Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KESEHATAN JIWA PADA NARAPIDANA DAN ANAK JALANAN


MATA KULIAH : KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA II

Dosen Pengampu : Ns. , M.Kep

Oleh :

Kelompok 7
Feny angraini fitri (1711311005)
Weriska Oktrivani (1711311023)
Fadil akbar (1711312003)
Syafrida wulandari (1711312007)
Nia Sandra (1711312027)
Intan Olivia Risca (1711312039)
Mutiara Salam (1711313017)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kesehatan Jiwa Pada
Narapidana Dan Anak Jalanan”. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
nabi Muhammad SAW.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut serta
membantu penyelesaian tugas makalah ini. Secara khusus kami ucapkan terima kasih
kepada ibu Ns. , M.Kep. Kami menyadari didalam penyusunan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Masih banyak kekerungan yang harus di
perbaiki, baik dari segi tata bahasa maupun hal pengkonsilidasian.

Oleh karena itu kami kami mengharapkan kritik dan saran pembaca demi
kesempuraan makalah ini sehingga maksud dan tujuan dapat tercapai sesuai dengan
yang diharapkan serta nantinya dapat membantu pembaca semua.

Padang, 23 September 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................... 1

B. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2

A.Narapidana ....................................................................................................... 2

1. Pengertian Narapidana ........................................................................................ 5

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindak Pidana

3. Kesehatan Jiwa Narapidana……………………………………………….….

4. Upaya Promosi kesehatan Dilapas……………………………………….……

B. Anak Jalanan……………………………………………………...................

1. Pengertian Anak Jalanan……………………………………………….……..

2. Penyebab seorang anak bisa menjadi anak jalanan…………………….…….

3. Kategori anak jalanan…………………………………………………………

4. Kondisi Kesehatan Jiwa Pada Anak Jalanan…………………………………

BAB III PENUTUP .................................................................................................

A. Kesimpulan ..........................................................................................................

B. Saran .....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana
hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana
adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), Anak jalanan adalah anak
yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan
hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di
jalan dan tempat-tempat umum lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri,
berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran
di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam
dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.
Kesehatan jiwa menurut (WHO, 2009 dalam Direja, 2011) adalah
berbagai karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya.
Kesehatan jiwa adalah kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang
dan mempertahankan keselarasan dalam pengendalian diri, serta terbebas dari
stress yang serius (kusumawati & hartono, 2011)
Adapun gejala-gejala gangguan jiwa merupakan hasil interaksi yang
kompleks antara berbagai factor somatic, psikologi dan social dan
menandakan dekompensasi proses penyesuaian diri. Gejala gangguan jiwa
tersebut dapat berupa gangguan pada penampilan. Bahasa, proses piker,
sensorium dan fungsi kognitif. Kewaspadaan keterjagaan kesadaran ,
perhatian dan konsentrasi, ingatan, orientasi, fungsi luhur, kemampuan
abstraksi, afek dan emosi, persepsi, psikomotor, kemauan dorongan kehendak,
kepribadian dan pola hidup (maramis & maramis, 2009)
Indonesia merupakan urutan ke sepuluh jumlah tahanan terbanyak di
dunia. Rasio jumlah tahanan Indonesia berada dalam posisi 180 dengan rasio
67 orang per 100.000 penduduk. Tahanan wanita berada dalam urutan 84.
Jumlah populasi penjara bertambah 20 % sejak tahun 2000. Total populasi
perempuan sebagai narapidanapun meningkat 50 %. Proporsi perempuan
dan anak perempuan dalam total populasi penjara perempuan meningkat
5,4 % sejak tahun 2000, dan akhir akhir ini naik menjadi 6, 8 %
(www.mantannapi.com).

B. Tujuan penulisan
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep dari kesehatan jiwa
pada narapidana dan anak jalanan serta memahami asuhan keperawatan pada
narapidana dan anak jalanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Narapidana
1. Pengertian Narapidana
Narapidana adalah orang yang sedang menjalani pidana penjara.
Pengertian narapidana menurut kamus Bahasa Indonesia adalah orang
hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena melakukan tindak
pidana).
Menurut UU Nomor 12 Tahun 1995 (dalam Lubis, dkk, 2014) tentang
Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.
Menurut Harsono (dalam Lubis, dkk, 2014), mengatakan bahwa
narapidana adalah seseorang yang dijatuhkan vonis bersalah oleh hakim dan
harus menjalani hukuman.
Selanjutnya Wilson (dalam Lubis, dkk, 2014) mengatakan bahwa
narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat
untuk belajar bermasyarakat dengan baik.
Narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya
karena melanggar norma hukum yang ada sehingga dipisahkan oleh hakim
untuk menjalani hukuman.
Selanjutnya Dirjosworo (dalam Lubis dkk, 2014) narapidana adalah
manusia biasa seperti manusia lainnya hanya karena melanggar norma hukum
yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani hukuman.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 (dalam
Lubis dkk, 2014) tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang
menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut
Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 (dalam Soraya, 2013)
tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Dengan demikian, pengertian narapidana adalah seseorang yang
melakukan tindak kejahatan dan telah dinyatakan bersalah oleh hakim di
pengadilan serta dijatuhi hukuman penjara
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindak Pidana
Sebagai salah satu perbuatan yang menyimpang dari norma pergaulan
hidup manusia, kejahatan (tindak pidana) merupakan masalah sosial, yaitu
masalah ditengah-tengah masyarakat, dimana pelaku dan korbannya adalah
anggota masyarakat juga. Menurut Willis (dalam Lubis dkk, 2014) kenakalan
remaja yang mengarah kepada tindak pidana disebabkan oleh faktor-faktor
sebagai berikut:

a. Faktor dari dalam individu

1) Predisposing faktor
Yaitu faktor-faktor yang memberi kecenderungan tertentu terhadap
perilaku remaja. Faktor tersebut dibawa sejak lahir, atau oleh kejadian-
kejadian ketika kelahiran bayi, yang disebut birth injury, yaitu luka di kepala
ketika bayi ditarik dari perut ibu.
2) Lemahnya Pertahanan Diri
Yaitu faktor yang ada di dalam diri untuk mengontrol dan
mempertahankan diri terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan.
Lemahnya pertahanan diri disebabkan karena faktor pendidikan di keluarga.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh orang yang bermaksud jahat untuk
mempengaruhi anak melakukan perilaku kejahatan seperti mencuri, memeras,
membunuh dan lainlain.

b. Faktor yang berasal dari lingkungan keluarga

1) Lemahnya Keadaan Ekonomi Keluarga


Kondisi perekonomian yang lemah menyebabkan indivdu tidak dapat
memenuhi kebutuhan yang diinginkannya. Kondisi ini mendorong individu
untuk melakukan kejahatan seperti mencopet, merampok, dan membunuh.
2) Keluarga tidak harmonis
Ketidakharmonisan dalam keluarga dapat menjadi penyebab tindak
kejahatan. Pertengkaran antara orang tua biasanya terjadi karena tidak adanya
kesepakatan dalam mengatur rumah tangga, terutama masalah kedisiplinan,
sehingga membuat anak merasa ragu akan kebenaran yang harus ditegakkan
dalam keluarga.

c. Faktor yang berasal dari lingkungan masyarakat

Masyarakat dapat pula menjadi penyebab munculnya kejahatan.Salah satu


faktor penyebabnya adalah kurangnya pendidikan pada masyarakat.
Minimalnya
pendidikan bagi anggota masyarakat berpengaruh pada cara orang tua dalam
mendidik anaknya. Sehingga, orang tua tidakbisa memberi pengarahan atau
kontrol
ketika anak mempunyai keinginan yang menjurus pada timbulnya kejahatan.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, tampaknya semakin banyak para
remaja yang terlibat ataupun melibatkan dirinya dalam berbagai tindak pidana
yang
menyebabkan keresahan sosial. Surbakti (dalam Lubis dkk, 2014)
mengemukakan
beberapa faktor yang mendorong para remaja terlibat tindak pidana antara
lain:
a. Tata Nilai
Tata nilai keluarga telah mengalami perubahan yang sedemikian hebat akibat
kuatnya pengaruh materialisme yang melanda hampir disemua keluarga.
Dalam sistem tata nilai materialisme, siapa yang memiliki materi dialah yang
berhak mendapatkan penghormatan. Mereka seringkali menggunakan
kekuatan materi untuk memperoleh kekuasaan. Situasi ini sangat berpotensi
mendorong para remaja yang berasal dari keluarga yang lemah secara
ekonomi kecewa dan melakukan tindak pidana.
b. Merosotnya budi pekerti
Para remaja yang tidak memperoleh didikan budi pekerti yang memadai atau
tidak peduli dengan budi pekerti pasti mengalami kesulitan dalam hal
menghargai ketertiban dan ketentraman hidup bermasyarakat. Sebaliknya, dia
selalu ingin menciptakan kekacauan, kerisauan, dan keonaran.
c. Pengangguran
Pengangguran dapat menyebabkan para remaja kehilangan kesempatan untuk
maju dan mengembangkan diri. Pengangguran juga bisa menyebabkan para
remaja merasa kehilangan harga diri dan kebanggaan karena menjadi beban
ekonomi bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Tidak adanya kegiatan akibat
pengangguran merupakan salah satu faktor terbesar yang mendorong para
remaja terlibat tindak pidana.
d. Putus sekolah
Pada umunya, para remaja yang putus sekolah rentan sekali melakukan tindak
pidana akibat kekecewaan atau perasaan frustasi akibat hilangnya peluang
untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab dilakukannya
tindak pidana adalah faktor dari dalam individu, faktor yang berasal dari
lingkungan keluarga, dan faktor dari lingkungan masyarakat. Selain itu, tindak
pidana juga dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantarannya adalahtata nilai
dalam keluarga, merosotnya budi pekerti, banyaknya pengangguran, dan
banyaknya remaja yang putus sekolah sehingga mendorong mereka untuk
melakukan tindak pidana.
3. Kesehatan Jiwa Narapidana
Pengertian kesehatan jiwa menurut UU Nomor 18 tahun 2014
adalah suatu kondisi seorang individu yang dapat berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di
pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.

Dari pengertian narapidana dan kesehatan jiwa, dapat disimpulkan bahwa


seorang narapidana menghadapi kondisi yang menghambat dirinya untuk
berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial untuk mengembangkan
kemampuan, mengatasi tekanan, bekerja produktif dan memberi kontribusi untuk
komunitasnya. Suatu paradoks antara pemenuhan kebutuhan kesehatan jiwa sebagai
seorang terpidana dengan aturan dan tatatertib di lapas. Komunitas selama di lapas
adalah sesama narapidana.

Mempertahankan kesehatan jiwa penting diupayakan, selama


melewati masa hukuman. Upaya yang utama melalui pengembangan dan
pengelolahan mekanisme koping dalam diri dengan efektif Mekanisme koping
merupakan cara seseorang untuk mempertahankan keseimbangan jiwa/psikologis
menghadapi berbagai stres dan tekanan. Bentuk mekanisme koping berupa perilaku
tidak sadar untuk memberi perlindungan psikologis terhadap peristiwa yang
menegangkan (Potter P. & Griffin A, 2005).

Koping merupakan aktifitas kognitif dan motorik yang dilakukan secara


konstan dalam upaya mengatasi tuntutan internal dan eksternal diri yang melelahkan
bahkan dapat melebih energy dalam diri. Mekanisme koping membatasi
kerusakan atau masalah psikologi diri (Gail W. Stuart. 2006).

4. Upaya Promosi Kesehatan Dilapas

Orang yang berada di penjara atau lapas bukan orang dengan masalah
kejiwaan (ODMK), namun berisiko menjadi ODMK. Oleh karena itu dalam
Undang-undang tentang Kesehatan Jiwa, dijelaskan adanya upaya promosi
kesehatan di lapas sebagai salah satu target promosi kesehatan jiwa. Lengkapnya
dijelaskan dalam pasal 8, ayat (9) upaya promotif di lingkungan lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan dilaksanakan dalam bentuk:

a.peningkatan pengetahuan dan pemahaman warga binaan pemasyarakatan


tentang Kesehatan Jiwa;

b.pelatihan kemampuan adaptasi dalam masyarakat; dan

c.menciptakan suasana kehidupan yang kondusif untuk Kesehatan Jiwa


warga binaan pemasyarakatan.

Menurut konsep keperawatan, manusia terdiri dari dimensi fisik/biologi,


psikologi/mental, sosial dan spiritual, dan merupakan satu kesatuan yang holistik dan
unik. Seorang didalam penjara mengalami tekanan dan stres psikologi/mental/jiwa
yang dapat mengancam kesehatan jiwa.

Seorang narapidana selama di lapas mengalami stres dan tertekan karena


proses kehilangan kemerdekaan, keluarga (anak, suami, bapa-mama),pekerjaan,
suasana rumah, kesempatan, dan masih banyak kehilangan lainnya. Mekanisme
koping yang efektif diperlukan untuk mengatasi rasa kehilangan ini.

Lembaga pemasyarakatan khusus perempuan atau wanita mempunyai


keunikan tersendiri. Wanita yang menjadi narapidana menjalani hidup yang berbeda
dari sebelumnya. Narapidana wanita mengalami banyak kehilangan, antara lain
kehilangan anak dan keluarga, kontrol diri, model, dan dukungan. Selain itu,
narapidana wanita mengalami kehilangan hubungan dengan lawan jenis, kehilangan
hak mendapat pelayanan, hak memiliki barang, kehilangan rasa aman, dan
kehilangan lain-lain. Suatu proses kehilangan ini yang memaksa dirinya beradaptasi
agar dapat bertahan hidup dalam lingkungan barunya, apalagi untuk masa hukuman
dalam kurun waktu tertentu (Meilina Clara Pricilla, 2013)

Pengalaman hidup dalam penjara atau lapas sangat berat bagi seorang
perempuan, khususnya yang berperan sebagai ibu rumah tangga. Menurut konvensi
internasional seorang narapidana perempuan mengalami kekerasan karena
mengalami penderitaan fisik (suhu kamar yang panas), seksual (pisah dari suami)
dan psikologis (kehilangan kemerdekaan, pisah dari anak dan keluarga),
termasuk ancaman tertentu (persidangan tertunda, vonis yang dijatuhkan),
pemaksaan (mengikuti aturan dalam lapas seperti jam bertamu, kerja angkut air got),
perampasan kemerdekaan di depan umum (hidup dalam lingkungan lapas saja, tidak
boleh keluar lapas) dan dalam kehidupan pribadi (tidak bisa melakukan hoby, dll)
(Wiwiek Afifah,2013).

Adanya beban ganda menyebabkan perlunya pembinaan warga lapas


(narapidana) perempuan secara intensive. Sebaiknya dibagi dalam kelompok sesuai
kasus pidana sehingga dapat terjadi sharing pengalaman, informasi, pengetahuan,
dan terjadi saling menguatkan koping masing-masing (Rahmat, 2015). Terapi
kelompok yang di padukan dengan terapi humor dan rekreasi dengan jadwal
teratur danpemimpin kelompok yang professional sangat baik.

Dalam Keperawatan jiwa terapi kelompok bersifat kuratif sebagai sumber


informasi, kembangkan harapan baru, berasas universal, senang jika membantu
orang lain, koreksi hasil rekapitulasi kembali anggota keluarga inti, kembangkan
tehnik-tehnik sosialisasi, perhatikan pada perilaku palsu, belajar antar pribadi,
perkuat ikatan atau kesatuan dalam kelompok dan sebagai catharsis (pembersihan)
( Stuart , 2006).
B. ANAK JALANAN
1. Pengertian anak jalanan
Menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), Anak jalanan adalah anak yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari
di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat
umum lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18
tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan
kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi. Selain itu, Direktorat
Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30)
memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya
dihabiskan untuk mencari
nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka
berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun.
Adapun waktu yang dihabiskan di jalan lebih dari 4 jam dalam satu hari.
Pada dasarnya anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan demi mencari nafkah,
baik dengan kerelaan hati maupun dengan paksaan orang tuanya.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah
anak-anak yang sebagian waktunya mereka gunakan di jalan atau tempat-tempat
umum lainnya baik untuk mencari nafkah maupun berkeliaran.
Dalam mencari nafkah, ada beberapa anak yang rela melakukan kegiatan
mencari nafkah di jalanan dengan kesadaran sendiri, namun banyak pula anak-anak
yang dipaksa untuk bekerja di jalan (mengemis, mengamen, menjadi penyemir
sepatu, dan lain-lain) oleh orang-orang di sekitar mereka, entah itu orang tua atau
pihak keluarga lain, dengan alasan ekonomi keluarga yang rendah. Ciri-ciri anak
jalanan adalah anak yang berusia 6 – 18 tahun, berada di jalanan lebih dari 4 jam
dalam satu hari, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya
kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, dan mobilitasnya tinggi.
2. Penyebab seorang anak bisa menjadi anak jalanan
Faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi anak jalanan,
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang saling berhubungan, yakni inisiatif atau
dorongan dari anak itu sendiri, pola asuh keluarga, faktor peluang pekerjaan yang
menyebakan mereka memilih untuk melakukan aktivitas di jalanan. dan ekonomi
keluarga. Ketiga faktor ini memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap
kejadian seorang anak menjadi anak jalanan.
Menurut Direktorat Bina Pelayanan Keshatan 2007, faktor penyebab remaja
berada dijalanan yaitu faktor kemiskinan dengan alasan untuk mendapatkan uang
bagi diringa dan membantu keluarga. Serta untuk mendapatkan tempat tinggal. Selain
itu ada faktor lain yaitu dari faktor keluarga dengan alasan menghindari masalah
dalam keluarga termasuk anak yang ditolak oleh keluarga, menghindari banyaknya
pekerjaan dirumah, keluarga besar, miskin dan tidak berpendidikan, kurangnya
pengetahuan, dan keterampulan tentang asuhan anak, kurangnya tanggung jawab
orang tua kepada anak.
Menurut Surjana (dalam Siregar, dkk., 2006) menyebutkan bahwa faktor yang
mendorong anak turun ke jalan terbagi dalam tiga tingkatan, yakni:

1. Tingkat mikro memberikan penjelasan bahwa anak memilih untuk turun ke jalanan
lebih dilatar belakangi oleh anak itu sendiri dan dari keluarga. Sebab dari disi si anak
yaitu seperti lari dari rumah (sebagai contoh anak yang selalu hidup dengan orang tua
yang terbiasa dengan menggunakan kekerasan, seperti sering menampar, memukul,
menganiaya karena kesalahan kecil, jika sudah melampaui batas toleransi anak, maka
anak cenderung memilih keluar dari rumah dan hidup di jalanan), disuruh bekerja
dengan kondisi masih sekolah atau disuruh putus sekolah, berpetualang, atau
bermain-main. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah penelantaran,
ketidakmampuan orangtua menyediakan kebutuhan dasar, salah perawatan dari orang
tua sehingga mengalami kekerasan di rumah (childabuse), serta kesulitan
berhubungan dengan keluarga karena terpisah dari orangtua. Permasalahan atau
sebab-sebab yang timbul baik dari anak maupun keluarga ini saling terkait satu sama
lain.

2. Tingkat messo memberikan penjelasan bahwa anak turun ke jalanan dilatar


belakangi oleh faktor masyarakat (lingkungan sosial) seperti kebiasaan yang
mengajarkan untuk bekerja, sehingga suatu saat menjadi keharusan kemudian
meninggalkan sekolah. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah pada 3
komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu meningkatkan
ekonomi keluarga. Oleh karena itu anak-anak diajarkan untuk bekerja pada
masyarakat lain seperti pergi ke kota untuk bekerja, hal ini sudah menjadi kebiasaan
pada masyarakat dewasa dan anak-anak.

3. Tingkat yang terakhir, yakni tingkat makro memberikan penjelasan seperti peluang
pekerjaan pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian
yang besar, biaya pendidikan yang tinggi dan perilaku guru yang diskriminatif, dan
belum adanya kesamaan persepsi instansi pemerintah terhadap anak jalanan. Oleh
karenanya, anak dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya cenderung
memilih untuk turun kejalanan yang tidak memerlukan keahlian besar.

3. Kategori anak jalanan

Menurut penelitian Departemen Sosial RI, anak jalanan dikelompokkan dalam


empat kategori, yaitu:

1. Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan kriteria:


 Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya
 8 – 10 jam berada di jalanan untuk bekerja (mengamen, mengemis,
memulung) dan sisinya menggelandang/tidur
 Tidak lagi sekolah
 Rata-rata berusia di bawah 14 tahun
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria:
 Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya
 8 – 16 jam berada di jalanan
 Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua atau saudara,
umumnya di daerah kumuh
 Tidak lagi sekolah
 Pekerjaan: penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir, dll.
 Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.

3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria:


 Bertemu teratur setiap hari/tinggal dan tidur dengan keluarganya
 4 – 5 jam bekerja di jalanan
 Masih bersekolah
 Pekerjaan: penjual koran, penyemir sepatu, pengamen, dll
 Usia rata-rata di bawah 14 tahun

4. Anak jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria:


 Tidak lagi berhubungan/berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya
 8 – 24 jam berada di jalanan
 Tidur di jalanan atau rumah orang tua
 Sudah taman SD atau SMP, namun tidak bersekolah lagi
 Pekerjaan: calo, mencuci bus, menyemir, dll.

A. Berdasarkan Ciri-ciri Fisik dan Psikis

Anak jalanan memiliki ciri-ciri khusus baik secara fisik dan psikis. Menurut
Departemen Sosial RI, 2001 karakteristik anak jalanan pada ciri-ciri fisik dan psikis,
yakni :
a. Ciri Fisik: warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan
kurus, pakaian tidak terurus
b. Ciri Psikis meliputi mobilitas tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat
sensitif, berwatak keras, serta kreatif.

Sedang menurut Departemen Sosial RI 2005 anak jalanan mempunyai ciri-ciri,


berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di
jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya
tinggi.

Dari beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak


jalanan berdasarkan ciri-ciri fisik dan psikis mereka adalah:

1. Ciri-ciri fisik
 Penampilan dan warna kulit kusam
 Rambut kemerah-merahan
 Kebanyakan berbadan kurus
 Pakaian tidak terurus

2. Ciri-ciri psikis
 Mobilitas tinggi
 Acuh tak acuh
 Penuh curiga
 Sangat sensitif
 Berwatak keras
 Kreatif
4 . Kondisi Kesehatan Jiwa Pada Anak Jalanan

Secara teori perbedaan perilaku atau psikososial antara laki-laki dan perempuan
berbeda dimulai dari perbedaan jenis kelamin, yaitu perbedaan fisik antara laki-laki
dan perempuan dan perbedaan perilaku pada laki-laki yang lebih agresif kebanyakan
penelitian menemukan anak perempuan lebih empatik atau suka menolong
(keenandansaw, 1997) dan beberapa menemukan bahwa anak perempuan lebih
penurut terhadap orangtua dan mencari persetujuan orang dewasa di banding laki-laki
(Erlena, 2018).

Sebagian besar jenis kelamin laki-laki lebih banyak karena dari hasil observasi
kebanyakan dari mereka tinggal dijalanan karena memiliki banyak tekanan dan
permasalahan dikeluarganya mereka lebih memilih tinggal dijalanan karena ingin
hidup bebas dan tanpa kekangan dari orang lain(Erlena, 2018).

Secara teori pendidikan merupakan berarti proses pengembangan berbagai macam


potensi yang ada dalam diri manusia agar dapat berkembang dengan baik dan
bermanfaat bagi dirinya dan juga lingkungannya (Khan 2010). Dengan tingkat
pendidikan yang rendah pengetahuan dan wawasan yang dimiliki anak jalanan sangat
terbatas, memungkinkan mereka untuk dieksploitasi pihak-pihak yang kurang
bersimpati dan kurang bertanggung jawab terhadap mereka (Erlena, 2018).

Pekerja anak di jalanan sudah menjadi hal biasa dan dianggap sebagai
pemandangan umum bagi sebagian masyarakat. Keluarga yang seharusnya menjadi
tempat pemenuhan kebutuhan anak baik fisik maupun psikologis, dalam hal ini
disalahgunakan karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan
sehingga mendorong anak untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi produktif.

Di Indonesia hingga saat ini terdapat kurang lebih 6 sampai 12 juta anak-anak
yang dijadikan pekerja dan menyebar di berbagai sektor baik formal maupun
informal, dari sekian jumlah anak tersebut, banyak yang ditemukan banyak yang
bekerja pada sektor-sektor berbahaya dan mengancam keselamatan fisik, psikis
maupun nyawa mereka (UNICEF, 2004). Selain itu anak-anak jalanan juga beresiko
menjadi korban kekerasan baik fisik maupun psikis, penurunan kesehatan akibat pola
makan yang tidak sehat sehingga asupan gizi kurang, kehilangan kesempatan belajar
dan mendapat pendidikan layak, melakukan atau menjadi korban kriminalitas yang
membahayakan jiwanya.

Secara teori sehat adalah keadaan keseimbangan yang sempurna, baik fisik,
mental, dan sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. (Sutejo, 2017).
WHO menjabarkan kesehatan mental sebagai suatu keadaan yang baik dimana
seseorang menyadari kemampuannya, dapat menghadapi stres yang normal, dapat
bekerja secara produktif dan menyenangkan, serta dapat berkontribusi dalam
komunitasnya. Kesehatan jiwa bukan hanya tak ada penyakit jiwa dan masalah
kesehatan jiwa bukan penyakit jiwa.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Erlena, 2018), dalam hasil penelitian
anak jalan di salah satu kelurahan di Indonesia, didapatkan hasil sehat jiwa anak
jalanan masih rendah. Hal ini karena pada masa pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan psikis anak jalanan kurang mendapatkan perhatian dari keluarga sehingga
terjadi bebarapa gangguan kesehatan jiwa yang muncul tanpa mereka sadari seperti
kehilangan identitas diri dan tanggung jawab sosial pada diri mereka serta
ketidakstabilan emosional.

Dalam penanganannya, pemerintah harus bisa melakukan pendekatan kepada


anak jalanan dan orang tua yang tinggal dijalanan untuk memberikan pemahaman
pentingnya pola asuh orang tua kepada anak dalam proses tumbuh kembang anak
khususnya anak usia remaja. Selain itu, peran perawat dalam menangani sehat jiwa
anak jalanan yaitu bisa dengan memberikan penyuluhan tentang sehat jiwa,
memberikan pendidikan kepada orang tua mengenai tumbuh kembang anak, bekerja
sama dengan instansi kesehatan dalam melakukan skrining dan pelayanan evaluasi
kesehatan jiwa, melakukan rujukan yang sesuai sebelum terjadi gangguan jiwa pada
anak, aktif dalam kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan jiwa, serta
berkoordinasi dengan puskesmas untuk mengontrol anak jalanan yang ada di wilayah
kelurahan tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Orang yang berada di penjara atau lapas bukan orang dengan masalah
kejiwaan (ODMK), namun berisiko menjadi ODMK. Oleh karena itu dalam
Undang-undang tentang Kesehatan Jiwa, dijelaskan adanya upaya promosi
kesehatan di lapas sebagai salah satu target promosi kesehatan jiwa. Lengkapnya
dijelaskan dalam pasal 8, ayat (9) upaya promotif di lingkungan lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan dilaksanakan dalam bentuk:

a.peningkatan pengetahuan dan pemahaman warga binaan pemasyarakatan


tentang Kesehatan Jiwa;

b.pelatihan kemampuan adaptasi dalam masyarakat; dan

c.menciptakan suasana kehidupan yang kondusif untuk Kesehatan Jiwa


warga binaan pemasyarakatan.

Di Indonesia hingga saat ini terdapat kurang lebih 6 sampai 12 juta anak-anak
yang dijadikan pekerja dan menyebar di berbagai sektor baik formal maupun
informal, dari sekian jumlah anak tersebut, banyak yang ditemukan banyak yang
bekerja pada sektor-sektor berbahaya dan mengancam keselamatan fisik, psikis
maupun nyawa mereka (UNICEF, 2004). Selain itu anak-anak jalanan juga beresiko
menjadi korban kekerasan baik fisik maupun psikis, penurunan kesehatan akibat pola
makan yang tidak sehat sehingga asupan gizi kurang, kehilangan kesempatan belajar
dan mendapat pendidikan layak, melakukan atau menjadi korban kriminalitas yang
membahayakan jiwanya

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga pembaca dan juga penulis dapat
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai retardasi mental.
Penulis meminta saran dan kritikan kerena makalah ini masih jauh dari kata
kesempurnaan, dan penulis mohon maaf apabila ada yang salah.
DAFTAR PUSTAKA

Muslim , Agustiar. 2011.Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan Di


Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun.. Jurnal pendidikan

Pardede, Yudit Oktaria Kristiani. 2008. Konsep Diri Anak Jalanan Usia
Remaja. Jurnal. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma: Bandung

Mugianti Sri, dkk. Faktor Penyebab Remaja Menjadi Anak Jalanan.Jurnal


Pendidikan Kesehatan. Vol 7, No.1. April 2018. Poltekes Kemenkes Malang

Bachtiar Agus Salim, Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana di Indonesia, USU
Press, 2009.

Buku Pedoman Penulisan Tesis, program Studi Magister Ilmu Hukum


unsyiah, Darussalam-Banda Aceh, 2017.

C.I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, 1995.

Harian Serambi Indonesia edisi 8 Januari 2016

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2008.

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya


Bakti, Bandung, 1999.

R. Soeroso, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-


komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Jakarta, Bumi Aksara, 2009.

Yosep, Edisi Revisi, Cet. Ke-3, Keperawatan Jiwa, Bandung, Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai