Anda di halaman 1dari 18

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB IV. PENGUJIAN PULL OUT

Pada bab ini akan dibahas pengujian pull out pada benda uji HVFA-SCC. Pengujian
dilakukan dengan menarik baja tulangan yang tertanam pada kubus beton dengan
panjang sisi 20 cm. Pembuatan benda uji mengacu standar RILEM 1994. Hasil
pengujian pull out akan didapatkan kuat lekat antara baja tulangan dan HVFA-SCC.
Nilai kuat lekat hasil pengujian akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan
panjang sambungan lewatan pada benda uji balok dengan sambungan lewatan.
Pembahasan dimulai dengan pengujian karakteristik material, rancang campur (mix
design) HVFA-SCC, pengujian beton segar, uji tekan beton, dan uji tarik baja
tulangan. Selanjutnya dibahas setup pengujian pull out, kurva hubungan beban
dengan slip, kuat lekat, moda keruntuhan benda uji, dan penentuan panjang lewatan
untuk benda uji balok dengan sambungan lewatan (splice beam). Pada akhir bab ini
disajikan hasil simulasi numerik dengan software ATENA Engineering untuk
validasi hasil pengujian pull out yang telah dilakukan.

4.1. Karakteristik Material


Dalam penelitian ini dilakukan beberapa pengujian karakteristik material penyusun
beton. Pengujian yang dilakukan antara lain: pengujian pasir, pengujian batu pecah,
pengujian semen, dan pengujian abu terbang (fly ash). Dengan pengujian
karakteristik material tersebut akan dapat diketahui apakah material tersebut dapat
digunakan untuk pembuatan benda uji beton. Pengujian karakteristik material juga
dilakukan terhadap material baja tulangan.

4.1.1. Agregat
4.1.1. Pasir
Pengujian pasir yang dilakukan diantaranya adalah pengujian kadar lumpur,
kandungan zat organik, bulk specific gravity, bulk specific gravity SSD, apparent
specific gravity, dan absorbsi. Hasil pengujian pasir disajikan pada Tabel 4.1.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa kadar lumpur pasir sebesar 4,80% sehingga
memenuhi standar ASTM C-117 dimana persyaratan maksimumnya sebesar 5,0%.

52
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

Kandungan zat organik memenuhi syarat dengan pengamatan dari warnanya


menunjukkan warna standar kuning muda. Nilai Bulk specific SSD juga memenuhi
standar ASTM C-128 dimana masih dalam rentang persyaratan sebesar 2,5 sampai
2,7 gr/cm3. Dari hasil pengujian di atas maka pasir dapat digunakan dalam penelitian
ini sebagai bahan penyusun beton.

Tabel 4.1. Hasil Pengujian Pasir


Nama Pengujian Hasil Pengujian Standar ASTM Keterangan
Kadar Lumpur 4,8% Maksimal 5% Memenuhi
Kandungan Zat Organik Kuning Muda Kuning Muda Memenuhi
Bulk Specific Gravity 2,38 gram/cm3 - -
Bulk Specific SSD 2,51 gram/cm3 2,5 – 2,7 gram/cm3 Memenuhi
Apparent Specific Gravity 2,72 gram/cm3 - -
Absorbsi 5,15% - -

4.1.2. Batu Pecah


Pengujian batu pecah yang telah dilakukan antara lain bulk specific gravity, bulk
specific gravity SSD, apparent specific gravity, absorbsi, dan abrasi atau keausan
agregat. Hasil pengujian batu pecah disajikan pada Tabel 4.2

Tabel 4.2. Hasil Pengujian Batu Pecah

Nama Pengujian Hasil Pengujian Standar ASTM Keterangan


Bulk Specific Gravity 2,53 gram/cm3 -
Bulk Specific SSD 2,61 gram/cm3 2,5 – 2,7 gram/cm3 Memenuhi
Apparent Specific Gravity 2,75 gram/cm3 -
Absorbsi 3,20 % -
Keausan Agregat (Abrasi) 22% < 40% Memenuhi

Tabel 4.2 menunjukkan material batu pecah yang digunakan dalam penelitian ini
telah memenuhi standar ASTM C-127. Nilai keausan batu pecah hasil pengujian
sebesar 22% (kurang dari syarat keausan maksimum 40%) sehingga dapat
digunakan dalam pembuatan benda uji beton.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

4.1.2. Semen
Pengujian semen dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kandungan senyawa
dan unsur yang terkandung di dalam semen. Pengujian dilakukan di Laboratorium
Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Berat
jenis semen hasil pengujian sebesar 3,09 gram/cm3. Hasil pengujian kandungan
senyawa di dalam semen ditampilkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Kandungan Senyawa Semen

Senyawa Kandungan (%)


SiO2 29,83 %
SO3 4,47 %
CaO 61,00 %
TiO2 0,503 %
MnO 0,107 %
Fe2O3 3,91 %
Lain-lain 0,18 %

4.1.3. Abu Terbang (Fly Ash)


Pengujian fly ash dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa dan unsur yang
terkandung dalam fly ash. Sampel fly ash didapatkan dari PLTU Batang, Jawa
Tengah. Dari hasil pengujian didapatkan berat jenis fly ash adalah 2,80 gram/cm3.
Kandungan senyawa yang terkandung di dalam fly ash dapat dilihat pada Tabel
4.4.

Hasil pengujian material fly ash menunjukkan adanya kemiripan kandungan


senyawa yang dimiliki fly ash dengan senyawa yang terkandung pada semen. Hal
ini yang menjadi dasar mengapa fly ash dapat digunakan untuk menggantikan
sebagian semen dalam suatu campuran beton. Kandungan Al2O3 + SiO2 + Fe2O3
sebesar 52,54%, maka menurut ASTM C-618-03 fly ash yang digunakan
merupakan fly ash tipe C.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

Tabel 4.4. Kandungan Senyawa Fly Ash


Senyawa Kandungan (%)
C 44,2 %
Al2O3 14,14 %
SiO2 33,05 %
SO3 0,389 %
CaO 2,262 %
TiO2 0,510 %
Fe2O3 5,354 %
Lain-lain 0,095 %

4.2. Rancang Campur (Mix Design)

Komposisi campuran bahan penyusun beton ditentukan dari hasil beberapa


percobaan rancang campur untuk mendapatkan komposisi campuran yang
memenuhi syarat SCC dan kuat tekan beton fc’ 30 MPa. Pengujian dilakukan
beberapa kali dengan mengatur faktor air semen sehingga didapat komposisi
campuran yang sesuai. Untuk mengontrol kemampuan mengalir (flowability)
campuran beton ditambahkan superplasticizer. Dalam penelitian ini
superplasticizer yang digunakan adalah Consol P292 AS yang diproduksi PT Kimia
Konstruksi Indonesia. Hasil dari percobaan rancang campur HVFA-SCC
ditampilkan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Rancang Campur HVFA-SCC

Material Berat (kg/m3)


Agregat Halus 876,76
Agregat Kasar 634,89
Fly Ash 275
Semen 275
Air 176
Superplasticizer 5,5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

4.3. Pengujian Beton Segar


Pengujian beton segar HVFA-SCC dilakukan dengan beberapa pengujian yaitu
slump flow, T-50, dan L-Box test sesuai standar EFNARC 2002. Hasil pengujian
beton segar HVFA-SCC disajikan pada Tabel 4.6 dan Tabel 4.7.

Tabel 4.6. Hasil Pengujian Slump flow test dan T50 test

Diameter Standar EFNARC


T50
d1 d2 drata-rata drata-rata T50
Pengujian (detik) Kesimpulan
(mm) (mm) (mm) (mm) (detik)
1 680 700 690 4,57 550-850 2-5 Memenuhi
2 690 700 695 4,73 550-850 2-5 Memenuhi
3 760 780 770 4,49 550-850 2-5 Memenuhi

Tabel 4.7. Hasil Pengujian L-Box test


Ketinggian Standar EFNARC
Pengujian h2/h1
h1 (cm) h2 (cm) Syarat Kesimpulan
1 8,0 8,0 1,00 0,8-1 Memenuhi
2 7,0 6,0 0,86 0,8-1 Memenuhi
3 8,0 7,5 0,94 0,8-1 Memenuhi

Tabel 4.6 menunjukkan nilai hasil slump flow test dan pengujian T50 test. Pengujian
dilakukan dengan alat slump cone yang diisi beton segar sampai penuh. Alat slump
cone diangkat, dan beton akan menyebar membentuk lingkaran. Diameter lingkaran
rata-rata dari pengujian slump flow didapat sebesar 770 mm sehingga memenuhi
persyaratan EFNARC 2002. Nilai T50 adalah waktu adukan segar mencapai
diameter 50 cm. Nilai T50 terbesar dari hasil pengujian 4,73 detik sehingga juga
memenuhi persyaratan EFNARC 2002, yaitu antara 2 sampai 5 detik.

Untuk memastikan bahwa campuran beton memenuhi syarat SCC juga dilakukan
pengujian L-Box test. Hasil pengujian L-Box test dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tujuan pengujian L-Box test adalah mengukur serta mengetahui kinerja beton segar
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

HVFA-SCC dalam melewati tulangan yang telah terpasang (passing ability). Hal
ini dapat diketahui dengan membandingkan antara ketinggian beton segar pada box
vertikal dan ketinggian beton segar pada box horizontal. Dari tiga adukan yang telah
dilaksanakan pengujian L-Box, nilai minimum h2/h1 sama dengan 0,86 dan nilai
maksimumnya 1 sehingga dapat disimpulkan bahwa beton memenuhi syarat
kemampuan melewati tulangan (passing ability).

Dari pengujian terhadap beton segar HVFA-SCC di atas dapat diketahui bahwa
beton segar HVFA-SCC memenuhi standar EFNARC 2002, baik dari pengujian
slump flow, T50, dan L-Box test. Secara umum dapat disimpulkan bahwa beton
segar HVFA-SCC yang telah dibuat berdasar rancang campur di atas memenuhi
persyaratan sebagai beton memadat sendiri.

4.4. Uji Tekan beton

Pengujian kuat tekan beton dilakukan dengan menggunakan benda uji silinder beton
dengan diameter 15 cm dan tinggi 30 cm sesuai ASTM C39 [97]. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan alat uji tekan beton (Compression Testing
Machine) dengan kapasitas 1000 kN. Umur benda uji pada saat pengujian adalah
28 hari. Kuat tekan beton didapat dengan membagi gaya tekan maksimum hasil
pembacaan manometer alat uji tekan dengan luas permukaan silinder benda uji
beton. Hasil pengujian menunjukkan kuat tekan beton rata-rata sebesar 38,82 MPa.
Hasil uji tekan disajikan pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Hasil pengujian kuat tekan beton
Berat Berat volume Kuat tekan Kuat tekan
Sampel (kg) (kg/m3) (MPa) rata-rata
(MPa)
1 12,135 2289 39,61
2 12,225 2306 43,00
3 12,325 2325 39,61 38,82
4 12,020 2267 35,08
5 12,130 2288 36,78
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

Di samping uji tekan beton juga dilakukan pengujian berat volume beton. Pengujian
dilakukan dengan cara membagi berat beton dengan volume silinder beton. Berat
volume beton rata-rata diperoleh sebesar 2295 kg/m3.

Berdasarkan Tabel 4.8 tersebut terlihat nilai berat volume kelima benda uji silinder
beton hampir sama. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dengan dimensi benda uji
yang sama akan menghasilkan berat beton yang relatif sama antara sampel satu
dengan yang lainnya. Hal yang serupa terjadi pada hasil kuat tekan beton yang
menunjukkan nilai kuat tekan beton yang relatif sama dengan kuat tekan rata-rata
sebesar 38,82 MPa.

4.5. Uji Tarik Baja Tulangan


Pengujian tarik baja tulangan menggunkan alat Universal Testing Machine (UTM)
sesuai standar ASTM A-370-03a. Benda uji yang digunakan berupa potongan baja
tulangan diameter 8 mm, 12 mm, 16 mm, dan 19 mm dengan panjang 50 cm. Baja
tulangan diameter 8 mm berupa baja tulangan polos, sedangkan baja tulangan
diameter 12 mm, 16 mm, dan 19 mm adalah tulangan ulir. Pengujian dilakukan
untuk mengetahui kuat leleh dan kuat putus baja tulangan. Hasil uji tarik baja
tulangan dapat dilihat pada Tabel 4.9. Untuk mengetahui diameter efektif baja
tulangan ulir dilakukan dengan menghitung berat baja tulangan per meter.
Selanjutnya diameter efektif diperoleh dengan persamaan:
𝑑𝑏 = 12,79√g (4.1)
dimana db adalah diameter efektif baja tulangan, dan g adalah berat tulangan per
meter.
Tabel 4.9. Hasil uji tarik baja tulangan

Diameter Diameter efektif Kuat leleh Kuat putus


(mm) (mm) (MPa) (MPa)
8 7,70 340 470
12 11,61 405 567
16 15,62 415 582
19 18,65 390 549
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

Kuat leleh baja ulir untuk diameter 12 mm sebesar 405 MPa, untuk besi diameter
16 mm sebesar 415 MPa, dan untuk besi diameter 19 mm sebesar 390 MPa. Kuat
leleh (fy) dari hasil uji tarik baja tulangan akan digunakan sebagai dasar untuk
menentukan panjang lewatan pada benda uji balok. Semakin besar nilai fy maka
panjang lewatan yang dibutuhkan akan semakin panjang.

4.6. Setup Pengujian Pull Out


Pengujian pull out dilakukan untuk mengetahui kuat lekat (bond strength) beton
HVFA-SCC. Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat uji Universal Testing
Machine (UTM) di Laboratorium Bahan Konstruksi UNS. Pembuatan benda uji
pull-out mengacu pada standar RILEM 1994. Benda uji berupa kubus dengan sisi
200 mm. Baja tulangan yang digunakan pada pengujian pull-out adalah baja
tulangan ulir dengan diameter 16 mm. Baja tulangan tersebut tertanam pada benda
uji sepanjang 5D atau sepanjang 80 mm, dan agar tidak terjadi kontak antara beton
dan baja tulangan di bagian atas spesimen dipasang pipa PVC, seperti terlihat pada
Gambar 4.1.

Tulangan D16 mm 450

Pipa PVC

120
200

80
50

a b
Gambar 4.1. Pengujian pull out: (a) skema benda uji (b) foto pengujian

Pada pengujian pull-out baja tulangan ditarik dengan menggunakan alat UTM.
Selama pengujian dicatat besarnya gaya yang bekerja serta besarnya slip antara
beton dan tulangan. Gaya yang bekerja didapat dari pembacaan manometer pada
alat UTM, sedangkan slip didapat dari hasil pembacaan Linear Variable
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

Differential Transformer (LVDT). Usia benda uji pada saat pengujian pull out
adalah 35 hari.

4.7. Beban vs Slip


Untuk mengetahui perilaku kuat lekat antara beton dan baja tulangan dibuat grafik
hubungan beban vs slip sebagaimana terlihat pada Gambar 4.2. Dari Gambar 4.2
terlihat bahwa semakin besar beban yang bekerja, nilai slip yang terjadi juga
semakin besar. Beban puncak pada benda uji dengan tulangan ulir lebih besar dari
pada tulangan polos menunjukkan bahwa mechanical interlock pada tulangan ulir
bekerja efektif meningkatkan ikatan antara beton dan baja tulangan.
7.000
6.000
D16 01
5.000
Beban (kg)

D16 02
4.000
D16 03
3.000
D16 04
2.000
D16 05
1.000
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Slip (mm)

(a)
2.000
1.800
1.600 P16 01
1.400
Beban (kg)

1.200 P16 02
1.000
800 P 16 03
600
P16 04
400
200 P16 05
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Slip (mm)

(b)
Gambar 4.2. Beban vs slip: (a) tulangan ulir (b) tulangan polos
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

Pada tulangan ulir, adhesi dan mechanical interlock bekerja dengan baik sehingga
beban terus meningkat. Pembacaan manometer UTM tidak naik lagi setelah
mencapai beban puncak menunjukkan bahwa adhesi antara beton dan baja tulangan
sudah tidak mampu menahan gaya tarik. Setelah tercapainya beban puncak, beban
tidak langsung turun. Beban yang terjadi masih sama dengan dengan beban puncak,
namun slip yang terjadi semakin besar (pada kisaran 4 sampai 8 mm). Penurunan
nilai beban yang tidak langsung terjadi menunjukkan friksi dan mechanical
interlock yang terjadi antara beton dan permukaan baja tulangan dapat bekerja
dengan baik. Beban akan turun secara drastis dan diikuti slip yang besar setelah
friksi dan mechanical interlock yang terjadi tidak mampu menahan gaya dan
tulangan baja terlepas dari beton yang menyelimutinya.

Pada tulangan polos tidak terdapat mechanical interlock sehingga gaya maksimum
yang bekerja lebih kecil. Adhesi antara beton dan baja tulangan bekerja menahan
gaya tarik yang bekerja sampai terjadinya beban puncak. Penurunan beban yang
agak lambat menunjukkan friksi antara beton dan baja tulangan polos juga bekerja
dengan baik. Kegagalan ditandai dengan turunnya beban secara drastis hingga
mencapai pembacaan manometer UTM 0 kg. Untuk melihat perbandingan hasil
pengujian pull out pada tulangan ulir dan tulangan polos dapat dilihat pada Gambar
4.3.

6.000

5.000

4.000
Beban (kg)

ULIR
3.000

2.000 POLOS

1.000

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Slip (mm)

Gambar 4.3. Beban vs slip pada tulangan ulir dan tulangan polos
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa beban maksimum hasil pengujian pull-out untuk
tulangan ulir lebih besar dari pada tulangan polos. Besarnya selisih antara beban
maksimum yang mampu dipikul antara sampel dengan tulangan ulir dan sampel
dengan tulangan polos menunjukan bahwa rib pada tulangan ulir sangat berperan
meningkatkan beban yang mampu diterima. Dengan adanya rib pada tulangan ulir
menyebabkan terjadinya mechanical interlock.

4.8. Kuat Lekat (Bond Strength)


Kuat lekat antara beton dan baja tulangan dapat dihitung menggunakan
Persamaan (4.2):
P
u=
π db ld (4.2)
dimana u adalah kuat lekat, P adalah gaya tarik yang diperoleh dari pembacaan
manometer alat UTM, db adalah diameter baja tulangan, dan ld adalah panjang
tulangan yang tertanam di dalam beton.

Kuat lekat kritis (ucr) didasarkan pada beban kritis (Pcr), sedangkan kuat lekat
maksimum (umaks) didasarkan pada beban maksimum (P maks). Beban kritis adalah
beban yang menghasilkan slip sebesar 0,25 mm, sedang beban maksimum adalah
beban terbesar yang terjadi pada saat pengujian. Kuat lekat kritis diperoleh dari
hasil pembacaan Pcr dibagi luas bidang kontak antara beton dan baja tulangan,
sedangkan kuat lekat nominal beton diperoleh dari hasil pembacaan Pmaks dibagi
luas bidang kontak antara beton dan tulangan. Perhitungan kuat lekat kritis dan
kuat lekat maksimum dapat dilihat pada Tabel 4.10 untuk tulangan ulir, dan
Tabel 4.11 untuk tulangan polos.

Dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa kuat lekat beton rata-rata pada kondisi
kritis sebesar 4,55 MPa, sedang kuat lekat kritis minimum dari kelima pengujian
sebesar 3,05 MPa. Kuat lekat nominal rata-rata hasil pengujian sebesar 12,93 MPa,
sedangkan kuat lekat nominal minimum dari kelima hasil pengujian sebesar 12,09
MPa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

Tabel 4.10. Hasil pengujian pull-out baja tulangan ulir

Pcr ucr Pmaks umaks


Sampel
(kg) (MPa) (kg) (MPa)
1 1225 3,05 4860 12,09
2 2040 5,07 5110 12,71
3 1480 3,68 5240 13,03
4 2300 5,72 5300 13,18
5 2100 5,22 5480 13,63
Rata-rata 1829 4,55 5198 12,93

Tabel 4.11. Hasil pengujian pull-out baja tulangan polos

Pcr ucr Pmaks umaks


Sampel
(kg) (MPa) (kg) (MPa)
1 1020 2,54 1560 3,88
2 1030 2,56 1540 3,83
3 1010 2,51 1580 3,93
4 1120 2,79 1550 3,86
5 1000 2,49 1580 3,93
Rata-rata 1036 2,58 1562 3,89

Dari Tabel 4.11 terlihat bahwa kuat lekat maksimum rata-rata pada tulangan polos
sebesar 3,89 MPa, dan kuat lekat kritisnya 2,58 MPa. Apabila dibandingkan hasil
pengujian kuat lekat pada tulangan ulir, dapat disimpulkan bahwa kuat lekat pada
tulangan ulir lebih besar 3,33 kali dari pada kuat lekat pada tulangan polos.
Besarnya kuat lekat pada tulangan ulir lebih besar dari pada tulangan polos
disebabkan oleh kontribusi mechanical interlock antara rib baja tulangan dan
beton. Mechanikal interlock tersebut tidak terjadi pada tulangan polos.

Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa setelah tercapainya kuat lekat


maksimum, kuat lekat mampu bertahan pada nilai kuat lekat maksimum sementara
itu tulangan mengalami penambahan slip (diilustrasikan pada Gambar 4.4). Slip
yang terjadi mengindikasikan bahwa adhesi pada beton mulai hilang. Selanjutnya
kuat lekat yang terjadi disebabkan oleh friksi saja pada tulangan polos, dan friksi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

ditambah mechanical interlock pada tulangan ulir. Setelah slip yang terjadi
melebihi 8 mm, kuat lekat mengalami penurunan secara drastis dan diikuti
peningkatan slip yang besar. Apabila slip 0,25 mm dianggap sebagai awalnya
hilangnya adhesi, dan kuat lekat akibat friksi diperkirakan dari kuat lekat
maksimum dikurangi kuat lekat kritis maka friksi antara HVFA-SCC dan baja
tulangan polos berkontribusi sekitar 34% dari total kuat lekat. Sedangkan pada
tulangan ulir selisih antara kuat lekat maksimum dan kuat lekat kritis dihitung
sebesar 65% dari total kuat lekat, dan sebagian besar disebabkan oleh mechanical
interlock.

14
12
Kuat Lekat (MPa)

10
8 D 16 01
6 D 16 02
D 16 03
4 D 16 04
2 D 16 05
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Slip (mm)

(a)
14
12
Kuat lekat (MPa)

10
8
P16 01
6 P16 02
4 P16 03
P16 04
2 P16 05
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Slip (mm)

(b)
Gambar 4.4. Kuat lekat vs slip: (a) tulangan ulir (b) tulangan polos
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

Hasil pengujian ini selaras dengan penelitian Zheng dkk (2019) yang menunjukkan
bahwa kuat lekat hasil pengujian setelah mencapai beban puncak tidak langsung
turun, namun mampu bertahan terlebih dahulu dengan nilai slip semakin
meningkat. Hasil penelitian Zheng dkk (2019) tersebut juga menunjukkan bahwa
nilai friksi semakin besar pada beton dengan kuat tekan yang lebih besar [47].

Penggunaan tulangan ulir lebih efektif dalam meningkatkan kuat lekat. Oleh
karena itu, beberapa peraturan beton bertulang termasuk ACI 318-19 dan SNI
2847:2019 tidak mengijinkan penggunaan tulangan polos pada penulangan
komponen struktur beton. Tulangan polos boleh digunakan pada tulangan
sengkang, tulangan transversal spiral dan tulangan tie beam dengan diameter
kurang dari 10 mm [69].

4.9. Moda Keruntuhan Benda Uji


Lepasnya ikatan antara beton dan baja tulangan dibagi menjadi 3 moda keruntuhan,
yaitu keruntuhan belah (splitting failure), pull-out failure, dan keruntuhan leleh
(yielding failure). Splitting failure terjadi karena keretakan dan kerusakan pada
beton, sedangkan pull-out failure terjadi karena baja tercabut dari beton disebabkan
slip yang terjadi pada permukaan baja, sedangkan keruntuhan leleh terjadi apabila
tegangan baja tulangan melewati tegangan lelehnya.

a b

Gambar 4.5. Foto benda uji setelah pengujian: (a) ulir (b) polos
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

Dari pengujian yang dilakukan, baik pada tulangan ulir maupun tulangan polos,
dapat diketahui bahwa pada saat terjadi slip 0,25 mm, pada sampel benda uji tidak
ada kerusakan baik pada beton maupun pada baja tulangan. Tidak terlihat adanya
retak yang besar pada beton. Pada tulangan juga tidak terlihat lelehnya baja
tulangan. Tegangan tarik baja maksimum pada saat slip 0,25 mm sebesar 272,7
MPa (pada tulangan ulir) dan 78,6 MPa (pada tulangan polos). Pada saat beban
maksimum tercapai, juga tidak terlihat kerusakan serius pada benda uji. Tidak
terlihat adanya selimut beton yang ikut terlepas bersama tulangan. Lepasnya
tulangan saat pengujian pull-out menunjukkan adhesi pada beton sudah tidak
mampu untuk menahan gaya tarik yang terjadi pada benda uji saat beban puncak.
Secara visual benda uji pasca pengujian masih terlihat baik dan tidak terlihat adanya
kerusakan yang serius, sebagaimana terlihat pada Gambar 4.5. Hal tersebut
menunjukkan kegagalan yang terjadi bukan splitting failure, namun kerusakan
terjadi adalah pull-out failure.

4.10. Penentuan Panjang Sambungan Lewatan


Panjang sambungan lewatan yang dibutuhkan untuk pengujian balok dengan
sambungan lewatan dihitung berdasarkan kuat lekat kritis antara beton dan baja
tulangan. Nilai kuat lekat kritis yang dipakai yaitu 3,05 MPa yang merupakan nilai
kuat lekat kritis minimum. Penggunaan nilai tersebut untuk mengantisipasi variasi
mutu pada pembuatan benda uji balok apabila terdapat mutu beton yang lebih
rendah. Panjang penyaluran yang dibutuhkan dihitung dengan menggunakan
Persamaan (4.3),
fy
Ls = db (4.3)
4.u
dimana fy adalah kuat leleh baja, u adalah kuat lekat kritis, dan db adalah diameter
baja tulangan. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 4.12.

Dalam pengujian balok dengan sambungan lewatan diharapkan tidak terjadi


kegagalan lentur, tetapi kegagalan yang terjadi akibat split atau splitting failure.
Oleh karena itu, panjang lewatan maksimum direncanakan sepanjang 75% dari
kebutuhan panjang lewatan. Di samping juga perlu dianalisis seberapa besar
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

pengaruh variasi panjang lewatan yang lebih pendek terhadap kuat lekat. Variasi
panjang lewatan lainnya direncanakan sebesar 50% dan 25% dari kebutuhan
panjang lewatan. Untuk memudahkan pembuatan benda uji, dilakukan pembulatan
panjang sambungan lewatan sebagaimana tersaji pada Tabel 4.13.

Tabel 4.12.. Hasil perhitungan panjang sambungan lewatan


Diameter fy u Ls 0,75 Ls 0,5 Ls 0,25 Ls
(mm) (Mpa) (Mpa) (mm) (mm) (mm) (mm)
12 405 3,05 398,7 299,0 199,4 99,7
16 415 3,05 544,8 408,6 272,4 136,2
19 392 3,05 611,0 458,3 305,5 152,8

Tabel 4.13. Panjang sambungan lewatan untuk pengujian balok


Diameter fy u Ls 0,75 Ls 0,5 Ls 0,25 Ls
(mm) (Mpa) (Mpa) (mm) (mm) (mm) (mm)
12 405 3,05 398,7 300 200 100
16 415 3,05 544,8 400 300 140
19 392 3,05 611,0 450 300 150

4.11. Simulasi Numerik


Simulasi numerik dilakukan dengan software ATENA Engineering. Simulasi
dilakukan untuk melakukan verifikasi hasil eksperimen sehingga dapat diketahui
kesesuaian antara hasil simulasi numerik dan hasil eksperimen.

Simulasi numerik mengacu pada data spesifikasi material, konfigurasi dan dimensi
benda uji pull out. Benda uji berupa kubus beton dengan sisi 20 cm. Tulangan
menggunakan besi diameter 16 mm dan ditanam di dalam benda uji beton sebesar
8 cm. Material model yang digunakan mengacu pada hasil pengujian material yang
telah dilakukan sebelumnya. Model pengujain dapat dilihat pada Gambar 4.6,
sedang material model yang digunakan disajikan pada Tabel 4.14.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

Gambar 4.6. Model pengujian pull-out

Tabel 4.14. Material Model


Material Material Model
Beton 3D NonLinear Cementitious
Tulangan diameter 16 Reinforcement-Bilinear
Plat besi 3D Elastic Isotropic
Bond Reinforcement User Defined Mengacu hasil pengujian

Perbandingan hasil simulasi numerik dan hasil eksperimen untuk nilai beban vs
perpindahan dapat dilihat pada Gambar 4.7.
55
50
45
40
Beban (kN)

35
30
25 Eksperimen D16
20
15
Numerik D16
10
5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Perpindahan (mm)

Gambar 4.7. Beban vs Perpindahan Hasil Simulasi Numerik dan Eksperimen


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

Dari hasil simulasi numerik terlihat bahwa beban maksimum yang bekerja sebesar
51 kN. Dari Gambar 4.7 tersebut dapat dilihat beban maksimum hasil pengujian
pull-out sebesar 51,98 kN. Selisih antara hasil pengujian dan hasil simulasi numerik
sebesar 7,4% sehingga dapat dikatakan terdapat kesesuaian antara hasil simulasi
numerik dan hasil eksperimen.

Anda mungkin juga menyukai