CERPEN JAKARTA - Siswa 2
CERPEN JAKARTA - Siswa 2
Totilawati Tjitrawasita
Dikutip dari Hoerip, Satyagraha. 1979. Cerita Pendek Indonesia 4. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Halaman 192–198.
Bel yang mendadak menjerit tiga kali menghentikan dongengnya. Tampak olehnya
penjaga itu berdiri dengan tergesa-gesa sambil berkata, “Tunggu sebentar, mungkin
Bapak sudah diperlukan.”
Dia melongo, “Diperlukan?” Diperlukan?” ujarnya di dalam hati, tidak mengerti.
Disedotnya rokoknya dalam-dalam, asapnya ditiupkan ke atas. Terbayang kembali
di depan matanya Paijo yang kurus kering, makan satu meja, tidur sepembaringan,
adik misannya sendiri. Pernah ada bisul di pantatnya, lantas ditumbukkan daun
kecubung untuk obat. Waktu tubuh yang kering itu disergap kudis, dia bersepeda
sepanjang lima puluh kilometer untuk beli obat ke kota buat adiknya itu. Pagi dan
sore menggerus belerang, merebus air dan merendam Paijo pada kemaron yang
besar. Tiga puluh lima tahun yang lalu, itu, ketika semua masih anak-anak.
Pertanyaan
1. Deskripsikan dengan kata-kata kalian sendiri, kedekatan antara tokoh Paijo
dengan Pak Pong!
Ketika masih kanak-kanak mereka sangat dekat, pak pong sanagt menyayangi
paijo
2. Apa makna kata “Diperlukan?” pada kutipan di atas? Mengapa Pak Pong
merasa ‘terpukul’ dengan penggunaan kata tersebut?
Kesanya, paijo hanya ingin bertemu pak pong hanya jika paijo membeutuhkan
sesuatu dari pak pong
Seperti disengat lebah, penjaga yang di dekatnya meloncat bangun, setengah berlari
menyambut tamu yang baru datang dan bergemetaran ketika membukakan pintu
mobilnya.
“Langsung saja, Pak,” kata si penjaga sambil mengantar Pak Menteri ke ruang
tamu di dalam.
Dia duduk saja di situ, tercenung-cenung. Dicatatnya kejadian itu dalam hati:
tamunya Paijo, Menteri; langsung bertemu tanpa menunggu. Lantas dihitung-hitung
sudah berapa tahun mereka tidak saling ketemu. Apa Paijo juga gemuk seperti
Menteri itu? Tiba-tiba semacam kerinduan naik mencekam naik ke dadanya: Dia
ingin melihat adiknya! Serasa hendak diterjangnya tembok yang ada di hadapannya.
Karena gelisah dia berdiri, berjalan ke arah pintu.
Pertanyaan
3. Mengapa penjaga ketakutan, gemetaran ketika menyambut tamu?
tidak
5. Apakah ada perbedaan perlakuan dari Pak Jenderal (Paijo) ketika menerima
tamu dengan status sosial berbeda (pejabat versus rakyat biasa?Berikan
buktinya, jika ya!
Ya, dia tidak salah: ada tahi lalat di pipinya. Maka dia pun menyerbu ke dalam,
lalu dihamburkan kerinduannya, “ … Jo …,” teriaknya nyaring. Ketika hendak
dirangkulnya laki-laki yang duduk di belakang meja, dia mendadak menghentikan
langkahnya, sebab laki-laki itu bukannya berdiri tetapi tetap saja duduk di kursi.
Laki-laki jangkung itu melepaskan kacamatanya pelan-pelan, lalu mengulurkan
tangannya.
“Hallo, Pak Pong, apa kabar? Saya senang bertemu kakak di sini? Bagaimana
Ibu, Bapak dan Dik Tinah?”, ujarnya, datar tanpa emosi.
Laki-laki yang bernama Pak Pong itu hanya melompong.
Pertanyaan:
7. Mengapa Pak Pong menghentikah langkahnya untuk merangkul Pak jenderal
(Paijo)?
Pak Pong yang malang menatap kota dengan dendam di dalam hati. Jakarta,
kesibukannya, Bina Graha, gedung-gedung itu, Istana Merdeka, night club, mobil
merah telah memisahkan dia dari adiknya.
Ditatapnya bungkusan kecil titipan emboknya, lalu diberikannya kepada si
penjaga, “Untukmu. Kain yang dibatik oleh tangan orang tuaku. Di dalamnya
terukir cinta ibu kepada anaknya. Coretan tanah kelahiran yang dikirim untuk
mengikat tali persaudaraan!”
Dua tetes air mata membasahi pipi yang tua, menandai kejadian waktu itu.
Pertanyaan
9. Menurut kalian, faktor jabatan atau kehidupan kota Jakarta kah yang telah
mengubah perilaku Pak Jenderal menjadi angkuh dan kurang bersahabat?
Berikan alasan untuk mendukung jawaban kalian!
Keduanya kerana akiat jabatan paijo jadi angkuh
10. Pak Pong yang malang pulang dengan tetes air mata dan dendam dalam hati.
Apa tindakan kalian jika kalian yang mengalami peristiwa seperti Pak Pong?
Ceritakanlah!