Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

Dunia pendidikan di negara kita sudah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai
dengan banyaknya sekolah yang ada di wilayah negara kita dengan berbagai kualitas yang
berbeda-beda. Bermacam-macam model sekolah ada di Indonesia, mulai dari sekolah yang
biasa-biasa saja sampai sekolah internasional yang didirikan berkat kerjasama antara
pemerintah Indonesia dengan pemerintah luar negeri. Banyaknya sekolah intermasional juga
tidak berarti berkurangnya sekolah minim di Indonesia. Masih banyak seklah-sekolah yang
minim fasilitas di dalam melaksanakan kegiatan belajarnya. Banyak sekolah-sekolah yang
berdiri dengan bangunan yang tidak layak dijadikan sebagai ruang kelas. Pernah teman saya
bercerita bahwa karena kondisi kelas yang idak memadai, maka kegiatan belajar dilaksanakan
di makam samping sekolah. Kondisi inilah yang sangat bertolak belakang dengan situasi
sekolah-sekolah internasional yang beradapat di kota besar yang berlimpah denga fasilitas.
Banyak juga metode yang sekarang sudah mulai diterapkan dalam pembelajaran di
Indonesia. Banyak metode, model dan juga pendekatan yang diciptakan untuk memperbaiki
metode ceramah yang akhir-akhir ini dinilai tidak efektif. Abimanyu ( 2007 : 4) menyataan
bahwa metode ceramah memiliki beberapa kelemahan, yaitu siswa dapat menjadi jenuh
terutama jika guru tidak pandai menjelaskan, dapat menimbulkan verbalisme pada siswa,
materi ceramah terbatas pada apa yang diingat guru, siswa yang mempunyai ketrampilan
kurang dalam hal mendengarkan akan dirugikan, sisw dijejali dengan konsep yang belum
tentu dapat diingat terus menerus, terkadang informasi yang disampaikan sudah ketinggalan
zaman, tidak merangsang berkembangnya kreatifitas siswa, dan terjadinya interaksi satu arah,
yaitu dari guru terhadap siswa.
Menanggapi dari apa yang telah disampaikan di atas, penulis setuju dengan informasi
tersebut. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, metode ceramah membutuhkan
kreatifitas guru yang lebih besar jika dibandingkan dengan metode yang lain. Kreatifitas yang
dimaksud disini adalah kreatifitas dalam menyampikan materi pembelajaran dalam bentuk
ceramah tersebut. Kreatifitas dapat ditunjukkan denga menampilkan lelucon yang dapat
menyegarkan suasana. Jika guru hanya sekedar menyampikan materi secara terus menerus
tanpa variasi, siswa akan mudah menjadi bosan dan ujung-ujungnya akan menjadi kurang
fokus dengan materi yang sedang dipelajari. Metode ceramah adalah salah satu metode yang
berpusat pada guru dan bukanlah siswa. Dalam hal ini, siswa tidak akan mengalami
pembelajaran yang bermakna jika hanya mendengarkan saja. Maka dari itu, ceramah
menyebabkan pengetahuan tidak bertahan lama dalam pikiran siswa. Pembelajaran yang
dilaksanakan dengan metode ceramah juga tidak menjadikan siswa sebagai aktor dalam
pembelajaran. Pembelajaran dengan metode ceramah akan tetap akan membuat siswa paham
dengan materi yang diajarkan, hanya sifatnya tidak akan bertahan lama. Mungkin saat itu
mereka paham dan akan cepat lupa.
Dengan segala kekurangan yang ada, tidak berarti metode ini tidak mempunyai
keuntungan. Abimanyu (2007 : 4) menguraikan beberapa keuntungan metod ceramah,
diantaranya metode ini murah dalam artian efisien jika dilihat dari segi waktu dan biaya, dan
tersedianya guru dan mudah dalam arti materi yang dapat disesuaikan dengan terbatasnya
waktu. Dalam pembelajaran, metode ceramah terkadang juga dibutuhkan, namun porsinya
tetap harus dibatasi dan tetap memperhatikan konstruksi pengetahuan dalam diri siswa dan
perlu diingat pula bahwa peran guru adalah sebagai fasilitator dan bukan aktor.
Banyak metode pembelajaran yang telah dikembangkan dengan tujuan memberikan
pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran sangat erat kaitannya dengan
perkembangan siswa. Dari berbagai metode pembelajaran juga sebaiknya disesuaikan dengan
kondisi psikologis perkembangan siswa. Metode yang paling unggul seakalipun jika tidak
diterapkan dengan benar pada kondisi yang tepat juga pada akhirnya tidak akan membawa
hasil yang baik pula. Jika siswa tidak siap dengan penggunaan suatu metode, maka sama
halnya metode pembelajaran tersebut tidak membawa dampak yang signifikan. Contohnya
adalah penggunaan metode kooperatif yang menggharapkan siswa belajar di dalam
kelompok. Bagaimana jika siswa belum mampu diajak berdiskusi dan siswa mash bersifat
pasif? Maka sama halnya metode tersebut gagal untuk dilakukan. Kombinasi antara
kebutuhan, kesiapan dan juga kreatifitas guru sangat mempengaruhi keberhasilan metode
yang dilaksanakan di kelas.
Guru sebagai fasillitator dalam pembelajaran dapat saya umpamakan sebagai
sutradara yang mengatur jalannya pembelajaran dan yang mempunyai arahan akan dibawa
kemana pembelajaran yang dilaksanakan. Guru yang memfasilitasi siswa dalam belajar dan
siswanya yang harus mengembangkan pengetahuannya, tentunya dengan bimbingan yang
diberikan guru. Inilah tantangan bai guru dalam memfasilitasi kegiatan belajar siswa yang
memiliki berbagai macam kemampuan, dengan kepribadian yang berbeda dan juga dengan
pengetahuan awal yang berbeda demi mencapai kompetensi yang diharapkan.
John Locke (1632 – 1704) sangat terkenal dengan konsep tabula rasa atau kertas
kosong, dimana jiwa seseorang bagaikan kertas putih. Kertas putih ini kemudian akan
mendapatkan coretan atau tulisan dari unsur luar. Dalam hal ini, keputusan akan berada
ditangan unsur luar. Terserah kepada unsur luar akan menulisi dengan sesuatu yang berwarna
merah atau putih, hijau dan sebagainya. Apakah sebenarnya teori tabula rasa itu, dan
bagaimana hubungnnya dengan pembelajaran? Secara lengkapnya akan dibahas di dalam bab
selanjutnya.

BAB II
ISI

Dengan apa yang telah disampaikan dalam bagian pendahuluan, bahwa teori tabula
rasa menanggap jiwa seeorang bagaikan kertas putih yang harus diisi dengan berbagai macam
hal sehingga kertas tersebut berwarna dan memiliki makna. Dengan adanya hal tersebut,
penulis ingin membuat sintesis dari apa yang diungkapkan oleh John Locke.

A. Empirisme dan John Locke


John Locke adalah seorang filsuf Inggris dari pahan empirisme yang cukup terkenal.
John Locke lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington Inggris dan meninggal pada
tanggal 28 Oktober 1704. Dia dibesarkan oleh ayahnya seorang pengacara yang bekerja
sebagai juru tulis hakim di Somersetshire dan menjadi kapten angkatan bersenjata di Long
Parliament selama pemerintahan Raja Charles 1. Pada tahun 1646, tepatnya ketika John
Locke berusia 14 tahun, dia diterima di Westminster School. Di sekolah tersebut, selama 6
tahun ia mencurahkan segala perhatiannya pada pelajaran bahasa latin dan Yunani disamping
pelajaran-pelajaran lainnya yang diberikan di tingkat sekolah menengah.
Pada tahun 1652, dia diterima di Christ Chruch College, Universitas Oxford. Di
sekolah tersebut, dia mempelajari retorika bahasa, filsafat moral, ilmu ukur, fisika, bahasa
latin, arab, dan yunani. Dia mendapatkan gelr sarjana muda pada tahun 1656 dan sarjana
penuh pada tahun 1658. Pada yahun 1660, dia memperoleh beasiswa sebagai mahasiswa
senior dan diberikan hak istimewa utuk tetap berada di Universitas tersebut untuk selama-
lamanya. Dengan beasiswa tersebut, dia bekerja sebagai pembimbing untuk mata pelajaran
retorika, bahsa Yunani dan filsafat.
Pada tahun 1665, dia menjadi sekretaris misi diplomatik kerajaan Inggris di
Brandenburg dan pada tahun 1666 kembali lagi ke Inggris dan mempelajari ilmu kedokteran.
Sejak Locke menyembuhkan salah satu duta Kerajaan Inggris, dia mulai bekerja untuk
pemerintahan. Sejak itulah, pandangan–pandangan terhadap berbagai masalah mulai
terangkat dan dipublikasikan.
John locke adalah salah seorag filsuf empirise, dimana empirisme adalah sebuah
aliran filsafat yang memberikan tekanan pada empiris atau pengalaman sebagai sumber
pengetahuan (Susanto, 2011 : 37). Istilah empiris bersal dari kata dalam bahasa Yunani,
emperia, yang berarti pengalaman inderawi. Jelas terdapat perbedaan dengan aliran
rasionalisme yang sangat memeningkan rasio dalam mengembangkan pengetahuannya,
dalam menentukan sesuatu dan dalam menyelesaikan masalah. Seperti yang dikemukakan
oleh Descartes dalam metodenya yaitu :
1. Tidak menerima suatupun sebagai kebenaran, keuali bila saya melihat hal itu dengan tegas
dan jelas sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
2. Pecahkan setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada
suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah
untuk diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada hal yang paling sulit dan kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-
perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga
kita yakin bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan
itu. (Susanto, 2011 : 37).
Dengan demikian, aliran empirisme sangat bertentangan dengan aliran rasionalisme
jika diliht dari segi sumber pengetahuannya. Karena John Locke adalah salah seorang
penganut empirisme, maka teorinya juga berkaitan dengan empirisism atau pengalaman.
Tabula rasa atau lembaran kertas kosong atau dapat dikatakan bahwa jiwa seseorang
seperti kertas kosong yang dapat diisi sehingga jiwa tersebut menjadi berwarna dan berisi.
Tabula rasa menganggap bahwa otak manusia adalah sebuah penerima pasif yang
memperoleh pengatahuan dari pengalaman dan diserap melalui panca indera. Berbagai
gagasan sederhana dan kemudian dihubungkan atau digabungkan menjadi pemikiran yang
berkaitan (faiz, 2008 : 3). Karena John Locke adalah filsuf empirisme, maka teori tabuala
rasa ini sangat dekat hubungannya dengan teori pengalaman sebagai sumber pengetahuan.

B. Tabula rasa
Mastrianni (2012) menyatakan bahwa tabula rasa atau “blank slate” telah menjadi
perdebatan selama beberapa abad. Meskipun teori tabula rasa ini pertama kali muncul di
zaman Yunani kuno, namun hal ini paling sering dikaitkan dengan dengan filsuf Inggris, John
Locke (1632-1704). Locke mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan suatu keadaan
dimana tidak ada bawaan yang akan dibangun pada saat lahir. Locke menyatakan bahwa
segala sesuatu yang kita pelajari dalam hidup adalah hasil dari hal-hal yang kita amati dengan
menggunakan indera kita. Dia menyimpulkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
mengendalikan pertumbuhan karakter mereka sendiri, meskipun tidak ada yang bisa
memisahkan perkembangan ini dari identitas manusia sebagai anggota dari umat manusia.
Aristoteles (384 SM -322 SM) dalam tulisannya yang berjudul De Anima, disebutkan
bahwa pikiran sebagai pikiran kosong. Lebih dari 1000 tahun kemudian, pada abad ke -11
teori tabula rasa muncul di Persia kuno dalam tulisan Ibnu Sina, seorang filsuf Persia. Ibnu
Sina menyatakan bahwa pikiran saat lahir adalah batu tulis kosong dan pengetahuan yang
diperoleh melalui pengalaman dengan benda nyata dan dari pengalaman itu kemudian
digunakan untuk mengembangkan konsep abstrak tentang benda-benda, dan bukan
sebaliknya.
John-Jacques Rosseau (1712-1728), sebagai sesama penganut aliran empirisme juga
menyatakan persetujuannya dengan teori tabula rasa. Rosseau percaya bahwa sifat manusia
merupakan akibat langsung dari pengalaman dan lingkungan, yang diberikan dalam keadaan
berbeda-beda. Laki-laki juga akan mengalami perkembangan yang berbeda dengan
perempuan. Pendapat ini berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes yang mengemukakan
bahwa laki-laki biasanya mempunyai kelakukan yang lebih buruk daripada wanita sehingga
biasanya mereka ditempatkan di barisan terdepan oleh polisi.
Dalam Essay Concerning Human Understanding, John Locke mengingatkan kembali
mengenai pentingnya pengalaman. Pada saat lahir, mereka bagaikan kertas kosong yang
kemudian diisi dengan berbagai pengalaman. Pada awalnya, manusia memulai dengan
konsep-konsep yang sederhana, dan kemudian dilajutkan dengan konsep yang lebih
kompleks. Hal ini juga tercantum di dalam tulisannya, yaitu :

“Let us then suppose the mind to be, as we say,white paper void of all characters, wit hout
any ideas. How comes it to b furnished? Whence comes it by that vast store which the busy
and boundless fancy of man has painted on it with an almost endless variety? Whence has it
all the materials of reason and knowledge? To this I answer, in the one word , from
EXPERIECE. (Dawkins, 2009).

Tabula rasa erat kaitannya dengan pengalaman, dan dengan hal ini John Locke tidak
mengakui adanya intuisi yang membangun pemahaman manusia. Segala yang diketahui oleh
seorang anak hanyalah akibat dari apa yang diajarkan oleh orangtuanya. Setiap anak lahir
dengan kemampuan yang sama dan setelah itu perkembangannya berdasarkan apa yang
diberikan oleh orang tuanya. Teori ini tidak mengakui adanya kemampuan awal yang ada
dalam setiap diri anak. Jadi, sejak lahir, seorang anak tidak mempunyai bakat dan
pembawaan apa-apa, dan segala yang akan terjadi merupakan tanggung jawab penuh dari
pendidiknya, entah guru atau orangtuanya. Tabula rasa juga tidak mengakui adanya
kemampuan awal atau bakat awal dan diwariskan dari orangtuanya.
Berdasarkan teori tabula rasa ini, sebelum anak-anak mengenyam bangku sekolah dan
bertemu dengan guru, orangtualah yang sepenuhnya bertanggungjawab terhadap apa yang
akan diajarkan kepada anak. Segala yang diajarkan oleh orang tua, itulah ilmunya. Jika ilmu
tersebut berasal dari bentukan dan didikan oragtuanya maka sikap anak tersebut juga akan
selaras dengan apa yang diajarkan orang tua. Jika orangtua mengajarkan tentang kebaikan
dan kasih sayang, maka terisilah pemahaman siswa tentang kebaikan. Sebaliknya jika anak
tersebut berisi dengan hal-hal yang kurang baik, maka kelakuannya juga tidak akan menjadi
baik. Locke mengatakan bahwa orang tua dan pembimbing harus menjadi contoh dan
memperlihatkan sifat-sifat dan kepribadian yang baik, yang meliputi kebaikan, pendidikan
yang baik, dan hal-hal yang dihormati serta dapat ditiru oleh anak-anak. Seorang anak yang
mencoba untuk mencontoh hal-hal baik tersebut harus diberi pujian, didorong untuk
melakukan hal yang baik kembali, diperbaiki, ditegur, atau dibimbing jika perlu tetapi jangan
dibebani dengan kritik yang berlebihan dan tidak berguna (mudhokhi, 2008). Locke juga
menganjurkan agar tidak mengisi kepala anak-anak dengan “sampah” atau hal-hal yang tidak
berguna karena mereka tidak akan memikirkan hal-hal tersebut lagi selama hidupnya.
Pendidikan harus bersifat praktis, berguna, memiliki makna, menyenangkan dan anak didik
harus dihormati dan diperlakukan seperti orang dewasa. Selain itu, siswa juga diberi
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, belajar dari pengalaman yang nantinya dia
akan memperoleh berbagai kemampuan yang berguna bagi hidupnya. Tabula rasa John Locke
mengatakan bahwa lebih baik belajar dari pengalaman dibandingkan belajar dari buku-buku,
namun belajar dari buku juga tidak serta merta dilupakan begitu saja. Dengan pengalaman
yang telah dia alami dan ada dalam hidupnya, maka kelak individu tersebut dapat
menentukan langkah hidup selanjutnya dan memilih apa yang terbaik untuk dirinya.

C. Tabula rasa dan Pembelajaran Matematika


Jiwa seseorang dianggap sebagai kertas kosong, itulah apa yang digambarkan di
dalam konsep tabula rasa. Kertas itu nantinya aka diisi dengan segala hal dan menjadikannya
berwarna. Tabula rasa ini juga telah mempunyai pengaruh di dalam dunia pendidikan.
Terkadang dalam suatu pembelajaran, siswa diibaratkan dengan kertas putih dengan
pemahaman yang masih kosong, dan kemudian guru bertugas untuk mengisinya dengan
materi-materi yang akan membuat lembaran kosong itu terisi dengan materi-materi yang
diberikan guru. Pengetahuan yang dimiliki siswa tergantung dari apa yang diberikan guru.
Hal yang diberikan guru akan menjadi pengalaman yang berguna bagi siswa dan akan
digunakan kembali dalam membentuk pengetahuan yang akan datang.
Tabula rasa erat kaitannya dengan pengalaman, dan menurut analisis penulis,
pengalaman juga mempunyai peran yang penting dalam pembentukan pengetahuan manusia.
Seorang siswa juga dapat menggunakan pengalaman belajarnya yang lalu untuk
mengembangkan pemikirannya yang baru. Dengan belajar, siswa aka memperoleh
pengalaman berharga tentang apa yang telah dipelajari. Namun belum tentu juga dengan
pembelajaran yang telah dilakukan, siswa akan mempunyai pengalaman yang berharga.
Pengalaman siswa akan terbentuk jika pembelajaran itu bermakna baginya dan berkesan
sehingga tidak akan mudah untuk dilupakan.
Guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran hendaknya dapat memberikan fasilitas
yang dapat digunakan oleh siswa untuk membentuk pengetahuannya. Fasilitas yang diberikan
adalah fasilitas dalam bentuk model pembelajaran yang digunakan guru. Guru dapat
mengorganisir model pembelajaran yang cocok, yang dapat memberikan pengalaman belajar
bagi siswa dan juga pas dengan kemampuan siswa untuk melakukannya. Dalam hal ini, guru
dapat menggunakan pendekatan inkuiri (penemuan) dimana dengan menemukan,
pengetahuan akan bertahan lama di dalam pikiran siswa. Pengalaman yang dia alami di
pembelajaran ini akan diingatnya terus dan digunakan sebagai bekal dalam memahami materi
lain yang berhubungan. Jika pembelajaran yang dilakukan dan dialami tidak memberikan
manfaat dan pengalaman yang baik, maka sama halnya pemelajaran yang dilakukan tidak
memiliki makna yang baik dan akan mudah untuk dilupakan siswa. Jika selama mengalami
pembelajaran siswa hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, maka sama halnya
pembelajaran itu menjadi kurang bermakna.
Berdasarkan Ebbut dan Straker dalam (Marsigit, 2011), matematika adalah sebuah
kegiatan yang hakekatnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan.
Kegiatan penemusuran pola dan hubungan dapat dilakukan dengan memberian
kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan juga penyelidikan pola-
pola untuk menentukan hubungan serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melakukan penyelidikan dan percobaan dengan menggunakan tberbagai cara. Dalam hal ini,
pengalaman memegang peranan penting dalam membantu siswa menentukan dan
menemukan adanya pola yang terjadi. Ilmu yang telah diperoleh di masa lampau dapat
dijadikan sebagai dasar dalam memahami materi yang akan datang.
2. Matematika adalah kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan.
Imajinasi, intuisi, dan penemuan merupakan hal-hal yang digunakan dalam menghadapi
matematika. Dalam hal ini, guru diharapkan dapat mendorong inisiatif siswa dan juga
mendorong rasa ingin tahu. Menyelesaikan soal matematika juga membutuhkan intuisi.
Intuisi dibutuhkan untuk mengetahui langkah apa yang kira-kita tepat digunakan untuk
menyelesaikan soal tersebut. menurut analisis penulis, intuisi yang kita punya dapat
memberikan penilaian apakah proses yang kita lakukan sudah tepat atau belum. Intuisi tidak
memiliki pondamen, maka kita tidak tahu kapan dimulainya susunan intuisi dalam pikiran
kita.
3. Matematika adalah kegiatan problem solving.
Matematika adalah kegiatan problem solving. Dengan demikian, hal ini dapat dilakukan
dengan merangsang siswa untuk melakukan pemecahan masalah matematika dengan
menggunakan caranya sendiri dan tentunya dengan menggunakan bantuan dari guru.
4. Matematika merupakan alat komunikasi.
Matematika adalah alat komunikasi dan pandangan ini daat dilakukan dengan mengenal
sifat matematika, mendorong siswa membuat conth matematika, merangsang siswa
menjelaskan sifat matematika, dan juga mendorong siswa membicarakan persoalan
matematika.
Dengan demikian, pembelajaran matematika dengan kegiatan penbelajaran yang berpusat
pada siswa (student centered).

Pengalaman merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan


pengetahuan, namun menurut analisis penulis, setiap manusia yang lahir sudah dibekali
dengan kemampuan awal di dalam pikirannya sehingga tidak dapat dikatakan jiwa manusia
berupa kertas putih yang kosong. Saya percaya bahwa setiap manusia telah mendapatkan
warisan yang dibawanya sejak lahir. Setiap manusia mempunyai kecederunan khas sebagai
warisan yang dibawanya sejak lahir yang akan mempengaruhi kepribadiannya pada waktu
dewasa. Akan tetapi, warisan genetik hanya menentukan kepribadian setiap orang. Tumbuh
dan bekembangnya potensi tidak seperti garis lurus, namun ada potensi terjadi
penyimpangan. Faktor genetik memang mempengaruhi keprbadian, namun tidak bersifat
mutlak, masih banyak faktor –faktor lainnya. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang
dijelaskan di dalam prinsip tabula rasa. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tabulrasa
meyakini pembentukan karakter melalui apa yang diberikan oleh dunia luar, dan tidak
meyakini adanya kemampuan awal yang merupakan warisan dari kedua orang tuanya karena
setiap jiwa terlahir sebagai kertas putih.
Sesuai dengan apa yang telah disampaikan di atas, bahwa matematika adalah kegiatan
penelusuran pola dan hubungan, matematika adalah kegiatan yang memerlukan imajinasi,
intuisi, dan penemuan, matematika adalah kegiatan problem solving, dan matematika adalah
komunikasi. Matematika jelas memerlukan intuisi, dan kita tidak pernah tahu kapan
berlangsungnya intuisi di dalam pikiran kita, entah sejak lahir, atau kapan. Intuisi tidak
memiliki pondamen, sehingga kita tidak pernah tahu kapan ada dan dimulainya di dalam
pikiran kita. Dengan demikian, tidak benar secara sepenuhnya jika kita mengatakan bahwa
manusia lahir sebagai kertas putih yang kosong. Teori tabula rasa John Locke juga ternyata
tidak mengakui adanya intuisi, karena dia kemampuan yang ada di dalam diri manusia adalah
goresan pena dari para pengisinya.
Saya sempat berfikir, bagaimana guru secara terus menerus menganggap siswa
sebagai lembaran kosong yang harus diisi dengan pengetahuan-pengetahuan? Bagaimana jika
suatu saat bejana itu penuh dan pecah? Bagaimana jika pengetahuan yang dimiliki guru tidak
cukup memadai dan bukankah sumber pembelajaran itu tidak selamanya berasal dari guru,
mengingat posisi guru hanyalah sebagai fasilitator. Siswa yang satu juga bisa menjadi sumber
belajar bagi siswa yang lain. Jika menemukan suatu kesulitan, tidak harus seorang siswa itu
bertanya langsung kepada guru, tetapi bisa juga bertanya kepada teman yang lain terlebih
dahulu dan terkadang penjelasan teman lebih mudah dipahami daripada penjelasan guru
sendiri. Banyak buku pelajaran, LKS dan sumber belajar dan media pembelajaran yang dapat
digunakan sebagai sumber pembelajaran yang baik. Semakin banyak sumber yang ada, maka
semakin banyak hal baru yang dapat diperoleh. Guru bukanlah satu-satunya sumber
pembelajaran yang tersedia di kelas. Pembelajaran akan menjadi aktif dan hidup jika semua
elemen yang ada di dalamnya ikut berperan aktif.
Tabula rasa ini membawa pengaruh yang cukup besar dalam sistem pembelajaran
konvensional. Dalam praktiknya di dalam pembelajaran konvensional, guru terlalu terlihat
aktif di dalam pembelajaran. Dalam hal ini, siswa memang tidak pasif secara mutlak, tetapi
aktivitas siswa yang timbul sangat sedikit sekali, yaitu hanya terbatas pada mendengarkan,
mencatat, dan menjawab pertanyaan dari guru. Kegiatan para siswa hanya terbatas terhadap
apa yang diperintahkan guru dan cara yang ditetapkan guru.
Tabula rasa tidak selamanya merupakan paham yang salah, karena merupakan pola
pikir yang masih konvesional. Walaupun terdapat paham yang sudah tidak sesuai dengan
perkembangan pendidikan masa kini, namun pembelajaran dengan berdasarkan pengalaman
masih dapat diterapkan dengan baik. Pembelajaran yang bermakna memang diperlukan di
dalam pembelajaran. Pembelajaran yang bermakna akan tinggal dengan lama di dalam
pikiran siswa. Pikiran siswa bukan sepenuhnya kertas kosong yang harus diisi, melainkan
kertas yang sudah terisi dengan pengatahuan awal yang berbeda-beda, dan dengan
pembelajaran akan menambah warna-warna yang terdapat di dalam kertas tersebut.
Tabula rasa erat dengan pengalaman, dan pengalaman itu membantu seseorang untuk
memahami pengetahuan yang baru. Jika hal ini dikaitkan dengan konsep tabula rasa yang
menganggap jiwa siswa bagikan kertas kosong, bagaimana dengan pengetahuan awal yang
sudah diterima pada kelas sebelumnya. Sudah tentu pasti mereka telah mempunyai
pengalaman belajar di kelas sebelumnya. Dengan demikian, tampaknya tabula rasa John
Locke mengalami sedikit kontradiksi di dalam penerapannya di dalam dunia pendidikan.

BAB III
KESIMPULAN

Tabula rasa menganngap pikiran manusia bagaikan kertas putih yang nantinya akan
diisi dan menjadi berwarna. Tabula rasa adalah salah satu cabang dari aliran empirisme yang
mendasarkan teorinya berdasarkan pengalaman. Dengan demikian, tabula rasa erat dengan
pengalaman. Jika dikaitkan dengan proses pembelajaran di dalam kelas, pengalaman belajar
juga mengambil peran penting dalam terbentuknya pemahaman siswa. Pembelajaran yang
baik juga pembelajaran yang memberikan pengalaman bagi siswa. Pengalaman yang baik
akan menjadikan materi yang dipelajari juga akan bertahan lama dalam diri siswa.
Tabula rasa tidak dapat dipercaya secara penuh jika diterapkan di dalam
pembelajaran, karena tabula rasa masih memegang konsep bahwa pikiran siswa adalah
lembaran kosong yang dapat diisi dengan materi-materi dari guru. Dalam hal ini, peran guru
menjadi lebih aktif di kelas, dan siswa hanya mendengarkan, mencatat, dan menjawab
pertanyaan dari guru. Peran siswa menjadi lebih sedikit dan tidak menjadi aktor di dalam
pembelajaran. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menjadi aktor di dalam pembelajaran dan diharapkan pembelajaran itu
akan membawa sesuatu yang bermakna.
Terdapat sifat yang masih kontradiksi dalam konsep tabula rasa. Tabula rasa
mementingkan pengalaman sebagai faktor pembentuk dari pengetahuan siswa. Jika
dihubungkan dengan tabula rasa dimana pikiran siswa adalah kertas putih kosong, bagaimana
dengan pengalaman-pengalaman yang sudah diterima sebelumnya?

DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, Soli. 2007. Metode Pembelajaran yang Lebih Berpusat Pada Guru.
Diakses dari http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Mata%20Kuliah%20Awal/
Strategi%20Pembelajaran/BAC/strategi_pembelajaran_unit_6.pdf pada tanggal 5 Januari
2013.
Dawkins, Richard, et.al. 2009. John Locke Mind as a Tabula Rasa. Diakses dari http://www.age-
of-the-sage.org/philosophy/john_locke_tabula_rasa.html. Diakses pada tanggal 27 November
2012.
Mudhokhi, faiz. 2008. Paradigma Pendidikan John Locke dan Robert Owen. Diakses dari
http://faizperjuangan.wordpress.com/2008/02/12/paradigma-pendidikan-john-locke-dan-
robert-owen-sebuah-tugas-kuliah/ pada tanggal 27 November 2012.
Marsigit,M.A. 2011. Elegi Pemberontakan Matematika 9 : School Mathematics. Diakses dari
http://powermathematics.blogspot.com/search?updated-min=2011-01-
01T00:00:00%2B07:00&updated-max=2012-01-01T00:00:00%2B07:00&max-results=50
tanggal 27 November 2012.
Mastrianni, Steve. 2012. Tabula Rasa – Reductio Ad Absurdum. Diakses dari
http://www.mastrianni.net/pdf/Tabula%20Rasa.pdf tanggal 27 November 2012.
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta : Bumi Aksara.
http://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke diakses pada tanggal 26 Desember 2012.

Diposkan oleh rosalia yenita widyaningrum di 07.36


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Anda mungkin juga menyukai