Bab Iv
Bab Iv
penolong yang sepadan bagi suami dalam perkawinan. Dalam ajaran Gereja, suami
dan istri yang dipersatukan dalam sakramen perkawinan merupakan bagian misteri
Suami dan istri yang dipersatukan dalam perkawinan mengkonkretkan “kesatuan dua
Dalam Kejadian bab 2 ayat 18 sampai 25, perempuan diciptakan oleh Allah “dari
tulang rusuk” laki-laki dan ditempatkan di sampingnya sebagai teman laki-laki yang
merasa sendirian di tengah makhluk hidup lainnya dan yang tidak menemukan di
antara mereka seorang “penolong” yang sepadan. Sejak awal laki-laki dan perempuan
“Apakah soal ini hanya menyangkut seorang “penolong” dalam aktivitas, dalam
“menaklukan dunia”? Tentu saja ini menyangkut seorang teman hidup, yang
1
MD art. 6.
1
bersama dia sebagai seorang istri, sang pria mengikat dirinya dan menjadi “satu
daging” dengannya dan karena itu ia meninggalkan “ayahnya dan ibunya” (kej.
2:24).2
menjelaskan arti kata “menolong” dalam teks Kejadian 2: 18-25. Dalam konteks kitab
suci, Perempuan harus menolong laki-laki dan pada giliran yang sama laki-laki harus
timbal balik ini menjadikan manusia dipanggil untuk bersatu dalam persekutuan antar
pribadi. Dalam konteks teks Kejadian ini 2: 18-25, perkawinan adalah hal pertama
dan perempuan untuk menolong satu sama lain dalam suatu relasi istimewa. Dengan
mengambil peran sebagai istri, perempuan mengambil bagian dalam atmosfer cinta
perkawinan yang memungkinkan dia melaksanakan pemberian diri yang tulus dan
juga menjadi penerima pemberian diri dari pihak suaminya. Konsekuensi dari
pemahaman ini adalah perempuan tidak dapat dijadikan objek dominasi dan
penguasaan pria. 4
Dalam konteks yang sama seperti kisah penciptaan, kitab suci berbicara
mengenai penetapan perkawinan oleh Allah sebagai syarat yang tidak dapat ditawar
demi meneruskan kehidupan kepada generasi yang baru. Dengan mengambil peran
2
MD art. 6.
3
MD art. 7.
4
MD art. 10.
2
sebagai seorang istri, perempuan membuka diri guna memenuhi nasehat Kitab
taklukkanlah dia” (Kej. 1: 28). Hal ini bertolak dari tujuan perkawinan kristiani yaitu
sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Perempuan yang
kehidupannya “kesatuan dari dua orang”. Laki-laki dan perempuan dalam “kesatuan
dari dua orang” dipanggil untuk hidup dalam sebuah persekutuan cinta, dan dengan
cara itu menampakkan di dalam dunia persekutuan cinta yang ada dalam Allah, di
mana Ketiga Pribadi mencintai satu sama lain dalam misteri yang mendalam dari
kehidupan ilahi.5
“Menjadi seorang pribadi menurut gambar dan keserupaan dengan Allah juga
menyangkut keberadaan dalam sebuah relasi terhadap ‘Aku’ yang lain. Ini adalah
sebuah awal menuju pernyataan diri yang definitif dari Allah Tritunggal: sebuah
Perkawinan kristiani sebagai suatu pemberian diri timbal balik antara laki-
Perempuan dengan mengambil peran sebagai istri berarti juga sedang mengambil
5
MD art. 7.
6
MD art. 7.
3
kesempatan untuk meneguhkan martabatnya sebagai “aku yang lain dalam
sekaligus rahmat dari Allah. Keperawanan dalam Mulieris Dignitatem adalah jalan
pengudusan diri melalui kedekatan yang lebih besar dengan Tuhan dengan cara tidak
Kerajaan Allah yang akan datang. Peran ini dapat dilihat sebagai jalan yang dipilih
oleh perempuan untuk menyatakan diri mereka dengan cara yang berbeda dari
perkawinan. Untuk mengerti jalan ini, perlulah dilihat lagi dasar antropologi kristen
Allah menjadi diri mereka sendiri. Dengan memilih keperawanan secara bebas,
perempuan memperteguh diri sebagai pribadi, makhluk yang sejak awal dikehendaki
sendiri. Yesus dalam Injil Matius bab 19 ayat 12 memberikan tiga alasan orang tidak
menikah yaitu, pertama karena mereka dilahirkan demikian; kedua, karena mereka
dibuat demikian oleh manusia; dan ketiga, karena mereka memilih demikian demi
Kerajaan surga (Mat. 19:12). Bagi orang-orang yang tidak menikah demi Kerajaan
7
MD art. 20.
4
Surga, tindakan tersebut merupakan pilihan bebas yang dilaksanakan penuh
pertimbangan rasional. Hal ini berarti keperawanan demi Kerajaan Allah adalah
merupakan hasil pilihan bebas dari pihak manusia, melainkan juga suatu rahmat
khusus dari pihak Allah, yang memanggil orang tertentu untuk menempuh hidup
wadat. Keperawanan sebagai suatu rahmat dari Allah juga merupakan jalan bakti
Kerajaan Allah yang akan datang juga merupakan suatu jalan untuk membaktikan
seluruh kekuatan jiwa dan badan selama hidup seseorang secara khusus demi
Kerajaan eskatologis.9
Peran perempuan sebagai perawan hanya dapat dimaknai secara tepat dengan
menjadi sebuah persembahan bagi yang lain. Perempuan yang sejak semula dipanggil
menanggapi “pemberian ini” dengan suatu “persembahan tulus” dari seluruh hidup
mereka.10
8
B. R. Agung Prihartama, Op. Cit., hlm. 26.
9
Ibid.
10
Ibid.
5
Mulieris Dignitatem membedakan peran perempuan sebagai ibu ke dalam dua
jenis yaitu keibuan secara biologis dan keibuan secara rohani. Kedua jenis keibuan ini
memiliki hubungan erat dengan pilihan perempuan untuk menikah atau tidak. Kedua
jenis keibuan ini memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain dan keduanya
sebagai tahap lanjut dari perkawinan. Keibuan biologis adalah cara yang dapat dipilih
oleh perempuan sebagai perwujudan pemberian diri yang tulus. Keibuan biologis
memberikan perempuan peran dalam misteri keturunan abadi dan pengajaran kepada
anak-anak.
“Keibuan adalah buah dari kesatuan perkawinan antara seorang pria dan wanita,
buah dari ‘pengenalan’ menurut Kitab Suci yang sesuai dengan ‘kesatuan dari dua
manusia di dalam satu daging’ (lih. Kej 2:24). Hal ini mengakibatkan – pada
pihak wanita – suatu ‘penyerahan diri’ yang khusus, sebagai suatu ungkapan dari
11
MD art. 21.
12
MD art. 18.
6
Dalam perkawinan, setiap perempuan terbuka terhadap suatu penyerahan diri
yang khusus, sebagai suatu ungkapan dari cinta suami-istri, dengan mana keduanya
dipersatukan sedemikian erat sehingga mereka menjadi satu daging. Peran perempuan
sebagai ibu mengimplikasikan suatu keterbukaan istimewa kepada pribadi yang baru.
Dalam keterbukaan ini, perempuan menemukan dirinya dalam suatu pemberian diri
yang tulus, di mana setiap perempuan ikut serta dalam misteri agung keturunan
abadi.13
sebagai orang tua. Tugas sebagai orang tua sekalipun merupakan tugas bersama
antara laki-laki dan perempuan, namun lebih dikenal secara penuh dalam diri
langsung “menanggung” anak yang secara harfiah menyerap seluruh energi tubuh
dan jiwanya.14
yang mengungkapkan kreativitas dan peran penting pada pihak perempuan sebab
pada dia kehidupan seorang makhluk yang baru benar-benar bergantung.15 Dengan
mencurahkan diri demi mereka yang berada dalam jangkauan aktivitasnya. Dalam
pernikahan kesiapan ini terutama terdiri dari cinta yang diberikan seorang ibu kepada
13
MD art. 18.
14
MD art. 18.
15
MD art. 19.
7
anak-anak mereka.16 Keibuan sebagai buah dari persatuan pernikahan memberikan
amanat kepada perempuan sebagai guru pertama dengan dukungan suaminya sebab
ibu telah memulai proses pengenalan terhadap anak sejak dari masa kandungan. Ibu
kecenderungan anak.17
Paus Yohanes Paulus II. Paus dalam “Surat Kepada Perempuan” tahun 1995 menyapa
ibu-ibu dengan menyatakan bahwa “kamu menjadi senyum Allah bagi anak yang
baru lahir”.18
Peran perempuan sebagai ibu tidak hanya berhenti pada persoalan bio-fisik
tidak menjadi seorang ibu secara biologis tidak menghilangkan sifat keiibuan pada
meninggalkan keibuan fisik. Akan tetapi penyakalan akan keibuan semacam ini,
16
John J. Coughlin, “Marriage and Mulieris Dignitatem”, dalam Jurnal Ave Maria Law Review, Vol.
8, No. 2, 2010, (Naples, Ave Maria School Of Law), 349-363, hlm. 358.
17
Katherine Shaw Spaht, “Mulieris Dignitatem: The Vocation Of A Wife and Mother in A Legal
Covenant Marriage”, dalam Jurnal Ave Maria Law Review, Vol. 8, No. 2, 2011, (Naples: Ave Maria
School of Law), 365-374, hlm. 368-369.
18
Susan Mader Brown, Op.Cit., hlm. 506.
8
memungkinkan suatu keibuan yang berbeda: keibuan ‘menurut Roh’ (Rm. 8:
4).”19
Keibuan dipahami Paus sebagai potensi dalam diri setiap perempuan. Potensi
tersebut akan benar-benar tertuang ketika perempuan membuka diri demi pemberian
yang tulus terhadap pasangannya. Pada perempuan yang memilih untuk menikah
pemberian diri yang tulus terungkap dalam keterbukaan terhadap kelahiran dan
menikah demi Kerajaan Allah keibuan dikonkretkan dengan cara memberikan diri
ataupun tidak menikah. Paus meneguhkan bahwa pilihan mereka tersebut tidak
secara tulus sebagai ekspresi cinta pasangan sehingga pasangan tersebut dipersatukan
satu sama lain begitu erat sehingga mereka menjadi satu daging. Pada sisi lain,
perempuan yang memilih tidak menikah demi Kerajaan Allah menyerahkan diri
mereka kepada Mempelai Ilahi. Melalui tindakan Roh Kudus seorang wanita menjadi
19
MD art. 21.
20
MD art. 21.
21
Prudence Allen, Op. Cit., hlm. 33.
9
Keibuan rohani mendapatkan banyak bentuk yang berbeda. Dalam kehidupan
orang lain, khususnya bagi mereka yang amat membutuhkan pertolongan: orang-
orang sakit, orang-orang cacat, orang-orang yang ditinggalkan, para yatim piatu,
kaum jompo, anak-anak, kaum muda, para tahanan dan umumnya semua orang yang
hidup secara marginal. Hal ini sejalan dengan perintah Kristus, Sang Mempelai,
"Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-
Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat 25:40).22
perempuan yang tidak menikah dan keibuan perempuan yang menikah. Titik tolak
dari kedua peran ini adalah arti perkawinan. Seorang wanita menikah entah melalui
dalam kedua hal ini perkawinan menandakan penyerahan diri yang tulus dari
mempelai wanita kepada mempelai pria. Dengan begitu orang dapat berkata bahwa
pilihan perempuan untuk berperan sebagai istri (dengan menikah), dan berperan
22
MD art. 21.
23
MD art. 21.
10
sebagai perawan (tidak menikah) merupakan peran yang sama-sama baik dan sejalan
Peran perempuan sebagai pribadi pilihan Allah merupakan peran yang secara
spesifik bersumber dari keterpilihan Maria menjadi Bunda Allah. Peran Maria
tersebut merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah. Rahmat tersebut merupakan
dipanggil untuk berpartisipasi dalam karya mesianistik Yesus Kristus sebagai Hamba
Tuhan.
dirinya sebagai perempuan yang dipilih oleh Allah. Maria adalah gambaran dan
orang, baik laki-laki maupun perempuan. Peristiwa perkandungan dari Roh Kudus
menandakan kesatuan dengan Allah yang hanya dapat dimiliki oleh Maria. Kesatuan
Peran Maria sebagai pribadi pilihan Allah merupakan rahmat dari Allah.
Rahmat yang dianugerahkan Maria juga menjadi tanda kepenuhan kesempurnaan dari
24
MD art. 4.
11
martabat dan panggilan perempuan. Di sini, Maria merupakan arketipe atau bentuk
fiatnya sebagai Hamba Tuhan (Luk. 1: 38). Dalam ungkapan Hamba Tuhan dapatlah
dilihat kesadaran Maria sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan mengungkapkan diri
sebagai Hamba Tuhan, Maria mengambil bagian dalam pelayanan mesianistik Yesus.
Yesus sendiri sering mengatakan tentang diri-Nya, khususnya pada saat-saat puncak
misi-Nya: "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani"
Perempuan sebagai pribadi pilihan Allah berperan sebagai Hamba Tuhan yang
dilandaskan pada kesadaran bahwa Kristus adalah penebus. Dan Maria merupakan
dan Maria dalam Kitab Suci. Paus menekankan martabat Maria sebagai Bunda Allah
dengan cara menganolikannya dengan Hawa, ibu segala yang hidup, sekaligus
dengan cara yang sama mengarisbawahi martabat dan panggilan setiap perempuan
25
MD art. 5.
26
MD art. 5.
12
sehingga setiap perempuan mendapatkan peran yang sama sebagai pembawa
kehidupan.27
Kitab Kejadian menyatakan bahwa dosa merupakan kejahatan pada awal mula
manusia dan sejak saat itu akibatnya membebani seluruh umat manusia. Pada saat
yang sama Kitab Kejadian juga memuat nubuat tentang kemenangan atas dosa. “Aku
akan membuat permusuhan di antara engkau dan perempuan ini, dan antara
keturunanmu dan keturunannya; dia akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan
terkandung dalam kutipan ayat ini menunjuk pada "wanita itu". Ia ditugaskan pada
tempat pertama untuk menjadi orang yang melahirkan Dia yang akan menjadi
Penebus manusia. Dari sudut pandang ini dua sosok wanita, Hawa dan Maria,
penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah dan kebenaran tentang dosa asal.
Hawa sebagai "ibu segala yang hidup" (Kej 3:20) hadir sebagai pembawa kehidupan
ke dalam dunia. Seruan Hawa diulang setiap kali seorang manusia baru lahir ke
dunia, "aku telah mendapatkan seorang anak dengan pertolongan Tuhan" (Kej 4:1). 29
Maria adalah saksi untuk awal yang baru dan ciptaan baru (lih. 2 Kor 5:17),
karena dia sendiri, sebagai yang pertama dari mereka yang ditebus dalam sejarah
27
Mary Timothy Prokes, Loc. Cit., hlm. 85.
28
MD art. 11.
29
MD art. 18.
13
keselamatan adalah ciptaan baru.30 Maria sebagai Bunda Allah, membawa kehidupan
dilaksanakan perempuan dalam kesatuan dengan laki-laki. Peran ini bersumber dari
Manusia sebagai gambar dan rupa Allah dalam keberadaannya sebagai laki-
laki dan perempuan berkaitan juga dengan relasi antara pribadi dengan “aku” yang
lain. Relasi antara laki-laki dan perempuan merupakan awal menuju pernyataan diri
yang definitif dari Allah Tritunggal.31 Fakta bahwa laki-laki dan perempuan adalah
gambar Allah tidak hanya berarti bahwa masing-masing secara individu seperti Allah
sebagai makhluk yang rasional dan bebas namun juga berarti bahwa laki-laki dan
perempuan diciptakan sebagai “kesatuan dua orang” dalam kemunusian yang sama,
dipanggil untuk hidup dalam persekutuan cinta, dan dengan cara itu menampakan di
dalam dunia persekutuan cinta yang ada di dalam Allah, di mana Ketiga Pribadi
mencintai satu sama lain dalam misteri yang mendalam dari kehidupan ilahi.
Allah Tritunggal. Peran tersebut dapat perempuan jalankan dengan membangun relasi
30
MD art. 11.
31
MD art. 7.
14
4.7 Peran Perempuan Sebagai Saksi Kristus
sebagai saksi-saksinya. Kitab Suci mencatat bahwa peran ini telah dijalankan oleh
dan perempuan. Kesamaan dalam pengajaran Yesus menjadi dasar yang sangat jelas
bagi martabat dan panggilan perempuan dalam Gereja dan di tengah dunia. Setiap
panggilan memiliki makna pribadi dan profetis, dalam konteks ini setiap perempuan
dipanggil untuk berperan sebagai subjek yang hidup dan saksi yang tak tergantikan. 33
Peran perempuan sebagai imam berada dalam konteks imamat universal yang
amanat Konsili Vatikan II mengenai kesadaran Gereja tentang imamat universal. Paus
imamat Kristus, baik pria maupun wanita, oleh karena setiap orang harus
mempersembahkan diri sebagai korban yang hidup, suci, dan berkenan kepada
Allah.34
32
MD art. 16.
33
MD art. 16.
34
MD art. 27.
15
Peran perempuan sebagai imam yang mempersembahkan diri sebagai korban
yang hidup, suci dan berkenan kepada Allah dapatlah ditemukan dalam sejarah
Gereja. Sejak awal mula Gereja telah muncul begitu banyak perempuan yang dalam
keadaan diskriminasi tetap mampu melakukan karya luar biasa demi Kerajaan Allah.
Beberapa perempuan itu antara lain, Monika, ibu dari Santo Agustinus, Macrina,
Olga dari Kiev, Matilda dari Tuscania, Hedwig dari Silesia, Jadwiga dari Cracow,
Elisabeth dari Thuringia, Birgitta dari Swedia, Jean d'Arc, Rosa dari Lima, Elizabeth
pada konteks imamat universal. Mulieris Dignitatem memang berbicara juga tentang
kompromi dengan adat istiadat yang berlaku, dan dengan tradisi yang dijaga dengan
ketat oleh penguasa masa itu sebab Ia kerap kali melangkahi tradisi demi
35
MD art. 27.
16
laki-laki untuk menjadi Rasul-rasul-Nya agar menyesuaikannya dengan mentalitas
yang tersebar luas ketika itu, sama sekali tidak sesuai dengan cara bertindak Kristus. 36
menekankan bahwa imamat jabatan hanya diterima oleh laki-laki, “Ekaristi terutama
sang mempelai wanita. Hal ini jelas dan tidak dapat disangsikan kalau pelayanan
Sakramen Ekaristi, di mana imam bertindak "dalam Pribadi Kristus", dijalankan oleh
seorang pria.”37
mengenai Kasih Allah dalam bab delapan Mulieris Dignitatem. Dalam bab ini
perempuan dilihat memiliki peran sebagai pribadi yang dikasihi agar ia mengasihi
kembali. Peran ini bersumber dari analogi Gereja sebagai mempelai wanita Kristus.
Peran ini juga sejalan dengan ajaran Konsili Vatikan II. Peran perempuan ini
Paus Yohanes Paulus II menerangkan bahwa ketika penulis surat Efesus (Ef.
5: 25-32) menyebut Kristus sebagai Mempelai Pria dan Gereja sebagai mempelai
wanita, ia secara tidak langsung melalui analogi ini menegaskan kebenaran mengenai
perempuan sebagai mempelai wanita. Kristus sebagai mempelai pria adalah Dia yang
36
MD art. 26.
37
MD art. 26.
17
mengasihi dan Gereja sebagai mempelai wanita adalah dia yang dikasihi oleh
mempelai pria. Hal ini dapat berarti juga perempuan adalah yang menerima kasih,
agar ia mengasihi kembali. Kasih yang diterima dan dibagikan kembali oleh
Peran perempuan sebagai dia yang dikasihi agar ia mengasihi kembali tidak
hanya menunjuk kepada relasi khusus pasangan suami istri dalam perkawinan. Peran
ini untuk relasi universal dimana perempuan hadir di tengah relasi-relasi antar pribadi
dalam masyarakat dan dalam interaksi antar laki-laki dan perempuan secara umum.
Dalam konteks tersebut seorang perempuan menampilkan suatu nilai istimewa oleh
kenyataan bahwa ia adalah seorang pribadi manusia, dan sekaligus pribadi yang
Peran perempuan sebagai dia yang dikasihi agar ia mengasihi kembali sejalan
dengan amanat Konsili Vatikan II. Konsili mencatat bahwa setiap “manusia yang di
dunia ini merupakan satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya
sendiri, tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikan
dirinya”.40
paling tinggi dalam diri Perawan Maria, Bunda Allah. Maria menekankan, dalam cara
38
MD art. 29.
39
MD art. 29.
40
GS art. 24.
18
yang paling utuh dan langsung, hubungan yang erat dari perintah kasih, yang masuk
ke dalam dunia manusia melalui seorang wanita, dengan Roh Kudus. Keterangan ini
41
MD art. 29.
19