Anda di halaman 1dari 2

YOGYAKARTA - Suku batak terkenal dengan istilah marga atau penamaan silsilah

keluarga. Terdapat banyak marga di suku batak yang tersebar di daerah Sumatera Utara, hingga
ke seluruh wilayah di Indonesia. Namun manakah marga batak tertua? Mengetahui marga batak
tertua penting untuk mempelajari sejarah suku dan budaya di nusantara. Untuk mengenalinya
kita pelru membaca sejarah asal usulnya. Marga Sinaga adalah salah satu marga tertua di dalam
suku Batak.

Keturunan dari marga Batak Sinaga masih terus beregenereasi hingga sekarang. Anda
mungkn pernah mengenal orang dengan sematan marga ‘sinaga’ di namanya, baik itu mereka di
industri hiburan, pemerintahan, maupun masyarat sipil. Lalu bagaimanakah sejarah atau asal usul
Marga Sinaga sebagai marga Batak tertua?

Sejarah Marga Batak Tertua

Marga Sinaga, marga tertua dalam suku Batak Toba, berasal dari Desa Urat, Pulau
Samosir. Apabila ditarik dari garis leluhurnya, marga Sinaga bermula dari keturunan si Raja
Batak generasi kelima. Raja Batak ini kemudian mempunyai keturunan atau anak yaitu Guru
Tateabulan. Setelah itu Guru Tateabulan menghasilkan keturunan Tuan Sariburaja. Lalu Tua
Sariburaja menghasilkan keturunan Raja Lontung. Raja Lontung adalah ayah dari Sinaga. Raja
Lontung mempunyai sembilan anak. Dari sembilan anak tersebut, 2 anak perempuan yaitu,
Siboru Amak Pandan dan Siboru Panggabean. 7 anak laki-laki, yaitu Toga Sinaga, Tuan
Situmorang, Toga Pandiangan, Toga Nainggolan, Toga Simatupang, Toga Aritonang, Toga
Siregar.

Dalam buku Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaan, E.H.
Tambunan penulisnya, menuliskan keturunan Raja Lontung kebanyakan tinggal di Samosir.
Mereka menyebar tinggal di Tanah Batak.

Marga Sinaga dan Marga Situmorang

Antropolog Richard Sinaga mencatat dalam buku Silsilah Marga-Marga Batak, ada yang
mengatakan Marga Situmorang adalah keturuna Raja Lontung yang sulung. Lalu Marga Sinaga
lahir di urutan kedua. Namun menurut kisan yang dituturkan turun-temurun justru sebaliknya,
Sinaga sebagai anak pertama dan Situmorang sebagai yang kedua.

Sinaga memiliki keturunan 3 anak laki-laki, yaitu Raja Bonor, Raja Ratus, dan Raja
Uruk. Kemudian mereka masing-masing memiliki keturunan tiga anak laki-laki. Budayawan
Sitor Situmorang, dalam buku Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX,
menuliskan adanya Marga Situmorang dan Marga Sinaga pada masa Singamangaraja XII.

Sitor mencatat, keduanya sama-sama keturunan Lontung, namun mempunyai perselisihan


dalam beberapa bagian di pemerintahan. Sinaga dan Situmorang memainkan peran kultural dan
politik yang berbeda.
“Dari silsilah diketahui bahwa relasi antara kedua marga kakak-beradik dalam lingkungan
Lontung itu ditandai persaingan intern, yaitu perebutan hegemoni dalam organisasi parbaringin
(agama batak) di semua bius Lontung,” tulis Sitor.

Sitor juga mengungkapkan dalam tulisannya, bahwa marga Situmorang dan Marga Sinaga sering
bersaing dalam perebutan jabatan sebagai Pandita Bolon (pendeta utama). Pandita Balon
merupakan orang yang memimpin organisasi parbaringin dalam bius (paguyuban meliputi
wilayah tertentu) mereka.

Eksistensi Marga Sinaga hingga Sekarang

Keturunan dari Toga Sinaga masih eksis hingga sekarang. Rasa kekeluargaan dan
solidaritas Marga Sinaga sangat terjaga baik. Semua keturunannya masih tetap dalam satu marga,
yaitu Marga Sinaga. Berbeda dengan marga keenam saudaranya yang berkembang menjadi
beberapa marga.
Generasi dari Toga Sinaga membuat perhimpunan dalam satu ikatan yang bernama
“Parsadaan Pomparan Toga Sinaga dohot Boruna (PPTSB)”. Himpunan ini tersebar di berbagai
daerah di Indonesia, di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, hingga kecamatan
Perhimpunan PPTSB juga mendirikan tugu Toga Sinaga pada 1966 di Desa Urat,
Samosir. Tugu tersebut diresmikan pada Juni 1970.
Sinaga, sangatlah panjang, dan komples berkaitan dengan kultural dan politik. Ikuti terus
berita terkini dalam negeri dan luar negeri lainnya di VOI. Kami menghadirkan berita terupdate
nasional dan internasional untuk anda.

Anda mungkin juga menyukai