Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/346510301

Benign Migratory Glossitis Terkait Reaksi Alergi (Tinjauan Pustaka)

Conference Paper · September 2014

CITATIONS READS

0 1,441

1 author:

Nanan Nuraeny
Universitas Padjadjaran
66 PUBLICATIONS 48 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Research 2015 View project

Pengabdian pada masyarakat 2016 View project

All content following this page was uploaded by Nanan Nuraeny on 01 December 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Benign Migratory Glossitis Terkait Reaksi Alergi
(Tinjauan Pustaka)

Nanan Nur’aeny
Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak
Kondisi alergi seperti asma, rinitis, atau dermatitis sudah banyak diketahui, tetapi
manifestasi alergi pada mukosa mulut masih belum banyak dikenal. Benign migratory
glossitis (BMG) merupakan lesi mulut yang umum, tetapi belum banyak diketahui
bahwa BMG dapat terkait reaksi alergi. Beberapa penelitian terhadap pasien atopi
menunjukkan adanya lesi BMG. Individu atopi adalah individu yang memiliki
kondisi alergi yang dilatarbelakangi faktor genetik. Hasil penelitian menunjukkan,
pasien atopi yang memiliki lesi BMG, mengalami peningkatan insidensi HLA-B15.
BMG merupakan lesi mulut yang bersifat jinak, ditandai oleh daerah tidak beraturan
berupa bercak merah dikelilingi tepi putih pada permukaan lidah dan dapat meluas ke
bagian tepi lidah, berjumlah banyak, terlihat seperti gambaran “peta” yang dapat
berpindah, dan umumnya tidak sakit. Suatu postulat mengatakan bahwa terdapat
kesamaan patogenesis BMG dengan rinitis atau asma akibat reaksi inflamasi akut
yang dipicu oleh suatu iritan dari lingkungan. Faktor-faktor pemicu sebaiknya dapat
digali dari anamnesis yang lengkap untuk membantu penegakkan diagnosis. Beberapa
lesi mulut lainnya dapat menyerupai BMG diantaranya oral lichen planus,
erythematous candidiasis, atau oral leukoplakia. Setiap dokter gigi, sebaiknya
memiliki kemampuan mengenal lesi-lesi mukosa mulut termasuk BMG, sehingga
dapat memberikan penanganan yang tepat pada pasien.

Kata kunci : benign migratory glossitis, alergi, atopi

Allergic Reaction Related to Benign Migratory Glossitis


(Literature Review)

Nanan Nur’aeny
Oral Medicine Departement Faculty of Dentistry Universitas Padjadjaran

Abstract
Allergic conditions are widely known as asthma, rhinitis, or dermatitis, but its
manifestations in oral mucosa has still not widely known. Benign migratory glossitis
(BMG) is a common oral lesions, but not many people know about allergic reactions
related BMG. Some studies in atopic patients found BMG as their oral lesion. Atopic
individual is an individu who has an allergic condition with genetic background.
Previous studies demonstrating an increased incidence of HLA-B15 in atopic patients
with BMG. BMG is a benign of oral lesion, clinically as irregular erythematous
patches surrounded by a white border, occurs on dorsum and can extend to lateral of
the tongue, often as multiple lesion, and looks like a "map" that can change over time,
most cases are asymptomatic. A postulate said that BMG has similarities in
pathogenesis with rhinitis or asthma that both as a result of an acute inflammatory
reaction triggered by an environmental irritants. Trigger factors can explored from
complete anamnesa to helps making the diagnosis. Some oral lesions may resemble
BMG such as oral lichen planus, erythematous candidiasis, or oral leukoplakia.
Dentist should be able to recognize oral mucosal lesions such as BMG, so can provide
a good handle for the patients.

Key words: benign migratory glossitis, allergy, atopy

Pendahuluan
Kondisi alergi pada tubuh sudah banyak diketahui, diantaranya yang
bermanifestasi pada organ pernafasan seperti asma, atau rinitis, dan dermatitis pada
kulit1, tetapi manifestasi alergi pada mukosa mulut masih belum banyak dikenal.
Benign migratory glossitis (BMG) merupakan lesi mulut yang umum 2, tetapi belum
banyak diketahui bahwa BMG dapat terkait dengan reaksi alergi. Beberapa penelitian
terhadap pasien atopi menunjukkan adanya lesi BMG.3,4 Individu atopi adalah
individu yang memiliki kondisi alergi yang dilatarbelakangi faktor genetik.5 Hasil
penelitian menunjukkan, pasien atopi yang memiliki lesi BMG, mengalami
peningkatan insidensi human leukocyte antigen (HLA) B15.6 Pada makalah ini akan
disampaikan hasil tinjauan pustaka mengenai benign migratory glossitis yang terkait
dengan reaksi alergi.

Telaah Pustaka
Tinjauan Umum Benign Migratory Glossitis
BMG merupakan daerah berwarna merah yang tidak beraturan akibat depapilasi
dan penipisan (atrofi) epitel dorsum lidah, dikelilingi oleh bagian tepi yang terlihat
berwarna lebih putih daripada permukaan lidah sekitarnya diakibatkan oleh papila
yang beregenerasi atau mengalami hiperkeratosis. 2,7 (Gambar 1) BMG merupakan
lesi mulut yang bersifat jinak2, sering terjadi pada dorsum lidah dan dapat meluas ke
bagian tepi lidah, berjumlah banyak, terlihat seperti gambaran “peta”.6 Kalimat
migratory glossitis menunjukkan terjadinya deskuamasi dan proliferasi yang terjadi
simultan pada beberapa lokasi yang berbeda sehingga lesi dapat terlihat berpindah.2
Banyak istilah yang dipakai dalam literatur untuk menunjukkan kondisi yang sama
yaitu geographic tongue, erythema migrans, annulus migrans8,wandering rash,
lingua geographica, exfoliatio areata linguae, superficial migratory glossitis, lingual
dystrophy, pityriases linguae, transitory benign plaques of the tongue, marginal
exfoliative glossitis, and glossitis areata migrans.9 Kondisi inflamasi ini pertama kali
dilaporkan pada tahun 1831 oleh Rayer.10
Insidensi BMG pada populasi sekitar 1-2%, dapat ditemukan pada usia anak
maupun dewasa, baik perempuan maupun laki-laki.6,11 BMG ditandai oleh adanya
periode eksaserbasi dan remisi dengan durasi yang berbeda. Saat remisi, kondisi lidah
membaik tanpa meninggalkan jaringan parut.2 Sesuai dengan aktivitas lesi, tanda
klinis dapat bervariasi mulai dari lesi tunggal sampai multipel meliputi seluruh
permukaan lidah.12 BMG umumnya tidak sakit, tetapi beberapa pasien dapat
merasakan sensasi terbakar yang diperparah oleh rasa pedas atau makanan asam.6,7
Gambar 1. Benign Migratory Glossitis2.

Penyebab BMG lebih sering dilaporkan melibatkan faktor genetik 6,11,12, beberapa
hasil penelitian juga melaporkan adanya hubungan BMG dengan kondisi alergi
seperti pada individu atopi yang memiliki riwayat asma, rinitis, atau dermatitis. 6,7
Faktor-faktor predisposisi yang lainnya yang dilaporkan terkait dengan terjadinya
BMG diantaranya defisiensi nutrisi, infeksi 7, kondisi psikologis/stress emosional 7,8,
atau riwayat psoriasis dalam keluarga.6
Klasifikasi BMG menurut Ghom, menyebutkan bahwa terdapat 4 tipe lesi BMG,
yaitu tipe 1 jika lesi BMG hanya terjadi pada lidah disertai fase aktif dan remisi, tipe 2
terjadi pada lidah dan lokasi lain di dalam mulut, tipe 3 dibagi dalam dua bentuk yaitu
bentuk fixed yaitu terjadi pada beberapa bagian lidah tapi tidak disertai perpindahan
lesi, lesi mungkin menghilang tetapi akan muncul lagi pada tempat yang sama, bentuk
lainnya adalah bentuk abortive yaitu lesi diawali sebagai bercak putih kekuningan
tetapi menghilang sebelum terlihat sebagai lesi BMG, dan tipe yang terakhir yaitu tipe
4 adalah tidak ada lesi pada lidah tetapi daerah lesi BMG terlihat pada lokasi lain
dalam mulut.7
Gambaran histopatologis BMG paralel dengan gambaran klinisnya yang
memiliki pola dari bentuk psoriasis yaitu berupa hilangnya papila filiformis yang
menyebabkan secara klinis terlihat lesi mirip ulser (ulcer-like lesions)13, dan pada
tepinya terdapat daerah hiperkeratosis dan akantosis. Parakeratin mengalami
deskuamasi dengan ditandai oleh bermigrasinya leukosit polymorphonuclear dan
limfosit ke dalam epitel. Hal ini menyebabkan sel epitel mengalami degenerasi dan
pembentukan microabscess yang dikenal sebagai Monro’s abses yang berada dekat
permukaan, selain itu terdapat pula infiltrasi sel inflamasi seperti neutrofil, limfosit,
dan sel plasma ke dalam jaringan ikat.7
Diagnosis BMG ditegakkan berdasarkan pemeriksaan tanda klinis lesi dan fisik,
serta pengambilan anamnesis secara lengkap untuk mengetahui riwayat gejala yang
menyertai.6,7,14 Pemeriksaan biopsi bukan suatu indikasi untuk penegakkan lesi
BMG.8 Diagnosis banding lesi BMG sebagai suatu psoriasis, jika terdapat lesi
psoriasis pada kulit, atau sebagai suatu kondisi anemia, sesuai hasil pemeriksaan
hematologi dan secara klinis tidak adanya peninggian tepi lesi yang berwarna putih
kekuningan.7 Lesi mulut lainnya yang dapat memiliki gambaran klinis yang mirip
adalah oral lichen planus, erythematous candidiasis, atau oral leukoplakia 6,12
Penanganan BMG sebagai lesi mulut jinak pada beberapa kasus yang
asimtomatis tidak perlu dilakukan, tapi tetap dilakukan pemantauan,. Jika pasien
merasakan adanya keluhan maka dapat diberikan terapi simtomatis, seperti
prednisolon, atau siklosporin topikal, dan pemberian antihistamin. Jika diduga
terdapat infeksi sekunder berupa kandidiasis, maka dapat diberikan anti jamur topikal
maupun sistemik.15
Tinjauan Umum Alergi dan Atopi
Istilah “hipersensitivitas” pertama kali digunakan secara klinis pada tahun 1893
oleh Emil von Behring, sedangkan kata “allergi”, berasal dari bahasa Yunani “allos
ergos” yang berarti perubahan reaktivitas, istilah ini digunakan pertama kali pada
tahun 1906 oleh Clemens von Pirquet untuk menunjukkan suatu kondisi imun
protektif dan reaksi hipersensitif yang dipengaruhi oleh suatu antigen16,20. Istilah
alergi pada awalnya dimaksudnya untuk menunjukkan suatu respons biologis yang
baik (sebagai imunitas) maupun kondisi saat terjadi penyakit allergi (kondisi yang
berbahaya), tetapi saat ini istilah alergi dipersempit hanya untuk menunjukkan
kondisi penyakit alergi yang diperantarai imunoglobulin E (IgE). 16,17 Hipersensitivitas
merupakan kondisi respons imun berlebih sehingga dapat membahayakan individu
yang mengalaminya. Coombs dan Gel membuat klasifikasi reaksi hipersensitivitas
dalam empat tipe, yaitu tipe I (hipersensitivitas cepat / alergi), tipe II (reaksi
hipersensitivitas sitotoksik), tipe III (hipersensitivitas kompleks imun), dan tipe IV
(hipersensitivitas lambat- diperantai sel).18,19
Coca dan Coke pertama kali menggunakan istilah “atopi” pada tahun 1920. 20
“Atopos” merupakan asal kata “atopi” yang berasal dari bahasa Yunani berarti tidak
pada tempatnya atau tidak biasa.18,21 Coca dan Coke menunjukkan beberapa kondisi
terkait atopi yaitu herediter, terbatas pada sekelompok kecil pasien, berbeda dengan
anafilaksis (kondisi akibat kurangnya proteksi) dan alergi (perubahan reaksi),
merupakan respons abnormal yang bersifat kualitatif yang hanya dialami oleh
beberapa individu (atopik), secara klinis ditandai oleh hay fever/rinitis alergika, atau
asma bronkial, dan reaksi tipe cepat pada kulit (wheal and flare).20 Johansson, dkk
membuat diagram pembagian nomenklatur hipersensitivitas seperti dalam gambar 2.

Gambar 2. Diagram Pembagian Nomenklatur Hipersensitivitas.20


Manifestasi klinis dari reaksi alergi tergantung dari respon tubuh, sifat antigenik,
dan predisposisi alergi setiap individu. 19 Rinitis, asma, konjungtivitis, urtikaria,
angioedem, eksim kontak alergi, eksim atopi/dermatitis, erupsi eksantema akibat obat
dan anafilaksis merupakan kondisi klinis yang dihubungkan dengan alergi. 16,20 Gejala
dan tanda awal reaksi hipersensitivitas tipe 1/alergi (reaksi anafilaksis/
hipersensitivitas tipe cepat ) termasuk wheezing/ mengi, sulit bernapas, bersin, mata
berair, gatal dan urtikaria, yang terjadi dalam waktu beberapa menit sampai satu
jam.19 Pada manusia hanya antibodi IgE yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis.
Reaksi ini terjadi akibat reaksi antigen antibodi pada permukaan sel mast dan aktivasi
suatu seri enzim yang memicu pelepasan vasodilator dari sel mast, yaitu histamin,
leukotrien, serotonin, bradikinin, dan kallidin. 22 IgE yang disekresikan oleh sel
plasma akan berikatan dengan reseptor FcεRI, yaitu reseptor yang memiliki afinitas
tinggi terhadap IgE.23
Individu atopi berbeda dengan bukan atopi dalam merespons suatu alergen.
Individu yang bukan atopi merespons dengan menghasilkan antibodi IgG1 dan IgG4
yang spesifik terhadap alergen, dan secara in vitro sel T akan merespons alergen
dengan berproliferasi dan memproduksi interferon gamma (IFN-γ) yang menjadi
karakteristik dari sel Th1.16 Individu atopi akan merespons suatu alergen secara
berlebih, ditunjukkan dengan adanya peningkatan kadar serum total antibodi IgE, IgE
spesifik terhadap suatu alergen serta hasil tes kulit positif. Sel T dari darah tepi
merespons terhadap alergen dengan menghasilkan sitokin-sitokin Th2 yaitu
interleukin-4 (IL-4), IL-5, dan IL-13 (Gambar 3), sedangkan Th1 menghasilkan
sitokin IFN-γ, dan IL-2.16 Dosis alergen mempengaruhi terjadinya reaksi
hipersensitivitas akut (alergi) atau selanjutnya berkembang menjadi fase lambat
(kronis) dalam waktu 6-9 jam berikutnya yang dipicu salah satunya oleh IL-5 yang
dikeluarkan oleh sel Th2.16 (Gambar 4)

Gambar 3. Faktor yang mengatur produksi IgE.23


Gambar 4. Reaksi Hipersensitivitas Akut dan Kronis. 16

Tinjauan Umum Respons Imun Mukosa Mulut


Mukosa mulut seperti halnya kulit atau bagian organ tubuh lainnya juga memiliki
sistem imun untuk menghadapi setiap benda asing/ antigen yang akan masuk. lapisan
mukosa mulut, saliva, dan cairan gusi merupakan sistem imun nonspesifik dalam
rongga mulut. Susunan sel epitel gepeng berlapis yang pada mukosa mulut menjadi
penghalang masuknya antigen terutama pada lapisan yang berkeratin seperti gusi,
palatum atau dorsum lidah, berbeda halnya dengan mukosa tidak berkeratin yang
permeabilitasnya tinggi sehingga memungkinkan bagi antigen berbahaya dapat
masuk.24,25 Regenerasi sel epitel mukosa mulut terjadi lebih cepat daripada di kulit
sehingga hal ini juga membantu dalam mencegah masuknya antigen. 26 Sel mast juga
berdistribusi pada seluruh mukosa mulut, sehingga pada kondisi alergi sel ini yang
melepaskan histamin.26 Mukosa mulut juga menyediakan respons imun spesifik
melalui sel dendritik yang tersebar dalam lapisan sel epitel termasuk lapisan terluar,
dan memiliki reseptor FcεRI yang berperan dalam inflamasi alergi termasuk pada
kondisi atopi.27,28
Sebagai bagian dari MALT (mucosa-associated lymphoid tissue), mukosa mulut
menunjukkan sistem imun yang ekstensif dan lebih spesifik. 29 Seperti pada gambar 5
menunjukkan kompleksitas sistem imun yang juga terjadi dalam mukosa mulut yang
melibatkan sel-sel imun seperti antigen precenting cell (APC) termasuk sel dendritik
(DC), sel Langerhans (LC), sel limfosit intraepitel (IEL). MALT termasuk M-cell-like
cell pada epitel tonsil berfungsi mengantarkan antigen pada APC, termasuk lamina
propria. 30 (Gambar 5)
Gambar 5. Struktur dan Sel imun dalam Sistem Mukosa Mulut. 30

Hubungan Benign Migratory Glossitis dengan Reaksi Alergi/Atopi


Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan hubungan reaksi alergi
atau kondisi atopi dengan terjadinya BMG, termasuk beberapa penelitian mengenai
hubungan BMG dengan peningkatan kadar serum IgE, faktor genetik/herediter, gejala
alergi/atopi, dan tes penunjang alergi. Berikut pada tabel 1 merupakan hasil tinjauan
terhadap beberapa penelitian yang terkait dari tahun 1979 sampai 2013.
Tabel 1. Karakteristik Hasil Studi Hubungan Benign Migratory Glossitis dengan Reaksi Alergi/Atopi

Studi Sampel kasus dan Kontrol Hasil


Penulis pertama, tahun Disain Negara Sumber Usia Jumlah
(Referensi)
Mark R, 1979 31 Case Control UK - - 100 Frekuensi kelompok kasus (riwayat asma,
eksim, hay fever +) --> lebih tinggi dari
kelompok kontrol (signifikan)
Kadar IgE serum total (≥200 u/ml) lebih
tinggi pada kelompok kasus

Marks R, 1980 32 Case Control UK - - - 95 pasien memiliki BMG


Frekuensi B15 meningkat pada kelompok
kasus dibanding kelompok kontrol (sehat)
Pada kelompok atopi dengan BMG
frekuensi B15 meningkat dan B40
menurun dibanding kontrol

Barton DH, 1982 9 Cross sectional USA Private Pedodontic 2-19 tahun 5466 Kasus BMG sebanyak 79 kasus
Practice in South (43 laki-laki, 36 perempuan)
Bend, Indiana Rata-rata usia 6,8 tahun
32 kasus (40,5%) terkait alergi -->
signifikan

Mark R, 1984 33 Case Control Australia Department of - - 102 pasien (asma/ rinitis + akibat alergi
Medicine faktor lingkungan) mengalami BMG (lebih
Alfred Hospital besar dari kelompok kontrol) --> signifikan
Prahran

Fenerli A, 1993 34 Case Control Greece Department of - 430 50 pasien dengan BMG, 380 individu
Dental School kelompok kontrol
Oral Pathology 20% pasien memiliki antigen DRW6
2 Thivon dibanding kelompok kontrol (signifikan)
Antigen DR5 sebanyak 54% dibanding
kontrol 35,7% (signifikan) Antigen B51
menurun pada kelompok kasus
(12%) dibanding kontrol (26,3%) Antigen
DR2 juga menurun pada kelompok kasus
(24%) dibanding kontrol (39,2%)

Jainkittivong A, 200535 Case control Thailand Chulalongkorn 9-79 tahun 376 insidensi tertinggi usia 20-29 (39,4%)
University Dental perempuan > laki-laki
School Registry alergi sebagai kondisi medis terbanyak
(23%) asma/rinitis sebagai kondisi medis
kedua terbanyak (14-17%

Miloglu O, 2009 3 Case control Turkey Department of 4-60 tahun 7619 Perempuan > Laki-laki (P=3819, L=3800)
Oral Diagnosis and BMG ditemukan sebanyak 1,5%
Oral Radiology (95% CI:0,9-1,9)
Faculty of Dentistry Usia <30th (OR:6,7(95% CI 2,9-15,5)
Ataturk University Riwayat alergi/atopi (6,5[3,3-12,5])
Tidak merokok (6,3[2,8-14,1])

Goregen M, 2010 36 Case control Turkey - - 80 Tes Prick (+) pada 10 sampel kasus (25%)
Tes Prick (+) pada 4 sampel kontrol (10%)
Tes Patch (+) pada 12 sampel kasus (30%)
Tes Patch (+) pada 6 sampel kontrol (15%)
Kelompok kasus = evaluasi kedua tes
positive rate 47,5%
Kelompok kontrol = evaluasi kedua tes
positive rate 22,5%

Nuraeny N, 2013 37 Case control Indonesia Rumah Sakit dr. 9-79 tahun 61 18 pasien laki-laki, 43 perempuan
Hasan Sadikin Usia terbanyak 20-29 tahun
Bandung dari 30 pasien atopi dengan lesi mulut, 3
memiliki lesi BMG
(pada 2 pasien dengan rinitis alergika dan 1
pasien asma bronkial)
30 pasien atopi dengan lesi mulut (kadar
serum total IgE lebih tinggi daripada
kelompok kontrol--> signifikan)

Honarmand M, 2013 4 Cross sectional Iran Department of Oral 10-79 tahun 2000 156 pasien dengan BMG (7,8%)
Medicine of Zahedan Insidensi tertinggi pada kelompok
Dental School usia 20-29 th (3,1%)
Distribusi BMG terbanyak pada
kelompok alergi/atopi
(33,3%) --> (signifikan P<0,001)
Pembahasan
Data yang tersaji pada semua penelitian menunjukkan adanya keterkaitan yang
signifikan terhadap kondisi alergi/atopi pada pasien-pasien dengan lesi mulut BMG,
meskipun beberapa informasi tidak disajikan secara lengkap pada fulltext maupun
abstraknya, sehingga masih diperlukan telaah lebih jauh tentang penelitian tersebut.
Enam penelitian telah dilakukan sejak tahun 1979-2013 terhadap populasi individu
yang memiliki riwayat alergi/atopi dengan gejala-gejala seperti asma, hay
fever/rinitis, dermatitis atopik dan menunjukkan hasil signifikan untuk lesi
BMG.3,4,9,31,33,35,37 Suatu postulat mengatakan bahwa terdapat kesamaan patogenesis
BMG dengan rinitis atau asma akibat reaksi inflamasi akut yang dipicu oleh suatu
iritan dari lingkungan.12
Informasi mengenai riwayat alergi sangat penting untuk diketahui dalam
menegakkan diagnosis alergi/atopi, meliputi onset gejala, gejala yang dirasakan,
riwayat dalam keluarga, pemeriksaan dan pengobatan yang sudah didapat. Riwayat
yang sama dalam keluarga terutama orang tua sangat menentukan kondisi alergi/atopi
yang dialami pada anak. Hubungan genetik antara atopi dan BMG juga telah
dibuktikan dengan adanya peningkatan insidensi HLA-B15,32 antigen DRW6 dan
DR5.34 Jika kondisi alergi tidak disadari pasien seperti pada kasus BMG yang
seringkali pasien tidak mengetahui kondisi mulutnya berhubungan dengan alergi
maka penggalian anamnesa sangat penting. Keluhan pada organ lain seperti sering
bersin-bersin dan hidung berair di pagi hari atau jika terkena debu, gatal atau adanya
lesi dermatitis pada kulit, atau keluhan sesak/asma sebaiknya juga ditanyakan. Pada
pasien anak dengan lesi BMG, seringkali lesi terjadi terkait kondisi alergi, sehingga
perlu ditanyakan pada orang tua riwayat atopi dalam keluarga dengan gejala-gejala
alergi seperti yang telah disebutkan. Berdasarkan teori atopic march menyebutkan
bahwa sesuai perjalanan usianya, individu atopi dapat mengalami spektrum “penyakit
atopi”, yaitu pada usia satu tahun dapat mengalami gejala pada pencernaan dan kulit
berupa eksim/dermatitis, biasa disebabkan oleh alergen makanan, lalu sejalan dengan
pertambahan usia dapat mengalami asma dan rinitis alergika akibat debu, polutan,
tungau atau alergen inhalan lainnya.20
Diagnosis penyakit alergi terutama tergantung pada riwayat klinis, didukung
dengan pemeriksaan fisik, dan tes sensitivitas terhadap suatu alergen.5 Pemeriksaan
klinis lesi BMG menunjukkan gambaran klinis yang khas berupa daerah (bercak)
berwarna merah yang tidak beraturan akibat depapilasi dan penipisan (atrofi) epitel
dorsum lidah, dikelilingi oleh bagian tepi yang terlihat berwarna lebih putih daripada
permukaan lidah sekitarnya diakibatkan oleh papila yang beregenerasi atau
mengalami hiperkeratosis.2,7 Gambaran klinis ini dapat menyerupai beberapa lesi
mulut lainnya diantaranya oral lichen planus, erythematous candidiasis, atau oral
leukoplakia 6,12, sehingga sangat diperlukan informasi dari anamnesis yang lengkap
dan pemeriksaan penunjang, jika diduga terkait reaksi alergi maka dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan kadar serum total IgE, IgE spesifik, tes
kulit terhadap suatu alergen (prick test atau patch test), dan pemeriksaan eosinofil
yang biasanya menunjukkan peningkatan kadarnya pada darah tepi. 38 Hasil penelitian
lainnya juga telah menunjukkan adanya hubungan BMG pada kelompok populasi
atopi dengan hasil signifikan berdasarkan pemeriksaan kadar serum total IgE
menunjukkan hubungan signifikan pada kelompok atopi yang memiliki lesi BMG
terhadap peningkatan kadar IgE.37 Tes sensitivitas terhadap alergen spesifik pada kulit
(tes prick dan patch) juga telah menunjukkan hasil signifikan pada kelompok yang
memiliki alergi dan lesi BMG.36

Simpulan
BMG sebagai lesi mulut yang dapat dijumpai oleh dokter gigi saat pemeriksaan
gigi rutin di tempat praktek dokter gigi, tetapi seringkali pasien tidak menyadari
kondisi lidahnya tersebut. Dokter gigi sebaiknya dapat memberikan informasi terkait
kondisi klinisnya tersebut, salah satunya informasi mengenai kondisi alergi yang
dapat menyebabkan lesi BMG, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat membantu
pasien dengan memberikan penanganan yang tepat.

Daftar Pustaka

1. Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST, Lockey RF. WAO White Book on Allergy
2011-2012: Executive Summary, 2012. World Allergy Organization (WAO). p.1-24.
2. Desai VD, Baghla P. Asymptomatic Reversible Lesion on Tongue – Case Series in
Pediatric Patients. J Adv Med Dent Scie 2014;2(2):176-179.
3. Miloglu O, Goregen M, Akqul HM, Acemoglu H. The Prevalence and Risk Factors
Associated with Benign Migratory Glossitis Lesions in 7619 Turkish Dental
Outpatients. J of Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology, and
Endodontics 2009;107(2):29-33.
4. Honarmand M, Mollashahi LF, Shirzaiy M, Sehhatpour M. Geographic Tongue
Associated Risk Factors Among Iranian Dental Patients. Iranian J Publ Health
2013;42(2):215-9.
5. Motala C, Hawarden D. Diagnostic Testing in Allergy. SAMJ 2009;99(7):531-5.
6. Scully C. Oral and Maxillofacial Medicine, 2 nd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone
Elsevier. 2008. p.205-6.
7. Ghom AG. Textbook of Oral Medicine. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd. 2005. P.475-6.
8. Shoba BV, Barkha N. Benign Migratory Glossitis: Report of Two Cases. Indian J Dent
Adv 2011; 3(4): 708-710.
9. Barton DH, Spier SK, Crovello TJ. Benign Migratory and Allergy. Pediatric
Dentistry 1982;4(3): 249-50.
10. Sigal MJ, Mock D. Symptomatic Benign Migratory Glossitis. Report of Two Cases
and Literature Review. Pediatric Dentistry 1992;14(6): 392-6.
11. Gandolfo S, Scully C, Carrozzo M. Oral Medicine. 1st ed. Edinburgh: Churchill
Livingstone Elsevier. 2006. P.70-2.
12. Jontell M, Holmstrup P. Red and White Lesions of The Oral Mucosa in Burket’s Oral
Medicine. 11th ed. Hamilton: BC Decker Inc. 2008. P.103-5.
13. Assimakopoulos D, Patrikakos G, Fotika C, Elisaf M. Benign Migratory Glossitis or
Geographic Tongue: an Enigmatic Oral Lesion. The American Journal of Medicine
2002;113(9):751-5.
14. Kumar D, Das A, Gharami RC. Benign Migratory Glossitis. Indian Pediatric
2013;50:1178.
15. Mirza D, Kureshi NR, Naqvi K. Benign Migratory Glossitis as Unusual Enigmatic
Lesion. Pakistan Oral & Dental Journal 2013;33(3):470-2.
16. Kay AB. Overview of Allergy and Allergic Diseases: with a View to the Future.
2000;56(4):843-64.
17. Murphy K, Travers P, Walport M. Janeway’s Immunobiology. 7th ed. New York:
Garland Science. 2008.p.555-91.
18. Truter I. An Evidence-Based Approach to Atopic Patients. S Afr Pharm J
2011;78(8):12-8.
19. Scully C. Medical Problems in Dentistry. 6th ed. Edinburgh: Churchill Livingstone
Elsevier. 2010. p.411-24.
20. Johansson SGO, et al. A Revised Nomenclature for Allergy. An EAACI Position
Statement From EAACI Nomenclature Task Force. Allergy 2001;56:813-24.
21. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology. 6 th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier. 2010.p.441-61.
22. John P. Principles of Practical Oral Medicine and Patient Evaluation. 2 nd ed. New
Delhi: CBS Publishers & Distributors. 2006.p.276-81.
23. Pate MB, Smith JK, Chi DS, Krishnaswarny G. Regulation and Dysregulation of
Immunoglobulin E : A Molecular and Clinical Perspective. Clinical and Molecular
Allergy. 2010;8(3):1-13.
24. Lamont RJ, Burne RA, Lantz MS, LeBlanc DJ. Oral Microbiology and Immunology.
1st ed. Washington DC: ASM Press. 2006.p.201-7.
25. Novak N, Haberstok J, Bieber T, Allam JP. The Immune Privilege of The Oral
Mucosa. Trends in Molecular Medicine. 2008;14(5):191-8.
26. Lokesh P, Elizabeth Z, Umadevi K, Ranganathan K. Allergic Contact Stomatitis: A
Case Report and Review of Literature. Indian Journal of Clinical Practice.
2012;22(9):458-62.
27. Allam JP, et al. Distribution of Langerhans Cells and Mast Cells within the Human
Oral Mucosa: New Application Sites of Allergen in Sublingual Immunotherapy?
Allerg. 2008;36(6):720-7.
28. Incorvaia C, Frati F, Sensi L, Riario SGG, Marcucci F. Allergic Inflammation and The
Oral Mucosa. Recent Patents on Inflammation & Allergy Drug Discovery.
2007;1(1):35-8.
29. Walker DM. Oral Mucosal Immunology: An Overview. Annals of the Academy of
Medicine 2004;33(4):27-30.
30. Wu RQ, Zhang DF, Tu E, Chen QM, Chen WJ. The Mucosal Immune System in the
Oral Cavity - An Orchestra of T Cell Diversity. International Journal of Oral Science
2014(6):125-32.
31. Marks R, Simons MJ. Geographic Tongue: A Manifestation of Atopy. Br J Dermatol
1979; 101(2):159–62.
32. Marks R, Tait B. HLA Antigens in Geographic Tongue. Tissue Antigens
1980;15:60-2.
33. Marks R, Czarny D. Geographic Tongue: Sensitivity to The Environment. Oral Surg
1984;58:156-9.
34. Fenerli A, Papanicolaou S, Papanicolaou M, Laskaris G. Histocompatibility Antigen
and Geographic Tongue. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology
1993;76(4):476-9.
35. Jainkittivong A, Langais RP. Geographic Tongue: Clinical Characteristics of 188
Cases. The Journal Contemporary Dental Practice 2005;6(1).p.1-11.
36. Goregen M, Melikoglu M, Miloglu O, Erden T. Predisposition of Allergy in Patients
with Benign Migratory Glossitis. J of Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology,
Oral Radiology, and Endodontics 2010;110(4):470-4.
37. Nur’aeny N. Hubungan Antara Kejadian Lesi Mulut dengan Kadar IgE Serum Total
pada Pasien Atopi. Bandung: Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD. 2013.
38. Feijen M, Gerritsen J, Postma DS. Genetics of Allergic Disease. British Medical
Bulletin 2000;56(4): 894-907.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai