Anda di halaman 1dari 19

BAB IV

PERAN PEREMPUAN DALAM GEREJA

DALAM TERANG SURAT APOSTOLIK MULIERIS DIGNITATEM

4.1 Peran Perempuan Sebagai Istri

Perempuan mempunyai peran sebagai seorang istri. Peran ini diperoleh

perempuan ketika mereka memasuki perkawinan sakramental. Istri merupakan

penolong yang sepadan bagi suami dalam perkawinan. Dalam ajaran Gereja, suami

dan istri yang dipersatukan dalam sakramen perkawinan merupakan bagian misteri

agung keturunan abadi (mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anak).

Suami dan istri yang dipersatukan dalam perkawinan mengkonkretkan “kesatuan dua

orang” yang menampakan “wajah” Allah.

Peran perempuan sebagai istri sudah terlukiskan sejak kisah penciptaan.

Dalam Kejadian bab 2 ayat 18 sampai 25, perempuan diciptakan oleh Allah “dari

tulang rusuk” laki-laki dan ditempatkan di sampingnya sebagai teman laki-laki yang

merasa sendirian di tengah makhluk hidup lainnya dan yang tidak menemukan di

antara mereka seorang “penolong” yang sepadan. Sejak awal laki-laki dan perempuan

tampil sebagai suatu “kesatuan dari dua orang”.1

“Apakah soal ini hanya menyangkut seorang “penolong” dalam aktivitas, dalam

“menaklukan dunia”? Tentu saja ini menyangkut seorang teman hidup, yang

1
MD art. 6.

1
bersama dia sebagai seorang istri, sang pria mengikat dirinya dan menjadi “satu

daging” dengannya dan karena itu ia meninggalkan “ayahnya dan ibunya” (kej.

2:24).2

Kesatuan Laki-laki dan perempuan yang hidup dalam persekutuan cinta

menjelaskan arti kata “menolong” dalam teks Kejadian 2: 18-25. Dalam konteks kitab

suci, Perempuan harus menolong laki-laki dan pada giliran yang sama laki-laki harus

menolong perempuan sebab mereka adalah sama-sama pribadi manusia. Pertolongan

timbal balik ini menjadikan manusia dipanggil untuk bersatu dalam persekutuan antar

pribadi. Dalam konteks teks Kejadian ini 2: 18-25, perkawinan adalah hal pertama

dan aspek fundamental dari panggilan ini.3

Mulieris Dignitatem melihat perkawinan sebagai kesempatan bagi laki-laki

dan perempuan untuk menolong satu sama lain dalam suatu relasi istimewa. Dengan

mengambil peran sebagai istri, perempuan mengambil bagian dalam atmosfer cinta

perkawinan yang memungkinkan dia melaksanakan pemberian diri yang tulus dan

juga menjadi penerima pemberian diri dari pihak suaminya. Konsekuensi dari

pemahaman ini adalah perempuan tidak dapat dijadikan objek dominasi dan

penguasaan pria. 4

Dalam konteks yang sama seperti kisah penciptaan, kitab suci berbicara

mengenai penetapan perkawinan oleh Allah sebagai syarat yang tidak dapat ditawar

demi meneruskan kehidupan kepada generasi yang baru. Dengan mengambil peran

2
MD art. 6.
3
MD art. 7.
4
MD art. 10.

2
sebagai seorang istri, perempuan membuka diri guna memenuhi nasehat Kitab

Kejadian untuk “beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan

taklukkanlah dia” (Kej. 1: 28). Hal ini bertolak dari tujuan perkawinan kristiani yaitu

saling membahagiakan, mencapai kesejahteraan suami istri, dan terarah kepada

keturunan dan pendidikan anak.

Peran perempuan sebagai seorang istri juga berkaitan dengan martabatnya

sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Perempuan yang

dipersatukan dengan seorang laki-laki dalam perkawinan mengkonkretkan dalam

kehidupannya “kesatuan dari dua orang”. Laki-laki dan perempuan dalam “kesatuan

dari dua orang” dipanggil untuk hidup dalam sebuah persekutuan cinta, dan dengan

cara itu menampakkan di dalam dunia persekutuan cinta yang ada dalam Allah, di

mana Ketiga Pribadi mencintai satu sama lain dalam misteri yang mendalam dari

kehidupan ilahi.5

“Menjadi seorang pribadi menurut gambar dan keserupaan dengan Allah juga

menyangkut keberadaan dalam sebuah relasi terhadap ‘Aku’ yang lain. Ini adalah

sebuah awal menuju pernyataan diri yang definitif dari Allah Tritunggal: sebuah

kesatuan yang hidup antara Bapa, Putra dan Roh Kudus.” 6

Perkawinan kristiani sebagai suatu pemberian diri timbal balik antara laki-

laki dan perempuan merupakan kesempatan untuk meneguhkan martabat manusia.

Perempuan dengan mengambil peran sebagai istri berarti juga sedang mengambil

5
MD art. 7.
6
MD art. 7.

3
kesempatan untuk meneguhkan martabatnya sebagai “aku yang lain dalam

kemanusiaan yang sama” dengan laki-laki.

4.2 Peran Perempuan Sebagai Perawan

Peran perempuan sebagai perawan merupakan pilihan bebas perempuan

sekaligus rahmat dari Allah. Keperawanan dalam Mulieris Dignitatem adalah jalan

pengudusan diri melalui kedekatan yang lebih besar dengan Tuhan dengan cara tidak

menikah. Dengan berperan sebagai perawan, perempuan menampakan dirinya

sebagai tanda kehadiran Kerajaan Allah di dunia.

Peran perempuan sebagai perawan menjadikan perempuan sebagai tanda dari

Kerajaan Allah yang akan datang. Peran ini dapat dilihat sebagai jalan yang dipilih

oleh perempuan untuk menyatakan diri mereka dengan cara yang berbeda dari

perkawinan. Untuk mengerti jalan ini, perlulah dilihat lagi dasar antropologi kristen

antropologi Kristen di mana manusia merupakan makhluk ciptaan yang dikehendaki

Allah menjadi diri mereka sendiri. Dengan memilih keperawanan secara bebas,

perempuan memperteguh diri sebagai pribadi, makhluk yang sejak awal dikehendaki

pencipta sebagai dirinya sendiri.7

Peran perempuan sebagai perawan bersumber dari ajaran Yesus Kristus

sendiri. Yesus dalam Injil Matius bab 19 ayat 12 memberikan tiga alasan orang tidak

menikah yaitu, pertama karena mereka dilahirkan demikian; kedua, karena mereka

dibuat demikian oleh manusia; dan ketiga, karena mereka memilih demikian demi

Kerajaan surga (Mat. 19:12). Bagi orang-orang yang tidak menikah demi Kerajaan
7
MD art. 20.

4
Surga, tindakan tersebut merupakan pilihan bebas yang dilaksanakan penuh

pertimbangan rasional. Hal ini berarti keperawanan demi Kerajaan Allah adalah

pengudusan diri melalui kedekatan yang lebih besar dengan Tuhan.8

Peran perempuan sebagai perawan demi Kerajaan Surga bukan saja

merupakan hasil pilihan bebas dari pihak manusia, melainkan juga suatu rahmat

khusus dari pihak Allah, yang memanggil orang tertentu untuk menempuh hidup

wadat. Keperawanan sebagai suatu rahmat dari Allah juga merupakan jalan bakti

bagi-bagi pribadi-pribadi terpanggil. Keperawanan sebagai suatu tanda khusus dari

Kerajaan Allah yang akan datang juga merupakan suatu jalan untuk membaktikan

seluruh kekuatan jiwa dan badan selama hidup seseorang secara khusus demi

Kerajaan eskatologis.9

Peran perempuan sebagai perawan hanya dapat dimaknai secara tepat dengan

menghubungkannya dengan cinta sepasang suami istri, di mana setiap individu

menjadi sebuah persembahan bagi yang lain. Perempuan yang sejak semula dipanggil

kepada keperawanan menemukan Kristus pertama-tama sebagai Penebus yang

“mencintai sampai kesudahannya” melalui pemberian dirinya yang total. Mereka

menanggapi “pemberian ini” dengan suatu “persembahan tulus” dari seluruh hidup

mereka.10

4.3 Peran Perempuan Sebagai Ibu

8
B. R. Agung Prihartama, Op. Cit., hlm. 26.
9
Ibid.
10
Ibid.

5
Mulieris Dignitatem membedakan peran perempuan sebagai ibu ke dalam dua

jenis yaitu keibuan secara biologis dan keibuan secara rohani. Kedua jenis keibuan ini

memiliki hubungan erat dengan pilihan perempuan untuk menikah atau tidak. Kedua

jenis keibuan ini memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain dan keduanya

sejalan dengan martabat dan panggilan perempuan.11

4.3.1 Keibuan Biologis

Paus Yohanes Paulus II menegaskan peran perempuan sebagai ibu biologis

sebagai tahap lanjut dari perkawinan. Keibuan biologis adalah cara yang dapat dipilih

oleh perempuan sebagai perwujudan pemberian diri yang tulus. Keibuan biologis

memberikan perempuan peran dalam misteri keturunan abadi dan pengajaran kepada

anak-anak.

Peran perempuan sebagai ibu biologis merupakan akibat dari pengenalan

timbal balik antara laki-laki dan perempuan dalam kesatuan perkawinan.

“Keibuan adalah buah dari kesatuan perkawinan antara seorang pria dan wanita,

buah dari ‘pengenalan’ menurut Kitab Suci yang sesuai dengan ‘kesatuan dari dua

manusia di dalam satu daging’ (lih. Kej 2:24). Hal ini mengakibatkan – pada

pihak wanita – suatu ‘penyerahan diri’ yang khusus, sebagai suatu ungkapan dari

cinta suami-isteri, dengan mana keduanya dipersatukan sedemikian erat sehingga

mereka menjadi ‘satu daging’.”12

11
MD art. 21.
12
MD art. 18.

6
Dalam perkawinan, setiap perempuan terbuka terhadap suatu penyerahan diri

yang khusus, sebagai suatu ungkapan dari cinta suami-istri, dengan mana keduanya

dipersatukan sedemikian erat sehingga mereka menjadi satu daging. Peran perempuan

sebagai ibu mengimplikasikan suatu keterbukaan istimewa kepada pribadi yang baru.

Dalam keterbukaan ini, perempuan menemukan dirinya dalam suatu pemberian diri

yang tulus, di mana setiap perempuan ikut serta dalam misteri agung keturunan

abadi.13

Peran perempuan sebagai ibu merupakan bagian istimewa dalam tugas

sebagai orang tua. Tugas sebagai orang tua sekalipun merupakan tugas bersama

antara laki-laki dan perempuan, namun lebih dikenal secara penuh dalam diri

perempuan, khususnya dalam periode sebelum kelahiran. Perempuanlah yang secara

langsung “menanggung” anak yang secara harfiah menyerap seluruh energi tubuh

dan jiwanya.14

Peran perempuan sebagai ibu secara etis-personal merupakan suatu peran

yang mengungkapkan kreativitas dan peran penting pada pihak perempuan sebab

pada dia kehidupan seorang makhluk yang baru benar-benar bergantung.15 Dengan

mengambil peran sebagai ibu, perempuan melibatkan kesiapan khusus untuk

mencurahkan diri demi mereka yang berada dalam jangkauan aktivitasnya. Dalam

pernikahan kesiapan ini terutama terdiri dari cinta yang diberikan seorang ibu kepada

13
MD art. 18.
14
MD art. 18.
15
MD art. 19.

7
anak-anak mereka.16 Keibuan sebagai buah dari persatuan pernikahan memberikan

amanat kepada perempuan sebagai guru pertama dengan dukungan suaminya sebab

ibu telah memulai proses pengenalan terhadap anak sejak dari masa kandungan. Ibu

diarahkan untuk menyesuaikan pengajarannya dengan bakat, aspirasi, dan

kecenderungan anak.17

Partisipasi perempuan dalam kelahiran anak-anak sangat diperhatikan oleh

Paus Yohanes Paulus II. Paus dalam “Surat Kepada Perempuan” tahun 1995 menyapa

ibu-ibu dengan menyatakan bahwa “kamu menjadi senyum Allah bagi anak yang

baru lahir”.18

4.3.2 Keibuan Rohani

Peran perempuan sebagai ibu tidak hanya berhenti pada persoalan bio-fisik

semata. Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa keputusan perempuan untuk

tidak menjadi seorang ibu secara biologis tidak menghilangkan sifat keiibuan pada

diri seorang perempuan. Paus Yohanes Paulus II menulis:

“Keperawanan menurut Injil berarti meninggalkan perkawinan, jadi karena itu

meninggalkan keibuan fisik. Akan tetapi penyakalan akan keibuan semacam ini,

yang tentu menyangkut suatu pengorbanan besar bagi seorang wanita,

16
John J. Coughlin, “Marriage and Mulieris Dignitatem”, dalam Jurnal Ave Maria Law Review, Vol.
8, No. 2, 2010, (Naples, Ave Maria School Of Law), 349-363, hlm. 358.
17
Katherine Shaw Spaht, “Mulieris Dignitatem: The Vocation Of A Wife and Mother in A Legal
Covenant Marriage”, dalam Jurnal Ave Maria Law Review, Vol. 8, No. 2, 2011, (Naples: Ave Maria
School of Law), 365-374, hlm. 368-369.
18
Susan Mader Brown, Op.Cit., hlm. 506.

8
memungkinkan suatu keibuan yang berbeda: keibuan ‘menurut Roh’ (Rm. 8:

4).”19

Keibuan dipahami Paus sebagai potensi dalam diri setiap perempuan. Potensi

tersebut akan benar-benar tertuang ketika perempuan membuka diri demi pemberian

yang tulus terhadap pasangannya. Pada perempuan yang memilih untuk menikah

pemberian diri yang tulus terungkap dalam keterbukaan terhadap kelahiran dan

pendidikan anak-anak. Sedangkan pada perempuan yang memilih untuk tidak

menikah demi Kerajaan Allah keibuan dikonkretkan dengan cara memberikan diri

bagi pewartaan cinta Kristus, mempelainya.20

Paus Yohanes Paulus II menghargai pilihan bebas perempuan untuk menikah

ataupun tidak menikah. Paus meneguhkan bahwa pilihan mereka tersebut tidak

menghilangkan martabat dan panggilan mereka sebagai perempuan. Paus

menekankan bahwa dalam Perkawinan sakramental, perempuan memberikan diri

secara tulus sebagai ekspresi cinta pasangan sehingga pasangan tersebut dipersatukan

satu sama lain begitu erat sehingga mereka menjadi satu daging. Pada sisi lain,

perempuan yang memilih tidak menikah demi Kerajaan Allah menyerahkan diri

mereka kepada Mempelai Ilahi. Melalui tindakan Roh Kudus seorang wanita menjadi

'satu roh' dengan Kristus Sang Mempelai.21

19
MD art. 21.
20
MD art. 21.
21
Prudence Allen, Op. Cit., hlm. 33.

9
Keibuan rohani mendapatkan banyak bentuk yang berbeda. Dalam kehidupan

perempuan yang mempersembahkan dirinya demi Kerajaan Surga, misalnya sebagai

seorang biarawati, keibuan dapat mengungkapkan dirinya menjadi kepedulian bagi

orang lain, khususnya bagi mereka yang amat membutuhkan pertolongan: orang-

orang sakit, orang-orang cacat, orang-orang yang ditinggalkan, para yatim piatu,

kaum jompo, anak-anak, kaum muda, para tahanan dan umumnya semua orang yang

hidup secara marginal. Hal ini sejalan dengan perintah Kristus, Sang Mempelai,

"Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-

Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat 25:40).22

Keibuan rohani dan keibuan biologi saling melengkapi sebab keduanya

merupakan unsur yang saling melengkapi. Dalam penjelasan mengenai keibuan

rohani, Paus Yohanes Paulus II menekankan hubungan antara keperawanan

perempuan yang tidak menikah dan keibuan perempuan yang menikah. Titik tolak

dari kedua peran ini adalah arti perkawinan. Seorang wanita menikah entah melalui

sakramen perkawinan atau secara rohani melalui perkawinan dengan Kristus. Di

dalam kedua hal ini perkawinan menandakan penyerahan diri yang tulus dari

mempelai wanita kepada mempelai pria. Dengan begitu orang dapat berkata bahwa

dalam keperawanan ditemukan bentuk perkawinan secara rohani.23 Dengan demikian

pilihan perempuan untuk berperan sebagai istri (dengan menikah), dan berperan

22
MD art. 21.
23
MD art. 21.

10
sebagai perawan (tidak menikah) merupakan peran yang sama-sama baik dan sejalan

dengan martabat dan panggilan perempuan.

4.4 Peran Perempuan sebagai Pribadi Pilihan Allah

Peran perempuan sebagai pribadi pilihan Allah merupakan peran yang secara

spesifik bersumber dari keterpilihan Maria menjadi Bunda Allah. Peran Maria

tersebut merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah. Rahmat tersebut merupakan

tanda kepenuhan martabat perempuan. Berkat rahmat tersebut, setiap perempuan

dipanggil untuk berpartisipasi dalam karya mesianistik Yesus Kristus sebagai Hamba

Tuhan.

Maria memperoleh suatu kesatuan dengan Allah yang menunjukkan jati

dirinya sebagai perempuan yang dipilih oleh Allah. Maria adalah gambaran dan

arketipe dari seluruh manusia, ia menghadirkan kemanusian yang dimiliki semua

orang, baik laki-laki maupun perempuan. Peristiwa perkandungan dari Roh Kudus

menandakan kesatuan dengan Allah yang hanya dapat dimiliki oleh Maria. Kesatuan

istimewa tersebut menjadikan Maria sebagai Bunda Allah (Theotokos). “Ia

sepenuhnya Bunda Allah, sebab kebundaan menyangkut seluruh pribadi, bukan

hanya badan dan bukan juga hanya kodrat manusia.”24

Peran Maria sebagai pribadi pilihan Allah merupakan rahmat dari Allah.

Rahmat yang dianugerahkan Maria juga menjadi tanda kepenuhan kesempurnaan dari

24
MD art. 4.

11
martabat dan panggilan perempuan. Di sini, Maria merupakan arketipe atau bentuk

asli dari martabat pribadi perempuan.25

Maria dalam menanggapi rahmat yang diterimanya dari Allah, menyatakan

fiatnya sebagai Hamba Tuhan (Luk. 1: 38). Dalam ungkapan Hamba Tuhan dapatlah

dilihat kesadaran Maria sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan mengungkapkan diri

sebagai Hamba Tuhan, Maria mengambil bagian dalam pelayanan mesianistik Yesus.

Yesus sendiri sering mengatakan tentang diri-Nya, khususnya pada saat-saat puncak

misi-Nya: "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani"

(lih. Mrk 10:45).26

Perempuan sebagai pribadi pilihan Allah berperan sebagai Hamba Tuhan yang

berkarya bukan untuk memerintah melainkan untuk melayani. Pelayanan tersebut

dilandaskan pada kesadaran bahwa Kristus adalah penebus. Dan Maria merupakan

ungkapan paling lengkap dari peran perempuan ini.

4.5 Peran Perempuan Sebagai Pembawa Kehidupan

Peran perempuan sebagai pembawa kehidupan bersumber dari peran Hawa

dan Maria dalam Kitab Suci. Paus menekankan martabat Maria sebagai Bunda Allah

dengan cara menganolikannya dengan Hawa, ibu segala yang hidup, sekaligus

dengan cara yang sama mengarisbawahi martabat dan panggilan setiap perempuan

25
MD art. 5.
26
MD art. 5.

12
sehingga setiap perempuan mendapatkan peran yang sama sebagai pembawa

kehidupan.27

Kitab Kejadian menyatakan bahwa dosa merupakan kejahatan pada awal mula

manusia dan sejak saat itu akibatnya membebani seluruh umat manusia. Pada saat

yang sama Kitab Kejadian juga memuat nubuat tentang kemenangan atas dosa. “Aku

akan membuat permusuhan di antara engkau dan perempuan ini, dan antara

keturunanmu dan keturunannya; dia akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan

meremukkan tumitnya" (Kej. 3: 15). Nubuat mengenai penyelamatan yang

terkandung dalam kutipan ayat ini menunjuk pada "wanita itu". Ia ditugaskan pada

tempat pertama untuk menjadi orang yang melahirkan Dia yang akan menjadi

Penebus manusia. Dari sudut pandang ini dua sosok wanita, Hawa dan Maria,

disatukan di bawah nama wanita.28

Hawa, adalah saksi awal alkitabiah, yang mengandung kebenaran mengenai

penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah dan kebenaran tentang dosa asal.

Hawa sebagai "ibu segala yang hidup" (Kej 3:20) hadir sebagai pembawa kehidupan

ke dalam dunia. Seruan Hawa diulang setiap kali seorang manusia baru lahir ke

dunia, "aku telah mendapatkan seorang anak dengan pertolongan Tuhan" (Kej 4:1). 29

Maria adalah saksi untuk awal yang baru dan ciptaan baru (lih. 2 Kor 5:17),

karena dia sendiri, sebagai yang pertama dari mereka yang ditebus dalam sejarah

27
Mary Timothy Prokes, Loc. Cit., hlm. 85.
28
MD art. 11.
29
MD art. 18.

13
keselamatan adalah ciptaan baru.30 Maria sebagai Bunda Allah, membawa kehidupan

baru ke dalam dunia dengan melahirkan Sabda Allah.

4.6 Peran Perempuan Sebagai Gambaran Allah Tritunggal

Peran perempuan sebagai gambaran Allah Tritunggal merupakan peran yang

dilaksanakan perempuan dalam kesatuan dengan laki-laki. Peran ini bersumber dari

relasi yang diamanatkan dalam Kitab Kejadian.

Manusia sebagai gambar dan rupa Allah dalam keberadaannya sebagai laki-

laki dan perempuan berkaitan juga dengan relasi antara pribadi dengan “aku” yang

lain. Relasi antara laki-laki dan perempuan merupakan awal menuju pernyataan diri

yang definitif dari Allah Tritunggal.31 Fakta bahwa laki-laki dan perempuan adalah

gambar Allah tidak hanya berarti bahwa masing-masing secara individu seperti Allah

sebagai makhluk yang rasional dan bebas namun juga berarti bahwa laki-laki dan

perempuan diciptakan sebagai “kesatuan dua orang” dalam kemunusian yang sama,

dipanggil untuk hidup dalam persekutuan cinta, dan dengan cara itu menampakan di

dalam dunia persekutuan cinta yang ada di dalam Allah, di mana Ketiga Pribadi

mencintai satu sama lain dalam misteri yang mendalam dari kehidupan ilahi.

Berdasarkan penjelasan ini, perempuan mempunyai peran untuk menggambarkan

Allah Tritunggal. Peran tersebut dapat perempuan jalankan dengan membangun relasi

cinta yang erat dengan laki-laki sebagai sesama manusia.

30
MD art. 11.
31
MD art. 7.

14
4.7 Peran Perempuan Sebagai Saksi Kristus

Peran perempuan sebagai saksi Kristus bersumber dari panggilan Kristus.

Kristus memanggil perempuan untuk berpartisipasi dalam pewartaan Kerajaan Allah

sebagai saksi-saksinya. Kitab Suci mencatat bahwa peran ini telah dijalankan oleh

perempuan pada saat kebangkitan Yesus.32

Sikap Kristus menunjukkan kebenaran mengenai persamaan antara laki-laki

dan perempuan. Kesamaan dalam pengajaran Yesus menjadi dasar yang sangat jelas

bagi martabat dan panggilan perempuan dalam Gereja dan di tengah dunia. Setiap

panggilan memiliki makna pribadi dan profetis, dalam konteks ini setiap perempuan

dipanggil untuk berperan sebagai subjek yang hidup dan saksi yang tak tergantikan. 33

4.8 Peran Perempuan Sebagai Imam

Peran perempuan sebagai imam berada dalam konteks imamat universal yang

merupakan anugerah dari Yesus Kristus. Mulieris Dignitatem menegaskan kembali

amanat Konsili Vatikan II mengenai kesadaran Gereja tentang imamat universal. Paus

menekankan bahwa semua yang dipermandikan mengambil bagian dalam satu

imamat Kristus, baik pria maupun wanita, oleh karena setiap orang harus

mempersembahkan diri sebagai korban yang hidup, suci, dan berkenan kepada

Allah.34

32
MD art. 16.
33
MD art. 16.
34
MD art. 27.

15
Peran perempuan sebagai imam yang mempersembahkan diri sebagai korban

yang hidup, suci dan berkenan kepada Allah dapatlah ditemukan dalam sejarah

Gereja. Sejak awal mula Gereja telah muncul begitu banyak perempuan yang dalam

keadaan diskriminasi tetap mampu melakukan karya luar biasa demi Kerajaan Allah.

Beberapa perempuan itu antara lain, Monika, ibu dari Santo Agustinus, Macrina,

Olga dari Kiev, Matilda dari Tuscania, Hedwig dari Silesia, Jadwiga dari Cracow,

Elisabeth dari Thuringia, Birgitta dari Swedia, Jean d'Arc, Rosa dari Lima, Elizabeth

Ann Seton dan Maria Ward.35

Peran perempuan sebagai imam dalam Mulieris Dignitatem hanya terbatas

pada konteks imamat universal. Mulieris Dignitatem memang berbicara juga tentang

imamat jabatan namun pembicaraan tersebut tidak bertujuan memberikan kepada

perempuan akses untuk mendapatkan imamat jabatan.

Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa Kristus dalam memanggil hanya

laki-laki sebagai Rasul-rasul-Nya bertindak dengan sungguh-sungguh bebas dan

penuh kedaulatan. Dalam bertindak demikian, Kristus melaksanakan kebebasan tanpa

kompromi dengan adat istiadat yang berlaku, dan dengan tradisi yang dijaga dengan

ketat oleh penguasa masa itu sebab Ia kerap kali melangkahi tradisi demi

meneguhkan martabat perempuan. Karena itu, asumsi bahwa Ia memanggil kaum

35
MD art. 27.

16
laki-laki untuk menjadi Rasul-rasul-Nya agar menyesuaikannya dengan mentalitas

yang tersebar luas ketika itu, sama sekali tidak sesuai dengan cara bertindak Kristus. 36

Paus Yohanes Paulus II dalam pembahasannya berkaitan dengan Ekaristi,

menekankan bahwa imamat jabatan hanya diterima oleh laki-laki, “Ekaristi terutama

mengungkapkan tindakan penebusan Kristus Sang Mempelai pria, terhadap Gereja

sang mempelai wanita. Hal ini jelas dan tidak dapat disangsikan kalau pelayanan

Sakramen Ekaristi, di mana imam bertindak "dalam Pribadi Kristus", dijalankan oleh

seorang pria.”37

4.9 Peran Perempuan Sebagai Dia yang Dikasihi

Peran perempuan sebagai dia yang dikasihi muncul dalam pembahasan

mengenai Kasih Allah dalam bab delapan Mulieris Dignitatem. Dalam bab ini

perempuan dilihat memiliki peran sebagai pribadi yang dikasihi agar ia mengasihi

kembali. Peran ini bersumber dari analogi Gereja sebagai mempelai wanita Kristus.

Peran ini juga sejalan dengan ajaran Konsili Vatikan II. Peran perempuan ini

mendapatkan pengungkapan yang paling sempurna dalam pribadi Bunda Maria.

Paus Yohanes Paulus II menerangkan bahwa ketika penulis surat Efesus (Ef.

5: 25-32) menyebut Kristus sebagai Mempelai Pria dan Gereja sebagai mempelai

wanita, ia secara tidak langsung melalui analogi ini menegaskan kebenaran mengenai

perempuan sebagai mempelai wanita. Kristus sebagai mempelai pria adalah Dia yang

36
MD art. 26.
37
MD art. 26.

17
mengasihi dan Gereja sebagai mempelai wanita adalah dia yang dikasihi oleh

mempelai pria. Hal ini dapat berarti juga perempuan adalah yang menerima kasih,

agar ia mengasihi kembali. Kasih yang diterima dan dibagikan kembali oleh

perempuan adalah kasih Allah sendiri.38

Peran perempuan sebagai dia yang dikasihi agar ia mengasihi kembali tidak

hanya menunjuk kepada relasi khusus pasangan suami istri dalam perkawinan. Peran

ini untuk relasi universal dimana perempuan hadir di tengah relasi-relasi antar pribadi

dalam masyarakat dan dalam interaksi antar laki-laki dan perempuan secara umum.

Dalam konteks tersebut seorang perempuan menampilkan suatu nilai istimewa oleh

kenyataan bahwa ia adalah seorang pribadi manusia, dan sekaligus pribadi yang

istimewa oleh kenyataan kewanitaannya.39

Peran perempuan sebagai dia yang dikasihi agar ia mengasihi kembali sejalan

dengan amanat Konsili Vatikan II. Konsili mencatat bahwa setiap “manusia yang di

dunia ini merupakan satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya

sendiri, tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikan

dirinya”.40

Peran perempuan sebagai dia yang dikasihi mendapatkan ungkapannya yang

paling tinggi dalam diri Perawan Maria, Bunda Allah. Maria menekankan, dalam cara

38
MD art. 29.
39
MD art. 29.
40
GS art. 24.

18
yang paling utuh dan langsung, hubungan yang erat dari perintah kasih, yang masuk

ke dalam dunia manusia melalui seorang wanita, dengan Roh Kudus. Keterangan ini

menunjukkan pembelaan paus kepada perempuan-perempuan yang seringkali tidak

digubris keberadaan mereka dalam kehidupan sosial-budaya.41

41
MD art. 29.

19

Anda mungkin juga menyukai