Anda di halaman 1dari 2

NAMA : PUTRI DELEVENSIA BATLAJERY

“Sepakbola Sebagai Bentuk Rekonsiliasi Perdamaian Suatu Kajian Pastoral


Transformatif”

 Pendahuluan: Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki banyak perbedaan


atau multikultur. Perbedaan yang muncul, diantaranya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, adat,
maupun golongan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan memanglah suatu keunikan namun
perbedaan juga menjadi pemicu adanya konflik baik antar individu,kelompok maupun golongan.
Salah satu catatan sejarah tentang konflik besar yang pernah terjadi di Indonesia adalah konflik
di Maluku pada tahun 1999—2002. Konflik Maluku bukanlah sesuatu yang sifatnya rahasia atau
yang mengetahui hal tersebut hanyalah beberapa oknum maupun orang-orang tertentu saja,
namun sejarah telah membuat sehingga secara universal semua oknum telah mengetahui hal
tersebut. Konflik Maluku saat itu terjadi karena adanya perbedaan antara penganut agama Islam
dan agama Kristen yang dipicu oleh sentimen dan provokasi golongan tertentu yang
memanfaatkan keberagaman masyarakat di Maluku. Konflik membuat kedua kubu saling serang
dan menimbulkan peperangan yang tidak dapat dihindari. Peperangan yang terjadi
mengakibatkan korban yang sangat banyak berjatuhan, bukan hanya manusia yang menjadi
korban tetapi fasilitas antar agamapun dilenyapkan seperti Mesjid maupun Gereja lenyap dibakar
habis. Dari konflik yang terjadi timbullah rasa trauma dari sebagaian orang yang terlibat secara
langsung dalam konflik tersebut. Akan tetapi ada pula berbagai macam cara dan kebiasaan yang
memiliki nilai apresiatif sebagai upaya pemulihan trauma pascakonflik. Salah satunya melalui
olahraga sepakbola.
 Memaknai Sepakbola sebagai jemabatan Rekonsiliasi: Terlepas dari sejarah dan
perkembangan sepakbola dunia di kancah internasional, kita dapat berkaca dari film Cahaya Dari
Timur garapan Angga Dwimas Sasongko yang bertolak dari kisah nyata sepakbola dari Maluku.
Dalam film ini digambarkan bahwa sepak bola menjadi hal yang muncul, bahkan dapat tetap
hidup di tengah-tengah konflik. Kondisi ini menggambarkan bahwa masyarakat Maluku pada
umumnya memang lekat dengan sepakbola. Sepakbola dapat dikatakan sebagai penyatu
perbedaan yang mana dalam Film Cahaya Dari Timur memperlihatkan bahwa agama merupakan
suatu akar dari timbulnya konflik berubah menjadi sesuatu yang menyatuhkan, ketika bola
dimainkan dalam satu lapangan yang sama dengan seseorang yang berbeda keyakinan tidak
dipedulikan dia dari agama mana yang terpenting adalah kita adalah sebuah tim yang harus
bekerjasama dan juga berjuang bersama demi mencapai satu tujuan yang sama. Dengan begitu
trauma tentang konflik berangsur-angsur membaik dan pulih, bukan saja dari orang-orang yang
sedang bermain bola secara bersama dalam lapangan tetapi semua masyarakat Maluku, seketika
senyuman manis terpancar ketika sepakbola timnas Maluku mampu menjuarai pertandingan final
Piala Medco U-15 antara Maluku melawan DKI Jakarta yang harus diselesaikan lewat adu
penalti itu.
 Pandangan Para Ahli: Maraknya persoalan kekerasan dan konflik yang terjadi dalam
masyarakat seperti yang telah dibahas di bagian awal menjadikan rekonsiliasi sebagai salah satu
paradigma misi yang penting hingga saat ini. Rekonsiliasi sebagai model misi pada mulanya
diusulkan oleh Robert Schreiter pada konferensi SEDOS tahun 1981.1 Stephen Bevans dan Roger
Schoreder menglasifikasikan rekonsiliasi sebagai model misi dalam empat level yang berbeda.

1
Stephen B. Bevans and Roger P. Schroeder, Constants in Context: A Theology of Mission for Today (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 2004), Hal.390
Level pertama adalah rekonsiliasi pada level personal. Pelayanan rekonsiliasi pada level ini dapat
dilakukan dengan mediasi, terapi kepada korban, dan pelayanan pastoral. Level kedua adalah
rekonsiliasi pada level kultural. Kekerasan dan konflik dapat terjadi antara kelompok masyarakat
ketika identitas kulturalnya tidak dihargai. Rekonsiliasi pada kasus-kasus tersebut dapat
dilakukan dengan pelayanan melalui kehadiran gereja, serta memberi banyak waktu untuk
mendengarkan dan mendapatan kepercayaan dari kelompok yang bertikai. Level ketiga adalah
rekonsiliasi pada level politik. Contoh rekonsiliasi pada level ini adalah perdamaian nasional
yang pernah diprakarsai oleh Nelson Mandela dan Desmon Tutu di Afrika Selatan. Level
keempat adalah rekonsiliasi di dalam gereja.2
Di dalam Perjanjian Baru, perdamaian (reconciliation), khususnya dalam surat-suratnya kepada
jemaat di Roma dan Korintus, Paulus menggunakan kata kerja katallasso, yang terdapat dalam
Roma 5:10; I Korintus 7:11; 2 Korintus 5:18–20. Menurut Marshall, sebagaimana yang dikutip
oleh Yusak Tridarmanto, dikatakan bahwa satu-satunya alasan mengapa Paulus menggunakan
konsep rekonsiliasi adalah untuk mempertajam dan menggarisbawahi konsep pembenaran. Oleh
karena itu konsep tentang rekonsiliasi tidak terlalu memiliki peranan penting dalam keseluruhan
teologi Paulus. Namun pendapat ini bertentangan dengan banyak penafsir yang menyatakan
bahwa walaupun dari segi jumlah memang sangat terbatas, kurang lebih hanya sekitar enam kali,
tetapi istilah rekonsiliasi benar-benar istilah yang sangat menentukan dan mempunyai makna
begitu penting di dalam keseluruhan teologi Paulus. Katallasso dan kata bendanya, kattalage,
memberikan gambaran teologis dan Kristologis atas diri Kristus dan pekerjaanNya secara lebih
tepat dibandingkan dengan konsep-konsep sotereologi dalam Injil-Injil Sinoptis dan Kisah Para
Rasul. Sotereologi merupakan pokok masalah besar dalam penulisan Rasul Paulus di mana
konsep rekonsiliasi merupakan istilah kunci.3

 Tawaran Teologi: Tawaran Teologi, berupa Teologi Rekonsiliasi yang mana untuk
memulihkan hubungan yang awalnya baik-baik saja menjadi rentan dan kembali seperti semula.
Semacam mediasi untuk menyelesaikan suatu perbedaan pendapat yang menajdikan salah paham
antara keduabelah pihak individu maupun kelompok. Masalah pada lingkup GPM bukan hanya
terjadi pada jemaat-jemaat saja namun sering terjadi masalah antar agama yang mana secara
realitas yang terjadi masyarakat kristiani hidup berdampingan dengan masyarakat muslim dan
tidak bisa dipungkiri bahwa konflik sangat rentan terjadi kapanpun itu.
Daftar Pustaka
Stephen B. Bevans & Roger P, 2004. Schroeder, Constants in Context: A Theology of
Mission for Today (Maryknoll, NY: Orbis Books,).
Yusak Tridarmanto, 2016, “Perdamaian dan Rekonsiliasi”, dalam buku, Perempuan
Konflik dan Rekonsiliasi, Perspektif Teologi dan Praksis, Basilica Dyah Putranti & Asnath Niwa
Natar, eds. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,).

2
Ibid, Hal.392
3
Yusak Tridarmanto, “Perdamaian dan Rekonsiliasi”, dalam buku, Perempuan Konflik dan Rekonsiliasi, Perspektif
Teologi dan Praksis, Basilica Dyah Putranti & Asnath Niwa Natar, eds. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), Hal.14-
15

Anda mungkin juga menyukai