sekedar menyampikan materi secara terus menerus
tanpa variasi, siswa akan mudah menjadi bosan dan ujung-ujungnya akan menjadi kurang
fokus dengan materi yang sedang dipelajari. Metode ceramah adalah salah satu metode yang
berpusat pada guru dan bukanlah siswa. Dalam hal ini, siswa tidak akan mengalami
pembelajaran yang bermakna jika hanya mendengarkan saja. Maka dari itu, ceramah
menyebabkan pengetahuan tidak bertahan lama dalam pikiran siswa. Pembelajaran yang
dilaksanakan dengan metode ceramah juga tidak menjadikan siswa sebagai aktor dalam
pembelajaran. Pembelajaran dengan metode ceramah akan tetap akan membuat siswa paham
dengan materi yang diajarkan, hanya sifatnya tidak akan bertahan lama. Mungkin saat itu
mereka paham dan akan cepat lupa.
Dengan segala kekurangan yang ada, tidak berarti metode ini tidak mempunyai
keuntungan. Abimanyu (2007 : 4) menguraikan beberapa keuntungan metod ceramah,
diantaranya metode ini murah dalam artian efisien jika dilihat dari segi waktu dan biaya, dan
tersedianya guru dan mudah dalam arti materi yang dapat disesuaikan dengan terbatasnya
waktu. Dalam pembelajaran, metode ceramah terkadang juga dibutuhkan, namun porsinya
tetap harus dibatasi dan tetap memperhatikan konstruksi pengetahuan dalam diri siswa dan
perlu diingat pula bahwa peran guru adalah sebagai fasilitator dan bukan aktor.
Banyak metode pembelajaran yang telah dikembangkan dengan tujuan memberikan
pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran sangat erat kaitannya dengan
perkembangan siswa. Dari berbagai metode pembelajaran juga sebaiknya disesuaikan dengan
kondisi psikologis perkembangan siswa. Metode yang paling unggul seakalipun jika tidak
diterapkan dengan benar pada kondisi yang tepat juga pada akhirnya tidak akan membawa
hasil yang baik pula. Jika siswa tidak siap dengan penggunaan suatu metode, maka sama
halnya metode pembelajaran tersebut tidak membawa dampak yang signifikan. Contohnya
adalah penggunaan metode kooperatif yang menggharapkan siswa belajar di dalam
kelompok. Bagaimana jika siswa belum mampu diajak berdiskusi dan siswa mash bersifat
pasif? Maka sama halnya metode tersebut gagal untuk dilakukan. Kombinasi antara
kebutuhan, kesiapan dan juga kreatifitas guru sangat mempengaruhi keberhasilan metode
yang dilaksanakan di kelas.
Guru sebagai fasillitator dalam pembelajaran dapat saya umpamakan sebagai
sutradara yang mengatur jalannya pembelajaran dan yang mempunyai arahan akan dibawa
kemana pembelajaran yang dilaksanakan. Guru yang memfasilitasi siswa dalam belajar dan
siswanya yang harus mengembangkan pengetahuannya, tentunya dengan bimbingan yang
diberikan guru. Inilah tantangan bai guru dalam memfasilitasi kegiatan belajar siswa yang
memiliki berbagai macam kemampuan, dengan kepribadian yang berbeda dan juga dengan
pengetahuan awal yang berbeda demi mencapai kompetensi yang diharapkan.
John Locke (1632 – 1704) sangat terkenal dengan konsep tabula rasa atau kertas
kosong, dimana jiwa seseorang bagaikan kertas putih. Kertas putih ini kemudian akan
mendapatkan coretan atau tulisan dari unsur luar. Dalam hal ini, keputusan akan berada
ditangan unsur luar. Terserah kepada unsur luar akan menulisi dengan sesuatu yang berwarna
merah atau putih, hijau dan sebagainya. Apakah sebenarnya teori tabula rasa itu, dan
bagaimana hubungnnya dengan pembelajaran? Secara lengkapnya akan dibahas di dalam bab
selanjutnya.
BAB II
ISI
Dengan apa yang telah disampaikan dalam bagian pendahuluan, bahwa teori tabula
rasa menanggap jiwa seeorang bagaikan kertas putih yang harus diisi dengan berbagai macam
hal sehingga kertas tersebut berwarna dan memiliki makna. Dengan adanya hal tersebut,
penulis ingin membuat sintesis dari apa yang diungkapkan oleh John Locke.
B. Tabula rasa
Mastrianni (2012) menyatakan bahwa tabula rasa atau “blank slate” telah menjadi
perdebatan selama beberapa abad. Meskipun teori tabula rasa ini pertama kali muncul di
zaman Yunani kuno, namun hal ini paling sering dikaitkan dengan dengan filsuf Inggris, John
Locke (1632-1704). Locke mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan suatu keadaan
dimana tidak ada bawaan yang akan dibangun pada saat lahir. Locke menyatakan bahwa
segala sesuatu yang kita pelajari dalam hidup adalah hasil dari hal-hal yang kita amati dengan
menggunakan indera kita. Dia menyimpulkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
mengendalikan pertumbuhan karakter mereka sendiri, meskipun tidak ada yang bisa
memisahkan perkembangan ini dari identitas manusia sebagai anggota dari umat manusia.
Aristoteles (384 SM -322 SM) dalam tulisannya yang berjudul De Anima, disebutkan
bahwa pikiran sebagai pikiran kosong. Lebih dari 1000 tahun kemudian, pada abad ke -11
teori tabula rasa muncul di Persia kuno dalam tulisan Ibnu Sina, seorang filsuf Persia. Ibnu
Sina menyatakan bahwa pikiran saat lahir adalah batu tulis kosong dan pengetahuan yang
diperoleh melalui pengalaman dengan benda nyata dan dari pengalaman itu kemudian
digunakan untuk mengembangkan konsep abstrak tentang benda-benda, dan bukan
sebaliknya.
John-Jacques Rosseau (1712-1728), sebagai sesama penganut aliran empirisme juga
menyatakan persetujuannya dengan teori tabula rasa. Rosseau percaya bahwa sifat manusia
merupakan akibat langsung dari pengalaman dan lingkungan, yang diberikan dalam keadaan
berbeda-beda. Laki-laki juga akan mengalami perkembangan yang berbeda dengan
perempuan. Pendapat ini berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes yang mengemukakan
bahwa laki-laki biasanya mempunyai kelakukan yang lebih buruk daripada wanita sehingga
biasanya mereka ditempatkan di barisan terdepan oleh polisi.
Dalam Essay Concerning Human Understanding, John Locke mengingatkan kembali
mengenai pentingnya pengalaman. Pada saat lahir, mereka bagaikan kertas kosong yang
kemudian diisi dengan berbagai pengalaman. Pada awalnya, manusia memulai dengan
konsep-konsep yang sederhana, dan kemudian dilajutkan dengan konsep yang lebih
kompleks. Hal ini juga tercantum di dalam tulisannya, yaitu :
“Let us then suppose the mind to be, as we say,white paper void of all characters, wit hout
any ideas. How comes it to b furnished? Whence comes it by that vast store which the busy
and boundless fancy of man has painted on it with an almost endless variety? Whence has it
all the materials of reason and knowledge? To this I answer, in the one word , from
EXPERIECE. (Dawkins, 2009).
Tabula rasa erat kaitannya dengan pengalaman, dan dengan hal ini John Locke tidak
mengakui adanya intuisi yang membangun pemahaman manusia. Segala yang diketahui oleh
seorang anak hanyalah akibat dari apa yang diajarkan oleh orangtuanya. Setiap anak lahir
dengan kemampuan yang sama dan setelah itu perkembangannya berdasarkan apa yang
diberikan oleh orang tuanya. Teori ini tidak mengakui adanya kemampuan awal yang ada
dalam setiap diri anak. Jadi, sejak lahir, seorang anak tidak mempunyai bakat dan
pembawaan apa-apa, dan segala yang akan terjadi merupakan tanggung jawab penuh dari
pendidiknya, entah guru atau orangtuanya. Tabula rasa juga tidak mengakui adanya
kemampuan awal atau bakat awal dan diwariskan dari orangtuanya.
Berdasarkan teori tabula rasa ini, sebelum anak-anak mengenyam bangku sekolah dan
bertemu dengan guru, orangtualah yang sepenuhnya bertanggungjawab terhadap apa yang
akan diajarkan kepada anak. Segala yang diajarkan oleh orang tua, itulah ilmunya. Jika ilmu
tersebut berasal dari bentukan dan didikan oragtuanya maka sikap anak tersebut juga akan
selaras dengan apa yang diajarkan orang tua. Jika orangtua mengajarkan tentang kebaikan
dan kasih sayang, maka terisilah pemahaman siswa tentang kebaikan. Sebaliknya jika anak
tersebut berisi dengan hal-hal yang kurang baik, maka kelakuannya juga tidak akan menjadi
baik. Locke mengatakan bahwa orang tua dan pembimbing harus menjadi contoh dan
memperlihatkan sifat-sifat dan kepribadian yang baik, yang meliputi kebaikan, pendidikan
yang baik, dan hal-hal yang dihormati serta dapat ditiru oleh anak-anak. Seorang anak yang
mencoba untuk mencontoh hal-hal baik tersebut harus diberi pujian, didorong untuk
melakukan hal yang baik kembali, diperbaiki, ditegur, atau dibimbing jika perlu tetapi jangan
dibebani dengan kritik yang berlebihan dan tidak berguna (mudhokhi, 2008). Locke juga
menganjurkan agar tidak mengisi kepala anak-anak dengan “sampah” atau hal-hal yang tidak
berguna karena mereka tidak akan memikirkan hal-hal tersebut lagi selama hidupnya.
Pendidikan harus bersifat praktis, berguna, memiliki makna, menyenangkan dan anak didik
harus dihormati dan diperlakukan seperti orang dewasa. Selain itu, siswa juga diberi
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, belajar dari pengalaman yang nantinya dia
akan memperoleh berbagai kemampuan yang berguna bagi hidupnya. Tabula rasa John Locke
mengatakan bahwa lebih baik belajar dari pengalaman dibandingkan belajar dari buku-buku,
namun belajar dari buku juga tidak serta merta dilupakan begitu saja. Dengan pengalaman
yang telah dia alami dan ada dalam hidupnya, maka kelak individu tersebut dapat
menentukan langkah hidup selanjutnya dan memilih apa yang terbaik untuk dirinya.
BAB III
KESIMPULAN
Tabula rasa menganngap pikiran manusia bagaikan kertas putih yang nantinya akan
diisi dan menjadi berwarna. Tabula rasa adalah salah satu cabang dari aliran empirisme yang
mendasarkan teorinya berdasarkan pengalaman. Dengan demikian, tabula rasa erat dengan
pengalaman. Jika dikaitkan dengan proses pembelajaran di dalam kelas, pengalaman belajar
juga mengambil peran penting dalam terbentuknya pemahaman siswa. Pembelajaran yang
baik juga pembelajaran yang memberikan pengalaman bagi siswa. Pengalaman yang baik
akan menjadikan materi yang dipelajari juga akan bertahan lama dalam diri siswa.
Tabula rasa tidak dapat dipercaya secara penuh jika diterapkan di dalam
pembelajaran, karena tabula rasa masih memegang konsep bahwa pikiran siswa adalah
lembaran kosong yang dapat diisi dengan materi-materi dari guru. Dalam hal ini, peran guru
menjadi lebih aktif di kelas, dan siswa hanya mendengarkan, mencatat, dan menjawab
pertanyaan dari guru. Peran siswa menjadi lebih sedikit dan tidak menjadi aktor di dalam
pembelajaran. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menjadi aktor di dalam pembelajaran dan diharapkan pembelajaran itu
akan membawa sesuatu yang bermakna.
Terdapat sifat yang masih kontradiksi dalam konsep tabula rasa. Tabula rasa
mementingkan pengalaman sebagai faktor pembentuk dari pengetahuan siswa. Jika
dihubungkan dengan tabula rasa dimana pikiran siswa adalah kertas putih kosong, bagaimana
dengan pengalaman-pengalaman yang sudah diterima sebelumnya?
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Soli. 2007. Metode Pembelajaran yang Lebih Berpusat Pada Guru.
Diakses dari http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Mata%20Kuliah%20Awal/
Strategi%20Pembelajaran/BAC/strategi_pembelajaran_unit_6.pdf pada tanggal 5 Januari
2013.
Dawkins, Richard, et.al. 2009. John Locke Mind as a Tabula Rasa. Diakses dari http://www.age-
of-the-sage.org/philosophy/john_locke_tabula_rasa.html. Diakses pada tanggal 27 November
2012.
Mudhokhi, faiz. 2008. Paradigma Pendidikan John Locke dan Robert Owen. Diakses dari
http://faizperjuangan.wordpress.com/2008/02/12/paradigma-pendidikan-john-locke-dan-
robert-owen-sebuah-tugas-kuliah/ pada tanggal 27 November 2012.
Marsigit,M.A. 2011. Elegi Pemberontakan Matematika 9 : School Mathematics. Diakses dari
http://powermathematics.blogspot.com/search?updated-min=2011-01-
01T00:00:00%2B07:00&updated-max=2012-01-01T00:00:00%2B07:00&max-results=50
tanggal 27 November 2012.
Mastrianni, Steve. 2012. Tabula Rasa – Reductio Ad Absurdum. Diakses dari
http://www.mastrianni.net/pdf/Tabula%20Rasa.pdf tanggal 27 November 2012.
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta : Bumi Aksara.
http://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke diakses pada tanggal 26 Desember 2012.
Poskan Komentar