Anda di halaman 1dari 7

Resume kelompok 2 Asia Tenggara

Penghargaan terhadap Ulasan Profesor Harry J. Benda:

Profesor memberikan ulasan yang lebih dari sekadar ulasan biasa.Ulasan tersebut mengandung
tesis yang kuat tentang pertanyaan sentral terkait masyarakat dan politik di Dunia Ketiga.

Kritik terhadap Pandangan Penulis:

Profesor Benda menyoroti "kekurangan mendasar" dalam kerangka acuan penulis.Kritiknya


terfokus pada pandangan yang dianggap memberikan jawaban yang salah atau tidak relevan
terhadap pertanyaan yang diajukan.Hal ini disebut sebagai kesalahan dalam penelitian di
Indonesia dan negara berkembang lainnya, yang cenderung melihat dengan sudut pandang Barat
yang terbentuk sebelumnya.

Pandangan yang Terpengaruh oleh Perspektif Barat:

Kritik Benda mengarah pada penelitian yang cenderung melihat Indonesia dengan lensa Barat,
yang terkadang mempengaruhi cara melihat hal-hal yang bersifat lokal atau khas
Indonesia.Komentarnya juga menyiratkan bahwa pandangan ini telah menjadi kesalahan
mendasar dalam penelitian tentang Indonesia dan negara-negara sejenis.

Tema Sentral Pertanyaan

Pertanyaan yang umum berkisar pada "Apa yang salah dengan Indonesia?" yang menyoroti
variasi jawaban yang muncul dari berbagai penulis dan disiplin ilmu.

Variasi Jawaban

Jawaban atas pertanyaan tersebut beragam dari satu penulis ke penulis lain, dan dari satu disiplin
ilmu ke disiplin ilmu lainnya. Perbedaan ini menunjukkan beragamnya sudut pandang yang
dihasilkan oleh latar belakang penulis dan disiplin ilmiah yang mereka anut.

Diabolus Ex Machina

Konsep "diabolus ex machina" menyoroti tren menyalahkan seseorang atau kelompok tertentu
atas ketiadaan fenomena yang seharusnya ada. Dalam konteks tulisan mengenai Indonesia,
Belanda dan kadang-kadang orang Cina digambarkan sebagai entitas yang bertanggung jawab.
Namun, menurut Benda, dalam kasus tertentu, peran mereka dapat dianggap sebagai "pembuat
solidaritas" atau pemegang simbol-simbol integratif.
Pertanyaan 'Apa yang salah?' Terakar pada Asumsi dan Kesalahan dalam Pendekatan
Barat

 Asumsi tentang Keserupaan MasyarakatTerdapat keyakinan bahwa semua masyarakat


pada dasarnya serupa dan secara alami akan mengikuti norma 'Barat', yang disebut
sebagai 'paralelisme sejarah otomatis'.Asumsi ini berakar pada pandangan yang tak kritis
terhadap Liberalisme dan Marxisme, dengan kurangnya perhatian terhadap teori cara
produksi Asia menurut pandangan Marx.

 Transfer Kategori yang Umum ke Medan yang Asing:Kemauan yang berlebihan


untuk mengidentifikasi fenomena non-Barat menggunakan kategori yang familiar seperti
'negara', 'feodalisme', 'nasionalisme', 'kolaborasi', tanpa evaluasi kritis.

 Antusiasme Berlebihan terhadap Perbandingan Antar Masyarakat:Adopsi


perbandingan antarmasyarakat yang berbeda namun kurangnya kehati-hatian dan kritik
dalam pendekatan ini.Penekanan terhadap perbandingan tentatif dan berstruktur
dibandingkan dengan perbandingan kronologis.

 Bahaya dalam Mencari Persamaan Kategoris yang Dipaksakan:Bahaya terjadi ketika


terlalu fokus pada pencarian persamaan perkembangan dan kronologis, yang dapat
menyebabkan distorsi sejarah dan kenyataan.Pemusatan perhatian pada "elemen
ekstrinsik" yang tidak semestinya.

Argumen Benda dan Tanggapan Dari Penulis

 Politik Indonesia dan 'Administrator' vs. 'Pembuat Solidaritas':Argumentasi Dasar:


Diskusi tentang politik Indonesia sebagian besar berpusat pada elit, namun penulis
menilai bahwa kekuatan 'pembuat solidaritas' berasal dari dinamika sosial yang lebih
dalam.Tanggapan:Penulis menyangkal pendapat ini, mengklaim bahwa kekuatan
'pembuat solidaritas' berasal dari transisi revolusioner menuju kemerdekaan dan
gangguan sosial yang terjadi, meskipun cerita tersebut sering kali melibatkan faksi-faksi
elit.

Tambahan : Menurut Herbert Feith dan Lance Castle, Elit politik Indonesia pasca
kemerdekaan mengalami pembelahan sosial yang bersumber dari agama, etnisitas,
kedaeraah dan lainnya. Hal ini merupakan sumber pengelompokan politik dari
beragam aliran dalam multi partai yang memiliki ideologi berbeda-beda. Beberapa
aliran itu ialah Islam, Java Traditional, Democratic Socialist, Radical Socialist dan
komunis. Antara satu aliran pemikiran politik berpengaruh pada partai politik lainnya
karena adanya koalisi Partai. Aliran politik ini tidak terlepas dari akar budaya dan
keagamaan masyarakat Indonesia.
 Terminologi 'Administrator' dan Nilai yang Terkait :Argumentasi Dasar: Benda
menilai bahwa terminologi 'administrator' sarat dengan nilai, menggambarkan pemimpin
yang memiliki orientasi Barat terhadap solusi masalah.Tanggapan:Penulis menolak
pandangan ini, mendefinisikan 'administrator' sebagai pemimpin dengan kemampuan
administratif dan teknis yang diperlukan dalam menjalankan negara modern. Penulis
menyoroti bahwa orientasi ini, meskipun memiliki pengaruh kolonial dan bantuan luar
negeri Barat, bukanlah orientasi rasional.

Tambahan : Pada sistem pemerintahan Indonesia sebagaimana sorotan Feith dalam


tulisannya yang berjudul “The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia”,
Saat itu tahun 1953 terjadi demonstrasi untuk membubarkan parlemen (liberal)
karena dianggap cengkokan barat. Pada tahun 1958, atas kesepakatan DPR
demokrasi Indonesia berubah menjadi demokrasi terpimpin yang berakhir tumbang
pada tahun 1966, digantikan oleh demokrasi pancasila oleh Orba dan Feith
menyebutkan bahwa para perwira angkatan darat berada di belakang aksi hari itu.

 Perspektif Historis terkait Indonesia Pascaperang:Argumentasi Dasar:Benda menilai


bahwa buku penulis memiliki pandangan kurang historis karena lebih fokus pada
Indonesia pasca-perang, mengabaikan sejarah sebelumnya.Tanggapan:Penulis menolak
pandangan ini, menyatakan bahwa masa kolonial modern (termasuk pendudukan Jepang)
bukanlah jeda singkat, namun merupakan bagian dari sejarah Indonesia. Penulis
menegaskan bahwa kekuasaan asing tidak menghapus sejarah Indonesia, dan menyoroti
kontestan dalam pertarungan Feith untuk konstitusi.

Argumen Terkait Demokrasi dan Dinamika Sosial di Indonesia:

 Pemerintahan Rasioanal dan Sistem Ekonomi Modern dalam Konteks


Kolonialisme:Argumentasi Dasar: Pengarang berpendapat bahwa upaya pemecah
masalah untuk mempertahankan sistem ekonomi modern dan pemerintahan rasional,
terkait dengan demokrasi status quo kolonial, akan runtuh ketika Indonesia menghadapi
'penyimpangan' kolonial. Ketika Indonesia kembali ke akarnya sendiri, pemerintahan
yang diidentifikasi dengan kolonialisme akan terguncang.Penjelasan:Ada dugaan bahwa
pemecah masalah (seperti yang diuraikan oleh Feith) memiliki elemen asing dalam sosial
Indonesia, sementara penggagas solidaritas mewakili budaya Jawa yang lebih spesifik.
Pengarang menyatakan bahwa pemahaman penuh tentang perkembangan Indonesia
modern membutuhkan pertimbangan terhadap akar yang dalam, umur panjang, dan
ketahanan budaya Hindu-Jawa terhadap pengaruh asing, seperti Islam dan Barat.

Tambahan : Dalam sistem pemerintahan Indonesia, birokrasi parlementer lahir


akibat pengaruh Belanda dalam jalannya konstitusi Indonesia. Sistem parlementer ini
mengalami kesulitan penyesuaian dalam kelarasan ideologi sebelumnya dengan aliran
politik para elit politik Indonesia. Demokrasi parlementer ini dinilai gagal oleh
Herbert Feith karena adanya dua gaya kepemimpinan yang sangat berbeda diantara
kalangan elit politik Indonesia pasca merdeka. Satu pihak Feith sebut sebagai
solidarity makers dan pihak lainnya disebut problem solver/administrator. Kedua
pihak ini memiliki visi, gaya, kecakapan dan basis kepemimpinan yang berbeda dalam
membawa Indonesia merdeka menjadi negara yang modern. Dampaknya terjadi
konflik berkepanjangan yang menggagalkan demokrasi tersebut.

 Perbandingan antara Para Pemecah Masalah dan Penggagas


Solidaritas:Argumentasi Dasar: Dalam konteks sejarah Indonesia, pemecah masalah
(baik yang sepenuhnya kebarat-baratan maupun sepenuhnya Islam) terlihat sebagai
elemen asing dalam tubuh sosial Indonesia, sedangkan penggagas solidaritas lebih terkait
dengan budaya Jawa yang spesifik.Penjelasan:Penekanan diberikan pada akar yang
dalam dari budaya Jawa, umur panjang, dan ketahanan terhadap pengaruh asing. Hal ini
dianggap penting untuk memahami sepenuhnya perkembangan Indonesia modern,
dengan pengaruh dari berbagai budaya, terutama Hindu-Jawa, Islam, dan Barat.

Tambahan : Terkait dua tipologi kepemimpinan dalam sejarah politik Indonesia,


Herbert Feith menggambarkan dua sosok peran yang disebut transformatif dan
transaksional. Kedua istilah ini merupakan akronim dari solidarity maker dan
administrator. Latar belakang budaya dan pengaruh etnis serta agama, telah
membangun nilai dan norma sosial yang terimplementasi dalam program-program
pembangunan ekosistem negara modern yang direncanakan. Si penyatu solidaritas
memiliki identitas secara simbolis sebagai tokoh sentral dalam pembangunan negara
dan si administrator dianggap piawai terhadap kelancaran visi misi membangun
negara modern. Pada momen keharusannya antara penggagas solidaritas dan si
pemecah masalah memiliki keharmonisan kinerja dan saling melengkapi. Namun
dalam dinamika sosial, implementasi yang seharusnya mengalami hambatan dan
gangguan.

Argumentasi Terkait Penolakan Pernyataan Tersebut:

 Ketidaksetujuan atas Pernyataan Terkait Runtuhnya Administrasi dan Sistem


Ekonomi Modern :Argumentasi Dasar:Penulis tidak setuju dengan pernyataan bahwa
upaya pemecah masalah untuk melanjutkan administrasi rasional dan mempertahankan
sistem ekonomi modern akan hancur ketika Indonesia kembali ke masa lalu yang tertaut
dengan 'penyimpangan' kolonial.Penjelasan: Terdapat penolakan terhadap klaim ini
karena frasa "sejarah Indonesia (khususnya Jawa)" dianggap ambigu, menunjukkan
ketidakpastian yang signifikan dalam konteks penilaian terhadap situasi tersebut.
 Ambiguitas Frasa yang Mengandung Kekaburan Makna:Argumentasi Dasar:Penulis
menyoroti ambiguitas dalam frasa "sejarah Indonesia (khususnya Jawa)" yang berpotensi
menimbulkan ketidakjelasan.Penjelasan: Frasa tersebut tidak memiliki kejelasan dalam
konteks penilaian terkait bagaimana sejarah Indonesia, terutama Jawa, dikaitkan dengan
upaya pemecah masalah dalam mempertahankan administrasi dan sistem ekonomi
modern di Indonesia.

Pandangan Terkait Sejarah Indonesia dan Transformasi Ekonomi dan Sosial:

 Perbedaan antara Sejarah Indonesia dan Sejarah Jawa:Argumentasi Dasar:Penulis


menekankan bahwa sejarah Indonesia tidak sama dengan sejarah Jawa atau suku Jawa
dalam konteks budaya Hindu-Jawa. Sejarah Indonesia harus menemukan jalannya
kembali tanpa harus mengadopsi nilai atau gaya dari budaya ini.Penjelasan:Ada
penolakan terhadap anggapan bahwa perkembangan priyayi Jawa atau masyarakat
pedalamann non-santri pada posisi politik dominan dapat dianggap sebagai konsekuensi
yang wajar dari dekolonisasi atau ketahanan budaya mereka.

 Pengaruh Kolonialisme Modern pada Transformasi Ekonomi dan


Sosial:Argumentasi Dasar: Penulis menyoroti bahwa sulit membicarakan negara yang
menemukan jalannya kembali ke tambatannya jika sebagian besar organisasi ekonomi
dan sosialnya telah mengalami transformasi dalam periode 'deviasi'.Penjelasan:
Kolonialisme modern berhasil memperkenalkan sejumlah fenomena baru yang sulit
dihapus, seperti perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial: adopsi teknologi,
urbanisasi, ekonomi terkait impor-ekspor, birokrasi, moneterisasi, dan pertumbuhan
populasi.

Tambahan : Dampak dari penyatuan beragam aliran politik dari pengaruh agama dan
kebudayaan yang bersifata lokalitas/ kedaerahan menyebabkan kemunculan
pergulatan politik di zaman Orla. Beragam ideologi dan golongan berimplikasi pada
loyalitas anggota parlemen pada pemerintah dan partai. Tak jarang desakan partai
melahirkan keputusan-keputusan penting parlemen yang menguntungkan partai.
Maka terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan menimbulkan kerapuhan institusi
birokrasi kala itu.

Keterkaitan Faktor Budaya dan Sejarah dalam Dinamika Politik Indonesia:

Argumentasi Dasar:Penulis menekankan bahwa faktor budaya dan sejarah mendukung


kelompok 'pembuat solidaritas' pada tahun 1950-an, seperti Presiden Sukarno yang diidentikkan
dengan tradisi budaya Hindu Jawa. Namun, kemenangan kelompok ini tidak dapat hanya
dijelaskan oleh kekuatan tradisi Jawa.Penjelasan:Ada faktor-faktor politik lain yang
menguntungkan kelompok 'administrator' seperti Muslim, tradisionalis, nasionalis, dan Komunis.
Peningkatan 'pembuat solidaritas' muncul setelah periode perang, pendudukan, dan revolusi,
serta akar sosial yang mencakup satu abad penetrasi kapitalis.

Tambahan : Dalam kajian Herbert Feith, masing-masing anggota parpol memiliki tugas dan
fungsi yang berbeda-beda, dimana agitasi dan propaganda dilakukan oleh solidarity maker
disamping administrator menyinggung persoalan mekanisme jalannya partai. Dalam
mempertahankan ideologinya, masing-masing anggota parpol yang duduk pada kabinet-
kabinet demokrasi liberal memilih mengadopsi salah satu diantara gaya solidarity maker dan
administrator. Sehingga lahir beragam program yang berpegang pada ideologi partai yang
memiliki transaksi penuh dalam panggung politik.

.keraguan terhadap Demokrasi Konstitusional dan Sistem Rekonsiliasi:Argumentasi Dasar:


Penulis menyatakan keraguan terhadap prospek demokrasi konstitusional, menyoroti bahwa
sistem ini sebenarnya merupakan 'sistem rekonsiliasi'. Adanya gangguan sosial, harapan
mesianis, serta integrasi buruk antara tentara dan pemilik tanah asli menjadi kendala bagi
demokrasi konstitusional.Penjelasan:Perbedaan pandangan antara penulis dan Profesor Benda
terkait daya tahan demokrasi konstitusional atau 'sistem rekonsiliasi' menjadi poin diskusi,
sementara penulis menekankan bahwa sistem ini tidak cukup diterapkan dengan konsistensi atau
konsensus di kalangan elit politik.

Keterkaitan Tatanan Politik dengan Kepemimpinan dan Nilai-nilai:

Argumentasi Dasar: Keterkaitan tatanan politik Indonesia yang majemuk dengan para pemimpin
ter-Baratkan berkaitan dengan nilai-nilai dan keterampilan pemerintahan. Ini berkaitan dengan
kecenderungan pemerintahan berbasis aturan dan upaya menghindari demagogi.

.Peran Kompromi dan Hubungan dengan Tatanan Pluralis

Penjelasan: Keterkaitan yang jelas dengan kompromi (seperti Perjanjian Konferensi Meja
Bundar tahun 1949) dan dorongan internasional terhadap demokrasi ala Barat pada akhir 1940-
an. Namun, penjelasan mengenai bertahannya pengaturan pluralis tidak hanya terkait dengan
kepentingan individu tetapi juga pada faktor sistem, terutama dalam hal pola interaksi antar
pemimpin nasional.

Penulis menyoroti keterkaitan kuat antara tatanan politik yang majemuk di Indonesia dengan
kepemimpinan yang ter-Baratkan, nilai-nilai, serta upaya untuk menjaga pemerintahan berbasis
aturan. Namun, penjelasan atas keberlangsungan tatanan pluralis tidak hanya terfokus pada
kepentingan para pemimpin tetapi juga pada faktor sistem, khususnya dalam pola interaksi antar
pemimpin nasional.
.

Anda mungkin juga menyukai