Resume Kelompok 2 Asia Tenggara-2
Resume Kelompok 2 Asia Tenggara-2
Profesor memberikan ulasan yang lebih dari sekadar ulasan biasa.Ulasan tersebut mengandung
tesis yang kuat tentang pertanyaan sentral terkait masyarakat dan politik di Dunia Ketiga.
Kritik Benda mengarah pada penelitian yang cenderung melihat Indonesia dengan lensa Barat,
yang terkadang mempengaruhi cara melihat hal-hal yang bersifat lokal atau khas
Indonesia.Komentarnya juga menyiratkan bahwa pandangan ini telah menjadi kesalahan
mendasar dalam penelitian tentang Indonesia dan negara-negara sejenis.
Pertanyaan yang umum berkisar pada "Apa yang salah dengan Indonesia?" yang menyoroti
variasi jawaban yang muncul dari berbagai penulis dan disiplin ilmu.
Variasi Jawaban
Jawaban atas pertanyaan tersebut beragam dari satu penulis ke penulis lain, dan dari satu disiplin
ilmu ke disiplin ilmu lainnya. Perbedaan ini menunjukkan beragamnya sudut pandang yang
dihasilkan oleh latar belakang penulis dan disiplin ilmiah yang mereka anut.
Diabolus Ex Machina
Konsep "diabolus ex machina" menyoroti tren menyalahkan seseorang atau kelompok tertentu
atas ketiadaan fenomena yang seharusnya ada. Dalam konteks tulisan mengenai Indonesia,
Belanda dan kadang-kadang orang Cina digambarkan sebagai entitas yang bertanggung jawab.
Namun, menurut Benda, dalam kasus tertentu, peran mereka dapat dianggap sebagai "pembuat
solidaritas" atau pemegang simbol-simbol integratif.
Pertanyaan 'Apa yang salah?' Terakar pada Asumsi dan Kesalahan dalam Pendekatan
Barat
Tambahan : Menurut Herbert Feith dan Lance Castle, Elit politik Indonesia pasca
kemerdekaan mengalami pembelahan sosial yang bersumber dari agama, etnisitas,
kedaeraah dan lainnya. Hal ini merupakan sumber pengelompokan politik dari
beragam aliran dalam multi partai yang memiliki ideologi berbeda-beda. Beberapa
aliran itu ialah Islam, Java Traditional, Democratic Socialist, Radical Socialist dan
komunis. Antara satu aliran pemikiran politik berpengaruh pada partai politik lainnya
karena adanya koalisi Partai. Aliran politik ini tidak terlepas dari akar budaya dan
keagamaan masyarakat Indonesia.
Terminologi 'Administrator' dan Nilai yang Terkait :Argumentasi Dasar: Benda
menilai bahwa terminologi 'administrator' sarat dengan nilai, menggambarkan pemimpin
yang memiliki orientasi Barat terhadap solusi masalah.Tanggapan:Penulis menolak
pandangan ini, mendefinisikan 'administrator' sebagai pemimpin dengan kemampuan
administratif dan teknis yang diperlukan dalam menjalankan negara modern. Penulis
menyoroti bahwa orientasi ini, meskipun memiliki pengaruh kolonial dan bantuan luar
negeri Barat, bukanlah orientasi rasional.
Tambahan : Dampak dari penyatuan beragam aliran politik dari pengaruh agama dan
kebudayaan yang bersifata lokalitas/ kedaerahan menyebabkan kemunculan
pergulatan politik di zaman Orla. Beragam ideologi dan golongan berimplikasi pada
loyalitas anggota parlemen pada pemerintah dan partai. Tak jarang desakan partai
melahirkan keputusan-keputusan penting parlemen yang menguntungkan partai.
Maka terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan menimbulkan kerapuhan institusi
birokrasi kala itu.
Tambahan : Dalam kajian Herbert Feith, masing-masing anggota parpol memiliki tugas dan
fungsi yang berbeda-beda, dimana agitasi dan propaganda dilakukan oleh solidarity maker
disamping administrator menyinggung persoalan mekanisme jalannya partai. Dalam
mempertahankan ideologinya, masing-masing anggota parpol yang duduk pada kabinet-
kabinet demokrasi liberal memilih mengadopsi salah satu diantara gaya solidarity maker dan
administrator. Sehingga lahir beragam program yang berpegang pada ideologi partai yang
memiliki transaksi penuh dalam panggung politik.
Argumentasi Dasar: Keterkaitan tatanan politik Indonesia yang majemuk dengan para pemimpin
ter-Baratkan berkaitan dengan nilai-nilai dan keterampilan pemerintahan. Ini berkaitan dengan
kecenderungan pemerintahan berbasis aturan dan upaya menghindari demagogi.
Penjelasan: Keterkaitan yang jelas dengan kompromi (seperti Perjanjian Konferensi Meja
Bundar tahun 1949) dan dorongan internasional terhadap demokrasi ala Barat pada akhir 1940-
an. Namun, penjelasan mengenai bertahannya pengaturan pluralis tidak hanya terkait dengan
kepentingan individu tetapi juga pada faktor sistem, terutama dalam hal pola interaksi antar
pemimpin nasional.
Penulis menyoroti keterkaitan kuat antara tatanan politik yang majemuk di Indonesia dengan
kepemimpinan yang ter-Baratkan, nilai-nilai, serta upaya untuk menjaga pemerintahan berbasis
aturan. Namun, penjelasan atas keberlangsungan tatanan pluralis tidak hanya terfokus pada
kepentingan para pemimpin tetapi juga pada faktor sistem, khususnya dalam pola interaksi antar
pemimpin nasional.
.