Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I


“Asuhan Keperawatan Malaria”

Disusun oleh :

Anjar Ridhani (202203002)

PROGRAM STUDI
DIPLOMA III KEPERAWATAN
STIKES WILIAM BOOTH SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-
Nya, saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah
ini adalah " Askep Malaria".

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah yang telah memberi tugas terhadap Penulis.

Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan ini merupakan
langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan
kemampuan saya, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa saya harapkan semoga
makalah ini dapat berguna bagi saya pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan
pada umumnya.

Surabaya, 12 September 2023

Hormat Saya,

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................
ii

Daftar Isi................................................................................................................................
iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................
1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................


1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................
1
1.3 Tujuan......................................................................................................................
1

BAB II LANDASAN TEORI..............................................................................................


2

2.1 Konsep Dasar Malaria.............................................................................................


2
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan .......................................................................
3

BAB III PENUTUP..............................................................................................................


13

3.1 Kesimpulan..............................................................................................................
13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................
14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Malaria adalah penyakit infeksi disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium
yang menyerang sel eritrosit ditandai dengan gejala berupa demam, menggigil,
anemia, dan splenomegali dalam kondisi akut ataupun kronis yang ditularkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Ada lima spesies
Plasmodium yang dapat menyebabkan malaria pada manusia diantaranya P.
falciparum dan P. vivax yang umumnya dijumpai pada semua negara dengan malaria.
Dua spesies ini paling sering dijumpai di Indonesia. Spesies lainnya yaitu P. ovale
dan P. malariae banyak dijumpai di Indonesia Timur. Perkembangan terbaru
ditemukan satu spesies lain yang dapat menyebabkan malaria yaitu P. knowlesi di
Malaysia yang sebelumnya hanya menyerang primata, P. knowlesi juga ditemukan
menyebabkan malaria di Indonesia tepatnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Selatan.
Agen penyebab penyakit malaria adalah nyamuk Anopheles betina. Parasit
malaria pada manusia yang menyebabkan malaria adalah Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. Setelah manusia
digigit oleh nyamuk anopheles betina tersebut, maka akan timbul tanda dan gejala

1
seperti demam menggigil, kejang-kejang, anemia, nafas sesak, gangguan kesadaran
dan hilangnya nafsu makan. Setelah tanda dan gejala muncul jika tidak segera diobati
akan menyebabkan akibat lanjut (komplikasi ). Adapun komplikasi dari penyakit
malaria adalah anemia berat, malaria selebral (koma), gagal ginjal akut, edema paru,
kelainan hati dan hipoglikemia. (Mansjoer, Arif. 1999)
Akibat lanjut di atas dapat mamperburuk insiden dari penyakit malaria. Sejak
tahun 1950, malaria telah berhasil di basmi di hampir seluruh benua Eropa dan di
daerah seperti Amerika tengah dan Amerika selatan. Namun penyakit ini masih
menjadi masalah besar di beberapa bagian benua Afrika dan Asia tenggara. Sekitar
100 juta kasus penyakit malaria terjadi setiap tahunnya dan sekitar 1 persen
diantaranya fatal. Seperti kebanyakan penyakit tropis lainnya, malaria merupakan
penyebab utama kematian negara berkembang. Pertumbuhan penduduk yang cepat,
migrasi, sanitasi yang buruk, serta daerah yang terlalu padat, membantu memudahkan
penyebaran penyakit tersebut. Pembukaan lahan-lahan baru serta perpindahan
penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) telah memungkinkan kontak antara nyamuk
dengan manusia yang bermukim di daerah tersebut. Menurut Lukman (2009), dari
576 Kabupaten di Indonesia, 424 Kabupaten ditetapkan sebagai daerah endemis
malaria. Sedangkan penyakit malaria di Indonesia semakin tinggi sejak tahun 2006
silam dengan jumlah kasus yang di temukan sekitar 2 juta kasus malaria klinis, dan
pada tahun 2007 lebih kurang terdapat 1.774.845 penderita klinis di Indonesia.
(www.infeksi.com)
Berdasarkan data tersebut, saya tertarik untuk membahas pada presentasi kelas
tentang bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan penyakit Malaria.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien penyakit malaria

1.3 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah dilakukan presentasi makalah ini diharapkan mahasiswa mampu
memahami tentang teori malaria serta mampu melakukan asuhan keperawatan pada
pasien dengan malaria.

1.2.2 Tujuan Khusus


2
a. Mahasiswa mampu memahami tentang konsep dasar malaria meliputi defenisi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan medis,
penatalaksanaan keperawatan dan pemeriksaan laboratorium.
b. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada penderita malaria.
c. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada penderita malaria
d. Mahasiswa mampu menetapkan intervensi keperawatan pada pasien malaria.
e. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan dan mengevaluasi
asuhan keperawatan yang telah dilkukan pada pasien malaria.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Penyakit


1. Defenisi
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit
darigenus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
anophelesdengan gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik,
anemia,pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh
karenapengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal.
Malaria adalah penyakit akut dan dapat menjadi kronik yang
disebabkanoleh protozoa (genus plasmodium) yang hidup intra sel. Malaria
adalah penyakit infeksi yang dapat bersifat akut maupun kronik,disebabkan
oleh protozoa genus plasmodium ditandai dengan demam,anemia dan
splenomegali.

2. Penyebab/Etiologi
Penyebab malaria adalah plasmodium, sehin menginfeksikan manusia
juga menginfeksikan binatang, plasmodium di bawa oleh nyamuk
anopheles betina. Jenis plasmodium:
a. Plasmodium vivax yaitu plasmodium yang menyebabkan malaria
benigna/tertiana dan Plasmodium ini banyak tersebar di India dan
Amerika Selatan (di negara lain juga ditemukan tetapi tidak banyak).
Masa inkubasinya (masa dari penggigitan di tubuh manusia hingga
menimbulkan penyakit) adalah sekitar 8-13 hari. Infeksi parasit ini
bisa sampai ke bagian limpa. Parasit tipe ini bisa bersembunyi dari
dalam hati dan kembali lagi setelah kondisi memungkinkan.
b. Plasmodium falciparum yaitu plasmodium yang menyebabkan
malaria tropica dan Plasmodium yang paling banyak mengancam
kehidupan. Hal ini karena parasit ini sering kebal terhadap berbagai
macam obat dan antibiotik. Masa inkubasinya adalah selama 5-12 hari.
c. Plasmodium malariae yaitu plasmodium yang menyebabkan
malaria quartana dan Plasmodium yang banyak terdapat di mana-

4
mana. Masa inkubasinya 2-4 minggu. Jika tidak diobati, infeksi bisa
bertahan dalam waktu tahunan.
d. Plasmodium ovale yaitu Plasmodium yang jarang dan hanya
ditemukan di Afrika Masa inkubasinya adalah selama 8-17 hari.
Parasit tipe ini juga bisa bersembunyi di dalam hati dan kembali saat
kondisi memungkinkan.

3. Manifestasi Klinik
Pada anamnesis ditanyakan gejala penyakit dan riwayat bepergian
ke daerah endemik malaria. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah:
a. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporulasi).
Pada malaria tertiana (Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale), pematangan
skizon tap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan
malaria kuartana (Plasmodium malariae) pematangannya tiap 72 jam dan
periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tap serangan ditandai dengan beberapa
serangan demam periodik. Demam khas malaria terdiri atas 3 stadium, yaitu
menggigil (15 menit-1 jam), puncak demam (2-6 jam), dan berkeringat (2-4 jam).
Demam akan mereda secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap
parasit dalam tubuh dan ada respons imun.
b. Splenomegali
Slenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti,
menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan
jaringan ikat yang bertambah.
c. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah
anemia karena Plasmodium falciparum.
Anemia disebabkan oleh:
1) Penghancuran eritrosit yang berlebihan.
2) Eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time).
3) Gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sum-sum
tulang (diseritropoesis).
d. Ikterus

5
Ikterus disebabkan karena hemolisis dan gangguan hepar Malaria laten adalah
masa pasien di luar masa serangan demam. Periode ini terjadi bila parasit tidak
dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan
dalam jaringan hati.
Relaps adalah timbulnya gejala infeksi setelah serangan pertama. Relaps dapat
bersifat:
• Relaps jangka pendek (rekrudesensi), dapat timbul 8 minggu setelah serangan
pertama hilang karena parasit dalam eritrosit yang berkembang biak.
• Relaps jangka panjang (rekurens), dapat muncul 24 minggu atau lebih setelah
serangan pertama hilang karena parasit eksoeritrosit hati masuk ke darah dan
berkembang biak.

4. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah suhu tubuh ≥37,5o C (bisa
mencapai 41o C), konj ungtiva anemis, sklera ikterik, dan hepatosplenomegali.
Tipe demam yang umum dijumpai pada pasien malaria adalah demam paroksismal. Fase
demam didahului dengan menggigil selama 1–2 jam, diikuti dengan demam tinggi,
kemudian terjadi diaforesis dan suhu tubuh pasien turun kembali normal atau di bawah
normal. Demam paroksismal dapat terjadi setiap 48 jam (Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale) atau setiap 72 jam (Plasmodium malariae).
Pasien anak dengan infeksi malaria lebih mudah mengalami hepatosplenomegali, anemia
berat, kejang, hipoglikemia, dan sepsis. Malaria tanpa komplikasi tidak disertai dengan
gejala klinis dan hasil laboratorium yang menandakan malaria berat atau disfungsi organ.
Kriteria malaria berat berdasarkan WHO adalah ditemukannya stadium
aseksual Plasmodium falciparum atau Plasmodium vivax atau Plasmodium
knowlesi ditambah minimal satu dari manifestasi klinis berikut:
 Penurunan kesadaran GCS<11 atau Blantyre <3

 Acute respiratory distress syndrome pada anak


 Kejang berulang lebih dari 2 episode dalam 24 jam

 Syok (pengisian kapiler >3 detik, tekanan sistolik <80 mmHg (dewasa) atau <70
mmHg (anak).

 Kelemahan otot (tidak bisa duduk, berjalan, atau minum pada anak yang lebih
kecil)

 Perdarahan spontan abnormal (epistaxis, perdarahan gusi, hematemesis, dan


melena)

6
 Edema paru, ditentukan berdasarkan Rontgen toraks atau saturasi oksigen <92%
yang disertai frekuensi pernapasan >30 kali/ menit
 Jaundice dengan bilirubin plasma/serum >3 mg/dL dan kepadatan parasit
>100.000/µL (Plasmodium falciparum) atau >20.000/ µL (Plasmodium knowlesi)
 Anemia berat, ditandai dengan Hb <7 g/dL atau hematokrit <21% (dewasa); Hb
<5g/dL atau hematokrit <15% (anak di daerah endemis tinggi); Hb <7 g/dL atau
hematokrit <21% (anak di daerah endemis sedang–rendah)

 Asidosis base deficit >8 mEq/L atau plasma bikarbonat <15 mEq/L atau laktat
plasma vena >5 mEq/L
 Hipoglikemia glukosa plasma <40 mg/dL

 Hiperparasitemia

 Hiperlaktatemia

 Hemoglobinuria (black water fever)


 Gangguan fungsi ginjal kreatinin serum

5. Pemeriksa Penunjang
a. Rapid Diagnostic Test (RDT)
Pemeriksaan penunjang alternatif yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan antigen menggunakan rapid diagnostic test (RDT) dengan
format kaset atau dipstick. Pemeriksaan RDT berguna untuk skrining
karena memberikan hasil yang cepat. RDT malaria menggunakan metode
imunokromatografi untuk mendeteksi antigen malaria
menggunakan strip yang dilapisi antibodi anti malaria.
Tes ini memiliki kelebihan berupa mudah dilakukan (tidak memerlukan
tenaga ahli untuk membaca hasil) dan hasilnya cepat. Namun, RDT
kurang efektif pada jumlah parasit di bawah 100/mL darah. Selain itu,
hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien yang diterapi hingga 2 minggu
karena masih ada antigen yang bersirkulasi. Oleh karena itu, pemeriksaan
RDT tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi respons pengobatan.

b. Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah pasien dengan riwayat bepergian ke daerah
endemis, jika ditemukan trias berupa trombositopenia, peningkatan kadar
laktat dehidrogenase (LDH), dan limfositosis atipikal maka perlu dicurigai
sebagai infeksi malaria dan perlu dilakukan pemeriksaan apusan darah
tepi.

7
Kadar hemoglobin, trombosit, fungsi hepar, fungsi ginjal, kadar glukosa
darah, dan parameter lain untuk mengevaluasi hemolisis perlu
diperiksakan untuk mengevaluasi kondisi klinis pasien dan menentukan
penatalaksanaan tambahan yang dibutuhkan.

c. Polymerase Chain Reaction Assay


Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) lebih sensitif dan spesifik
daripada apusan darah tepi untuk mendiagnosis malaria. Namun, karena
hanya tersedia di laboratorium tertentu, pengerjaannya lama, dan harganya
relatif mahal, maka pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin. PCR
dapat digunakan untuk mengonfirmasi spesies parasit dan menentukan
mutasi pada kasus resistensi obat.

d. Kultur Darah
Pemeriksaan kultur darah perlu dipertimbangkan untuk pasien malaria
yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi antimalaria. Etiologi
infeksi lain perlu dicurigai dan mungkin terjadi pada pasien-pasien yang
berada di daerah endemis.

e. Radiologi
Rontgen toraks perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
diagnosis lainnya. Selain itu, pada kecurigaan malaria berat, terutama bila
ada manifestasi klinis respiratorik, Rontgen toraks juga perlu
dilakukan. CT scan kepala dilakukan bila ada kecurigaan edema serebral
atau perdarahan otak.

f. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis bakterial pada pasien dengan penurunan
kesadaran.

8
2.2 Konsep dan Landasan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi
Upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan mencegah
berkembangnya mental korupsi pada anak Bangsa Indonesia melalui pendidikan.
Hal ini disadari bahwa memberantas korupsi bisa dilakukan dengan cara
preventif, yaitu mencegah timbulnya mental korupsi pada generasi anak bangsa,
dan hal tersebut tidak hanya dapat dilakukan pada satu generasi saja, tetapi juga
pada dua atau tiga generasi selanjutnya.
Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi bagi mahasiswa merupakan
bagian dari kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya
penindakan dan pencegahan tindakan korupsi. Pendidikan Antikorupsi ini
bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk
korupsi dan pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Tujuan
jangka panjangnya adalah menumbuhkan budaya antikorupsi di kalangan
mahasiswa dan mendorong mahasiswa untuk dapat berperan serta aktif dalam
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pada 30 Juli 2012, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Surat
Edaran Nomor 1016/E/T/2012 tentang Implementasi Pendidikan Antikorupsi di
Perguruan Tinggi kepada seluruh Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi
Swasta (Kopertis Wilayah I sampai dengan wilayah XII). Serta Peraturan Menteri

9
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 33 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi.
Sebagai upaya pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi
sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012
tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka
Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 (Stranas
PPK) dilakukan penyusunan aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK)
setiap tahun. Berdasarkan lampiran bagian V Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun
2014 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun
2014, disebutkan salah satu dari 22 rencana aksi strategi pendidikan dan budaya
Antikorupsi melibatkan lembaga pendidikan tinggi negeri dan swasta dalam
implementasiannya.

2.3 Insersi Pendidikan Antikorupsi dalam Mata Kuliah Pendidikan


Kewarganegaraan
Berdasarkan kajian etimologis, kata “korupsi” terdapat dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mempunyai arti penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain, dan penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan
pribadi. Pengertian tersebut dapat dimaknai sebagai pola kejahatan yang
direncanakan dan berdampak luas, tidak hanya orang pribadi tetapi juga bisa
bersifat kelompok. Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) yang memerlukan upaya luar biasa (extra ordinary effort) pula
untuk memberantasnya. Oleh karena kejahatan korupsi ini mempunyai dampak
yang sangat luas dan dapat merugikan berbagai aspek, maka diperlukam upaya
pencegahan sejak dini.
Di Indonesia, sebagai suatu langkah maju dalam pemberantasan korupsi,
berdasarkan Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang RI No. 30 Tahun 2002 dibentuklah lembaga yang memiliki kewenangan
khusus dalam pemberantasan korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) . Menurut peraturan tersebut, salah satu tugas KPK adalah melakukan

10
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, di antaranya melalui
implementasi Pendidikan Antikorupsi (PAK).
PAK merupakan upaya dalam rangka mencegah perbuatan-perbuatan
korupsi melalui pemahaman tentang kejahatan korupsi dan dampaknya bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pencegahan ini sudah selayaknya dimulai
dari para generasi muda yang nantinya akan memimpin negeri ini. Mahasiswa
merupakan bagian dari generasi yang diperhitungkan keberadaannya karena
dianggap sebagai kaum terpelajar dan berintelektual. Mahasiswa diharapkan
dapat berperan aktif dalam proses pencegahan tindak pidana korupsi melalui
kampanye antikorupsi, baik bagi dirinya, keluarga, kampus, dan lingkungan
sekitar. Untuk dapat berperan aktif dalam upaya pencegahan ini, maka para
mahasiswa perlu dibina dan diberi tentang antikorupsi melalui PAK.
Pemberian pengetahuan kepada mahasiswa melalui PAK di perguruan
tinggi, ada yang secara khusus pada satu mata kuliah PAK, ada juga yang
diinsersikan ke dalam mata kuliah tertentu melalui kajian nilai-nilainya atau dari
segi konten yang berdekatan, misalnya insersi melalui mata kuliah Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. Insersi ini dimaksudkan agar
pengetahuan tentang kejahatan korupsi dapat dipahami dengan jelas oleh para
mahasiswa.
Insersi berasal dari bahasa Inggris yakni insertion yang berarti
“penyisipan”. Penyisipan maksudnya adalah menyisipkan mata kuliah PAK ke
dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Penyisipan ini pada prinsipnya
tidak mengubah esensi substansi materi Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi
justru menguatkan Pendidikan Kewarganegaraan dalam hal materi dan metode
pembelajarannya.
Insersi Pendidikan Antikorupsi dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi
memiliki landasan yuridis dalam Surat Edaran Kemendikbud No. 1016/E/T/
2012. Surat edaran ini merupakan tindak implementasi dari Instrukti Presiden
(Inpres) No. 55 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Serta yang
terbaru adalah sebagaimana tertuang dalam Serta Peraturan Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 33 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi.

11
Istilah “insersi” PAK dalam Surat Edaran No. 1016/E/T/ 2012 diturunkan
dari istilah “integrasi” Pendidikan Antikorupsi dalam Inpres No. 55 Tahun 2011.
Dengan demikian, insersi merupakan bagian dari integrasi. Dengan kata lain,
“integrasi” Pendidikan Antikorupsi penerapannya lebih luas, mencakup semua
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus bebas dari korupsi,
sedangkan insersi Pendidikan Antikorupsi scope nya terbatas pada wilayah
pendidikan, terutama Pendidikan Tinggi, khususnya Mata Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan. Meskipun demikian, tidak ada larangan bagi akademisi pada
Pendidikan Tinggi yang mengintegrasikan PAK ke dalam pembelajaran atau
perkuliahan, tidak sebatas menginsersikan. Bahkan, bisa jadi akademisi
mengunakan kedua isilah ini “insersi” atau “integrasi” secara silih berganti
dengan maksud yang sama, meskipun aksentuasinya berbeda-beda.
Secara metodologis, baik insersi maupun integrasi memiliki landasan
paradigmatik dalam pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan atau
transdisipliner. Oleh karena itu, istilah-istilah tersebut perlu dijelaskan secara
terperinci. Akan tetapi, penjelasan ini bukan dimaksudkan sekadar mencari
perbedaan, melainkan agar pembaca yang budiman dapat memahami secara tepat
kapan dan dalam konteks apa istilah-istilah tersebut dapat digunakan.
Pendekatan interdisipliner adalah pendekatan yang memadukan informasi,
data, alat, teknik, perspektif, konsep dan teori dari dua atau lebih disiplin ilmu
untuk memecahkan masalah fundamental yang pemecahannya di luar jangkauan
wilayah satu ilmu tertentu (mono-disiplin). Pendidikan Pancasila dan Pendikan
Kewarganegaraan berpotensi untuk dikaji, dipelajari, dan ditelaah secara
interdisipliner. Materi-materi dalam Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan syarat dengan nilai-nilai antikorupsi, sehingga dapat dikatakan
bahwa jiwa Pancasila adalah jiwa antikorupsi itu sendiri. Dengan kata lain, orang
yang berjiwa Pancasila adalah orang yang bersih dari perilaku koruptif. Koruptor
adalah pengkhianat Pancasila yang paling nyata. Inilah yang dimaksud dengan
pembelajaran Pendidikan Pancasila dengan pendekatan interdisipliner.
Selanjutnya, pendekatan multidisipliner adalah cara pandang dalam
mendiskusikan topik tertentu dari sudut pandang keilmuan yang berbedabeda.
Berbagai disiplin ilmu dapat berdialog satu sama lain dalam memecahkan
persoalan dengan tetap mempertahankan batas-batas keilmuan yang dimilikinya.
Masing-masing disiplin ilmu tidak mengintervensi terlalu jauh dalam penyusunan
12
formulasi problem persoalan, tetapi sebatas menjadi bahan pertimbangan.
Persoalan korupsi jelas bukan persoalan “mono-dimensi’, melainkan
multidimensi. Koruptor tidak hanya melanggar hukum (monodisiplin), melainkan
juga melangar norma agama, mengingkari kebenaran ilmu ekonomi, sosial,
budaya dan lain sebagainya (multidisiplin). Oleh karena itu, pendekatan
multidimensi diperlukan untuk pencegahan korupsi yang juga multidimensi ini.
Adapun pendekatan transdisipliner merupakan perluasan lebih lanjut dari
pendekatan interdisipliner. Pendekatan transdisipliner adalah cara pandang untuk
memadukan berbagai disiplin keilmuan yang mampu memecah kebekuan dan
kejenuhan ilmu yang berdiri sendiri (mono-disiplin) serta mampu melunakkan
batas-batas keilmuan itu sendiri. Pendekatan transdisipliner juga dapat dikatakan
cara pandang dalam mengkombinasikan berbagai disiplin ilmu, bahkan non-
disiplin ilmu atau pemangku kepentingan yang relevan kemudian menciptakan
ilmu baru yang lebih komprehensif dan sintesis yang menjangkau banyak bidang
ilmu, contohnya, wacana hukuman mati bagi koruptor masih mempertimbangkan
Hak Asasi Manusia.
Di satu sisi gagasan tersebut cukup rasional karena korban terdampak
korupsi sangat besar, namun di sisi lain Cina yang sudah menerapkan kebijakan
tersebut sampai sekarang masih tinggi tingkat korupsinya. Contoh lainnya adalah
temuan pada bidang neurosains (ISHA) yang sudah dapat mendeteksi semacam
“basil koruptif” pada otak koruptor (Taufiq Pasiak, 2012). Jika semua calon
pejabat publik diwajibkan mengikuti Uji Isha pada bidang neurosains ini untuk
mengetahui apakah terdapat basil koruptif pada otak yang bersangkutan, maka
korupsi dapat diminimalisir. Dengan demikian, pendekatan transdisipliner adalah
pendekatan yang mampu mengkombinasikan berbagai bidang keilmuan untuk
menyelesaikan satu problem kebangsaan.
Berdasarkan ulasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa insersi
merupakan bagian dari integrasi, dan integrasi merupakan manifestasi pendekatan
inter-, multi- dan transdisipliner. Dari kelima istilah tersebut, terdapat satu
persaman, yakni menghindari pendekatan monodisipliner, yakni pembelajaran
ilmu tertentu yang berdiri sendiri tanpa bersentuhan dengan disiplin ilmu lain,
karena pendekatan ini sudah tidak relevan lagi di abad 21 ini. Oleh karena itu,
meskipun berbagai istilah tersebut memiliki keluasan dan kedalaman yang

13
beragam, namun dapat digunakan silih berganti dengan penekanan pada hal-hal
tertentu.
Jika insersi dengan beragam istilah yang terkait (integrasi, interdisiplin,
multidisiplin, dan transdisiplin) PAK ke dalam Pendidikan Pancasila dan
Pendidikan Kewarganegaraan dilukiskan dalam diagram venn, maka akan tampak
sebagai berikut :

Gambar diagram venn di atas menjelaskan bahwa insersi merupakan


“irisan” dua disiplin ilmu, yakni Pendidikan Antikorupsi dan pendidikan
Pancasilan serta Pendidikan Kewarganegaraan. Di samping insersi, keduanya
dapat ditelaah atau dipelajari dengan pendekatan lain, seperti integrasi, inter-
multi-, dan transdisiplin. Dengan demikian, insersi merupakan salah satu bentuk
pendekatan integrasi, inter-, multi- dan transdisiplin. Pilihanpilihan pendekatan di
atas perlu dibuka seluas-luasnya sebagai pilihan alternatif dalam mimbar
akademik. Di samping itu, ragam pendekatan di atas telah menjadi corak
pembelajaran atau perkuliahan pada perguruan tinggi khususnya universitas
generasi ketiga. Universitas generasi pertama masih menggunakan corak
monodisiplin, sedangkan universitas generasi dua masih terkungkung pendekatan
dialogis, dan kini (abad ke-21) tibalah saatnya mengunakan pendekatan inter-,
multi- dan transdisipliner, termasuk di dalam nya adalah integrasi dan insersi.
Secara lebih teknis, buku ini menawarkan dua model insersi, yakni paralelisasi
dan internalisasi.

1. Paralelisasi

14
Paralelisasi berasal dari kata paralel yang berarti sama atau sejajar.
Paralelisasi adalah upaya mencari titik temu atau titik singgung persamaan
dua bidang ilmu atau lebih. Metode ini pernah digunakan Sayyed Hosein
Nassr dan Mukti Ali dalam mencari titik temu agama Islam dan Nasrani
(Waryani Fajar Riyanto, 2012). Kedua agama ini tidak dapat dilihat dari
masing-masing kenabian baik (Islam: Muhammad SAW) maupun (Kristen:
Isa AS), tetapi harus dilihat dari Nabi sebelumnya, yakni Ibrahim AS.
Demikian pula dengan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Antikorupsi
dan atau Pendidikan Kewarganegaraan. Keduanya harus dicari titik temu
untuk dikaitkan satu sama lain. Titik temu inilah yang disebut dengan
paralelisasi. Dengan demikian, paralelisasi Pendidikan Pancasila dan atau
Pendidikan Kewarganegaran dengan Pendidikan Antikorupsi merupakan titik
temu keduanya sehingga saling melengkapi atau saling memperkuat satu
sama lain.
Paralelisasi juga dapat dimaknai sebagai “tempelisasi” atau menempelkan
dua hal yang sama sehingga terkait satu sama lain atau memperkuat satu
sama lain. Dalam konteks ini paralelisasi Pendidikan Pancasila dan atau
Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pendidikan Antikorupsi adalah
menempelkan sub materi tertentu dari Pendidikan Antikorupsi pada sub
materi lain yang dianggap sama dengan Pendidikan Pancasila dan atau
Pendidikan Kewarganegaraan.
2. Internalisasi
Internalisasi adalah model lain atau varian dari insersi PAK dalam
pembelajaran Pancasila dan atau Pendidikan Kewarganegaraan. Internalisasi
merupakan penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga
menjadi keyakinan yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku hidup
seharihari (Mukhamad Unggul Wibowo, Djoko Suryo, 2017). Dalam konteks
insersi PAK, internalisasi merupakan metode pengembangan sikap
antikorupsi melalui pembelajaran Pendidikan Pancasila dan atau
Kewarganegaraan.
Sikap antikorupsi adalah sembilan nilai antikorupsi, yakni jujur, peduli,
mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil.
Artinya, sembilan nilai antikorupsi inilah yang berusaha untuk diinternalisasi
ke dalam diri mahasiswa melalui pembelajaran Pendidikan Pancasila dan
15
Kewarganegaraan, baik melalui penerimaan nilai, penghargaan nilai
penghayatan, nilai antikorupsi maupun aktualisasi nilai.
Internalisasi nilai-nilai antikorupsi melalui pembelajaran Pancasila dan
atau Pendidikan Kewarganegaraan dalam diri mahasiswa dapat dilakukan
dengan beragam teknik dan metode. Salah satunya adalah dilema moral.
Mahasiswa dihadapkan pada situasi-situasi kritis yang serba dilematis,
sehingga setiap keputusan yang diambil merupakan buah dari perenungan
dan penghayatan mendalam atas tantangan yang dihadapi, yakni menolak
perilaku koruptif. Semakin sering berhadapan dengan situasi dilematis,
semakin sering pula ia melakukan perenungan, kontemplasi dan penghayatan
mendalam sehingga proses internalisasi nilai dapat berjalan secara efektif.
Metode insersi dilakukan dalam proses pembelajaran tujuannya agar
kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan menyeluruh (holistik) dalam
berbagai kajian keilmuan. Buku ini bertujuan untuk menguatkan proses
insersi berkaitan dengan Pendidikan Antikorupsi dalam Mata Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi.
Tujuan insersi mata kuliah Pendidikan Antikorupsi ke dalam mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan, adalah sebagai berikut.
1) Menggali potensi mahasiswa dalam Pendidikan Antikorupsi sebagai
bagian dari perwujudan pembentukan warga negara yang baik dalam
Pendidikan Kewarganegaraan.
2) Mengembangkan kecakapan intelektual dan sosial mahasiswa
mengenai Pendidikan Antikorupsi dalam pembentukan warga negara
yang baik.
3) Membentuk pola kepribadian mahasiswa yang dapat menanamkan
nilai-nilai antikorupsi sebagai salah satu tujuan pelaksanaan
Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi.

2.4 Nilai – nilai Antikorupsi sebagai Identitas Bangsa


 Nilai-nilai Antikorupsi sebagai Identitas Bangsa
Nilai-nilai antikorupsi yang dirumuskan oleh KPK meliputi sembilan nilai
antikorupsi, yaitu nilai jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja
keras, sederhana, berani, dan adil. Jika dikelompokkan, kesembilan nilai-nilai

16
antikorupsi tersebut dapat dibagi menjadi tiga kelompok atau tiga aspek
dalam nilai-nilai antikorupsi, yaitu: aspek inti, aspek etos kerja, dan aspek
sikap.
a. Aspek inti meliputi nilai jujur, disiplin, tanggung jawab.
b. Aspek etos kerja meliputi nilai kerja keras, sederhana, mandiri.
c. Aspek sikap meliputi adil, berani, peduli.

1. Jujur adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara


pengetahuan, perkataan dan perbuatan. Jujur berarti mengetahui apa yang
benar, mengatakan dan melakukan yang benar. Orang yang jujur adalah
orang yang dapat dipercaya, lurus hati dan tidak berbohong.
2. Disiplin adalah kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala
bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku. Disiplin berarti patuh pada
aturan.
3. Tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri
sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara maupun agama.
4. Kerja keras adalah sungguh-sungguh berusaha ketika menyelesaikan
berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan dan lain-lain dengan sebaik-
baiknya. Kerja keras berarti pantang menyerah, terus berjuang dan
berusaha.
5. Sederhana adalah bersahaja. Sederhana berarti menggunakan sesuatu
secukupnya, tidak berlebih-lebihan.

17
6. Mandiri adalah dapat berdiri sendiri. Mandiri berarti tidak bergantung
pada orang lain. Mandiri juga berarti kemampuan menyelesaikan,
mencari dan menemukan solusi dari masalah yang dihadapi.
7. Peduli adalah sikap dan tindakan memerhatikan dan menghiraukan orang
lain, masyarakat yang membutuhkan, dan lingkungan sekitar.
8. Adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak pada salah satu. Adil juga
berarti perlakuan yang sama untuk semua tanpa membeda-bedakan
berdasarkan golongan atau kelas tertentu.
9. Berani adalah hati yang mantap, rasa percaya diri yang besar dalam
menghadapi ancaman atau hal yang dianggap sebagai bahaya dan
kesulitan. Berani berarti tidak takut atau gentar.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun ringkasan yang berhasil dihimpun dari penjelasan dan
pembahasan diatas maka, dapat diketahui bahwa

19
DAFTAR PUSTAKA

Buku Pendidikan Kewarganegaraan, BAB 4


Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945, Buku I

20

Anda mungkin juga menyukai