Proposal Penelitian Vibby
Proposal Penelitian Vibby
OLEH
NIM: 20253252031
2020
PREVALENSI DAN TINGKAT KEPARAHAN (SARCOPTES SCABIEI) PADA
TERNAK KELINCI DI DESA SAJEN KECAMATAN PACET KABUPATEN
MOJOKERTO
PROPPOSAL
OLEH
NIM: 20253252031
MENYETUJUI
PARAMEDIK VETERINER
MENGETAHUI
DIREKTUR
Ir.ELVIN HASAMAN,MP
NIP:196306291992031002
PREVALENSI DAN TINGKAT KEPARAHAN (SARCOPTES SCABIEI) PADA
TERNAK KELINCI DI DESA SAJEN KECAMATAN PACET KABUPATEN
MOJOKERTO
OLEH:
RINGKASAN
Kelinci ialah binatang mamalia yang mengunggis (pengerat), mempunyai telinga panjang
dan ekor pendek, rupanya seperti marmut besar. Kelinci adalah hewan mamalia (menyusui)
yang hidup secara berkoloni (berkelompok) dan banyak beraktifitas di malam hari (Noktural).
Kelinci tersebar di berbagai bagian bumi dan jenisnya beraneka ragam. Dahulu kala menurut
sumber yang ada yang ada, kelinci merupakan hewan liar yang hidup di daratan Afrika
hingga ke daratan Eropa. Pada perkembangannya, tahun 1912, kelinci diklasifikasikan dalam
ordo Lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis pika yang
pandai bersiul) dan Leporidae (termasuk di dalamnya jenis kelinci dan terwelu).
Penyakit kudis menular atau scabies adalah penyakit ektoparasit utama yang menyerang
bagian kulit hewan ternak ruminansia (kambing, domba, sapi dll). Skabies terutama
menyerang kambing dan kelinci, serta dapat menular ke manusia (bersifat zoonosis).
Penyakit kudis menular atau skabies ini sangat populer di kalangan peternak hingga
mempunyai banyak nama lain, yaitu; budug, kurap, dan mange.Kejadian kudis menular atau
skabies pada ternak telah tersebar luas diseluruh Indonesia. Penyakit ini umumnya
menyerang ternak pada keadaan kekurangan pakan, musim kemarau dan di lingkungan
kandang yang kotor dan tidak terjaga kebersihanya secara rutin.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-nya jualah maka proposal penelitian dengan judul “Prevalensi dan tingkat
keparahan (sarcoptes scabiei) pada ternak kelinci di desa sajen kecamatan pacet
Laporan Tugas Akhir ii merupakan salah satu persyaratan untuk meraih gelar
A.Md.Vet pada program studi paraemdik veteriner, Jurusan Budidaya Tanaman Pangan,
Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Isi dari laporan ini merupakn hasil dari analisa
tentang Prevalensi dan tingkat keparahan (sarcoptes scabiei) pada ternak kelinci di desa sajen
kecamatan pacet kabupaten mojokerto. Dengan telah selesainya kegiatan pelaksanaan, ujian
dan penyusun Laporan Tugas Akhir penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Ir. Elvin Hasman, M.P selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri
Payakumbuh
3. Ibu Ir. Yulnesri, M.Si selaku Dosen pembimbing yang telah memberi dukungan
maka dari itu penulis menerima masukan dan saran yang membangun dari para
RINGKASAN......................................................................................................
KATA PENGANTAR...........................................................................................
I.PENDAHULUAN...................................................................................................
2.1 Kelinci..............................................................................................
2.2 Prevalensi........................................................................................
2.3 Scabies............................................................................................
3.4 Pelaksanaan...................................................................................
V. KESIMPULAN...............................................................................................
PENDAHULUAN
sanitasi yang relatif rendah menjadi faktor pemicu terjangkitnya penyakit ini. Kondisi
Menurut McCarthy et al. (2004) Sarcoptes scabiei ini ditemukan hampir diseluruh dunia.
Laporan terhadap outbreak atau scabies pada kelinci juga pernah tercatat. Kerugian akibat
matinya ternak penderita scabies sangat bervariasi,tergantung pada faktor predisposisi serta
faktor lainnya yang terlibat. Kematian akibat scabies sering disebabkan karena malnutrisi
(Abu- Samra et al.,1981). Kerugian ekonomi yang timbul akibat scabies berupa: turunnya
produksi (daging, air susu, kulit, wool), turunnya “feed conversion efficiency”, kematian
penderita dan pembelian obat-obatan untuk mengatasi scabies, seperti terutama akarisida,
roborantia seperti vitamin A, mineral dan untuk mengatasi infeksi sekunder seperti anthelmita
Bagaimana prevalensi dan tingkat (Sarcoptes scabiei) pada ternak kelinci di desa
Mengetahui prevalensi dan tigkat (sarcoptes scabiei ) pada ternak kelinci di desa
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelinci
Kelinci adalah hewan mamalia dari famili Leporidae, yang dapat ditemukan di banyak
bagian bumi. Kelinci berkembangbiak dengan cara beranak yang disebut vivipar. Dulunya,
hewan ini adalah hewan liar yang hidup di Afrika hingga ke daratan Eropa. Pada
perkembangannya, tahun 1912, kelinci diklasifikasikan dalam ordo Lagomorpha. Ordo ini
dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis pika yang pandai bersiul) dan
Leporidae (termasuk di dalamnya jenis kelinci dan terwelu). Asal kata kelinci berasal dari
bahasa Belanda, yaitu konijntje yang berarti "anak kelinci". Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat Nusantara mulai mengenali kelinci saat masa kolonial, padahal di Pulau Sumatra
ada satu spesies asli kelinci sumatera(Nesolagus netscheri) yang baru ditemukan pada tahun
1972.
2.2. Prevalensi
Prevalensi adalah proporsi dari populasi yang memiliki karakteristik tertentu dalam
jangka waktu tertentu. Dalam dunia kedokteran, karakteristik yang dimaksud meliputi
penyakitatau faktor risiko. Prevalensi umumnya ditentukan dengan cara memilih sampel
secara acak (kelompok kecil) dari seluruh populasi, dengan tujuan sampel yang dipilih dapat
mewakili populasi. Untuk sampel representatif yang sederhana, prevalensi adalah jumlah
orang dalam sampel dengan karakteristik tertentu, dibagi dengan jumlah total orang dalam
sampel. Saat sampel (bukan seluruh populasi) yang digunakan untuk menghasilkan perkiraan
prevalensi, bobot statistik dapat diterapkan untuk menyesuaikan karakteristik sampel dengan
populasi target.
Prevalensi biasanya dinyatakan sebagai persentase (5%, atau 5 orang dari 100), atau sebagai
jumlah kasus per 10.000 atau per 100.000 orang, tergantung seberapa besar penyakit atau
faktor risiko yang terjadi dalam populasi. Ada beberapa cara untuk mengukur dan
melaporkan prevalensi yang bervariasi sesuai dengan kerangka waktu untuk estimasi. Cara
pertama adalah prevalensi titik, yaitu proporsi populasi yang memiliki karakteristik pada titik
waktu tertentu. Cara kedua adalah periode prevalensi yaitu proporsi populasi yang memiliki
karakteristik tertentu dalam periode waktu tertentu. Jangka waktu 12 bulan merupakapan
periode yang umum digunakan. Cara ketiga adalah prevalensi seumur hidup, yaitu proporsi
Prevalensi berbeda dengan insiden, insiden berhubungan dengan kasus baru yang mengacu
pada frekuensi perkembangan penyakit yang baru dalam suatu populasi dalam periode waktu
tertentu, biasanya dalam satu tahun. Sedangkan prevalensi adalah kasus baru dan kasus lama
yang mengacu pada jumlah orang yang menderita penyakit pada tahun tertentu. Jumlah ini
termasuk semua orang yang mungkin telah didiagnosis pada tahun sebelumnya, serta pada
tahun berjalan.
2.3 Scabies
(Desiandura et al., 2017). Penyakit kudis menular atau scabies adalah penyakit ektoparasit
utama yang menyerang bagian kulit hewan ternak ruminansia (kambing, domba, sapi dll).
Scabies terutama menyerang kambing dan kelinci. Penyakit kudis menular atau scabies ini
sangat populer di kalangan peternak hingga mempunyai banyak nama lain, yaitu; budug,
Kejadian kudis menular atau scabies pada ternak telah tersebar luas diseluruh
Indonesia. Penyakit ini umumnya menyerang ternak pada keadaan kekurangan pakan, musim
kemarau dan di lingkungan kandang yang kotor dan tidak terjaga kebersihanya secara rutin.
2.4 Penularan scabies
Penularannya dapat terjadi melalui kontak langsung antar hewan penderita bahkan
kontak tidak langsung yaitu melalui peralatan yang terkontaminasi (Eleser et al.,2005).
Umumnya bagian tubuh yang diserang adalah daerah yang sedikit ditumbuhi rambut seperti :
moncong, telinga, dada bagian bawah, perut, pengkal ekor, sepanjang punggung, leher, dan
kaki.
Ternak yang terinfestasi tungau akan merasa gatal dan selalu menggaruk-garuk,
luka dan lecet. Dalam keadaan parah maka seluruh tubuh dapat terserang, kulit meradang dan
Kulit penderita skabies akan mengeras, menebal dan melipat-lipat. Pada tempat-
tempat tersebut biasanya rambutnya rontok sehingga terjadi Kerontokan bulu atau
1. Mencampur minyak kelapa dan asuntol (10 : 1) lalu digosokkan 2-3 kali selang waktu 3
hari.
2. Coumaphos (asuntol) dalam bentuk salep 2% pada vaselin dapat diberikan sekali
seminggu selama 3 minggu berturut-turut atau dalam bentuk cairan 0,1% disemprot atau
Pencegahan penyakit skabies yang dapat dilakukan oleh peternak secara mandiri
adalah:
2. Kambing yang baru didatangkan harus diisolasi (jangan langsung dicampur) selama
METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilakukan dipeternakan breeding kelinci yang terletak di Desa
Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sarung tangan,obat antiseptik
glass,mikroskop. Bahan pada penelitian ini berupa sampel hasil skraping atau kerokan kulit
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan ekplorasi laboratoris yang
diperoleh akan diolah dengan program SPSS.Sampel penelitian yang digunakan berupa
kelinci yang menunjukkan gejala klinis terinfeksi scabies dan hasil scraping atau kerokan
kulit Besarsample dihitung dari jumlah kelinci yang menunjukkan gejala klinis scabies dan
arcoptes scabiei.
Perhitungan prevalensi scabies pada ternak kelinci ini menggunakan rumus prevalencerate.
klinis scabies berupa krusta dan alopecia pada beberapa regio tubuh.
3.4 Pelaksanaan
Penelitian ini telah dilakukan dipeternakan breeding kelinci yang terletak di Desa
Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sarung tangan,obat antiseptik (alkohol70%),
Bahan pada penelitian ini berupa sampel hasil skraping atau kerokan kulit ditambah KOH
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan ekplorasi laboratoris yang
diperoleh akan diolah dengan program SPSS.Sampel penelitian yang digunakan berupa
kelinci yang menunjukkan gejala klinis terinfeksi scabies dan hasil scraping atau kerokan
kulit Besarsample dihitung dari jumlah kelinci yang menunjukkan gejala klinis scabies dan
arcoptes scabiei.
Perhitungan prevalensi scabies pada ternak kelinci ini menggunakan rumus prevalencerate.
dilakukan pemeriksaan secara langsung pada setiap ekor kelinci yang menunjukkan gejala
klinis scabies berupa krusta dan alopecia pada beberapa regio tubuh.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis yang mengacu pada angka prevalensi menunjukan bahwa data kejadian
scabies di Desa Sajen, Kecematan pacet, cukup rendah. Hal ini dikarenakan beberapa faktor
penyebab terjadi scabies yang cukup beragam.
Pengamatan secara langsung yang dilakukan oleh peneliti menunjukan bahwa faktor
kandang yang meliputi sanitasi/ kebersihan, jenis serta letak menjadi faktor utama
terjadinya scabies. Kandang dengan jenis individu atau terdapat 1-2 kelinci dalam satu
kandang dan berjarak dekat pada masing-masing kelinci akan menyebabkan mudah
tertularnya hewan sakit ke sehat. Letak kandang yang secara tidak langsung berhadapan
dengan sinar matahari juga menjadi faktor tinggi atau rendahnya kejadian scabies. Pada
peternakan kelinci ini didapatkan bahwa letak kandang yang terkena sinar matahari secara
tidak langsung akan mengakibatkan rendahnya kejadian scabies dikarenakan kondisi
kandang yang tidak lembab serta bersih.Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Jensen
dan Swift (2006), sanitasi kandang dan lingkungan yang kurang baik jugadiduga menjadi
factor utama penularan penyakit scabies. Kandang terlihat kurang mendapat sinar matahari,
akibat keadaan kandang lembab.Tempat yanglembab dapat menyebabkan tungau dapat
bertahan hidup lebih dari 30hari.Menurut Budiantono(2004),kejadian scabies pada ternak
telah tersebar luas diseluruh Indonesia, terutama pada keadaan kekurangan pakan dan di
lingkungan kandang yang kotor dengan prevalensi4-11%. Berdasarkan gejala klinis yang
mencirikan scabies berupa alopecia dan krusta,maka dapat dinilai tingkat keparahan
scabies.Penentuan tingkat keparahan scabies berdasarkan hasil skoring/penilaian scabies
menurut Davis et.al(2013) dari beberapa komponen seperti distribusi dan luas
krusta,ketebalan krusta,riwayat kejadian penyakit,dan kondisi kulit sertapres-entase krusta
scabies.Pembagian atas beberapa regio tubuh juga menjadi dasar pengelompokkan tingkat
keparahans cabies.Pembagian beberapa region pada tubuh kelinci meliputi region wajah,
kaki, dan badan. Menurut Percy dan Barthold (2001) pada lagomorpha sejenis kelompok ke-
linci,tidak umum terjadi infeksi S.scabiei (juga dikenal sebagai kudis) dan kudis tersebut
menunjukkan pengaruh pada bagian wajah,hidung,bibir,dan genital eksternal.Pada
penelitian ini tidak didapatkan hasil tingkat keparahan berat,hal ini bias dikaitkan pada
pengamatan secara langsung terhadap faktor-faktor penyebab scabies.Peternakan kelinci
pada penelitian ini tergolong bersih dan dengan manajemen yang baik.Ternak kelinci yang
terdiagnosa atau menunjukkan gejala klinis scabies dalam waktu 1-3 hari berikutnya diberi
obat melalui injeksi ivermectin sesuai dosis. Sehingga jarang ditemukan ternak kelinci
dengan kondisi tingkat keparahan yang berat. Menurut Colville(2000),pada kasus dengan
tingkat keparahan berat dapat terlihat gejala klinis yang lain yaitu hewan akan menggesek-
gesekkan daerah yang gatal ketiang kandangatau pohon-pohon,menggaruk-garuk atau
mencakar dan menggigit kulitnya secara terus-menerus.
BAB V
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan pada penelitian ini adalah diharapkan pada penelitian
selanjutnya perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian perbandingan pada manusia
untuk mengamati hasil prevalensi pada ternak kelinci.
DAFTAR PUSTAKA
Jensen, R. and B.L.Swift. 2006. Disease of Sheep. 2 years Eds. Lea & Febiger.Philadelphia.
Lastuti, N.D.R., Rantam, F.A., Hastutiek, P.,and Chrismanto,D.2017.Toll Like Re-ceptor (TLRs)
play role in adaptive immu-nity in rabbits immunized by Sarcoptes scabiei proteins.
Budiantono. 2004. Kerugian Ekonomi Akibat Scabies Dan Kesulitan Dalam Pembe-
rantasannya. Denpasar: Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI.
Davis, J. S., McGloughlin, S., Tong, S. Y. C. Walton, S. F., and Currie, B. J. 2013. A Novel
Clinical Grading Scale to Guide the Management of Crusted Scabies. PLoS Neglected Tropical
Disease. 7(9):e2387.
McCarthy, J.S, D.J. Kemp, S.F Walton and B.J., Currie. 2004. Scabies more than just an
irritation. Postgraduate Medical Journal. 80:382-387
Abu-Samra, M.T.,B.E.D. Hago, M.A. Aziz and F.W. Awad. 1981. Sarcoptic mange in sheep in
the Sudan.Annal of Tropical Medicine and Parasitology. 75: 639-645. Percy, D. H.and S. W.
Barthold. 2001. Pathology of laboratory odents and rabbits. Iowa State University Press,
Ames, Iowa. 295.