Anda di halaman 1dari 2

Pada UU Omnibus Law kesehatan, kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan anggaran

kesehatan sebesar minimal 5% dari total APBN dihapus. Hal tersebut ditakutkan nantinya
akan memperburuk pelayanan kesehatan pada masyarakat di wilayah tertinggal. Pelayanan
dasar di fasilitas kesehatan daerah, misalnya penyediaan obat, pencegahan stunting dengan
pemberian makanan bergizi, pembiayaan bantuan iuran kepesertaan BPJS, pembayaran
insentif tenaga kesehatan, juga program edukasi kesehatan banyak bergantung pada anggaran
tersebut. Dihapusnya kewajiban alokasi anggaran tersebut dengan alasan karena perencanaan
program pembangunan kesehatan yang tidak jelas dan tidak sinkron antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Alokasi anggaran kesehatan tersebut sebenarnya sangat penting
sebagai komitmen pemerintah daerah untuk memprioritaskan program-program kesehatan
agar dapat diakses oleh seluruh masyarakat terutama pada daerah-daerah ber-APBD kecil.
Dengan alokasi anggaran kesehatan 5% pun belum meratanya pelayanan kesehatan sehingga
sulit dijangkau oleh masyarakat. Terlebih, masalah masalah terkait pun bermunculan seperti
langkanya obat dan bahan medis habis pakai di RSUD Scholoo Keyen, Papua Barat Daya.
Para pekerja kontrak di rumah sakit juga kebanyakan terlambat mendapat gaji sehingga
kurang dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dalam UU Kesehatan Onibus, penghapusan kewajiban alokasi anggaran minimal 10% dari
APBN dan APBD untuk kesehatan dapat berdampak buruk pada kualitas pelayanan
kesehatan di Indonesia, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan di wilayah tertinggal.
Beberapa kritik terhadap penghapusan proporsi anggaran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penghapusan kewajiban alokasi anggaran minimal dapat memberikan ruang bagi


pemerintah untuk menggunakan anggaran kesehatan sesuai dengan kebijakan dan
kepentingan politik, tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat yang membutuhkan
pelayanan kesehatan yang lebih baik.

2. Tidak mencantumkan proporsi anggaran kesehatan dalam UU Kesehatan dapat membuat


sulit bagi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk memantau dan mengawasi
penggunaan anggaran kesehatan secara transparan.

3. Tanpa adanya batasan proporsi anggaran kesehatan, pengendalian terhadap APBN dan
APBD menjadi lebih sulit, sehingga dapat mengakibatkan pengalihan anggaran dari sektor
kesehatan ke sektor lain yang dianggap lebih prioritas oleh pemerintah.
4. Penghapusan kewajiban alokasi anggaran minimal dapat mengakibatkan penurunan
kualitas pelayanan kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan di wilayah
tertinggal yang bergantung pada anggaran kesehatan pemerintah.

5. Tanpa adanya mandatory spending untuk sektor kesehatan, sektor ini akan memiliki
ketergantungan tinggi terhadap kondisi ekonomi, yang dapat mengakibatkan fluktuasi
anggaran dan ketidakpastian dalam pembiayaan pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai