Anda di halaman 1dari 10

demi narendra fh ui 2021

UTS ORKEL
Subjek Hukum (Persoon)
● Subjek hukum, menurut KUHPer, dibagi menjadi dua:
1. Manusia (natuurlijk persoon)
○ Manusia sebagai subjek hukum, dimulai pada saat dilahirkan dan berakhir pada saat meninggal.
○ Pengecualian: Pasal 2 KUHPer, yang menyebutkan bahwa bayi yang berada di kandungan dan dilahirkan
dapat menjadi subjek hukum, apabila kepentingannya menghendaki. Syaratnya:
a. Anak tersebut sudah dibenihkan atau sudah dikonsepsikan (sudah bevrucht);
b. Anak tersebut dilahirkan hidup; dan
c. Anak untuk dianggap sudah dilahirkan, harus mempunyai kepentingan.
○ Hanya manusia berikut yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum.
1. Dewasa (>= 21 tahun atau telah kawin, menurut Pasal 330 KUHPer); dan
2. Tidak berada di bawah pengampuan (curatele) (Pasal 1330 KUHPer jo. Pasal 433 KUHPer).
○ Bagi orang-orang tersebut, kewenangan mereka diwakilkan oleh orang tua atau wali khusus.
○ Wanita bersuami, sebelum adanya UU No. 1 1974 Pasal 31, perbuatan hukum kekayaan diwakili oleh
suaminya.
○ Hak-hak subjektif manusia sebagai subjek hukum:
a. Hak absolut → dapat dipertahankan terhadap siapa saja.
i. Hak atas diri pribadi
ii. Hak kekeluargaan
iii. Hak kebendaan
b. Hak relatif → dapat dipertahankan terhadap beberapa orang tertentu, lahir karena perjanjian.
2. Badan hukum (recht persoon)
○ Badan hukum adalah konstruksi abstrak yang diciptakan oleh hukum sebagai satu kesatuan yang berdiri
sendiri dan dapat bertindak sendiri sesuai hukum dalam arti mempunyai hak dan kewajiban dalam lalu
lintas hukum.
○ Contoh badan hukum → PT., Yayasan, Koperasi.
○ Ciri-ciri/syarat-syarat badan hukum secara materiil menurut Prof. Meyers:
1. Ada harta kekayaan sendiri → harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadi
anggota atau para pendirinya.
2. Ada tujuan tertentu → tujuan idiil dan komersial, bukan untuk kepentingan beberapa anggota.
3. Ada kepentingan sendiri → hak subjektif, dilindungi hukum, harus stabil untuk jangka waktu yang
panjang.
4. Ada organisasi yang teratur → mempunyai alat perlengkapan yang tugas dan fungsinya ditetapkan
dalam anggaran dasar.
○ Teori-teori badan hukum:
a. Teori fictie (F.C. von Savigny) → Badan hukum kedudukannya sebagai subjek hukum adalah
merupakan ciptaan hukum.
b. Teori organ (Otto van Gierke) → Badan hukum dibandingkan dengan manusia kodrati yang
mempunyai anggota badan dapat berpikir dan berbuat melalui organ-organnya.
■ Organ-organ badan hukum adalah direksi, komisaris, dan rapat umum pemegang saham.
■ Perbuatan organ dibatasi ketentuan internal yang sudah ditetapkan.
■ Organ bertanggung jawab apabila melampaui kewenangan, bukan badan hukum.
demi narendra fh ui 2021
■ Kalau melawan hukum, badan hukum yang bertanggungjawab (Pasal 1365 KUHPer).
c. Teori kekayaan dengan satu tujuan/doelver-mogen (A. Brinz) → Badan hukum menurut teori ini
adalah harta kekayaan yang berdiri sendiri dan mempunyai tujuan tertentu.
d. Teori propriete collective (Planiol & Molengraff) → Hak, kewajiban, dan kekayaan badan hukum
adalah milik anggota bersama-sama (badan hukum sebagai konstruksi yuridis).
e. Teori kenyataan yuridis (Majers) → Persamaan badan hukum dan manusia hanya di bidang hukum
saja.
○ Pembagian badan hukum:
a. Berdasarkan Pasal 1635 KUHPer:
■ Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah → daerah provinsi, kota, bank-bank yang didirikan
oleh negara.
■ Badan hukum yang diakui pemerintah → perkumpulan, gereja, organisasi agama, etc.
■ Badan hukum yang didirikan untuk maksud tertentu → PT, Koperasi, etc.
b. Berdasarkan wujud:
■ Korporasi → badan hukum yang beranggota, punya hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari
hak dan kewajiban anggotanya. E.g., PT., Koperasi.
■ Yayasan → harta kekayaan untuk tujuan tertentu, seperti kepentingan sosial, keagamaan,
kemanusiaan, tidak ada anggota.
c. Berdasarkan jenis
■ Badan hukum publik → didirikan oleh pemerintah, lapangan kerja untuk kepentingan umum.
■ Badan hukum privat → didirikan oleh perseorangan, lapangan kerja untuk kepentingan
perseorangan.
d. Berdasarkan tujuan:
■ Untuk mengejar kepentingan ekonomi → PT, Koperasi.
■ Untuk mengejar sesuatu yang ideal → Yayasan, Partai Politik.
e. Berdasarkan pendiriannya:
■ Badan hukum yang didirikan oleh pemerintah → berdasarkan UU, bertujuan untuk mencapai
tujuan negara yang ideal.
■ Badan hukum yang didirikan perseorangan → didirikan oleh WNI/WNA, diakui oleh pemerintah,
untuk kepentingan ekonomi/ideal.
● Setiap subjek hukum harus memiliki tempat tinggal yang dapat dicari, yaitu domicili, dimana seseorang oleh
hukum dianggap selalu hadir.
● Bagi orang yang tidak memiliki tempat kediaman tertentu, domicili-nya adalah tempat ia sungguh-sungguh
berada.

Keadaan Tak Hadir (Afwezigheid)


● Keadaan tidak hadirnya seseorang di tempat kediamannya karena meninggalkan tempat tinggalnya, baik dengan
meninggalkan kuasa maupun tidak dimana keberadaannya tidak diketahui.
● Diatur dalam Pasal 463-496 KUHPer.
● Seseorang dinyatakan tidak hadir karena tidak berada di tempat kediamannya dimana ia menjalankan hak dan
kewajibannya. Tidak termasuk orang-orang yang tidak memiliki domisili.
● Kewajiban pengurus:
1. Membuat daftar barang–barang yang diserahkan kepadanya;
demi narendra fh ui 2021
2. Menyetor segala uang konan dari orang yang tidak hadir; dan
3. Membuat suatu pertanggungjawaban harta.
● Tahap keadaan tak hadir:
1. Tahap tindakan sementara
○ Pengadilan dapat menunjuk Balai Harta Peninggalan atau keluarga sedarah atau semenda untuk mewakili
orang yang tak hadir (diutamakan Balai Harta Peninggalan).
○ Didasarkan pada adanya kepentingan yang mendesak untuk menunjuk wakil.
○ Penunjukan Pengadilan sebagai wali didasarkan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan (suami
atau istri, pihak kreditur) atau Kejaksaan.
2. Tahap pernyataan barangkali meninggal dunia
○ Syaratnya adalah orang yang tak hadir telah meninggalkan kediamannya selama 5 tahun, tanpa menunjuk
wakil (Pasal 467 KUHPer) atau 10 tahun, jika menunjuk wakil (Pasal 470 KUHPer).
○ Tidak membutuhkan tahap tindakan sementara.
○ Pada tahap ini, wakil/kuasa memiliki hak untuk menguasai hartai, mengurus kepentingan, membela
kepentingan, dan mewakili kepentingan orang yang tak hadir.
○ Diperlukan permohonan ke Pengadilan oleh keluarga, tanpa ada kewenangan dari Kejaksaan (Pasal 467 &
470 KUHPer).
○ Dilakukan 3 kali pemanggilan selama 3 bulan masing-masing terlebih dahulu (Pasal 467 (2) KUHPer).
3. Tahap pewarisan secara definitif
○ Ahli waris, secara definitif, memiliki harta benda orang yang tak hadir, sesuai dengan bagiannya.
○ Terjadi apabila diterimanya kepastian tentang meninggal dunianya orang yang tak hadir (Pasal 485
KUHPer) atau tidak ada kabar selama 30 tahun sejak pernyataan barangkali meninggal dunia atau telah
melampaui 100 tahun sejak orang yang tak hadir lahir (Pasal 484 KUHPer).
○ Dengan adanya Pasal 39 UU No. 1 1974 jo. Pasal 19 b PP No. 9 1975, keadaan tak hadir dapat menjadi
alasan untuk permohonan perceraian.
● Pengurusan berakhir apabila:
1. Orang ybs memberitahukan keberadaannya;
2. Orang ybs meninggal dunia; atau
3. Orang ybs dinyatakan meninggal dunia.

Kecakapan Bertindak
● Dua macam kecakapan bertindak dalam hukum:
1. Cakap menurut UU → pendewasaan.
2. Cakap menurut kenyataan → memang cakap.
● Faktor-faktor yang mempengaruhi kecakapan bertindak:
a. Nasionalitas → dengan vervreemdingsverbod, orang asing tidak boleh membeli tanah.
b. Jenis kelamin → tidak menimbulkan perbedaan kewenangan berhak tetapi hanya menimbulkan perbedaan:
1. Wanita yang kawin yang diangkat menjadi wali tidak wajib menerima angkatan itu.
2. Menentukan saat kapan seseorang itu boleh kawin, untuk wanita umur 16 sedangkan pria 19 tahun.
3. Larangan yang hanya berlaku bagi wanita, yaitu larangan untuk melangsungkan perkawinan baru/yang
kedua yaitu dalam jangka waktu 300 hari setelah putusnya perkawinan.
4. Jangka waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinan dan kemudian hendak melakukan perkawinan
lagi, sedangkan untuk pria tidak mengenal waktu tunggu.
demi narendra fh ui 2021
c. Keturunan
d. Domisili
e. Kelakuan yang tidak hormat
f. Orang yang mempunyai kedudukan tertentu
g. Keadaan tak hadir (afwezigheid)
h. Pendewasaan (handlichting)
● Berdasarkan Pasal 1330 KUHPer, orang-orang yang tidak cakap adalah:
1. Orang-orang yang belum dewasa (<21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin, menurut Pasal 330
KUHPer).
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (Pasal 1330 KUHPer jo. Pasal 433 KUHPer).
3. Orang-orang perempuan (dicabut dengan adanya Pasal 31 (2) UU No. 1 1974).
● Definisi ‘dewasa’:
1. KUHPer: >20 tahun atau telah menikah (Pasal 330 KUHPer).
2. UU No. 1 1974: Anak yang lebih dari 18 tahun atau sudah melakukan perkawinan sudah tidak di bawah
kekuasaan orang tua (Pasal 47 UU No. 1 1974). Jika belum 18 tahun atau belum melakukan perkawinan, yang
tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali, untuk pribadi dan harta
bendanya (Pasal 50 UU No. 1 1974).
3. Prof. Wahyono: Berumur 21 tahun atau sudah menikah. Hal ini karena UU No. 1 1974 tidak mengatur batas
kedewasaan adalah 18 tahun dan usia menikah minimal ialah 19 tahun (pria) dan 16 tahun (wanita) (Pasal 7
UU No. 1 1974).
● Dalam hukum, terkadang orang-orang yang belum dewasa dijadikan dewasa melalui aturan pendewasaan
(handlichting), yang diatur dalam Pasal 419-432 KUHPer.
● Terdapat dua macam handlichting:
a. Handlichting sempurna (venia aetatis) (Pasal 420-425 KUHPer)
○ Berumur 20 tahun.
○ Mengajukan permohonan kepada Presiden RI, yang akan mendengar pendapat MA setelah mendengar
keterangan dari pemohon.
b. Handlichting terbatas (Pasal 426-431 KUHPer)
○ Berumur 18 tahun.
○ Mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, hanya untuk melakukan perbuatan
hukum tertentu.
○ Dapat dicabut apabila haknya disalahgunakan.
● Bagi orang-orang dewasa yang tidak cakap, dapat diajukan pengampuan (curatele)
○ Berlaku untuk orang dewasa yang dungu, sakit otak, pemboros, lemah ingatan, dan yang tidak dapat
mengurus kepentingan diri sendiri karena kelakuan buruk dan mengganggu keamanan.
○ Untuk pemboros, masih bisa membuat wasiat, perkawinan, dan perjanjian perkawinan. Namun, untuk
perkawinan, harus diizinkan dan dibantu oleh kurator.
○ Yang berwenang meminta pengampuan adalah suami atau istri dan keluarga sedarah (Pasal 434 KUHPer).
○ Untuk pemboros, dapat dimintakan oleh keluarga dekat (Pasal 434 KUHPer).
○ Bagi yang tidak bisa mengurus kepentingan sendiri, dapat meminta pengampuan bagi diri sendiri (Pasal 434
KUHPer).
○ Bagi yang membahayakan, pengampuan dapat diajukan oleh keluarga dan jaksa kepada Pengadilan Negeri
(Pasal 435 KUHPer).
demi narendra fh ui 2021

Catatan Sipil
● Manusia mengalami peristiwa-peristiwa yang secara hukum memiliki arti penting, karena menimbulkan
akibat-akibat hukum. E.g., kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan
anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan (Pasal 1 (17) UU No. 23
2006).
○ Kelahiran → untuk menjamin status seorang anak dan hubungannya dengan orang tua.
○ Perkawinan → menimbulkan hak dan kewajiban suami istri terhadap anak dan hubungannya dengan
masyarakat.
○ Perceraian → penentuan status pernikahan.
○ Kematian → warisan.
● Lembaga yang bertugas dan berwenang untuk mencatat → Catatan Sipil (Burgerlijke Stand), yang berada di
bawah naungan Departemen Dalam Negeri.
● Untuk talak dan rujuk, dicatat oleh Kantor Departemen Agama, yang berada di bawah naungan Departemen
Agama.
● Dasar hukum catatan sipil:
a. Bab Kedua dan Bab Ketiga KUHPer → pendaftaran kelahiran, kawin, izin kawin, perceraian, dan kematian
bagi Golongan Eropa di Indonesia.
b. Staatsblad 1920-751 jo. Staatsblad 1927-564 → pendaftaran kelahiran dan kematian bagi semua WNI dan
WNA di Indonesia.
c. Staatsblad 1933-75 jo. Staatsblad 1936-607 → pendaftaran perkawinan dan perceraian bagi semua WNI dan
WNA yang bukan beragama Islam di Indonesia.
d. UU No. 32 1954 → pencatatan nikah, talak, dan rujuk bagi WNI Islam.
e. UU No. 23 2006 → mencabut poin (a) dan (b), tidak lagi diskriminatif.
○ Peristiwa yang harus dicatat menurut UU ini:
a. Kelahiran;
b. Perkawinan;
c. Perceraian;
d. Kematian;
e. Pengangkatan anak;
f. Pengakuan anak;
g. Perubahan nama dan status kewarganegaraan; dan
h. Peristiwa penting lainnya.

Domisili
● Setiap subjek hukum harus memiliki tempat tinggal yang dapat dicari, yaitu domicili, dimana seseorang oleh
hukum dianggap selalu hadir (Pasal 17 KUHPer).
● Bagi orang yang tidak memiliki tempat kediaman tertentu, domicili-nya adalah tempat ia sungguh-sungguh
berada (Pasal 17 KUHPer).
● Berguna untuk:
a. Domisili perkawinan;
b. Kompetensi pengadilan putusnya perkawinan;
c. Tempat pengiriman barang hasil transaksi; dan
demi narendra fh ui 2021
d. Tempat menuntut dan dituntut apabila terjadi permasalahan hukum.
● Terdapat dua macam domisili:
1. Domisili sesungguhnya (eigenlijke woonplaats)
○ Domisili dimana subjek hukum melakukan kewenangan perdata.
○ Dibagi menjadi dua macam:
a. Domisili sukarela → bergantung pada kehendak yang bersangkutan sendiri dan tidak ditentukan oleh
hubungan dengan orang lain (Pasal 17 (1) jo. Pasal 18-19 KUHPer).
b. Domisili wajib → ditentukan berdasarkan hubungan seseorang dengan orang lain, seperti domisili
dalam jabatan-jabatan.
■ Presiden berdomisili di Istana Kepresidenan → Pasal 20 KUHPer.
■ Wanita bersuami berdomisili di tempat kediaman suami → Pasal 21 KUHPer.
■ Bagi yang belum dewasa, mengikuti domisili orang tua mereka → Pasal 21 KUHPer.
■ Bagi yang di bawah pengampuan, mengikuti domisili pengampu → Pasal 21 KUHPer.
■ Untuk pekerja buruh yang tinggal di kediaman majikan, mengikuti domisili majikan → Pasal 22
KUHPer.
2. Domisili pilihan
○ Domisili yang dipilih oleh yang bersangkutan dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.
○ Dibagi menjadi dua macam:
a. Domisili sebagaimana diperintahkan oleh UU → UU Hak Tanggungan yang mensyaratkan bagi
mereka yang tinggal di luar negeri untuk mencantumkan domisili pilihannya di Indonesia.
b. Domisili bebas → misalnya memilih domisili pada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam
kaitannya dengan perbuatan hukum tertentu.
○ Rumah kematian dianggap tempat tinggal terakhir (Pasal 23 KUHPer), dimana berkaitan dengan
penetapan warisan dan penuntutan hak-hak para ahli waris.
○ Bagi badan hukum, berlaku tempat dimana pengurusnya menetap.

Hukum Keluarga (Familierecht)


● Perkawinan, menurut Pasal 26 KUHPer, merupakan hubungan keperdataan.
● Jika mengacu kepada perkawinan menurut KUHPer, terdapat dampak buruk dan baiknya:
Dampak perkawinan menurut KUHPer

Buruk Baik

Syarat dan tata cara perkawinan menurut agama Perkawinan berlangsung abadi, hanya boleh cerai
dan adat tidak diatur dalam KUHPer. mati.

Tidak memperhatikan larangan untuk kawin Pemutusan perkawinan hanya dibatasi secara limitatif,
sesuai dengan hukum agama. yang mencegah mudahnya terjadi perceraian.

Tidak memperhatikan faktor biologis calon Dianutnya asas monogami menurut Pasal 27 KUHPer.
pasutri.

Tidak memperhatikan motif untuk kawin.


● Perkawinan, menurut Prof. Subekti, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama.
demi narendra fh ui 2021
● Perkawinan, menurut Pasal 1 UU No. 1 1974, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga).
● Latar belakang adanya UU Perkawinan
1. Ide unifikasi (Pasal 66 UU Perkawinan) → menghapus keberlakuan Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS, sehingga
adanya suatu kesatuan hukum perkawinan yang bersifat nasional. Sebelum adanya UU Perkawinan,
peraturan-peraturan mengenai perkawinan diatur dalam:
a. HOCI → Agama Kristen
b. KUHPer → Golongan Eropa
c. Hukum Islam → Agama Islam
d. Hukum Adat → Pribumi
2. Ide pembaharuan (Pasal 31 (1) UU Perkawinan) → mencabut ketidakcakapan istri pada Pasal 108 & 110
KUHPer.
● Unsur-unsur perkawinan dalam UU No. 1 1974:
○ Agama (Pasal 1, 2, 3, 51 UU Perkawinan);
○ Biologis (Pasal 4 & 7 UU Perkawinan);
○ Yuridis (Pasal 2 (2) UU Perkawinan); dan
○ Sosiologis → Batas umur perkawinan untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk.
● Perbedaan ikatan perjanjian dan perkawinan:
Perbedaan Perjanjian dengan Perkawinan

Perjanjian Perkawinan

Berlaku untuk orang-orang yang berkepentingan. Berlaku untuk semua orang.

Diadakan oleh pihak yang berkepentingan. Diadakan oleh pejabat negara (Petugas Catatan
Sipil atau Petugas Kantor Urusan Agama).

Asas kebebasan berkontrak Tidak bebas menentukan syarat-syarat perkawinan.

Hak-hak dapat dialihkan. Hak-hak tidak dapat dialihkan

Dapat dihapuskan kapan saja. Dapat diputuskan karena kematian atau


alasan-alasan yang diatur dalam UU.

Isinya ditentukan oleh para pihak, selama tidak Isinya ditentukan oleh pemerintah.
melanggar KUHPer.

Dapat dihapus bebas sesuai keinginan pihak yang Ada ketentuan untuk memutuskan perkawinan.
bersangkutan.
● Syarat-syarat perkawinan
○ Syarat materil → mengenai diri pribadi para calon yang akan melangsungkan perkawinan.
○ Syarat formal → syarat-syarat yang mendahului perkawinan dan pada saat melangsungkan perkawinan.
Jenis syarat UU Perkawinan KUHPer

Syarat Ada persetujuan antara kedua belah Ada kebebasan kata sepakat antara kedua
materiil pihak. belah pihak.
demi narendra fh ui 2021
umum
→ Pasal 6 (1) UU Perkawinan → Pasal 28 KUHPer

Batas umur adalah minimal 19 tahun Batas umur adalah minimal 18 tahun (Pria)
(Pria) dan 16 tahun (Wanita). dan 15 tahun (Wanita).

→ Pasal 7 (1) UU Perkawinan → Pasal 29 KUHPer

Menganut asas monogami terbuka/relatif. Menganut asas monogami absolut.

→ Pasal 9 UU Perkawinan → Pasal 27 KUHPer

Waktu tunggu: Waktu tunggu 300 hari sejak cerai.


- Karena cerai mati, 130 hari.
- Untuk cerai, 3 kali datang bulan
dengan 90 hari atau 90 hari saja.
- Dalam keadaan hamil, sampai
lahir.

→ Pasal 11 UU Perkawinan jo. Pasal 39


PP No. 9 1975 → Pasal 34 KUHPer

Izin oleh ortu/wali diperlukan bagi calon Izin diperlukan bagi calon mempelai di bawah
mempelai di bawah 21 tahun. Apabila 30 tahun. Apabila tidak diizinkan, dapat
kedua ortu meninggal, izin kakek nenek diminta perantara hakim. Jika tidak
DAN wali. Apabila terdapat perbedaan menghadap, perkawinan baru dapat
pendapat atau tidak adanya pendapat, dilangsungkan setelah lewat 3 bulan.
Pengadilan dapat melangsungkan setelah
mendengar pandangan masing-masing
pihak.

Syarat
materiil
khusus

→ Pasal 6 (2) UU Perkawinan → Pasal 42 KUHPer

Dilarang menikah mereka yang Tidak diatur mengenai larangan sesuai agama.
mempunyai hubungan darah, hubungan
persusuan, termasuk menurut hukum
agama.

→ Pasal 8 UU Perkawinan → Pasal 30-34 KUHPer

Syarat formil Pemberitahuan oleh kedua calon Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat
mempelai kepada pegawai pencatat nikah Sipil, yang diumumkan selama 10 hari pada
(Pegawai KUA bagi yang Islam, Pegawai pintu utama di gedung dimana dilakukan
Sebelum Catatan Sipil bagi yang non-Islam) pencatatan dilakukan.
perkawinan dengan surat-surat pembuktian
sekurang-kurangnya 10 hari sebelum
demi narendra fh ui 2021
perkawinan.

→ Pasal 4-9 PP No. 9 1975 → Pasal 50-54 KUHPer

Setelah Perkawinan dilangsungkan dihadapan Perkawinan harus dilaksanakan maksimal 1


perkawinan pegawai pencatat nikah menurut hukum bulan sejak pengumuman. Jika tidak, maka
agama yang dianut dan dihadiri oleh dua pengumuman dilakukan ulang.
orang saksi.

→ Pasal 10 PP No. 9 1975

Setelah perkawinan selesai, mempelai,


saksi, pegawai pencatat, dan wali
menandatangani akta perkawinan.

→ Pasal 11 PP No. 9 1975 → Pasal 57 KUHPer


● Pencegahan (stuiting) adalah suatu usaha untuk menghindari adanya sebuah perkawinan yang tidak sesuai dengan
ketentuan undang-undang, perkawinan tidak bisa diselenggarakan (Pasal 13 UU Perkawinan), diatur dalam Pasal
13-21 UU Perkawinan.
○ Yang berwenang untuk mencegah perkawinan:
■ Dapat dicegah oleh keluarga dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali,
pengampu, dan pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 14 UU Perkawinan).
■ Dapat juga dicegah oleh mereka yang masih terikat dalam perkawinan (Pasal 15 UU Perkawinan).
■ Dapat juga dicegah oleh pejabat yang ditunjuk (Pasal 16 UU Perkawinan yang sesuai dengan Pasal 7 (1)
jo. Pasal 8 UU Perkawinan).
○ Diajukan kepada (Pasal 17 UU Perkawinan):
■ Pengadilan dalam domisili dimana perkawinan akan dilangsungkan.
■ Pegawai pencatat perkawinan.
■ Para calon mempelai.
○ Dapat dihapuskan dengan:
■ Putusan Pengadilan.
■ Penarikan kembali permohonan pencegahan oleh pemohon.
○ Akibat hukum → Pasal 70 ayat 1 KUHPer → pegawai catatan sipil tidak berwenang melangsungkan
perkawinan, dalam hal terdapat pelanggaran pegawai catatan sipil tersebut harus membayar ganti rugi.
○ Pencegahan harus mendapatkan putusan dari Pengadilan Negeri Setempat → Pasal 66 KUHPer
○ Calon mempelai diberitahukan oleh pegawai pencatat perkawinan → Pasal 17 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974
● Suatu perkawinan yang berlangsung di luar negeri dianggap sah apabila tidak melanggar ketentuan di Indonesia
dan harus didaftarkan kepada Catatan Sipil satu tahun setelah tiba di Indonesia.
● Pembatalan perkawinan dapat terjadi sehingga perkawinan dianggap tidak sah dan calon mempelai dianggap
tidak pernah menjadi pasangan suami dan istri, diatur dalam Pasal 22-28 UU Perkawinan.
○ Menurut Pasal 85 KUHPer, suatu perkawinan batal apabila sudah diputuskan oleh Pengadilan.
○ Pasal 22 UU Perkawinan menyebutkan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi
syarat.
○ Alasan perkawinan dapat dibatalkan:
1. Adanya bigami
demi narendra fh ui 2021
2. Tidak ada persetujuan bebas → Pasal 27-28 KUHPer
3. Ketidakcakapan untuk memberikan persetujuan → Pasal 88 KUHPer
4. Belum tercapainya usia, yang ditentukan oleh UU → Pasal 89 KUHPer
5. Pelanggaran terhadap larangan perkawinan → Pasal 30-33 KUHPer
○ Menurut Pasal 23, 24, & 26 (1) UU Perkawinan, pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan ialah:
1. Keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah.
2. Suami atau istri.
3. Pejabat yang berwenang.
4. Pasangan yang berada dalam perkawinan. Namun, untuk laki-laki, jika sesuai dengan Pasal 3 (2) dan
Pasal 4 UU Perkawinan, dapat melakukan poligami.
5. Kejaksaan, apabila pencatat tidak berwenang atau wali tidak sah atau saksi kurang.
○ Menurut Pasal 28 UU Perkawinan, batalnya perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
1. Anak yang dilahirkan dari perkawinan → anak tetap sah.
2. Suami/istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, apabila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu → berhak atas pembagian harta
bersama.
3. Orang ketiga lainnya yang tidak termasuk dalam hal yang disebut di atas tadi sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
tetap → pengangkatan anak dianggap tetap sah.

Anda mungkin juga menyukai