Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan anak adalah bertambahnya kemampuan(skill) dalam struktur dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai
hasil dari pematangan. Di sini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh,
jaringan tubuh, organ-organ dan sistem yang berkembang sedemikian rupa per-
kembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan
lingkungannya.
Aspek– aspek perkembangan individu meliputi fisik, intelektual, sosial, emosi,
bahasa, moral dan agama. Perkembangan fisik meliputi pertumbuhan sebelum lahir dan
pertumbuhan setelah lahir. Intelektual (kecerdasan) atau daya pikir merupakan
kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situas baru atau lingkungan pada
umumnya. Sosial, setiap individu selalu berinteraksi dengan lingkungan dan selalu
memerlukan manusia lainnya. Emosi merupakan perasaan tertentu yang menyertai setiap
keadaan atau perilaku individu. Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi
dengan yang lain. Moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Agama merupakan kepercayaan yang
dianut oleh individu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang meliputi aspek – aspek perkembangan siswa?
2. Apa itu Perkembangan sosial dan emosi siswa?
3. Apa yang dimaksud perkembangan moral?
C. Tujuan
1. Memahami aspek – aspek perkembangan siswa.
2. Memahami Perkembangan sosial dan emosi siswa.
3. Memahami perkembangan moral siswa

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERKEMBANGAN SOSIAL DAN EMOSI


Pada dasarnya perkembangan sosio-emosional itu merupakan kemampuan peserta
didik berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaiman peserta didik menyikapi hal-hal
yang terjadi di sekitarnya.Perkembangan sosial pada peserta didik ditandai dengan
adanya perluasan hubungan, di samping dengan anggota keluarga juga dengan teman
sebaya, sehingga ruang gerak hubungan sosioalnya bertambah. Biasanya peserta didik
mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri dari sikap berpusat pada diri snediri
(egosentris), kepada sikap bekerja sama (koperatif) atau mau memerhatikan kepentingan
orang lain (sosiosentris). Hal ini berkaitan dengan sikap yang ada pada peserta didik itu
sendiri.Apakah dengan sikap atau emosi yang stabil seperti bersikap respect terhadap diri
sendiri dan orang lain atau bersikap tidak baik seperti tidak mau bergaul dengan orang
lain.
Saat ini banyak orang berpendidikan khususnya remaja yang tampak menjanjikan
tetapi akhirnya mengalami kemandekan dalam pencapaian karir atau tujuan hidupnya.
Para remaja ini sebagian besar tersingkir dari persaingan tersebut akibat rendahnya
kecerdasan emosi, kemempuan mendengarkan dan mempelajari kehidupan yang tidak
sepenuhnya tidak dikuasai serta cara adaptasi dan berkomunikasi secara lisan yang
seolah-olah dianggap oleh para remaja merupakan suatu hal yang dianggap tidak penting.
Tingkat kecerdasan intelektual seseorang khususnya remaja pada umumnya selalu
dalam keadaan tetap akan tetapi kecerdasan emosi dapat ditingkatkan dengan cara
meningkatkan adaptasi dan kepekaan terhadap lingkungan sebagai sumber energi,
informasi, koneksi untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaiman peserta didik
menyikapi hal-hal yang terjadi di sekitarnya

2
Peranan remaja dalam lingkungan adalah sebagai makhluk yang harus memiliki
kemampuan dalam penyesuaian diri terhadap aspek-aspek, nilai-nilai dan interaksi
sehingga mampu menjadi makhluk sosial yang menjalankan semua kegiatan sosialnya
dengan penuh tanggung jawab.Remaja tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosial,
sehingga lingkungan sosiallah yang mampu memberikan pengaruh terhadap
pembentukan berbagai aspek kehidupan remaja terutama pada pola pengembangan sosio-
emosional. Dengan demikian perkembangan sosial ini dapat diartikan sebagai proses
berkembangnya tingkat hubungan antara manusia untuk meningkatkan kebutuhan hidup
manusia.
Menurut Gunarsa (1989) menjelaskan bahwa karakteristik remaja yang mampu
menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja :
1) Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam pergerakan.
2) Ketidakstabilan emosi`.
3) Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
4) Adanya sikap menentang dan menantang terhadap orang-orang yang lebih tua.
5) Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-
pertentangan dengan orang tua.
6) Kegelisahan karena banyaknya suatu hal yang diinginkan oleh remaja tetapi tidak
mampu untuk memenuhi semua keinginan tersebut.
7) Senang bereksperimen, bereksplorasi, serta mempunyai banyak hayalan, bualan, dan
fantas.i
8) Kecenderungan membuat kelompok yang melakukan perbuatan dengan melanggar
norma-norma kehidupan.
Dalam proses belajar, kita tidak menyangkal bahwa peran intelegensi berpengaruh
terhadap prestasi pembelajaran. Namun, yang muncul saat ini tingkat keberhasilan
seseorang dalam pendidikan sangat difokuskan untuk diukur secara kuantitas intelegensi
yaitu dengan pengukuran Intelligence Quotient (IQ), peran IQ diasumsikan sebagai hal
utama yang berpengaruh terhadap keberhasilan. Akan tetapi, perlu disadari bahwa IQ
hanyalah merupakan pengukuran secara kuantitas mengenai tingkat intelegensi yang
dapat diukur dan bersifat konkret dan konvergen.

3
Emosi yang positif dapat mempercepat proses belajar dan mencapai hasil belajar
yang lebih baik, sebaliknya emosi yang negatif dapat memperlambat belajar atau bahkan
menghentikannya sama sekali.
Oleh karena itu, pembelajaran yang berhasil haruslah dimulai dengan
menciptakan emosi positif pada diri pelajar (peserta didik). Untuk menciptakan emosi
positif pada dirisiswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan
menciptakan lingkungan belajar atau lingkungan sosial yang menyenangkan dan dengan
penciptaan kegembiraan belajar. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang
dalam mengelola emosinya secara sehat terutama dalam berhubungan dengan orang lain.
Selain keceerdasan emosi interaksi antara pelajar dengan lingkungan tempat
sekolah juga mempengaruhi proses belajar. Apabila terjadi hubungan atau interaksi yang
baik antar pelajar dengan lingkungan sosial, lingkungan masyarakat, dan lingkungan
keluarga serta emosi dari para pelajar mampu disesuaikan dengan lingkungan sosial
tersebut, tentu saja proses belajar dari pelajar akan berjalan dengan lancar. Maka dari hal
tersebut dapat kita simpulkan bahwa dalam proses pendidikan, emosi lingkungan sosial
sangat berperan dan perlu dilibatkan dalam proses pembelajaran karena emosi
mempunyai suatu kekuatan yang dapat memicu kita dalam mencapai suatu prestasi
belajar dan lingkungan social menjadi wadah dalam menjalankan proses belajar.
Maka dengan ini sangatlah keliru jika dianggap faktor utama penentu
keberhasilan adalah IQ yang tinggi. Banyak orang yang berhasil dalam sisi akademik
namun tidak bisa melakukan apapun dengan keberhasilannya dalam kehidupan yang
nyata. Oleh karena itu, keterlibatan emosi dan keterlibatan pelajar dalam lingkungan
sosialnya sangat penting dalam segala aktivitas, apalagi jika kita dapat mengelola emosi
itu dengan tepat dalam lingkungan sosial atau dengan kata lain cerdas dalam
menggunakan emosi. Kecerdasan emosi dan mampu berinteraksi dalam lingkungan sosial
ini akan sangat berperan terhadap keberhasilan seseorang dalam segala aspek kehidupan.

4
B. PERKEMBANGAN MORAL
Menurut Santrock (1995) Perkembangan moral adalah perkembangan yang
berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral adalah perubahan-
perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tatacara,
kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial.
Ada beberapa teori yang membahas tentang perkembangan moral, diantaranya:
a. Perkembangan moral menurut Teori Belajar Sosial
Menurut teori belajar sosial, perkembangan sosial merupakan proses yang
dipelajari selama proses interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Perkembangan
sosial berlangsung melalui proses peniruan, latihan dan penguatan.
Menurut Bandura perkembangan moral berlangsung melalui interaksi
seseorang dengan lingkungan yang menyediakan konten moral. Moral seseorang akan
berkembang dengan baik, apabila berinteraksi dengan orang dewasa yang
menunjukkan tingkah laku moral dalam melakukan tindakan sehari-hari. Oleh karena
itu, interaksi yang bermoral dengan orangtua dan guru khususnya serta orang dewasa
umumnya sangat penting pengaruhnya untuk mengembangkan moral remaja.
b. Perkembangan moral menurut Teori Kognitif
Pelopor teori Kognitif adalah Jean Piaget yang menekankan bahwa
perkembangan kognitif erat kaitannya dengan perkembangan moral remaja. Oleh
karena itu, perkembangan moral remaja tergantung pada perkembangan kognitifnya.
Piaget berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sejajar antara perkembangan
kognitif dengan perkembangan moral remaja.

5
C. Tahapan Perkembangan Moral
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral
seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh
Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of
Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan
kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi
doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-
tahapan perkembangan moral dari Kohlberg. Adapun tahapan-tahapan itu adalah:
a) Tahapan Pramoralitas
1. Periode 0
Pemahaman anak tentang baim dan buruk, benar dan salah ditentukan oleh
akibat fisik yang ditimbulkan oleh tindakan itu seperti hukuman.
2. Periode 1
Suatu tingkah laku bermoral bagi anak kalai tingkah laku itu oatuh mengikuti
kemauan orang berkuasa seperti orangtua dan guru atau tingkah laku yang
mendapatkan penghargaan fisik atau material, sedangkan tingkah laku yang tidak
bermoral kalau membantah dan mendapat hukuman dari yang berkuasa terhadap
anak.
3. Periode 2
Anak memahami bahwa tingkah laku benar, salah, baik, pantas tergantung
kepada tingkah laku itu memuaskan, menimbulkan kenikmatan pada diri sendiri atau
orang lain (hedonisme).
b) Moralitas dianggap kesamaan peranan yang biasa
1. Periode 3
Anak memahami bahwa tingkah laku moral adalah mengakui aturan-aturan
yang telah ditentukan oleh orang dewasa. Anak mulai mengerti bahwa tingkah laku
salah namun tidak sengaja atau direncanakan sebelumnya bukan merupakan tindakan
yang melanggar hukum.

6
2. Periode 4
Ditandai oleh pemahaman anak bahwa tingkah laku yang baik atau benar
adalah mentaati aturan dan hukuman-hukuman yang telah disepakati bersama dan
menguasai kehidupan masyarakat.
c) Moralitas dengan penerimaan prinsip-prinsip moral
1. Periode 5
Anak mulai memahami nilai moral dan prinsip-prinsip moral maupun standar
kebenaran yang benar dan dapat terjadi pertentangan dengan apa saja yang terjadi
atau diterima oleh masyarakat. Pembentukan filsafat hidup sangat tepat untuk
membimbing tingkah laku yang bermoral.
2. Periode 6
Periode ini disebut Kohlberg dengan level postconvensional yang merupakan
tingkat perkembangan moral yang tertinggi. Remaja telah menginternalisasi nilai-
nilai moral menjadi miliknya sendiri. Pertanggungjawaban secara moral tingkah
lakunya terletak pada diri remaja itu sendiri, mereka memahami peraturan dan tata
cara yang berlaku di masyarakat haruslah berdasarkan prinsip-prinsip universal.
D. Ciri-Ciri Perkembangan Moral Pada Anak Dan Remaja
Michel (dalam Elida Prayitno: 1992) mencatat ada tiga perubahan yang penting
dalam perkembangan moral selama masa remaja, yaitu:
1. Remaja menyadari bahwa yang disebut benar atau salah itu adalah atas pertimbangan
keadilan atau kebijaksanaan, bukan atas kemauan orang yang berkuasa.
2. Remaja paham tentang peraturan moral atau agama dan sosial karena telah
diperolehnya kemampuyan memahami sesuatu dari sudut pandangan tertentu,
sehingga remaja mengerti bahwa moral relatif tidak absolut.
3. Remaja mengalami konflik tingkah laku moral dengan pikiran moral. Tingkah laku
moral adalah tingkah laku yang ditampilkan sesuai dengan kriteria moral, sedangkan
pikiran moral dan pandangan moral adalah perndapat atau pertimbangan seseorang
tentang persoalan moral.

7
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
a. Orang tua/guru sebagai model
Menurut Freud (dalam Elida Prayitno: 1992), bail pria maupun wanita meniru
tingkah laku orangtua (yang sejenis) adalah karena keinginan untuk menjadi seperti
orangtua.
b. Disiplin yang diberikan orangtua
Menurut Hoffman dan Saltztein (dalam Elida Prayitno: 1992), orangtua yang
mempergunakan teknik disiplin induksi (memberikan alasan mengapa seseorang
boleh atau tidak boleh bertingkah laku tertentu) cenderung menyebabkan
perkembangan moral remaja sangat baik, sedangkan penggunaan disiplin berkuasa
dan otoriter cenderung menyebabkan perkembangan moral yang rendah.
c. Induksi dengan teman sebaya
Interaksi dengan teman sebaya dan kemampuan bermain peran terjadi karena
telah dikuasainyakemampuan “role taking”, yaitu kemampuan memahami sesuatu
atau peristiwa dari sudut pandangan orang lain. Dengan meningkatnya interaksi
dengan teman sebaya, maka kemampuan “role taking” pun makin mahir dan
sempurna dan ini merupakan jalan bagi perkembangan moral.
F. Usaha Guru Dan Orangtua Dalam Mengembangkan Moral Siswa
Wilcox (dalam Elida Prayitno: 1992) mengemukakan pendekatan-pendekatan
yang dapat digunakan guru di sekolah untuk membantu pengembangan moral remaja,
yaitu;
1) Pendekatan klarifikasi nilai
Penggunaan pendekatan ini dapat memberikan pengalaman belajar kepada
siswa melalui proses menganalisis secara mendalam dan hati-hati nilai-nilai yang
dipilih dalam klarifikasi. Siswa akan tumbuh menjadi probadi yang lebih positif,
memiliki tujuan, dan menerapkan nilai-nilai dalam menjalani kehidupannya. Dalam
pendekatan ini individu bebas menemukan nilai-nilai dan berpikir analisis yang
mengarah pada pemilihan nilai-nilai yang sesuai dengan kehidupan, dapat
menginternalisasikan nilai serta menunjukkan komitmen menjalankan nilai yang
dipilih dalam kehidupan.

8
2) Pendekatan dilema moral
Kohlberg dan pengikutnya menemukan bahwa dilema berguna dalam
pendidikan moral. Siswa tidak hanya belajar dilema untuk belajar, tetapi juga belajar
dilema nyata dari kehidupan sehari-hari. Diskusi-diskusi dilema moral dapat
mendorong siswa pada perkembangan moral yang lebih tinggi.
a. Dalam memberikan pendidikan moral, Duska & Whelen ((dalam Elida
Prayitno: 1992) menemukan pedoman praktis yang dapat digunakan oleh guru, yaitu
sebagai berikut:
b. Menciptakan kelas sebagai lingkungan yang membuat siswa dapat hidup dan
belajar bersama dalam suasana hormat-menghormati dan suasana aman.
c. Beri siswa kesempatan untuk mengemukakan pendapat dalam menentukan
aturan-aturan kelas.
d. Pilihlah hukuman yang ada hukumannya dengan pelanggaran.
e. Bedakan antara kritik terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan pelajaran
dan kritik terhadap tindak tanduk, antara aturan tata tertib sekolah dengan aturan-
aturan tentang keadilan dan hubungan antar manusia.
f. Beri kesempatansiswa bekerja dalam kelompok.
g. Dalam bercerita dan berdiskusi tentang pengalaman sehari-hari, bantulah anak-
anak memikirkan perasaan orang lain, baik yang benar-benar terjadi maupun yang
fiktif.
h. Buatlah permainan peran (role playing) dari kehidupan sehari-hari ataua
kejadian-kejadian yang membuat siswa dapat melihatnya dari perspektif mereka.
i. Adakan kesempatan untuk mendengarkan jawaban tiap siswa tentang
pertimbangan moral, diskusi dengan menggunakan bahan bacaan, film, dan
pengalaman sehari-hari.
j. Janganlah memberi penilaian terhadap perkembangan moral atas dasar tingkah
laku setiap orang.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada masa remaja, tingkat karakteristik emosional akan menjadi drastis tingkat
kecepatannya. Gejala-gejala emosional para remaja seperti perasaan sayang, cinta dan
benci, harapan-harapan dan putus asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai
calon pendidik dan pendidik kita harus mengetahui setiap aspek yang berhubungan
dengan perubahan ntingkah laku dalam perkembangan remaja, serta memahami aspek
atau gejala tersebut sehingga kita bisa melakukan komunikasi yang baik dengan remaja.
Perkembangan emosi remaja merupakan suatu titik yang mengarah pada proses dalam
mencapai kedewasaan. Meskipun sikap kanak-kanak akan sulit dilepaskan pada diri
remaja karena pengaruh didikan orang tua.
Faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan peserta didik pada usia remaja
yaitu diantaranya: didikan orang tua, lingkungan sekitar tempat tinggal dan perlakuan
guru di sekolah. Pengaruh sosial dan emosi yang baik pada remaja terhadap diri sendiri
yaitu untuk mengendalikan diri, memutuskan segala sesuatu dengan baik, serta bisa lebih
matang merencanakan segala hal yang akan diputuskannya, sedangkan terhadap orang
lain, yaitu mampu menjalin kerjasama yang baik, saling menghargai dan mampu
memposisikan diri di lingkungan dengan baik.
Agar seorang peserta didik dapat memiliki kecerdasan emosi dengan baik
haruslah dibentuk sejak usia dini, karena pada saat itu amat sangat menentukan
pertumbuhan dan perkembangan manusia selanjutnya. Sebab pada usia ini dasar-dasar
kepribadian anak telah terbentuk.

B. Saran
Dilihat dari makalah Diatas, maka telah kita ketahui bersama bahwasanya anak
dalam setiap perkembangannya membutuhkan bimbingan, apabila anak dalam
pertumbuhannya tidak dibimbing maka anak itu tidak akan terkontrol baik fantasi
maupun emosinya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, Hendriati. 2005. Psikologi Perkembangan Pendekatan Ekologi Kaitannya Dengan


Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Refika Aditama. Bandung
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Prenada Media Group. Jakarta

Mahmud. 2010. Psikologi Pendidikan. PT. Pustaka Media. Bandung

11

Anda mungkin juga menyukai