Anda di halaman 1dari 18

PROPOSAL PENELITIAN

PREVALENSI DAN TINGKAT KEPARAHAN (SARCOPTES SCABIEI) PADA


TERNAK KELINCI DI DESA SAJEN KECAMATAN PACET KABUPATEN
MOJOKERTO

OLEH

VIBBY DLAVISTA MARYES

NIM: 20253252031

PROGRAM STUDI PARAMEDIK VETERINER

JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH

2020
PREVALENSI DAN TINGKAT KEPARAHAN (SARCOPTES SCABIEI) PADA
TERNAK KELINCI DI DESA SAJEN KECAMATAN PACET KABUPATEN
MOJOKERTO

PROPPOSAL

OLEH

VIBBY DLAVISTA MARYES

NIM: 20253252031

MENYETUJUI

KETUA PROGRAM STUDI DOSEN PEMBIMBING

PARAMEDIK VETERINER

Drh.ULVA MOHTA LUTFI,Msi Ir.YULNESRI M,Si

NIP:0024047902 NIP: 196312171989102001

MENGETAHUI

DIREKTUR

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH

Ir.ELVIN HASAMAN,MP

NIP:196306291992031002
PREVALENSI DAN TINGKAT KEPARAHAN (SARCOPTES SCABIEI) PADA
TERNAK KELINCI DI DESA SAJEN KECAMATAN PACET KABUPATEN
MOJOKERTO

OLEH:

VIBBY DALVISTA MARYES

(Dibawah bimbingsn Ir.Yulnesri,M.Si)

RINGKASAN

Kelinci ialah binatang mamalia yang mengunggis (pengerat), mempunyai telinga panjang
dan ekor pendek, rupanya seperti marmut besar. Kelinci adalah hewan mamalia (menyusui)
yang hidup secara berkoloni (berkelompok) dan banyak beraktifitas di malam hari (Noktural).
Kelinci tersebar di berbagai bagian bumi dan jenisnya beraneka ragam. Dahulu kala menurut
sumber yang ada yang ada, kelinci merupakan hewan liar yang hidup di daratan Afrika
hingga ke daratan Eropa. Pada perkembangannya, tahun 1912, kelinci diklasifikasikan dalam
ordo Lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis pika yang
pandai bersiul) dan Leporidae (termasuk di dalamnya jenis kelinci dan terwelu).

Penyakit kudis menular atau scabies adalah penyakit ektoparasit utama yang menyerang
bagian kulit hewan ternak ruminansia (kambing, domba, sapi dll). Skabies terutama
menyerang kambing dan kelinci, serta dapat menular ke manusia (bersifat zoonosis).
Penyakit kudis menular atau skabies ini sangat populer di kalangan peternak hingga
mempunyai banyak nama lain, yaitu; budug, kurap, dan mange.Kejadian kudis menular atau
skabies pada ternak telah tersebar luas diseluruh Indonesia. Penyakit ini umumnya
menyerang ternak pada keadaan kekurangan pakan, musim kemarau dan di lingkungan
kandang yang kotor dan tidak terjaga kebersihanya secara rutin.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat

dan karunia-nya jualah maka proposal penelitian dengan judul “Prevalensi dan tingkat

keparahan (sarcoptes scabiei) pada ternak kelinci di desa sajen kecamatan pacet

kabupaten mojokerto” ini dapat diselesaikan.

Laporan Tugas Akhir ii merupakan salah satu persyaratan untuk meraih gelar

A.Md.Vet pada program studi paraemdik veteriner, Jurusan Budidaya Tanaman Pangan,

Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Isi dari laporan ini merupakn hasil dari analisa

tentang Prevalensi dan tingkat keparahan (sarcoptes scabiei) pada ternak kelinci di desa sajen

kecamatan pacet kabupaten mojokerto. Dengan telah selesainya kegiatan pelaksanaan, ujian

dan penyusun Laporan Tugas Akhir penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Bapak Ir. Elvin Hasman, M.P selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri

Payakumbuh

2. Bapak drh. Ulva Mohta Luthfi, M.Si

3. Ibu Ir. Yulnesri, M.Si selaku Dosen pembimbing yang telah memberi dukungan

selama proses penyusunan Laporan Tugas Akhir ini.

Penulis merasa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam penyajiannya,

maka dari itu penulis menerima masukan dan saran yang membangun dari para

pembaca. Semoga laporan ini bermanfaat bagi para pembaca.

Tanjung Pati,24 Oktober 2020


DAFTAR ISI

RINGKASAN......................................................................................................

KATA PENGANTAR...........................................................................................

I.PENDAHULUAN...................................................................................................

1.1 Latar bekang........................................................................................

1.2 Perumusan masalah ............................................................................

1.3 Tujuan penelitian.................................................................................

II. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................

2.1 Kelinci..............................................................................................

2.2 Prevalensi........................................................................................

2.3 Scabies............................................................................................

2.4 Penularan scabies...........................................................................

2.5 Pengobatan dan pencegahan scabies............................................

III. METODE PENELITIAN..................................................................................

3.1 Waktu dan Tempat..........................................................................

3.2 Bahan dan Alat................................................................................

3.3 Metodo Penelitian...........................................................................

3.4 Pelaksanaan...................................................................................

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................................

V. KESIMPULAN...............................................................................................

IV. DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di indonesia scabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit

tersering.Kematian akibat scabies sering disebabka karena malnutisi.Tingkat hygienedan

sanitasi yang relatif rendah menjadi faktor pemicu terjangkitnya penyakit ini. Kondisi

kandang yang sempit,lembab,dan bedesakan semakin mempermudah penularan penyakit

scabies dari hewan penderita kepada hewan yang sehat (Partosoedjono,2003)

Menurut McCarthy et al. (2004) Sarcoptes scabiei ini ditemukan hampir diseluruh dunia.

Laporan terhadap outbreak atau scabies pada kelinci juga pernah tercatat. Kerugian akibat

matinya ternak penderita scabies sangat bervariasi,tergantung pada faktor predisposisi serta

faktor lainnya yang terlibat. Kematian akibat scabies sering disebabkan karena malnutrisi

(Abu- Samra et al.,1981). Kerugian ekonomi yang timbul akibat scabies berupa: turunnya

produksi (daging, air susu, kulit, wool), turunnya “feed conversion efficiency”, kematian

penderita dan pembelian obat-obatan untuk mengatasi scabies, seperti terutama akarisida,

roborantia seperti vitamin A, mineral dan untuk mengatasi infeksi sekunder seperti anthelmita

1.2 Perumusan masalah

Bagaimana prevalensi dan tingkat (Sarcoptes scabiei) pada ternak kelinci di desa

Sajen Kecematan Pacet Kabupaten Mojokerto.

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui prevalensi dan tigkat (sarcoptes scabiei ) pada ternak kelinci di desa

Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelinci

Kelinci adalah hewan mamalia dari famili Leporidae, yang dapat ditemukan di banyak

bagian bumi. Kelinci berkembangbiak dengan cara beranak yang disebut vivipar. Dulunya,

hewan ini adalah hewan liar yang hidup di Afrika hingga ke daratan Eropa. Pada

perkembangannya, tahun 1912, kelinci diklasifikasikan dalam ordo Lagomorpha. Ordo ini

dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis pika yang pandai bersiul) dan

Leporidae (termasuk di dalamnya jenis kelinci dan terwelu). Asal kata kelinci berasal dari

bahasa Belanda, yaitu konijntje yang berarti "anak kelinci". Hal ini menunjukkan bahwa

masyarakat Nusantara mulai mengenali kelinci saat masa kolonial, padahal di Pulau Sumatra

ada satu spesies asli kelinci sumatera(Nesolagus netscheri) yang baru ditemukan pada tahun

1972.

Klasifikasi kelinci menurut


Wikipedia
Kerajaan: Animalia
Superfilum: Chordata
Filum: Vertebrata
Kelas: Mammalia
Ordo: Lagomorpha
Famili: Leporidae
Gambar 1.Kelinci

Sumber: en.wikipedia.org (2020

2.2. Prevalensi

Prevalensi adalah proporsi dari populasi yang memiliki karakteristik tertentu dalam

jangka waktu tertentu. Dalam dunia kedokteran, karakteristik yang dimaksud meliputi

penyakitatau faktor risiko. Prevalensi umumnya ditentukan dengan cara memilih sampel

secara acak (kelompok kecil) dari seluruh populasi, dengan tujuan sampel yang dipilih dapat

mewakili populasi. Untuk sampel representatif yang sederhana, prevalensi adalah jumlah

orang dalam sampel dengan karakteristik tertentu, dibagi dengan jumlah total orang dalam

sampel. Saat sampel (bukan seluruh populasi) yang digunakan untuk menghasilkan perkiraan

prevalensi, bobot statistik dapat diterapkan untuk menyesuaikan karakteristik sampel dengan

populasi target.

Prevalensi biasanya dinyatakan sebagai persentase (5%, atau 5 orang dari 100), atau sebagai

jumlah kasus per 10.000 atau per 100.000 orang, tergantung seberapa besar penyakit atau

faktor risiko yang terjadi dalam populasi. Ada beberapa cara untuk mengukur dan

melaporkan prevalensi yang bervariasi sesuai dengan kerangka waktu untuk estimasi. Cara
pertama adalah prevalensi titik, yaitu proporsi populasi yang memiliki karakteristik pada titik

waktu tertentu. Cara kedua adalah periode prevalensi yaitu proporsi populasi yang memiliki

karakteristik tertentu dalam periode waktu tertentu. Jangka waktu 12 bulan merupakapan

periode yang umum digunakan. Cara ketiga adalah prevalensi seumur hidup, yaitu proporsi

populasi yang memiliki karakteristik tertentu hingga seumur hidupnya.

Prevalensi berbeda dengan insiden, insiden berhubungan dengan kasus baru yang mengacu

pada frekuensi perkembangan penyakit yang baru dalam suatu populasi dalam periode waktu

tertentu, biasanya dalam satu tahun. Sedangkan prevalensi adalah kasus baru dan kasus lama

yang mengacu pada jumlah orang yang menderita penyakit pada tahun tertentu. Jumlah ini

termasuk semua orang yang mungkin telah didiagnosis pada tahun sebelumnya, serta pada

tahun berjalan.

2.3 Scabies

Scabies merupakan penyakit yang banyak menyerang ternak,bahkan manusia

(Desiandura et al., 2017). Penyakit kudis menular atau scabies adalah penyakit ektoparasit

utama yang menyerang bagian kulit hewan ternak ruminansia (kambing, domba, sapi dll).

Scabies terutama menyerang kambing dan kelinci. Penyakit kudis menular atau scabies ini

sangat populer di kalangan peternak hingga mempunyai banyak nama lain, yaitu; budug,

kurap, dan mange.

Kejadian kudis menular atau scabies pada ternak telah tersebar luas diseluruh

Indonesia. Penyakit ini umumnya menyerang ternak pada keadaan kekurangan pakan, musim

kemarau dan di lingkungan kandang yang kotor dan tidak terjaga kebersihanya secara rutin.
2.4 Penularan scabies

Penularannya dapat terjadi melalui kontak langsung antar hewan penderita bahkan

kontak tidak langsung yaitu melalui peralatan yang terkontaminasi (Eleser et al.,2005).

Umumnya bagian tubuh yang diserang adalah daerah yang sedikit ditumbuhi rambut seperti :

moncong, telinga, dada bagian bawah, perut, pengkal ekor, sepanjang punggung, leher, dan

kaki.

Ternak yang terinfestasi tungau akan merasa gatal dan selalu menggaruk-garuk,

menggosok-gosokkan atau menggigit-gigit bagian tubuhnya yang teriritasi sehingga terjadi

luka dan lecet. Dalam keadaan parah maka seluruh tubuh dapat terserang, kulit meradang dan

mengeluarkan cairan membentuk kerak pada permukaan kulit.

Kulit penderita skabies akan mengeras, menebal dan melipat-lipat. Pada tempat-

tempat tersebut biasanya rambutnya rontok sehingga terjadi Kerontokan bulu atau

kegundulan.Diagnosis skabies berdasarkan gejala klinis dan melakukan pemeriksaan

mikroskopik pada kerokan kulit penderita

2.5 Pengobatan dan pencgahan scabies

Pengobatan dapat dilakukan dengan cara:

1. Mencampur minyak kelapa dan asuntol (10 : 1) lalu digosokkan 2-3 kali selang waktu 3

hari.

2. Coumaphos (asuntol) dalam bentuk salep 2% pada vaselin dapat diberikan sekali

seminggu selama 3 minggu berturut-turut atau dalam bentuk cairan 0,1% disemprot atau

direndam atau dilapkan pada permukaan kulit hingga basah.


3. Benzoas bensilikus 10% dapat dioleskan pada luka.

4. Injeksi Ivermectin olehDokterHewanPuskeswansetempat.

Pencegahan penyakit skabies yang dapat dilakukan oleh peternak secara mandiri

adalah:

1. Menjaga sanitasi kandang dan pemberian pakan yang baik.

2. Kambing yang baru didatangkan harus diisolasi (jangan langsung dicampur) selama

beberapa minggu sampai diketahui tidak terserang kudis.

3. Hewan tertular diasingkan sampai sembuh.

4. Kandang ternak tercemar dan benda-benda lainnya dibersihkan menggunakan acarisida,

dan sebaiknya tidak digunakan selama beberapa bulan.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan dipeternakan breeding kelinci yang terletak di Desa

Sajen,Kecamatan Pacet,Kabupaten Mojokerto serta pemeriksaan sampel dilakukandi

laboratorium Entomologi dan ProtozoologiDepartemen Parasitologi Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Airlangga pada bulanSeptember hingga Desember2017.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sarung tangan,obat antiseptik

(alkohol70%), kapas,cawan petri,scalpel,pipet atau spuit disposable,obyek glass,cover

glass,mikroskop. Bahan pada penelitian ini berupa sampel hasil skraping atau kerokan kulit

ditambah KOH 10% untuk melarutkan kerak-kerak.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan ekplorasi laboratoris yang

selanjutnya akan diuji menggunakan metode chi-square dan korespondensi.Data yang

diperoleh akan diolah dengan program SPSS.Sampel penelitian yang digunakan berupa

kelinci yang menunjukkan gejala klinis terinfeksi scabies dan hasil scraping atau kerokan

kulit Besarsample dihitung dari jumlah kelinci yang menunjukkan gejala klinis scabies dan

positif scabies melalui pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya tungauS

arcoptes scabiei.

Perhitungan prevalensi scabies pada ternak kelinci ini menggunakan rumus prevalencerate.

Tingkat keparahan dari masing-masing kelinci yang terduga menderita scabies,harus


dilakukan pemeriksaan secara langsung pada setiap ekor kelinci yang menunjukkan gejala

klinis scabies berupa krusta dan alopecia pada beberapa regio tubuh.

Regio tubuh Gejala klinis Skor Tingkat keparahan


Regio wajah 1.1 Terdapat alopecia 1
(mulut,hidung,mata ringan (0-1 cm)
dan telinga) 1.2 Terdapat alopecia
berat (>1 cm) 2 Ringan
1.3 Tedapat perlukaan
(krusta)
3
Regio kaki (kaki 2.1 Terdapat 4
depan dan kaki alopecia ringan
belakang) (0-1cm)
2.2 Terdapat
alopecia berat 5 Sedang
(>1cm)
2.3 Terdapat
perlukaan 6
(krusta)
Regio badan (pada 3.1 terdapat alopecia 7
area selain wajah dan ringan (0-1cm)
kaki) 3.2 Tedapat alopecia 8 Berat
berat (>1 cm)
3.3 Terdapat perlukaan 9
(perlukaan)

Gambar 2. Kelinci dengan tingkat keparahan scabies ringan

Sumber: en.wikipedia.org (2020)


Gambar 3. Kelinci dengan tingkat keparahan scabies sedang

Sumber: en.wikipedia.org (2020)

3.4 Pelaksanaan

Penelitian ini telah dilakukan dipeternakan breeding kelinci yang terletak di Desa

Sajen,Kecamatan Pacet,Kabupaten Mojokerto serta pemeriksaan sampel dilakukandi

laboratorium Entomologi dan ProtozoologiDepartemen Parasitologi Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Airlangga pada bulanSeptember hingga Desember2017.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sarung tangan,obat antiseptik (alkohol70%),

kapas,cawan petri,scalpel,pipet atau spuit disposable,obyek glass,cover glass,mikroskop.

Bahan pada penelitian ini berupa sampel hasil skraping atau kerokan kulit ditambah KOH

10% untuk melarutkan kerak-kerak.

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan ekplorasi laboratoris yang

selanjutnya akan diuji menggunakan metode chi-square dan korespondensi.Data yang

diperoleh akan diolah dengan program SPSS.Sampel penelitian yang digunakan berupa

kelinci yang menunjukkan gejala klinis terinfeksi scabies dan hasil scraping atau kerokan

kulit Besarsample dihitung dari jumlah kelinci yang menunjukkan gejala klinis scabies dan

positif scabies melalui pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya tungauS

arcoptes scabiei.
Perhitungan prevalensi scabies pada ternak kelinci ini menggunakan rumus prevalencerate.

Tingkat keparahan dari masing-masing kelinci yang terduga menderita scabies,harus

dilakukan pemeriksaan secara langsung pada setiap ekor kelinci yang menunjukkan gejala

klinis scabies berupa krusta dan alopecia pada beberapa regio tubuh.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis yang mengacu pada angka prevalensi menunjukan bahwa data kejadian
scabies di Desa Sajen, Kecematan pacet, cukup rendah. Hal ini dikarenakan beberapa faktor
penyebab terjadi scabies yang cukup beragam.

Pengamatan secara langsung yang dilakukan oleh peneliti menunjukan bahwa faktor
kandang yang meliputi sanitasi/ kebersihan, jenis serta letak menjadi faktor utama
terjadinya scabies. Kandang dengan jenis individu atau terdapat 1-2 kelinci dalam satu
kandang dan berjarak dekat pada masing-masing kelinci akan menyebabkan mudah
tertularnya hewan sakit ke sehat. Letak kandang yang secara tidak langsung berhadapan
dengan sinar matahari juga menjadi faktor tinggi atau rendahnya kejadian scabies. Pada
peternakan kelinci ini didapatkan bahwa letak kandang yang terkena sinar matahari secara
tidak langsung akan mengakibatkan rendahnya kejadian scabies dikarenakan kondisi
kandang yang tidak lembab serta bersih.Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Jensen
dan Swift (2006), sanitasi kandang dan lingkungan yang kurang baik jugadiduga menjadi
factor utama penularan penyakit scabies. Kandang terlihat kurang mendapat sinar matahari,
akibat keadaan kandang lembab.Tempat yanglembab dapat menyebabkan tungau dapat
bertahan hidup lebih dari 30hari.Menurut Budiantono(2004),kejadian scabies pada ternak
telah tersebar luas diseluruh Indonesia, terutama pada keadaan kekurangan pakan dan di
lingkungan kandang yang kotor dengan prevalensi4-11%. Berdasarkan gejala klinis yang
mencirikan scabies berupa alopecia dan krusta,maka dapat dinilai tingkat keparahan
scabies.Penentuan tingkat keparahan scabies berdasarkan hasil skoring/penilaian scabies
menurut Davis et.al(2013) dari beberapa komponen seperti distribusi dan luas
krusta,ketebalan krusta,riwayat kejadian penyakit,dan kondisi kulit sertapres-entase krusta
scabies.Pembagian atas beberapa regio tubuh juga menjadi dasar pengelompokkan tingkat
keparahans cabies.Pembagian beberapa region pada tubuh kelinci meliputi region wajah,
kaki, dan badan. Menurut Percy dan Barthold (2001) pada lagomorpha sejenis kelompok ke-
linci,tidak umum terjadi infeksi S.scabiei (juga dikenal sebagai kudis) dan kudis tersebut
menunjukkan pengaruh pada bagian wajah,hidung,bibir,dan genital eksternal.Pada
penelitian ini tidak didapatkan hasil tingkat keparahan berat,hal ini bias dikaitkan pada
pengamatan secara langsung terhadap faktor-faktor penyebab scabies.Peternakan kelinci
pada penelitian ini tergolong bersih dan dengan manajemen yang baik.Ternak kelinci yang
terdiagnosa atau menunjukkan gejala klinis scabies dalam waktu 1-3 hari berikutnya diberi
obat melalui injeksi ivermectin sesuai dosis. Sehingga jarang ditemukan ternak kelinci
dengan kondisi tingkat keparahan yang berat. Menurut Colville(2000),pada kasus dengan
tingkat keparahan berat dapat terlihat gejala klinis yang lain yaitu hewan akan menggesek-
gesekkan daerah yang gatal ketiang kandangatau pohon-pohon,menggaruk-garuk atau
mencakar dan menggigit kulitnya secara terus-menerus.

BAB V
5.1 Kesimpulan

Angka prevalensi scabies pada ternak kelinci diDesa Sajen,Kecamatan Pacet,Kabupaten


Mojokerto adalah sebesar 17,27%. Tingkat keparahan scabies pada ternak kelinci diDesa
Sajen, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto terbagi atas 2 yaitu tingkat keparahan ringan
dan sedang.Tingkat keparahan ringan terlihat gejala klinis berupa alopecia dan krusta pada
regio wajahs edangkan keparahan sedang terlihat gejala klinis berupa alopecia dan krusta
pada regio wajah dan kaki. Tingkat keparahan ringans ebesar26,32% dan sedang
sebesar73,68%.

5.2 Saran

Saran yang dapat disampaikan pada penelitian ini adalah diharapkan pada penelitian
selanjutnya perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian perbandingan pada manusia
untuk mengamati hasil prevalensi pada ternak kelinci.

DAFTAR PUSTAKA
Jensen, R. and B.L.Swift. 2006. Disease of Sheep. 2 years Eds. Lea & Febiger.Philadelphia.
Lastuti, N.D.R., Rantam, F.A., Hastutiek, P.,and Chrismanto,D.2017.Toll Like Re-ceptor (TLRs)
play role in adaptive immu-nity in rabbits immunized by Sarcoptes scabiei proteins.

Budiantono. 2004. Kerugian Ekonomi Akibat Scabies Dan Kesulitan Dalam Pembe-
rantasannya. Denpasar: Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI.

Davis, J. S., McGloughlin, S., Tong, S. Y. C. Walton, S. F., and Currie, B. J. 2013. A Novel
Clinical Grading Scale to Guide the Management of Crusted Scabies. PLoS Neglected Tropical
Disease. 7(9):e2387.

Partosoedjono, S. 2003. Scabies dan Kualitas Sanitasi Masyarakat. Kompas, Jumat, 05


September 2003. 65-70.

McCarthy, J.S, D.J. Kemp, S.F Walton and B.J., Currie. 2004. Scabies more than just an
irritation. Postgraduate Medical Journal. 80:382-387

Abu-Samra, M.T.,B.E.D. Hago, M.A. Aziz and F.W. Awad. 1981. Sarcoptic mange in sheep in
the Sudan.Annal of Tropical Medicine and Parasitology. 75: 639-645. Percy, D. H.and S. W.
Barthold. 2001. Pathology of laboratory odents and rabbits. Iowa State University Press,
Ames, Iowa. 295.

Anda mungkin juga menyukai