Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Malaria adalah penyakit tropis dan subtropis yang disebabkan oleh protozoa darah
genus Plasmodium yang ditularkan oleh gigitan nyamuk anopheles yang terinfeksi.
Menurut WHO, malaria telah membunuh 627.000 orang pada tahun 2020, angka
kematian tersebut meningkat sebesar 12% dibandingkan tahun 2019, yang disebabkan
oleh gangguan layanan akibat pandemi COVID-19. Khususnya, 77% kematian akibat
malaria pada tahun 2020 adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun. Pada tahun yang sama,
11,6 juta wanita hamil didiagnosis menderita infeksi malaria, sehingga mengakibatkan
819.000 anak dengan berat badan lahir rendah.
Penyakit malaria melibatkan agen parasit, manusia sebagai inang, dan nyamuk
sebagai vektor yang semua itu dipengaruhi oleh berbagai faktor baik itu faktor
lingkungan, faktor sosial, faktor ekonomi, dan perilaku dari penduduk emdemik malaria.
Sehingga, keberhasilan pengendalian vektor malaria bergantung pada perbaikan faktor-
faktor di atas.
Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing.
Infeksi cacing parasit masih menjadi tantangan besar bagi kesehatan global. Kecacingan
jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat mempengaruhi
kualitas hidup penderitanya. Kecacingan dapat menyebabkan penurunan kondisi
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas sehingga menurunkan kualitas sumber daya
manusia. Penderitanya.
Untuk menentukan diagnosis pasti infeksi cacing maupun malaria diperlukan
pemeriksaan laboratorik untuk menemukan parasit dan stadiumnya. Agar pengamatan
bentuk parasit; Plasmodium Falciparum, P. Vivax, P. Knowlesi, Clonorchis sinensis,
Trichinella spiralis, dan Anisarkis dalam fase tertentu menggunakan mikroskop
memuaskan, maka selain kemampuan untuk mengenal morfologi parasit dengan benar,
bahan-bahan untuk pengamatan hendaknya tersedia dalam keadaan yang baik, dan parasit
dalam keadaan utuh, tidak rusak dan dalam jumlah yang cukup sehingga mudah
ditemukan dalam pemeriksaan.
B. Tujuan

1. Mengetahui anatomi dan fungsi dari mikroskop, kegunaan immersion oil, dan lensa
pembesaran mikroskop,
2. Dapat menggunakan mikroskop dengan baik dan benar
3. Mengidentifikasi parasit Plasmodium Falciparum,
4. Mengidentifikasi parasit Plasmodium Vivax,
5. Mengidentifikasi parasit Plasmodium Knowlesi,
6. Mengidentifikasi parasit Clonorchis sinensis,
7. Mengidentifikasi parasit Trichinella spiralis,
8. Mengidentifikasi parasit Anisarkis.
BAB II

DASAR TEORI

A. Pengertian Malaria
Malaria adalah penyakit tropis dan subtropis yang disebabkan oleh protozoa darah
genus Plasmodium yang ditularkan oleh gigitan nyamuk anopheles yang terinfeksi.
Malaria yang menyerang manusia disebabkan oleh lima spesies dari genus Plasmodium;
Plasmodium vivax, P. falciparum, P. malariae, P. ovale dan P. Knowlesi, meskipun P.
falciparum bertanggung jawab atas sebagian besar kematian terkait malaria.
1. Plasmodium Falciparum
P. falciparum merupakan parasit malaria yang paling ganas pada manusia.
Jenis malaria ini dapat menyebabkan anemia berat, gagal ginjal, syok, edema paru,
perdarahan spontan dan kejang-kejang.
2. Plasmodium Vivax
Infeksi Plasmodium vivax ditandai dengan gejala deman setiap 48 jam.
Spesies ini tersebar di wilayah subtropis seperti Rusia, dan tropis seperti di Indonesia.
3. Plasmodium Knowlesi
Plasmodium knowlesi kini dianggap sebagai parasit malaria kelima yang
menyebabkan malaria pada manusia karena tersebar luas di negara Asia Tenggara.
Parasit ini ditularkan dari inang kera ke manusia melalui vektor Anopheles. Sebagian
besar kasus Plasmodium knowlesi adalah ringan dengan parasitemia rendah. Namun,
di daerah yang sangat endemis, infeksi P. knowlesi yang parah dapat berakibat fatal.

B. Faktor Risiko Malaria

Sering aktivitas di malam hari tanpa memakai obat anti nyamuk, kondisi lingkungan
yang mendukung kembang biak nyamuk seperti genangan air dan tumpukan sampah,
serta pengelolaan limbah cair yang tidak tepat.

C. Gejala Malaria

Gejala umum malaria dapat ditandai dengan demam yang periodik dengan keluhan
sakit kepala, nyeri, tulang dan otot, diare, sakit perut, dan mengigil. Gejala lain yaitu
pembesaran limpa dan anemia akibat penghancuran sel darah merah berlebih oleh parasit
malaria.
D. Pengendalian Malaria

Infeksi malaria dapat dikendalikan dengan mengurangi kontak dengan vektor parasit
malaria. Hal yang dapat dilakukan adalah memakai kelambu tidur, memakai baju lengan
panjang Ketika di luar rumah, menghindari genangan air karena genangan air menjadi
tempat perkembangbiakan nyamuk, dan melakukan fogging dengan insektisida

E. Pengertian Kecacingan

Infeksi cacing atau yang disebut dengan helminthiasis adalah infestasi satu atau lebih
cacing parasit pada tubuh manusia. Berdasarkan data WHO pada tahun 2021, lebih dari
1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths
(STH). Adapun contoh spesies cacing yang dapat menginfeksi tubuh manusia
diantaranya:
1. Clonorchis Sinensis
Clonorchis sinensis (C. sinensis) adalah parasit yang ditularkan melalui
makanan dan bersifat zoonosis yang menyebabkan clonorchiasis. Manusia dan hewan
dapat tertular parasite ini melalui konsumsi ikan mentah atau setengah mentah.
Morbiditas infeksi Clonorchis sinensis sangat erat kaitannya dengan jumlah cacing
dalam tubuh yang biasanya ditunjukkan dengan banyaknya telur dalam tinja melalui
pemeriksaan mikroskopis.
2. Trichinella spiralis
Nematoda parasit Trichinella spiralis merupakan sebuah patogen otot rangka
intraseluler yang menginfeksi banyak mamalia di seluruh dunia termasuk manusia.
Trichinella spiralis dapat menyebabkan penyakit zoonosis trichinellosis yang
ditularkan melalui konsumsi daging mentah atau kurang matang dari banyak hewan,
dan bahkan burung.
3. Anisakis
Anisakidae adalah nematoda parasit yang umum pada ikan laut yang tersebar
di seluruh dunia. Larva ini dapat menginfeksi manusia setelah memakan ikan mentah
atau setengah matang.

F. Faktor Risiko Kecacingan

Faktor yang menyebabkan manusia dapat terinfeksi cacing adalah sanitasi dan
personal hygiene yang buruk, memakan daging atau ikan secara mentah atau serengah
matang, dan kontaminasi pada makanan dan minuman.
G. Gejala Kecacingan

Gejala yang ditimbulkan akibat kecacingan dalah diare, mual, dan sakit perut. Tanda
dan gejala tersebut dapat memberikan efek lain seperti penurunan status gizi, nafsu
makan, dan pendarahan usus yang berakibat pada terjadinya anemia.

H. Pengendalian Kecacingan

Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kecacingan yaitu memperbaiki sanitasi
lingkungan dan kebersihan diri, makan makanan yang matang dan bersih, selalu cuci
tangan sebelum makan dan setelah melakukan aktivitas.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan

a. Alat
1. Mikroskop

Bagian Mikroskop Kegunaan


Lensa Okuler Lensa yang terdapat di bagian ujung atas tabung, pengamat
melihat objek melalui lensa ini. Lensa okuler berfungsi
untuk memperbesar kembali bayangan dari lensa objektif.
Lensa okuler memiliki perbesaran 6, 10, atau 12 kali.
Lensa Objektif Lensa yang dekat dengan objek dengan perbesaran 10, 40,
atau 100 kali.
Revolver Tempat lensa objektif yang akan digunakan
Kondensor Bagian yang dapat diputar naik turun yang berfungsi untuk
mengumpulkan cahaya yang dipantulkan oleh cermin dan
memusatkannya ke objek
Diafragma Berfungsi untuk mengatur banyak sedikitnya cahaya yang
masuk dan mengenai preparat.
Cermin/lampu Berfungsi untuk menerima dan mengarahkan cahaya yang
diterima. Cermin mengarahkan cahaya dengan cara
memantulkan cahaya tersebut.
Tabung Mikroskop Berfungsi untuk menghubungkan lensa objekti dan lensa
okuler mikroskop.
Lengan Mikroskop Berfungsi untuk tempat pengamat memegang mikroskop.
Meja Benda Berfungsi untuk tempat menempatkan objek yang akan
diamati, pada meja benda terdapat penjepit objek, yang
menjaga objek tetap ditempat yang diinginkan.
Makrometer Berfungsi untuk menaikkan atau menurunkan tabung secara
(pemutar kasar), cepat untuk pengaturan mendapatkan kejelasan dari
gambaran objek yang diinginkan.
Mikrometer Berfungsi untuk menaikkan atau menurunkan tabung secara
(pemutar halus), lambat untuk pengaturan mendapatkan kejelasan dari
gambaran objek yang diinginkan.
Kaki Mikroskop, Berfungsi sebagai penyangga yang menjaga mikroskop
tetap pada tempat yang diinginkan, dan juga untuk tempat
memegang mikroskop saat mikroskop hendak dipindahkan.
Lensa Objektif 100× perbesaran total
perbesaran 10×10
lensa okuler
Lensa Objektif 400× perbesaran total
perbesaran 40×10
lensa okuler
Lensa Objektif 1000× perbesaran total
perbesaran 100×10
lensa okuler

b. Bahan
1. Immersion oil (minyak emersi)

Saat menggunakan lensa objektif pengamat harus mengoleskan minyak emersi


ke bagian objek, minyak emersi ini berfungsi sebagai pelumas dan untuk
memperjelas bayangan benda, karena saat perbesaran 100 kali, letak lensa dengan
objek yang diamati sangat dekat, bahkan bersentuhan.
2. Preparat

Spesimen Plasmodium Falciparum, Plasmodium Vivax, Plasmodium


Knowlesi, Clonorchis sinensis, Trichinella spiralis, dan Anisakis.

B. Prosedur

1. Siapkan mikroskop yang akan digunakan dan letakkan pada permukaan datar dan
stabil.
2. Siapkan preparat yang akan diamati.
3. Atur diafragma untuk mendapatkan cahaya yang terang.
4. Letakkan dan jepit preparat yang berisi spesimen yang akan diamati pada meja benda.
Atur bagian yang akan diamati tepat di tengah lubang meja. Kemudian, jepitlah
preparat itu dengan penjepit objek.
5. Untuk memperoleh perbesaran kuat gantilah lensa objektif dengan ukuran dari 10 x,
40 x, atau 100 x dengan cara memutar revolver hingga bunyi klik.
6. Putar pemutar kasar (makrometer) secara perlahan sambil dilihat dari lensa okuler.
Pemutaran dengan makrometer dilakukan sampai lensa objektif berada pada posisi
terdekat dengan meja preparat.
7. Lanjutkan dengan memutar pemutar halus (mikrometer), untuk memperjelas
bayangan objek.
8. Berikan immersion oil pada pembesaran 100×10 untuk mempejelas objek yang
diamati.
9. Periksa dan sesuaikan pencahayaan untuk meningkatkan kontras dan kualitas gambar.
10. Jika objek pengamatan sudah jelas, lakukan dokumentasi.
11. Setelah selesai menggunakan mikroskop, bersihkan mikroskop dan simpan pada
tempat penyimpanan.
C. Hasil dan Pembahasan
a. Plasmodium Falciparum

Penularan malaria dari manusia ke vektor nyamuk memerlukan adanya


gametosit dewasa yang menular dalam darah manusia. Perkembangan gametosit P.
falciparum berlangsung dalam lima tahap dalam waktu 10 hingga 12 hari. Gametosit
tahap I dan tahap awal II hampir berbentuk lingkaran dan secara morfologi mirip
dengan trofozoit. Tahap pertama gametosit yang secara morfologis dapat kita
identifikasi dari trofozoit adalah tahap akhir II. Gametosit stadium akhir III dan
stadium IV berbentuk memanjang dan berbentuk gelendong. Stadium V berbentuk
bulan sabit (falciform dalam bahasa Latin). Rata-rata waktu sirkulasi gametosit P.
falciparum dalam aliran darah berkisar antara 3,4 hingga 6,4 hari.
b. Plasmodium Vivax

Gametositogenesis dapat dimulai dengan generasi pertama merozoit P. vivax


dengan waktu hampir 48 jam. Akibatnya, gametosit dapat muncul dalam waktu tiga
hari setelah perjumpaan parasit aseksual pertama. Semua tahap perkembangan
gametosit tetap berada dalam sirkulasi darah. Sel darah merah yang terinfeksi menjadi
bengkak dan lebih fleksibel sehingga dapat melintasi kapiler kecil, sehingga
mengurangi kemungkinan pembersihan limpa. Gametosit P. vivax berukuran besar
dan berbentuk bulat hingga lonjong yang menempati hampir seluruh ruang sel darah
merah yang bengkak dan berbintik. Gametosit matang dalam aliran darah harus
melewati mikrovaskular untuk mencapai dermis sehingga nyamuk dapat
mengambilnya saat menghisap darah. Fenomena ini merupakan komponen penting
dalam penularan pada manusia.
c. Plasmodium Knowlesi

Reservoir alami Plasmodium knowlesi adalah kera ekor panjang, kera ekor
babi dan monyet daun berpita. Masa inkubasi P. knowlesi berlangsung sekitar 10 hari.
Siklus aseksual berlangsung selama 9-10 hari. Siklus eksoeritrosit berlangsung selama
kurang lebih 5 hari dan tidak membentuk hipnozoit. Pembentukan gametosit terjadi
setelah beberapa kali siklus aseksual terjadi selama 48 jam. Selama berada di dalam
tubuh manusia Sebagian besar kasus Plasmodium knowlesi adalah ringan dengan
parasitemia rendah. Namun, di daerah yang sangat endemis, infeksi P. knowlesi yang
parah dapat berakibat fatal. Diagnosis P. knowlesi pada darah dengan mikroskop
dapat terjadi kesalahan diagnosis terutama di daerah non endemik. Karena morfologi
trofozoit tahap awal dan akhir P. knowlesi mirip dengan P. falciparum dan P. malariae.

Populasi berisiko terkena penyakit malaria yaitu anak-anak dan wanita hamil yang
memiliki prevalensi gametosit submikroskopis yang lebih tinggi. Faktor penyebab
malaria di Indonesia terdiri dari faktor perilaku seperti aktivitas malam hari, penggunaan
obat anti nyamuk dan penggunaan kelambu, faktor lingkungan fisik seperti tempat
tinggal, keberadaan kandang ternak, keberadaan semak-semak, keberadaan kebun berair,
suhu, kelembaban, keberadaan kawat pada ventilasi, keadaan langit langit tempat tinggal,
dan kerapatan dinding rumah.
d. Clonorchis sinensis

Trichinella spiralis memiliki tiga fase pertumbuhan yaitu dewasa, larva baru
lahir, dan larva otot. Telur dimakan hospes perantara 1 (keong air/siput) dan
berkembang menetas menjadi mirasidium lalu berubah menjadi sporokista,
berkembang menjadi redia dan berkembang menjadi serkaria, keluar dari hospes
perantara 1, serkaria yang motil berenang bebas di air kemudian masuk ke hospes
perantara 2 (ikan) menjadi metaserkaria di dalam hospes perantara 2 ikan dimakan
manusia, ekskistasi dalam duodenum, kemudian larva masuk usus dua belas jari, dan
masuk saluran empedu kemudian menjadi cacing hati dewasa.
Clonorchis sinensis dapat menyebabkan penderitanya mengalami diare,
penyakit kuning, gangguan hati dan saluran empedu, serta gangguan pertumbuhan.
Clonorchis sinensis bersifat karsinogen, penyebab kanker saluran empedu pada
manusia. Gejala yang ditimbulkan apabila manusia terinfeksi Trichinella spiralis
diantaranya sakit kepala, demam menggigil, dan keringat berlebih. Gejala yang paling
umum adalah edema pada wajah dan periorbital serta mialgia/nyeri otot.
e. Trichinella spiralis

Siklus hidup T. spiralis terjadi pada inang individu, yang meliputi larva
infektif usus (IIL), cacing dewasa (AW), larva baru lahir (NBL) dan larva otot. Larva
otot hidup secara intraseluler di dalam otot rangka. Setelah daging yang
terkontaminasi tertelan, larva dilepaskan di perut dan diaktifkan menjadi larva infektif
usus dengan rangsangan isi usus atau empedu. Setelah empat kali ganti kulit, larva
infektif usus berkembang menjadi cacing dewasa yang menghuni mukosa usus, larva
baru lahir yang disimpan bermigrasi ke jaringan otot melalui pembuluh limfatik atau
aliran darah untuk dienkapsulasi. Epitel usus, tempat interaksi sebelumnya antara
parasit usus dan inang, merupakan penghalang alami pertama inang terhadap infeksi
Trichinella. Oleh karena itu, karakterisasi molekul invasi terkait larva infektif usus
akan membantu untuk memahami mekanisme invasi epitel enteral oleh T. spiralis
Produk yang disekresikan Trichinella spiralis memainkan peran penting dalam invasi
larva pada epitel enteral, seperti membentuk parasitisme dan menghindari respon
imun inang.
f. Anisakis

Sikuls hidup anisakis dimulai dari telur di air. Larva stadium kedua akan
ditelan oleh hospes perantara 1, lalu berkembang menjadi larva stadium ketiga awal.
Bila hospes perantara ini dimakan oleh hospes perantara 2 di dalam tubuhnya larva
berkembang menjadi larva stadium ketiga lanjut. Parasit yang masuk ke tubuh
manusia adalah larva stadium ketiga yang masuk bersama daging ikan yang dimakan.
Dalam tubuh manusia larva akan hidup dan pada umumnya tetap sebagai larva
stadium ketiga, namun kadang-kadang juga berkembang hingga larva stadium
keempat atau larva yang sedang berganti kulit.
Populasi berisiko terinfeksi cacing adalah anak-anak, pekerja pertanian, dan
hewan ternak. Faktor risiko infeksi kecacingan meliputi wilayah geografis, sanitasi
dan personal hygiene buruk, kontak dengan air tawar yang terkontaminasi, dan
mengonsumsi makanan mentah atau setengah matang.

.
BAB IV

KESIMPULAN

Malaria adalah penyakit tropis dan subtropis yang disebabkan oleh protozoa darah
genus Plasmodium yang ditularkan oleh gigitan nyamuk anopheles yang terinfeksi. Malaria
yang menyerang manusia disebabkan oleh empat spesies dari genus Plasmodium;
Plasmodium vivax, P. falciparum, P. malariae, P. ovale dan P. Knowlesi. Populasi berisiko
penyakit malaria yaitu anak-anak dan wanita hamil. Infeksi malaria dapat dikendalikan
dengan mengurangi kontak dengan vektor parasit malaria.
Helminthiasis adalah infestasi satu atau lebih cacing parasit pada tubuh manusia. Jenis
cacing yang menginfeksi manusia diantaranya Clonorchis sinensis, Trichinella spiralis, dan
Anisakis. Populasi berisiko terinfeksi cacing adalah anak-anak, pekerja pertanian, dan hewan
ternak. Faktor risiko infeksi kecacingan meliputi wilayah geografis, sanitasi dan personal
hygiene buruk, kontak dengan air tawar yang terkontaminasi, dan mengonsumsi makanan
mentah atau setengah matang.
DAFTAR PUSTAKA

Qian MB, Zhou CH, Jiang ZH, Yang YC, Lu MF, Wei K, et al. Epidemiology and
determinants of Clonorchis sinensis infection: A community-based study in
southeastern China. Acta Trop [Internet]. 2022;233(November 2021):106545.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.actatropica.2022.106545
Na BK, Pak JH, Hong SJ. Clonorchis sinensis and clonorchiasis. Acta Trop [Internet].
2020;203(November 2019):105309. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.actatropica.2019.105309
Millar SB, Cox-Singh J. Human infections with Plasmodium knowlesi-zoonotic malaria. Clin
Microbiol Infect [Internet]. 2015;21(7):640–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.cmi.2015.03.017
Bantuchai S, Imad H, Nguitragool W. Plasmodium vivax gametocytes and transmission.
Parasitol Int [Internet]. 2022;87:102497. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.parint.2021.102497
Payne RO, Griffin PM, McCarthy JS, Draper SJ. Plasmodium vivax Controlled Human
Malaria Infection – Progress and Prospects. Trends Parasitol. 2017;33(2):141–50.
Collins E, Twohig K. Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax epidemiology in an era
of malaria elimination. Int J Infect Dis [Internet]. 2020;101:368–9. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ijid.2020.09.970
Wang Y, Sang X, El-Ashram S, Ding Y, Yu K, Feng Y, et al. Establishment of a method for
detecting Trichinella spiralis in ovine muscle tissues using real-time fluorescence
quantitative PCR. Exp Parasitol [Internet]. 2023;246(February 2015):108457.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.exppara.2022.108457
Saracino MP, Calcagno MA, Beauche EB, Garnier A, Vila CC, Granchetti H, et al.
Trichinella spiralis infection and transplacental passage in human pregnancy. Vet
Parasitol [Internet]. 2016;231:2–7. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.vetpar.2016.06.019
Xu J, Yue WW, Xu YXY, Hao HN, Liu RD, Long SR, et al. Molecular characterization of a
novel aspartyl protease-1 from Trichinella spiralis. Res Vet Sci [Internet].
2021;134(October 2020):1–11. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.rvsc.2020.11.008
El Meghanawy RA, El ET, Salim Dalia A, Abdel Aziz AR. Epidemiological, morphological
and molecular characterization of Anisakis simplex(sensu stricto) in Clupea harengus
from Egypt. Vet Parasitol Reg Stud Reports [Internet]. 2021;24(January):100574.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.vprsr.2021.100574
Murata R, Suzuki J, Sadamasu K, Kai A. Morphological and molecular characterization of
Anisakis larvae (Nematoda: Anisakidae) in Beryx splendens from Japanese waters.
Parasitol Int [Internet]. 2011;60(2):193–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.parint.2011.02.008
Kojom Foko LP, Arya A, Sharma A, Singh V. Epidemiology and clinical outcomes of severe
Plasmodium vivax malaria in India. J Infect [Internet]. 2021;82(6):231–46. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.jinf.2021.03.028
Aftab H, Kemp M, Stensvold CR, Nielsen H V., Jakobsen MM, Porskrog A, et al. First
molecular documented case of a rarely reported parasite: Plasmodium knowlesi
infection in Denmark in a traveller returning from Malaysian Borneo. Travel Med
Infect Dis [Internet]. 2023;53(February):102580. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.tmaid.2023.102580
Huang SY, Zhao GH, Fu BQ, Xu MJ, Wang CR, Wu SM, et al. Genomics and molecular
genetics of Clonorchis sinensis: Current status and perspectives. Parasitol Int
[Internet]. 2012;61(1):71–6. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.parint.2011.06.008
Aydin C, Pekmezci GZ. Molecular identification and infection levels of Anisakis species
(Nematoda: Anisakidae) in the red scorpionfish Scorpaena scrofa (Scorpaenidae) from
the Aegean Sea. Parasitol Int. 2023;92(October 2022).

Anda mungkin juga menyukai