Anda di halaman 1dari 7

Nama : Aan Putra Ramadhan

NIM : 04011381924197

Luka Bakar dan Trauma Inhalasi

1. Luka Bakar
a) Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energy dari sumber panas ke tubuh.
Panas tersebut dapat dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik,
derajat luka bakar yang berhubungan dengan beberapa faktor penyebab, konduksi
jaringan yang terkena dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas. Kulit dengan
luka bakar mengalami keruskan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan
tergantung pada penyebabnya.
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh
kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang
ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Menigkatnya
permeabilitas menyebabkan udem dan menimbulkan bula yang mengandung banyak
elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler.
Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan
yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat
dua, dan pengeluaran cairan ke keropeng luka bakar derajat tiga.
Bila luas bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih
bisa mengatasinya, tetapi bilalebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan
gejala khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan
darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan,
maksimal terjadi setelah delapan jam. (Wim De Jong, 2004)
Pada awalnya tubuh menanggapi dengan memirau (shunting) darah ke otak dan
jantung menjauh dari organ-organ tubuh lainnya. Kekurangan aliran darah yang
berkepanjangan ke organ-organ tersebut bersifat merugikan. Kerusakan yang
dihasilkan bergantung pada keburuhan dasar organ tubuh. Beberapa organ dapat
bertahan hanya untuk beberapa jam tanpa pasokan darah yang menyediakan sumber
gizi. Setelah resusitasi, tubuh mulai menyerap kembali cairan edema dan
membuangnya lewat pembentukan urine (diuresis). (Black & Hawk, 2009)
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman
luka bakar. walaupun demikian, beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak
luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan sangat memengaruhi
prognosis. (Wim De Jong, 2004) Untuk luka bakar yang lebih kecil, tanggapan tubuh
terhadap cedera terlokalisasi pada area yang terbakar. Namun, pada luka yang lebih
luas (misalnya, meliputi 25% atau lebih total area permukaan tubuh [total body
surface area-TBSA]), tanggapan tubuh terhadap cedera bersifat sistemik dan
sebanding dengan luasnya cedera. Tanggapan sistemik terhadap cedera luka bakar
biasanya bifasik, ditandai oleh penurunan fungsi (hipofungsi) yang diikuti dengan
peningkatan fungsi (hiperfungsi) setiap sistem organ. (Black & Hawk, 2009)
(1) Respons Sistemik
Perubahan patofisiologi yang disebabkan oleh luka bakar yang berat
selama awal periode syok luka bakar mencangkup hipoperfusi jaringan dan
hipofungsi organ yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan
diikuti oleh fase hiperdinamik serta hipermetabolik. Kejadian sistemik awal
sesudah luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamika akibat
hilangnya integritas kapiler dan kemudian terjadinya perpindahan cairan natrium
serta protein dari ruang intravaskuler ke dalam ruang interstisial. Ketidakstabilan
hemodinamika bukan hanya melibatkan mekanisme kardiovaskuler tetapi juga
keseimbangan cairan serta elektrolit, volume darah, mekanisme pulmoner dan
mekanisme lainnya.
(2) Respons Kardiovaskuler
Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan pada
volume darah terlihat dengan jelas. Karena berkelanjutnya kehilangan cairan dan
berkurangnya volume vaskuler, maka curah jantung akan terus menurun dan
terjadi penurunan tekanan darah. Sebagai respon, system saraf simpatik akan
melepaskan katekolamin yang meningkatkan resistensi perifer dan frekuensi
denyut nadi. Selanjutnya vasokontriksi pembuluh darah perifer menurunkan curah
jantung.
Resusitasi cairan yang segera dilakukan memungkinkan dipertahankannya
tekanan darah dalam kisaran normal yang rendah sehingga curah jantung
membaik. Umumnya jumlah kebocoran cairan yang terbesar terjadi dalam 24-36
jam pertama sesudah luka bakar dan mencapai puncaknya dalam tempo 6 hingga
8 jam.
Pada luka bakar yang kurang dari 30% luas total permukaan tubuh, maka
gangguan integritas kapiler dan perpindahan cairan akan terbatas pada luka bakar
itu sendiri sehingga pembentukkan lepuh dan edema hanya terjadi di daerah luka
bakar. Pasien luka bakar yang lebih parah akan mengalami edema sistemik yang
masif. karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar
(sirkumferensial), tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada
ekstermitas distal menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
(3) Respons Pulmonal
Volume pernapasan sering kali normal atau hanya menurun sedikit setelah
cedera luka bakar yang luas. Setelah resusitasi cairan, peningkatan volume
pernapasan-dimanifestasikan sebagai hiperventilasi-dapat terjadi, terutama bila
klien ketakutan, cemas, atau merasa nyeri. Hiperventilasi ini adalah hasil
peningkatan baik laju respirasi dan volume tidal dan muncul sebagai hasil
hipermetabolisme yang terlihat setelah cedera luka bakar. Biasanya hal tersebut
memuncak pada minggu kedua pascacedera dan kemudian secara bertahap
kembali ke normal seiring menyembuhnya luka bakar atau ditutupnya luka
dengan tandur kulit.
(4) Cedera Inhalasi
Paparan terhadap gas asfiksian merupakan penyebab paling sering
mortalitas dini akibat cedera inhalasi. Karbon monoksida (CO), asfiksian yang
paling sering ditemui, dihasilkan ketika zat organik (misalnya: kayu atau batu
bara) terbakar. Ia adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa
yang memiliki afinitas terhadap hemoglobin tubuh 200 kali lebih kuat
dibandingkan dengan oksigen. Dengan menghirup gas CO, molekul oksigen
tergeser, dan CO berikatan dengan hemoglobin untuk membentuk
karboksihemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan terjadi akibat penurunan
kemampuan pengantaran oksigen oleh darah secara keseluruhan.
(5) Depresi Miokardium
Beberapa investigator penelitian telah mengemukakan bahwa factor
depresi miokardium terjadi pada cedera yang lebih luas dan bersirkulasi pada
periode pascacedera dini. Depresi pada curah jantung yang signifikan dan serta-
merta terjadi, bahkan sebelum volume plasma yang beredar berkurang,
menunjukkan respons neurogenic terhadap beberapa zat yang beredar. Penurunan
curah jantung ini sering berlanjut dalam beberapa hari bahkan setelah volume
plasma telah kembali dan keluaran urine kembali normal. Baru-baru ini,
kombinasi mediator inflamasi dan hormone disebutkan sebagai penyebab depresi
miokardium yang terjadi setelah cedera.
(6) Berubahnya Integritas Kulit
Luka bakar itu sendiri menampilkan perubahan patofisiologi yang
disebabkan akibat gangguan kulit dan perubahan jaringan di bawah
permukaannya. Kulit, ujung saraf, kelenjar keringat, dan folikel rambut yang
cedera akibat terbakar kehilangan fungsi normalnya. Hal yang terpenting, fungsi
barrier kulit hilang. Kulit yang utuh dalam keadaan normal menjaga agar bakteri
tidak memasuki tubuh dan agar cairan tubuh tidak merembes keluar,
mengendalikan penguapan, dan menjaga kehangatan tubuh. Dengan rusaknya
kulit mekanisme untuk menjaga suhu normal tubuh dapat terganggu, dan risiko
infeksi akibat invasi bakteri meningkat, serta kehilangan air akibat penguapan
meningkat.
(7) Imunosupresi
Fungsi sistem imun tertekan setelah cedera luka bakar. Penurunan aktivitas
limfosit, dan penurunan pembentukan immunoglobulin, serta perubahan fungsi
neutrofil dan makrofag terjadi secara nyata setelah cedera luka bakar luas terjadi.
sebagai tambahan, cedera luka bakar mengganggu barrier primer terhadap
infeksikulit. Secara bersama, perubahan-perubahan ini menghasilkan peningkatan
risiko infeksi dan sepsis yang mengancam nyawa.
(8) Respons Psikologis
Berbagai respons psikologis dan emosional terhadap cedera luka bakar
telah dikenali, berkisar mulai dari ketakutan hingga psikosis. Respons korban
dipengaruhi usia, kepribadian, latar belakang budaya dan etnik, luas dan lokasi
cedera, dampak pada citra tubuh, dan kemampuan koping pracedera. Sebagai
tambahan, pemisahan dari keluarga dan teman-teman selama perawatan di rumah
sakit dan perubahan pada peran normal dan tanggung jawab klien memengaruhi
reaksi terhadap trauma luka bakar.

b) Klasifikasi dan Manifestasi Klinis


Kedalaman dan penyebab Bagian kulit Gejala Penampilan Perjalanan
luka bakar yang luka kesembuhan
terkena
Derajat satu (superfisial): Epidermis Kesemutan, Memerah, Kesembuhan
tersengat matahari, terkena hiperestesia menjadi lengkap dalam
api dengan intensitas rendah (supersensivi putih ketika waktu satu
tas), rasa ditekan minggu,
nyeri mereda minimal atau terjadi
jika tanpa edema pengelupasan
didinginkan kulit
Derajat dua Epidermis Nyeri, Melepuh, Kesembuhan
(partialthickness): tersiram dan bagian hiperestesia, dasar luka dalam waktu
air mendidih, terbakar oleh dermis sensitif berbintik- 2-3 minggu,
nyala api terhadap bintik pembentukan
udara yang merah, parut dan
dingin epidermis depigmentasi,
retak, infeksi dapat
permukaan mengubahnya
luka basah, menjadi
terdapat derajat-tiga
edema
Derajat tiga (fullthickness): Epidermis, Tidak terasa Kering, luka Pembentukan
terbakar nyala api, terkena keseluruhan nyeri, syok, bakar eskar,
cairan mendidih dalam waktu dermis dan hematuria berwarna diperlukan
yang lama, kadang- (adanya darah putih seperti pencangkokan
kadang dalam urin) bahan kulit , pembentukan
jaringan dan atau gosong, parut dan
subkutan kemungkina n kulit retak hilangnya
pula dengan kontur serta
hemolisis bagian fungsi kulit,
lemak yang hilangnya jari
tampak, tangan atau
terdapat ekstrenitas
edema dapat terjadi
2. Trauma Inhalasi
Trauma inhalasi adalah inhalasi asap atau udara panas atau bahan kimia yang
bersifat iritasi yang dapat menyebabkan kecacatan atau kematian yang signifikan.
Gabungan antara luka bakar kulit dan trauma inhalasi bisameningkatkan kebutuhan
resusitasi cairan, peningkatan insieden, dan komplikasi paru. Kecacatan pada trauma
inhalasi adalah disebabkan terpaparnya mukosajalan nafas dengan panas dan bahan-
bahan toksik.
Trauma inhalasi pada pasien luka bakar merupakan suatu kondisi yang
mengancam jiwa. Diagnosisnya ditegakkan berdasar adanya luka bakar pada wajah dan
leher, sputum kehitaman, mendengkur, ronki dan bulu hidung terbakar.
Trauma inhalasi tidak perlu menunggu hasil analisis gas darah, bronkoskopi,
maupun x foto thoraks karena hal ini dapat menenda tindakan. Pada pasien dapat
dilakukan tindakan intubasi langsung dikerjakan dari rumah sakit perujuk.
Trauma inhalasi meliputi injuri supraglotik yang menyebabkan edemajalannafas
atas, dan injuri subglotik yang menyebabkan injuri pada parenkimparu. Trauma inhalasi
sendiri meliputi tiga komponen:
1) Keracunan sistemik karena gas carbonmonoksida dan hydrogen cyanide(HCN),
2) Obstruksi jalan nafas atas karena efek panas dan edema,
3) Injuri pada saluran nafas bawah, karena zat kimia dan partikel.
Pada pasien ini tidak diperiksa kadar karbonmonoksida darah, karenatidaktersedia
di RS perujuk, namun dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi, kadar CO akan
mudah dieliminasi dalam 3-4 jam.

Anda mungkin juga menyukai