Seminar Proposal 2
Seminar Proposal 2
PROPOSAL SKRIPSI
Disusun Oleh:
Vina Febrianti
B0520054
SURAKARTA
2023
DAFTAR ISI
i
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
memperdalam khazanah terhadap kitab yang seringkali digunakan masyarakat
Indonesia. Kitab ini khususnya menonjolkan unsur-unsur zikir serta doa, dan
yang tidak kalah penting adalah kesantunan spiritual yang melimpah yang
terkandung didalamnya. Maka dari itu dalam kitab ini terdapat banyak tuturan
kesantunan pada Ratib Al-Haddad yang sangat menarik untuk dikaji lebih
dalam.
Teori kesantunan linguistik bermula dari pandangan Brown dan
Levinson (1978) yang menyatakan bahwa kesantunan pada hakikatnya
berkaitan dengan “wajah” atau wajah baik pembicara maupun lawan bicara
dengan saya. Dari sudut pandang ini, wajah tidak mengacu pada
“penampilan” atau “ekspresi wajah”, melainkan “citra publik” atau “harga
diri” dari sudut pandang Perusahaan. Brown dan Levinson (1978)
membedakan antara wajah positif dan negatif. Wajah negatif mengacu pada
gambaran atau keinginan seseorang untuk dihormati dengan bebas melakukan
tindakan atau tindakan, misalnya perilaku verbal direktif. Muka positif
mengacu pada citra diri atau keinginan bahwa apa yang dilakukan harus
sesuai dengan keyakinan dan diakui sebagai sesuatu yang baik, sehingga
menyenangkan dan patut diapresiasi, bukan seperti pujian.
Struktur tuturan juga menentukan kesantunan berbahasa, dalam hal ini
juga berlaku dalam konteks kitab ratib Al-Haddad. Kitab ini memiliki pola
dan struktur tuturan yang mengikuti norma-norma bahasa Arab dan
mencerminkan etika dan kedalaman makna yang dihormati dalam budaya
keislaman. dan terdapat permasalahan pada penerjemahan kesantunan
berbahasa pada Versi Arab dan Indonesia. Hal tersebut dapat menjadi peluang
bagi penulis untuk menganalisisnya.
Penerjemahan dalam kitab Ratib Al-Haddad harus diteliti secara
cermat untuk memastikan kesantunan bahasa yang diungkapkan sesuai
dengan isi dan nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam kitab tersebut.
Kehati-hatian dalam memilih kata, struktur kalimat, dan ekspresi bahasa
adalah kunci dalam mempertahankan kesantunan yang diinginkan, sehingga
2
pesan spiritual dan kebijaksanaan yang ingin disampaikan oleh kitab ini tetap
terjaga dengan baik dalam bahasa yang dituju. Dengan demikian, penerjemah
perlu memahami baik konteks budaya, adat istiadat, dan nilai-nilai Islam yang
terkandung dalam kitab Ratib Al-Haddad untuk menghasilkan terjemahan
yang menghormati kesantunan dan keberkahan kitab suci tersebut. Oleh
karena itu, penerjemah hendaknya memperhatikan penggunaan teknik dan
metode penerjemahan. Hal ini sangat bermanfaat agar hasil alih bahasa dapat
sampai kepada pembaca dan tidak terjadi kesalahan dalam memahami
informasi yang berupa kesantunan. Pada Kitab Ratib al Haddad ditemukan
salah satu contoh strategi kesantunan positif:
Nomor Data
BSu وم اللَّوُ اَل إِلا او إََِّل ُى او ح
ُ ُّاْلا ُّي الح اقي
BSa Yang berarti Allah, tiada ada tuhan melainkan dia, yang hidup kekal lagi
terus mengurus (makhluk-Nya).
Dalam Kitab Ratib Al-Haddad terdapat data yang menunjukkan penerapan strategi
kesantunan positif:
1. Kata " "هللاadalah nama khusus untuk Tuhan dalam agama Islam. Dalam
pemahaman Islam, Allah adalah pencipta, pemelihara, dan penguasa semesta.
Kalimat ini dimulai dengan menyebutkan nama Allah, yang menandakan
bahwa pernyataan ini adalah penghormatan dan pengakuan terhadap Tuhan
yang Maha Esa.
2. Frasa لا اِلها َال هُو: Frasa ini adalah inti dari tauhid, yaitu keesaan Tuhan dalam
Islam. Frasa ini diterjemahkan sebagai "tidak ada Tuhan selain Dia." Ini
adalah pernyataan tegas bahwa tidak ada dewa, entitas, atau kekuatan lain
3
yang pantas disembah atau diakui selain Allah. Ini adalah dasar keyakinan
monotheistik dalam Islam.
ْ berarti "Yang Maha Hidup." Allah adalah Maha Hidup dalam arti
3. Kata ""ال احي
yang paling sempurna. Kehidupan-Nya tidak terbatas oleh waktu atau ruang,
dan itu adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk. Ini menegaskan bahwa
Allah adalah sumber kehidupan sejati.
4. Kata " " ْالقايُّوْ مberarti "Yang Maha Kekal" atau "Yang Mahakuasa." Allah
adalah Maha Kekal dalam arti bahwa Dia ada sejak selamanya, tidak memiliki
awal atau akhir. Dia juga Mahakuasa, yang berarti Dia adalah pemelihara,
pengatur, dan pemegang kendali atas seluruh ciptaan-Nya. Ini menekankan
sifat kekuasaan dan pemeliharaan Allah.
Kalimat ini secara keseluruhan adalah pernyataan tauhid yang sangat kuat dalam
Islam, yang mengakui keesaan Tuhan. Ini menyatakan bahwa hanya Allah yang
pantas disembah dan bahwa Dia adalah Yang Maha Hidup dan Mahakuasa. Kalimat
ini mencerminkan strategi kesantunan positif dengan mengagungkan Allah dan
menegaskan keyakinan mendasar dalam agama Islam. Penerjemah menggunakan
teknik Adisi karena penerjemah menambahkan frasa "yang berarti", digunakan
sebagai kata tambahan untuk menjelaskan makna kalimat Arab asli dan
mengindikasikan bahwa apa yang mengikuti adalah terjemahan dari kalimat tersebut.
Teknik ini membantu pembaca yang mungkin tidak memahami bahasa Arab untuk
memahami bahwa kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
4
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tindak tutur
dan strategi kesantunan yang merepresentasikan karakter dalam kepemimpinan
berperspektif gender. Hasil penelitian menemukan bahwa, pertama, calon pimpinan
perempuan dan calon pimpinan laki-laki sama-sama menggunakan empat jenis tindak
tutur yaitu tindak tutur asertif, komisif, direktif dan ekspresif. Kedua, peneliti
menemukan 3 strategi kesantunan yang digunakan calon pimpinan KPK yaitu strategi
kesantunan positif, strategi kesantunan negatif dan strategi kesantunan tidak
langsung. Ketiga, peneliti menemukan representasi 10 dimensi karakter dan 29
elemen terkait pada calon pimpinan KPK melalui penggunaan tindak tutur dan
strategi kesantunan yaitu (1) dorongan, (2) kolaborasi, (3) kesederhanaan, (4)
integritas, (5) pengendalian diri, (6) keadilan, (7) akuntabilitas, (8) keberanian, (9)
transenden, dan (10) pertimbangan. Meskipun kedua gender memiliki dimensi
karakter pemimpin yang baik, tetapi ada kecenderungan yang menunjukkan bahwa
calon pimpinan perempuan lebih sering merepresentasikan dimensi karakter
kolaborasi, kesederhanaan dan transenden. Sementara itu, calon pimpinan laki-laki
lebih sering merepresentasikan dimensi karakter integritas dan pertimbangan.
5
dasar menelaah isi petikan novel. Novel ini sesuai dengan kemampuan siswa serta
dapat digunakan sebagai alternatif pembelajaran, khususnya dalam memahami isi
teks novel berbahasa Jawa siswa SMA kelas XI.
Pertama, Penelitian yang dilakukan oleh Irianti (2023) yang berjudul “Kajian
Terjemahan Tindak Tutur Direktif Pada Subtitle Film „Alephia 2053‟ Arab-Inggris
Dan Arab-Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) jenis-jenis
tindak tutur direktif yang muncul pada Subtitle film „Alephia 2053‟ Arab-Inggris dan
Arab-Indonesia, (2) teknik terjemahan yang digunakan untuk menerjemahkan tindak
tutur direktif pada Subtitle film „Alephia 2053‟ Arab-Inggris dan Arab-Indonesia (3)
Metode dan ideologi terjemahan tindak tutur direktif pada Subtitle film „Alephia
2053‟ Arab-Inggris dan Arab-Indonesia. Hasil dari penelitian tersebut adalah
terjemahan Arab–Inggris dominan menerapkan teknik padanan lazim dan amplifikasi.
Sedangkan hasil terjemahan Arab–Indonesia dominan menerapkan teknik padanan
lazim dan kompresi linguistik. Adapun metode terjemahan pada terjemahan Arab–
Inggris maupun Arab–Indonesia keduanya memiliki kesamaan yaitu orientasinya
pada bahasa sasaran. Hal ini berpengaruh pada orientasi ideologi domestikasi yang
dianut oleh dua penerjemah.
Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Usroh (2023) yang berjudul “Kajian
Terjemahan Syibhul-Jumlah Pada Kitab Washiyyatul-Musthafaa Dan Kitab
Washaayaa Al-Abaa'i Lil-Abnaa'i:Analisis Kesepadanan Sintaksis”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui: (1) jenis dan bentuk syibhuljumlah yang ada pada kitab
Washiyyatul-Mushthafa dan kitab Washaya Al-Aba`i Lil Abna`i, (2) teknik
penerjemahan syibhul-jumlah dalam kitab WashiyyatulMushthafa dan Washaya Al-
Aba`i Lil-Abna`i, (3) metode dan ideologi penerjemahan syibhul-jumlah dalam kitab
Washiyyatul-Mushthafa dan kitab Washaya Al-Aba`i Lil-Abna`i, dan (4) kualitas
penerjemahan syibhul-jumlah dalam kitab Washiyyatul-Mushthafa dan kitab
6
Washaya Al-Aba`i Lil-Abna`i. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kitab
WashiyyatulMushthafa dan kitab Washaya Al-Aba`i Lil Abna`i, syibhul-jumlah yang
paling banyak ditemukan adalah jar wa majrur. Teknik yang paling banyak
diterapkan pada terjemahan syibhul-jumlah pada kedua kitab adalah teknik padanan
lazim
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Vera (2018), yang berjudul “Dzikir
Ratib Al-Haddad Dalam Meningkatkan Ketenangan Jiwa Jama‟ah Warga Emas di
Yayasan Al-Jenderami Dengkil Selangor Malaysia”. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dzikir Ratib Al- Haddad dalam meningkatkan ketenangan jiwa jama'ah warga
emas di yayasan Al-Jenderami Dengkil Selangor Malaysia, dapat diperoleh apabila
telah istiqomah di amalkan oleh warga emas dengan beberapa tahapan sebagai
berikut: 1. Tahap persiapan yakni dengan mencari tempat dan waktu yang baik, dzikir
dalam keadaan suci, menghadap kiblat, duduk dengan posisi sopan dan nyaman serta
menundukkan kepala. 2. Tahap pelaksanaan yakni dengan niat ikhlas dalam berdzikir,
diam, tenang dan menghadirkan hati dalam berdzikir, dengan suara halus dan
memahami makna dzikir. 3. Tahap pengakhiran yakni bertafakkur.
Selanjutnya, penelitian dengan objek material yang sama yang diteliti oleh
Yamani (2022), yaitu Kitab Rattibul Haddad dengan judul “Ratibul Hadad Tradition
at Majlis Alkhairaat (Study of Living Qur'an Against QS Al-Baqarah Verses 285-
286)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa sebagian besar para pembaca
Ratibul Haddad tidak mengetahui pemahaman ayat-ayat yang dikandung dalam
dzikir-dzikir tersebut, sehingga mereka hanya sekedar baca sesuai dari arahan guru
mereka masing-masing, meskipun demikian bacaan tersebut mampu memberikan
ketenangan jiwa kepada mereka.
7
dilihat pula bahwa kajian Ratib Al-Haddad sebagian besar berkaitan dengan lingkup
luar atau eksternalnya, seperti fungsi, manfaat, isi kandungan, dan penggunaan. Oleh
sebab itu, maka penelitian ini merupakan karya asli penulis. Penulis ingin melakukan
kajian langsung pada zikir dan doa di dalamnya dengan cara melihat terjemahannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan celah penelitian (research gap) adalah sebagai
berikut: 1) Kajian terjemahan kesantunan pada kitab Ratib Al-Haddad belum pernah
dilakukan. 2) Kajian terkait relasi penerapan teknik, metode dan ideologi dalam
terjemahan kitab Ratib al-Haddad belum pernah dilakukan. Adapun unsur kebaruan
(novelty) Penelitian ini akan membahas tentang hal yang terkait dengan teknik
terjemahan kesantunan Berbahasa Arab, lantas menganalisis penggunaan metode dan
ideologi terjemahan kesantunan dalam kitab Ratib Al-Haddad Karya Abdullah bin
Alawi Al-Haddad.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENELITIAN
8
1. Mengetahui bentuk kesantunan yang terdapat dalam Kitab Ratib Al-Haddad
karya Abdullah bin Alawi al-Haddad (versi Penerbit Habib Nuh Alhaddad
Solo)
2. Mendeskripsikan penerapan teknik terjemahan tuturan yang mengandung
kesantunan dalam kitab Ratib al- Haddad karya Abdullah bin Alawi al-
Haddad (versi Penerbit Habib Nuh Alhaddad Solo)
3. Mendeskripsikan kecendurungan metode dan ideologi terjemahan tuturan
yang mengandung kesantunan dalam kitab Rattib al- Haddad karya Abdullah
bin Alawi al- Haddad (versi Penerbit Habib Nuh Alhaddad Solo)
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu manfaat
teoritis dan manfaat praktis:
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
9
kitab ini dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat membantu dalam
memperkuat iman, meningkatkan kualitas ibadah, dan memperbaiki
karakter serta moral individu. Selain itu, penelitian ini juga dapat
memicu pengembangan metode pengajaran dan pembelajaran kitab-
kitab spiritual dalam pendidikan agama Islam dan diharapkan dapat
memberikan hasil terapan teknik, metode, ideologi pada kitab
berbahasa Arab.
E. PEMBATASAN MASALAH
Peneliti perlu membatasi ruang lingkup masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini. Pembatasan masalah diperlukan agar pembahasan dapat terfokus dan
lebih terarah. Adapun fokus kajian dalam penilitian ini adalah Kajian Kesantunan
(Brown & Levinson) yang terdapat pada bagian doa dan zikir dalam buku "Ratib al-
Haddad Karya Abdullah Bin Alawi al- Haddad" versi Penerbit Habib Nuh Alhaddad
Solo. Peneliti akan mengkaji terkait teknik, metode, dan ideologi terjemahan hanya
pada bagian kesantunan (menurut brown & levinson) tersebut yang terdapat dalam
tuturan doa dan zikir saja.
F. LANDASAN TEORI
Teori merupakan serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling
berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis dengan menentukan
hubungan antar variabel dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Dalam
bidang kebahasaan, teori adalah seperangkat hipotesis yang digunakan untuk
menjelaskan data bahasa, baik bersifat lahiriah seperti bunyi bahasa maupun yang
bersifat batiniah seperti makna (Kridalaksana, 2008:240). Penelitian yang berkualitas
harus menggunakan teori-teori yang dapat menjadi dasar penelitian serta dapat diuji
kebenarannya. Sugiyono (2010:81) menjelaskan bahwa teori adalah konseptualisasi
umum yang diperoleh melalui jalan sistematis dan harus dapat diuji kebenarannya.
10
Berdasarkan hal tersebut, peneliti akan menggunakan empat teori yang sesuai
dengan penelitian ini. Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi: teori kesantunan, teknik terjemahan, metode terjemahan, dan ideologi
terjemahan.
1. KESANTUNAN BERBAHASA
11
B. Faktor Penentu Kesantunan Berbahasa
Menurut Pranowo (2009:76) dalam tulisannya Berbahasa secara
Santun, faktor yang menentukan kesantunan adalah segala sesuatu yang dapat
berpengaruh terhadap kesantunan berbahasa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
faktor yang menentukan kesantunan berbahasa adalah (1) intonasi, (2) nada
bicara, (3) diksi, dan (4) struktur ujaran (tuturan).
Intonasi di dalam percakapan sangat menentukan kesantunan
berbahasa. Yang dimaksud intonasi adalah keras-lembutnya suara di dalam
percakapan. Intoniasi sering kali dipengaruhi oleh latar belakang budaya
masyarakat.
Nada bicara merupakan hal yang berkaitan dengan suasana emosi
penutur dan nada (bercanda, bergurau, mengejek, atau menyindir). Secara
umum nada bicara adalah naik turunnya ujaran atau tuturan yang
mencerminkan suasana hati penutur. Nada bicara ini tidak bisa disembunyikan
dari tuturan. Oleh sebab itu, di dalam percakapan, kita perlu mengendalikan
diri agar suasana hati (marah, sedih) tidak terbawa di dalam percakapan.
Diksi atau pilihan kata merupakan kemahiran penutur di dalam
memilih dan mendayagunakan kata di dalam percakapan. Pilihan kata dapat
mengakibatkan tuturan menjadi santun atau tidak. Oleh sebab itu, di dalam
menjaga kesantunan berbahasa perlu pemilihan kata (diksi) secara tepat.
Ketepatan di dalam pemilihan diksi akan berakibat pada kesantunan
berbahasa.
C. Pendukung Kesantunan Berbahasa
Di dalam penggunaan bahasa, faktor verbal dan nonverbal harus
berjalan beriringan. Dalam arti bahwa penggunaan bahasa akan lebih jelas
apabila didukun pula oleh aspek nonverbal. Kesantunan berbahasa pun perlu
adanya "dukungan dari aspek nonverbal. Aspek yang mendukung kesantunan
berbahasa menurut Pranowo (2009: 111-121) adalah (1) sikap rendah hati, (2)
sikap empan-papan, (3) sikap menjaga perasaan, (4) sikap mau berkorban, dan
(5) sikap mawas diri.
12
1. Sikap Rendah Hati
Dalam budaya Jawa, sikap rendah hati merupakan salah satu nilai- nilai
yang sangat dijunjung tinggi. Bahkan sikap tersebut merupakan sikap yang
universal bagi manusia. Dalam arti bahwa sikap rendah hati dapat
dimanifestasikan ke dalam percakapan atau komunikasi oleh siapa saja yang
terlibat di dalam percakapan (komunikasi). Sikap rendah hati sering
dipandang sebagai sikap asli masyarakat Jawa yang sering berlaku "andhap
aur sau "lembah manah".
Sikap rendah hati biasanya muncul akibat adanya kesadaran manusia akan
segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Menyadari akan adanya
kekurangan bisa menimbulkan perilaku "isin" atau "lingsem" (malu).
Terkadang, seseorang kurang yakin dengan kelebihan yang ada pada dirinya,
sehingga menimbulkan sikap "sungkan" atau "ewuh-pekewuh" (enggan)
terhadap orang lain (Kioentjaraningrat, 1994).
13
Sikap empan-papan adalah kesanggupan seseorang untuk menyesuaikan
diri dengan tempat dan waktu dalam bertindak terhadap mitra tutur. Sikap ini
berkaitan dengan kemampuan seseorang di dalam mengendalikan diri untuk
tidak berbuat yang kurang menyenangkan terhadap orang lain. Penutur yang
baik pada dasamya harus mampu menempatkan diri "di mana berada"
(konteks) percakapan. Dengan demikian, sikap empan papan berkaitan dengan
kemampuan seseorang untuk selalu menggunakan bahasa yang sesuai
konteks. Penggunaan bahasa yang sesuai konteks dapat menjaga kesantunan
berbahasa.
Sikap "tepa slira" adalah sikap yang diperlihatkan oleh penutur kepada
mitra tutur bahwa sesuatu yang tidak dapat diterapkan pada diri sendiri tidak
boleh diterapkan pada orang lain. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa akan
14
terjaga secara baik, jika penutur dan mitra tutur saling menjaga perasaan
masing-masing
Sikap mawas diri diungkapkan dengan istilah "ulat salir hangrasa ani"
harus "bisa rumangsa" (bisa merasakan) jangan "rumangsa bisa" (merasa
bisa). Artinya, ada keberanian untuk "mawas diri" (tahu diri) atau introspeksi
(mengoreksi diri sendiri). Bisa rumangsa adalah cermin dari kerendahan hati
seseorang, sedangkan rumangsa bisa merupakan cermin dari kesombongan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kesantunan berbahasa akan terjaga
apabila penutur selalu introspeksi (tahu diri) atau bisa menempatkan diri di
hadapan mitra tutur.
15
Untuk menjaga kesantunan berbahasa, penutur perlu mawas diri
(mengoreksi diri sendiri) sebelum mengoreksi kesalahan orang lain.
Penutur jangan pemah menyalahkan mitra tutur tanpa alasan atau
pertimbangan yang jelas. Salahkan diri sendiri sebelum menyalahkan
orang lain.
D. Teori Kesantunan Berbahasa
Teori Brown dan Levinson (1978)
Teori kesantunan berbahasa bermula dari pendapat Brown dan
Levinson (1978) yang berpendapat bahwa bersikap santun pada dasarnya
adalah bersikap peduli pada "wajah" atau muka, baik kepada penutur maupun
lawan tutur. Wajah dalam pandangan tersebut buka merujuk pada "rupa fisik
atau "raut muka", melainkan merujuk pada "public image" atau "harga diri"
dalam pandangan masyarakat.
Brown dan Levinson (1978), membedakan muka (face) atas muka
positif dan negatif. Muka negatif merujuk pada citra diri atau keinginan
seseorang untuk dihargai secara bebas melakukan perbuatan atau tindakan,
misalnya tindak tutur perintah (direktif). Adapun muka positif merujuk pada
citra diri atau keinginan agar yang dilakukan sesuai dengan keyakinan dan
diakui sebagai sesuatu yang baik, sehingga menyenangkan dan layak untuk
dihargai, misalnya tindak tutur memuji.
Teori kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Brown dan
Levinson (1987) meliputi konsep dan skala kesantunan. Dalam konsep
kesantunan dijelaskan bahwa penyelamatan muka merupakan perwujudan
penghargaan seseorang kepada orang lain sebagai anggota masyarakat. Yang
dimaksud muka adalah citra diri yang harus diperhatikan partisipan (peserta
tindak tutur) di dalam kegiatan komunikasi.
Menurut teori ini, skala kesantunan mencakup tiga hal, yaitu (1) skala
jarak sosial (social distener), yaitu skala yang dilihat berdasarkan hubungan
penutur dan mitra tutur, (2) skala besar kecilnya tingkat kekuasaan (pr nating),
yaitu skala kesantunan yang dilihat berdasarkan kekuasaan atau jabatan dan
16
(3) skala kedudukan tuturan (speech position scale), yaitu skala yang dilihat
berdasarkan tingkatan tuturan dalam bahasa.
E. Kaidah Kesantunan Berbahasa
Penggunaan teori kesantunan berbahasa mendasarkan pada
pemahaman penulis terhadap sumber atau refernsi yang dijadikan rujukan.
Fasold (1984) menjelaskan kesantunan berbahasa berdasarkan kaidah
kesantunan. Menurutnya, kaidah kesantunan dapat dibedakan atas:
a. Kaidah keformalan (formality), yaitu kaidah yang mengatur bahwa di dalam
berbahasa penutur tidak boleh memaksa dan bersikap sombong Jadi dalam
kaidah ini diajarkan agar "Jangan memaksa atau bersikap angkuh terhadap
lawan tutur."
b. Ketidaktegasan (hesitency), yaitu kaidah yang mengatur bahwa didalam
berbahasa penutur harus memberikan keleluasaan kepada lawan bicara untuk
menentukan pilihan. Dengan kata lain" Buatlah agar lawan tutter dapat
menentukan pilihan."
c. Kesekawanan atau persamaan (equality or camaraderie), yaitu kaidah yang
mengatur bahwa dalam berbahasa anggaplah lawan tutur sebagai teman yang
sederajat dan buatlah lawan tutur menjadi tersanjung atau senang. Dengan
kata lain "Buatlah seolah-olah lawan tutur Anda sedenajať" atau "buatlah
lawan tutur menjadi senang."
17
Brown and Levinson (1987), membedakan strategi kesantunan atas
strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif. Kesantunan negatif
merujuk pada citra diri (secara rasional) yang berkeinginan untuk dihargai
melakukan tindakan secara bebas. Adapun kesantunan positif merujuk pada
citra diri (secara rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukan dapat
diakui sebagai hal yang baik, sehingga patut untuk dihargai.
Pembagian kesantunan tersebut disebabkan oleh adanya ujaran atau
tuturan yang dapat mengancam muka lawan tutur yang disebut sebagai face
threatening adalah act (FTA). Teori dasar yang diusulkan Brown dan
Levinson (1978) penutur "menghitung" derajat keterancaman tindak tutur
dengan pertimbangan faktor-faktor berikut.
a. Jarak sosial antara penutur dan lawan tutur atau pendengar,
b. Besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi antara penutur
dan lawan citur;
c. Kerelatifan status atau jenis tindak tutur dalam kebudayaan.
a. Perhatikan minat, keinginan, sifat, dan barang lawan tutur, misalnya "Kamu
kelihatan letih...........”
b. Berilah perhatian khusus kepada lawan tutur, misalnya "Wah baru saja dapat
rejeki ya...”
c. Melebih-lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati terhadap lawan tutur,
misalnya "Anda betul-betul memiliki kepedulian sosial yang tinggi”
d. Tingkatkan rasa tertarik pada lawan tutur, misalnya "Kamu tahu khan....!
Tahu maksud saya khan.....!"
e. Gunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok,
misalnya "Bantu saya membawa tas ini, dik."
f. Usahakan setuju dengan ucapan lawan tutur, misalnya: "Dalam perjalanan
ban motor saya gembe"-"Marya Allah, bannya gembes”
18
g. Hindari pertentangan dengan lawan tutur, misalnya "Dia itu kecil" Ya, dia
memang kecil, tetapi saya rasa tidak terlalu kecil”
h. Usahakan persepsi yang sama dengan lawan tutur, misalnya "Luka ini sakit
sekali!" "Ya, memang sakit sekali, karena luka itu terlalu dalam”
i. Usahakan lawan tutur memiliki persepsi bahwa penutur memahami maksud
lawan tutur, misalnya "Ya saya tahu kamu tidak suka jajan, tetapi…..”
j. Buatlah penawaran atau janji, misalnya "Insya Allah besok kalau lewat Tegal,
saya akan mampir”
k. Tunjukkan rasa optimis pada lawan tutur, misalnya "Anda pasti bisa
mengerjakan soal itu”
l. Usahakan berada dalam satu kegiatan dengan lawan tutur, misalnya “kalau
begitu mari kita makan bersama”
m. Beri dan mintalah alas an, misalnya "Bagaimana kalau kisa pergi ke pantai
saja, lebih menyenangkan"
n. Balik menawarkan tindakan kepada lawan tutur, misalnya "Saya akan
meminjami buku, kalau kamu mengantarkan saya pulang”
o. Beri rasa simpati kepada lawan tutur, misalnya "Kalau ada yang bisa saya
hantu, tolong saya diberitahu”
19
f. Gunakan permohonan maaf "Sebelumnya kami mohon maaf, apakah
kedatangan saya tidak mengganggu “
g. Jangan menyebutkan penutur dan lawan tutur, misalnya "Mahon dikerjakan
secara baik"
h. Nyatakan tindakan yang mengancam muka sebagai hal yang umum, misalnya
"Para pemimpang dimohon tidak meludah dalam kereta”
i. Nominalkan pernyataan, misalnya "Prestasisi Anda sangat membanggakan”
j. Jelaskan bahwa penutur telah berlaku baik, misalnya "Saya akan merasa
berterima kasih, jika Saudara mau menjadi menikah dengan adik saya".
2. TEKNIK PENERJEMAHAN
20
poin di atas yang menurut Machali membedakan teknik dan metode yang
sifatnya normatif. Sedangkan teknik. Sesuai dengan sifatnya yang praktis
secara langsung berkaitan dengan permasalahan praktis penerjemahan dan
pemecahannya.
21
4. Dalam hubungannya dengan terminologi, untuk mempertahankan
istilah- istilah yang biasa digunakan.
5. Untuk memformulasikan teknik baru dalam rangka menjelaskan
mekanisme yang belum digambarkan.
2. Penambahan (amplifikasi)
3. Peminjaman (borrowing)
22
Suatu teknik penerjemahan yang menggunakan kata atau ungkapan
dari bahasa sumber di dalam bahasa sasaran. Peminjaman dibagi menjadi dua:
peminjaman murni (pure borrowing), yaitu peminjaman tanpa melakukan
perubahan apa pun dan peminjaman alamiah (naturalized borrowing), yaitu
kata dari BSu disesuaikan dengan ejaan yang terdapat pada BSa.
Contoh :
Bsu : Mixer
Bsa : Mikser
4. Kalke (calque)
5. Kompensasi (compensation)
6. Deskripsi (description)
23
Suatu teknik penerjemahan yang menggnati istilah dalam BSu dengan
deskrisipnya dalam BSa. Teknik ini dilakukan ketika suatu istilah dalam BSu
tidak memiliki istilah yang sepadan dalam BSa.
Contoh :
Bsu : Panettone
Bsa : Kue Tradisional italia yang dimakan pada saat tahun baru
9. Genaralisasi (generalization)
24
Contoh :
Bsu : Penthouse, mansion
Bsa : Tempat Tinggal
25
Suatu teknik penerjemahan yang mengganti fokus, sudut pandang,
atau aspek kognitif yang ada dalam BSu, baik secara leksikal ataupun
struktural.
Contoh :
Bsu : nobody doesn‟t like it
Bsa : semua orang menyukainnya
26
Suatu teknik penerjemahan yang mengganti kategori gramtikal BSu
dalam BSa, misalnya mengganti kata atau frasa.
Contoh :
Bsu : adept
Bsa : sangat terampil
3. METODE PENERJEMAHAN
27
diagram V berdasarkan penekanannya pada bahasa sumber dan bahasa
sasaran, seperti yang digambarkan table berikut.
Diagram “V” Newmark
SL Emphasis TL Emphasis
Word for word translation Adaptation
Literal translation Free translation
Faithful translation Idiomatic translation
Semantic translation Communicative translation
28
Metode ini berupaya mereproduksi makna kontekstual secara tepat
bahasa sumber tetapi masih dalam batasan struktur tata bahasa teks sasaran.
Kata-kata budaya diterjemahkan dan mempertahankan tingkat keabnormalan
gramatikal dan leksikal (penyimpangan dari kaidah-kaidah bahasa sumber)
dalam terjemahan. Terjemahan metode ini sepenuhnya setia pada tujuan dan
realisasi penulis teks sumber.
29
yang jauh lebih banyak daripada bahasa sumbernya. Metode ini
disebut juga dengan penerjemahan intralingual.
4. IDEOLOGI PENERJEMAHAN
30
A. Foreignisasi
B. Domestikasi
31
Kerangka
Berpikir
Bentuk Kesantunan
Proses Teks
pada kitab ratib al-
Penerjemahan Penerjemahan
haddad
Bentuk Kesantunan
pada kitab ratib al-
haddad
Teknik Penerjemahan
(Molina dan Albir,
2002)
Metode
Penerjemahan
(Newmark, 1988)
Ideologi
Penerjemahan
(Venuti, 1955)
32
G. DATA DAN SUMBER DATA
Data dan sumber data adalah pokok dalam sebuah penelitian karena memiliki
pengaruh pada ketepatan data yang diperoleh untuk menghasilkan kualitas penelitian
yang baik. Berdasarkan sumbernya, data penelitian terbagi menjadi dua jenis, yakni
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan oleh peneliti
dari sumber pertamanya. Sedangkan data sekunder adalah data yang tersusun dalam
bentuk dokumen sebagai penunjang keabsahan data primer (Suryabrata, 1997: 85).
Sumber data primer pada penelitian ini adalah satuan lingual berupa tuturan yang
mengandung kesantunan terjemahan pada Kitab ratib Al-Haddad Karya Abdullah
Bin Alawi Al-Haddad, terbitan Habib Nuh Al-Haddad Solo. Sedangkan sumber data
sekunder pada penelitian ini berasal dari kamus, buku, jurnal, skripsi yang linear
dengan penelitian ini.
1. Metode Penelitian
33
bertujuan untuk mendeskripsikan terjemahan kesantunan dalam kitab Ratib
al-Haddad karya Abdullah Bin Alawi Al-Haddad.
2. Teknik Penelitian
34
diteliti (Prabowo, 2010 :15). Pada tahap analisis domain, peneliti melakukan
penjaringan pada data dengan meneliti mana yang termasuk data dan mana yang
bukan data. Tahapan ini dilakukan agar penelitian menjadi lebih fokus dan
menghindar dari data yang tidak jelas. Analisis domain dilakukan pada data mikro,
yaitu dalam penelitian ini adalah pronomina, tanskulturasi, dan teknik penerjemahan
yang diterapkan. Analisis domain ditunjukkan pada tabel berikut :
35
b. Taxonomic Analysis (Analisis Taksonomi)
36
d. Theme Analysis (Analisis Tema Budaya)
37
dipahami (Kesuma, 2007:71). Pada penelitian ini, laporan formal digunakan
dalam bentuk narasi untuk mendeskripsikan hasil analisis data berupa jenis
dan bentuk kesantunan, teknik, metode dan ideologi terjemahan pada Kitab
Ratib Al-Haddad karya Abdullah Bin Alawi Al-Haddad.
I. I. SISTEMATIKA PENYAJIAN
Sistematika penulisan pada penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yaitu sebagai
berikut.
BAB II, yaitu Bentuk dan Jenis Kesantunan Pada Kitab Ratib al-Haddad Karya
Abdullah Bin Alawi Al-Haddad. Pada bab ini akan dibahas mengenai rumusan
masalah pertama dengan menjelaskan berbagai jenis dan bentuk Kesantunan Pada
Kitab Ratib al-Haddad Karya Abdullah Bin Alawi Al-Haddad.
BAB III, yaitu Teknik Terjemahan Tuturan Yang Mengandung Kesantunan Pada
Kitab Ratib al-Haddad Karya Abdullah Bin Alawi Al-Haddad. Pada bab ini akan
dibahas mengenai rumusan masalah kedua dengan mendeskripsikan berbagai jenis
teknik yang telah diterapkan oleh penerjemah dalam menerjemahkan kesantunan pada
Pada Kitab Ratib al-Haddad Karya Abdullah Bin Alawi Al-Haddad.
BAB IV, yaitu Metode dan Ideologi Tuturan Yang Mengandung Kesantunan
Pada Kitab Ratib al-Haddad Karya Abdullah Bin Alawi Al-Haddad. Pada bab ini
akan dijelaskan terkait rumusan masalah ketiga dengan memaparkan orientasi metode
dan ideologi terjemahan yang dianut oleh penerjemah dalam menerjemahkan.
BAB V, yaitu Penutup. Pada bab ini berisi kesimpulan terkait penelitian yang
telah dilakukan oleh penulis. Kemudian, akan diberikan saran yang membangun bagi
38
peneliti-peneliti selanjutnya mengenai bidang penerjemahan dan objek kajian pada
penelitian ini.
39
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, S. (2018). Kajian Pragmatik Kesantuan Berbahasa Arab Pada Novel Kaukab
Amun Karya Sally Magdi. Arabi : Journal of Arabic Studies, 2(2), 141.
https://doi.org/10.24865/ajas.v2i2.61
Sri Utami. (2010). Pengaruh Dzikir Ratib Al-Haddad Terhadap Kesehatan Mental
Masyarakat Korban Gempa ( Studi Kasus Majlis Dzikir Al-Ghifary Bengkulu ).
Universitas Stuttgart.
Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada (GP Press)
40
Siregar, R. (2017). Strategi Penerjemahan Dokumen Kontrak. Medan: Pustaka
Bangsa Press.
41
LAMPIRAN DATA
ب اعلاحي ناا ِ
اربَّناا ا حغف حر لاناا اوتُ ح
3. Ya Allah
ampunilah
اب
ُ أنت الت ََّّو إِن ا
َّك ا dosa kami
dan berikan
يم ِ َّ
ُ الرح pada kami
tobat,
sesungguhn
ya engkau
42
maha
pengampun
lagi maha
penyayang
4. ص ِّل اعلاى ُُمامد
الله َّم ا
ُ
Wahai
tuhan kami,
ص ِل اعلاحي ِو او اسلِّ حم
الله َّم ا
ُ berilah
shalawat /
rahmat-Mu
kepada
Nabi
Muhammad
5. ِ أعوذ بِ اكلِم
ِات اهلل Aku
ا
berlindung
ِ َّام
ات ِم حن اش ِر اما َّ الت dengan
kalimat
اخلا اق Allah yang
sempurna,
dan
kejahatan
apa-apa
yang
diciptakan-
Nya
6. ار ِضحي ناا بِاللَّ ِو ارنَّا Kami rela
Allah
اْل حس اَلِم ِدينًا اوِِبُ اح َّم ٍد
ِاوبِ ح sebagai
Tuhan
ِّ ِنا
ب kami, Islam
43
sebagai
agama kami
dan Nabi
Muhammad
sebagai
Nabi kami
7. اَح ُد لِلَّ ِو
بِ حس ِم اهللِ اوأ ا
Dengan
nama Allah
اْلاحي ُر اوالش َُّر ِبشيئة اهلل
او ح dan segala
puji hanya
tertentu
bagi Allah
dan segala
kabajikan
dan
kejahatan,
ketentuan
Allah.
8. اآمنَّا بِاللَّ ِو اوالحيا حوِم حاْل ِخ ِر Kami
(menyataka
ِ تُب ناا إِ اَل اهللِ ب
اطنَّاا ح n) beriman
kepada
ِ وظا
اىًرا ا Allah dan
Hari Akhir,
dan kami
bertaubat
kepada
Allah lahir
maupun
44
bathin.
9. ف اعناا او حام ُح
ُ ياا اربَّناا او حاع
Ya tuhan
yang maha
الَّ ِذي اكا ان ِمنَّا kuat lagi
maha gagah
10 اْلا اَل ِل
ياا اذا ح Wahai
Tuhan yang
اْل حكارِام ِآمحت ناا
ِاو ح Mempunyai
sifat
اعلاى دي ِن Keagungan
اْل حس اَلِم
ِح dan sifat
Pemurah,
matikanlah
kami dalam
lingkungan
agama
Islam.
45