Anda di halaman 1dari 4

Gelar Kebangsawanan Melayu & Gelaran

Penyebutan
MEDAN | kliksumut.com – Gelar adalah awalan (prefiks) atau akhiran (sufiks) yang
ditambahkan pada nama seseorang untuk menandakan penghormatan, jabatan resmi, atau
kualifikasi akademis atau profesional. Maka kerajaaan melayu atau adat tradisi Melayu Sumatera
Timur memberikan gelar atau penyebutan bagi Kebangsawanan Melayu dan gelar penyebutan
yang pantas bagi tradisi.

Untuk itu gelar kebangsawanan Melayu dan gelar penyebutan adat melayu yang sudah pernah
digunakan hingga sekarang, seperti berikut:

A. Tuanku

Tuanku bukanlah gelar bangsawan, tapi gelaran yang mulia digunakan apabila bercakap dengan
Sultan. Tuanku dipakai sebagai kata ganti nama diri kedua bagi Sultan.
“Asah kapak tajam beliung, Tebang mari kayu berduri;
Tuanku umpama kemuncak payung, Patik di bawah berteduh diri”.

B. TENGKU

Tengku adalah gelar kebangsawanan Melayu yang otomatis melekat pada seorang laki-laki dan
perempuan keturunan dari Sultan-Sultan dan para Raja-Raja di Kerajaan Melayu. Tulisan
“Tengku” di awal nama setiap orang Melayu merupakan status yang menandakan kedudukannya
dalam masyarakat adat Melayu.

BACA JUGA: Malam Ramah Tamah PIMNAS USU Akrab dalam Balutan Adat Melayu

Bacaan Lainnya

 Bupati Karo Hadiri Peletakan Batu Pertama Monumen Juma Jokowi


 HUT ke-62 Bank Sumut, Pj Gubernur Hassanudin Ingatkan Digitalisasi Jadi Tantangan
ke Depan
 Motivasi Ratusan Relawan Gerakan Sumut Mengajar, Pj Gubernur Sumut Bangga
Generasi Muda Tingkatkan Literasi Rakyat

Gelar Tengku ini hanya bisa didapat jikalau ayahnya juga bergelar Tengku. Sementara jika yang
bergelar Tengku hanya ibunya tetapi ayahnya tidak, maka gelar Tengku ini tidak bisa disandang
oleh anak mereka, kecuali menggunakan gelar Wan, bila Ayahnya juga resam Melayu juga.

Beberapa daerah yang menggunakan gelar ini adalah keturunan Raja atau Sultan-sultan Kerajaan
Melayu yang terletak di Semenanjung Malaka, yaitu di Sumatera Timur yang bergaris pantai di
Selat Malaka, Riau, Malaysia, Pattani, Singapura; atau lainnya.
Sebagian zuriat Tengku, tidak meletakkan kata Tengku di depan namanya, dalam penulisan
formal, hanya disebut orang lain kepada dirinya, misalnya Pujangga asal Langkat – Tengku Amir
Hamzah, beliau menulis namanya dengan Amir Hamzah saja, namun orang memanggilnya
dengan sebutan Tengku Amir Hamzah atau Ku Busu. Dr Tengku Mansoer menulis namanya juga
dengan Dr Mansoer, tapi orang lain menyebutnya dengan Dr Tengku Mansoer.

a. MERAH
Gelar ‘Merah’ atau ‘Morah’ adalah gelar kebangsawanan Aceh yang telah ada sebelum pengaruh
Islam. Prof. Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang Islamolog sebagai arsitek politik Islam
Nederlandsch Indie turut melakukan perubahan penulisan ejaan di Aceh; Kata ‘Merah’ ditulis
‘Meurah’, kecuali di wilayah Gayo yang tetap mengeja ‘Merah’.

Sebut saja contoh, Merah Silu yang merupakan pendiri kerajaan di Samudera yang disebut Pasai.
Contoh lainnya adalah putra Sultan Iskandar Muda digelari dengan Meurah Pupok. Gelar Merah,
yang berlaku di kota Padang – Sumatera Barat, pesisir barat Minangkabau, yaitu Pariaman juga
memakai gelar yang berasal dari Aceh. Ketika Aceh menguasai pesisir barat Minangkabau.

Di Tebingtinggi sebelum popular penyebutan kata Raja dan selanjutnya Tengku, gelar yang
dipakai adalah Merah (baca: Morah). Selanjutnya kini gelar itu tidak terpakai lagi, tetapi berubah
menjadi Tengku.

b. RAJA
Gelar ‘Raja’ berasal dari kata rājan (bahasa Sanskerta), juga popular di banyak tempat di
Sumatera Timur. Gelar kebangsawanan yang disandang lelaki ataupun wanita ini, bisa
ditemukan di daerah Melayu, seperti Panai, Kualuh, Bilah, Kota Pinang, dan lainnya, dengan
fungsi dan sama makna dengan Tengku. Di masyarakat Simalungun dan Batak juga mengenal
sebutan Raja dengan fungsi yang beragam lagi.

Di luar Sumatera Timur, ada juga Melayu yang menggunakan gelar Raden dan lainnya, namun
gelar Raden ini belum pernah tersandang bagi kaum bangsawan di Sumatera Timur.

C. DATUK

“Datuk” jika disamakan dengan bahasa Sansekerta yaitu datu yang tersusun dari kata da atau ra
berarti yang mulia dan to artinya orang; sehingga berarti Orang Yang Dimuliakan.
Gelar ini diperuntukkan bagi lelaki pembesar sebagai kedudukan di bawah Tengku, atau
pembesar di luar zuriat Tengku. Di wilayah Batubara, gelar Datuk justru setingkat dengan
Tengku, karena Batubara adalah Datuk di bawah Kesultanan Siak.

Namun ada juga beberapa wilayah yang memakai gelar Tengku bagi turunan Rajanya yang
dimasukkan Belanda dulu ke Batubara, semisal wilayah Tanjung Kasau, Inderapura, dan sekitar
itu.
Di Deli ada Datuk Empat Suku yang penulisannya belakang hari menjadi Datuq. Untuk
membedakan dengan Datuk di luar Datuk 4 Suku.
Ada pula Datuk sebagai Orang Besar yang diangkat dari kalangan siapa saja, menurut kehendak
Sultan atau Raja, berdasarkan titah pengangkatan resmi.
Di Sumatera Timur, orang-orang Cina pendatang yang menyembah arwah, akan menyiapkan
bangunan kecil yang disebut Rumah Datuk untuk menghormati arwah Datuk Datuk Melayu
tempatan.

D. ORANG KAYA (OK)

“Orang Kaya” dibaca Orangkaye atau Orangkayo sering disingkat OK, merupakan sebutan bagi
anak lelaki turunan Datuk yang tidak menjabat Datuk. Sebutan ini juga pernah diperuntukkan
bagi seseorang yang berpengaruh, baik secara materi maupun marwah.

BACA JUGA: Aulia: Orang Melayu Harus Tunjukkan Kreasinya di Kota Medan

E. WAN

“Wan” adalah gelar kebangsawanan sebagai tanda penghormatan kepada pria dan wanita.
Seorang yang ber-ibu-kan Tengku namun ber-ayah-kan bergelar di bawah itu namun tetap
berresam Melayu, juga boleh menyandang gelaran ini. Gelar Wan dalam sejarahnya, pertama
kali disandang oleh Cik Siti Wan Kembang (Ratu Kelantan 1610, ber-ibu-kan orang Pahang). Di
Kerajaan Padang di Tebingtinggi, gelar Wan ditemukan pula untuk zuriat bangsawan asal Negeri
Pahang.
Anak perempuan dari beberapa Datuk Empat Suku di Deli ada juga bergelar ini.

Datuk di wilayah Sinembah (baik di Deli maupun di Serdang) menggunakan gelar Wan di depan
nama – lalu meletakkan kata Baros di belakang nama.

F. AJA

“Aja” adalah gelar kebangsawanan terbatas dipergunakan, semisal di wilayah Sunggal. Ia


diperuntukkan untuk turunan Datuk dan boleh disandang bagi pria dan wanita.
Sebutan Aja juga dipergunakan sebagian kecil zuriat Negeri Padang Tebingtinggi sebagai kata
ganti Raja, atau bisa bermakna ‘Entu’ (Ayahanda) atau Ende’ (Ibunda/Bonda).

G. DATUK MUDA (DTM)

Ini adalah sebutan terbatas di Tanjungbalai serta Asahan lainnya untuk golongan pembesar
rendah di istana.

H. MEGAT

Adalah gelar bagi anak turunan dari wanita tergolong bangsawan yang menikah dengan orang di
luar itu. Ada juga Megat sebagai gelar bangsawan diberikan dari golongan kesatria tertentu
I. INCIK

“Incik” atau disingkat “Cik” adalah sebutan hormat bagi orang bukan bangsawan baik laki-laki
maupun perempuan yang berkiprah di lingkungan kebangsawanan. Istilah ini juga sering
diperuntukkan bagi perempuan pacal (kebanyakan) yang menikah dengan golongan bangsawan.
Sebutan ini adalah tanda hormat dan membesarkan kepada orang yang tidak memiliki gelar
kebangsawanan. Bisa digunakan untuk laki laki ataupun perempuan.

Walau kata Incik adalah tanda hormat, namun seorang bangsawan semisal Tengku, tidak boleh
disapa dengan sebutan Incik atau Cik, karena ini menjadi makna teramat sangat merendahkan
lawan bicara.

J. TUAN

“Tuan” adalah sebutan bukan gelar bangsawan, kepada orang yang tidak memiliki gelar
kebangsawanan, namun ahli dan khusuk di bidangnya. Misalnya Tuan Guru, Tuan Haji dll.
Seorang bangsawan bergelar semisal Tengku, Datuk dll, walaupun ia ahli di bidangnya dan
khusuk, tetap tidak boleh disapa dengan Tuan dalam kaidah adat, tetap disebut Tengku, Datuk,
dsb, karena masing-masing telah didudukkan pada tempatnya menurut adat nan kanun zaman
berzaman. (red)

Anda mungkin juga menyukai