Anda di halaman 1dari 3

Alasan Mandatory Spending Dihapuskan

Pemerintah menolak memasukkan belanja wajib atau mandatory spending untuk


kesehatan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Menurut Melkiades Laka
Lena, Ketua Panja RUU Kesehatan DPR RI, belanja wajib dihapus karena pemerintah
menganggap metode tersebut tidak memenuhi sasaran. Keputusan ini dibuat setelah berbicara
dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan. Melki menjabarkan metode
penganggaran yang berbasis kinerja. Dalam perencanaan penganggaran berbasis kinerja,
konsepnya adalah "money follow program" yang menyatakan bahwa program harus
direncanakan terlebih dahulu dan kemudian dihitung anggaran yang diperlukan untuk mencapai
tujuan program tersebut. Anggaran kesehatan akan mengikuti program pemerintah dalam
Rencana Induk Bidang Kesehatan. Ini diklaimnya dapat mencapai target kebutuhan nasional
dan capaian kesehatan daerah.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengatakan Rencana Induk


Bidang Kesehatan dapat membuat program kesehatan lebih jelas dengan menghapus
pengeluaran yang diwajibkan. Menurut Budi, jumlah belanja yang dilakukan belum tentu
berdampak positif pada kesehatan masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan pengeluaran besar
yang diwajibkan yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat dan Kuba. Negara besar seperti
Amerika Serikat dengan biaya kesehatan per kapita yang jauh lebih besar sekitar Rp163,65 juta
ternyata memiliki angka rata-rata harapan hidup penduduk yang lebih rendah dibandingkan
Singapura, Inggris dan Jepang. Padahal, ketiga negara ini memiliki biaya kesehatan per kapita
penduduknya lebih kecil. Menurut Budi, keputusan ini juga didasarkan pada evaluasi metode
mandatory spending yang dapat mengeluarkan anggaran yang sering digunakan untuk hal-hal
yang tidak produktif. Oleh karena menteri kesehatan menerbitkan UU baru untuk memberikan
kesempatan Rencana Induk Bidang Kesehatan membangun program kesehatan yang lebih
jelas.

Dampak Terhadap Layanan Kesehatan

Kebijakan penghapusan alokasi anggaran kesehatan dikhawatirkan dapat memperburuk


layanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan rentan. Diah Satyani Saminarsih, pendiri dan
CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), mempertanyakan
kebijakan Menkes tersebut pasalnya, alih-alih membuat mandatory spending di bidang
kesehatan meningkat, pemerintah malah menghapusnya dalam draf RUU Kesehatan. Diah
Saminarsih menyatakan bahwa alokasi anggaran wajib kesehatan ini sangat penting untuk
memprioritaskan program kesehatan sehingga semua orang dapat mengaksesnya, terutama di
daerah dengan APBD yang lebih kecil. Selain itu, ada kekhawatiran tentang bagaimana
pelayanan kesehatan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) akan terpengaruh jika
kewajiban alokasi anggaran kesehatan dihapus. Di Papua, misalnya, yang diawasi oleh CISDI,
masih merupakan provinsi dengan tingkat kematian tahunan tertinggi di Indonesia. Ini
menunjukkan bahwa banyak orang meninggal sebelum waktunya. Tentu saja, alokasi anggaran
yang ideal di tingkat daerah harus digunakan untuk menyelesaikan masalah ini.

Dikhawatirkan bahwa pengeluaran out of pocket atau pengeluaran individu akan


meningkat apabila anggaran kesehatan yang diwajibkan akan dihapus, yang berarti akses
publik terhadap layanan kesehatan akan berkurang. CISDI mencatat bahwa dari 518
kabupaten/kota, 58 daerah masih memiliki proporsi anggaran kesehatan kurang dari 10% pada
2021. Untuk mendapatkan layanan yang lebih baik, masyarakat masih harus mengeluarkan 30–
35% dari total biaya. Jika alokasi anggarannya semakin berkurang dan biaya tambahan yang
harus dibayarkan oleh individu semakin meningkat, bagaimana dengan mereka yang berada di
bawah garis kemiskinan?

Selain itu, penghapusan anggaran minimal untuk kesehatan pasti akan mempersulit
pembangunan kesehatan di daerah dengan komitmen politik rendah. Bagaimana jika daerah
tidak memenuhi syarat selama alokasi minimum yang diwajibkan saja? Sementara itu, Menteri
Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa banyak sasaran penting dalam bidang
kesehatan yang belum tercapai dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN).

Dengan tidak adanya batasan minimal alokasi anggaran kesehatan, bisa jadi anggaran
yang diberikan justru semakin rendah. Pemerintah pusat dan daerah akan mengalokasikan
APBN dan APBD untuk pembiayaan kesehatan sesuai keinginan mereka, Ini dapat
mengganggu dan mengabaikan hak masyarakat atas upaya kesehatan. Kualitas dan kuantitas
pelayanan kesehatan akan terancam, terutama jika anggaran berubah-ubah. Ini akan
menyebabkan ketidaknyambungan dan ketidaksinergisan antara kualitas dan kuantitas
pelayanan kesehatan saat ini. Profil kesehatan Indonesia saat ini sangat buruk. Jika pendanaan
tidak stabil, maka kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan dasar, termasuk pengentasan
penyakit konvensional, akan terganggu.

Tidak mengherankan bahwa penghapusan pengeluaran yang diwajibkan ini dapat


menimbulkan keraguan publik terhadap tujuan pemerintahan Presiden Joko Widodo di bidang
kesehatan, yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2020–2024. Menurut rencana, pemerintah ingin memperbaiki sepuluh
indikator: imunisasi, pengentasan stunting, persentase balita yang kurus, insiden tuberkulosis,
penghapusan malaria, penghapusan kusta, angka merokok anak, Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama, puskesmas, dan obesitas dewasa.

Selain penghapusan ini, ada kewajiban untuk membantu daerah yang tidak mampu
secara fiskal dalam pembagian anggaran dan mendampingi mereka dalam penyusunan
perencanaan penganggaran. Ini penting agar daerah dapat lebih mandiri di masa depan dan
tujuan anggaran kesehatan berbasis kinerja dapat dicapai.

Anda mungkin juga menyukai