Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK 2

“DIARE”

Oleh:

KETUA : Aditya Ignatius Simatupang (19000096)

Sekretaris : Indah Riskita Tarigan (19000010)

Anggota : Desi Natalia Situmorang (19000027)

Yosefin Glori Tarinawoa Bago (19000055)

Natalya Br. Silalahi (19000066)

Ersa Manora Pangaribuan (19000068)

Renry (19000073)

Lorensia Elga Clarista Zendrato (19000080)

Maikel Fernanda Putra Pasaribu (19000082)

Grace Chyntia Pane (19000085)

Rio Anggara (19000104)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan laporan tutorial ini. Laporan ini disusun
berdasarkan pemicu ‘Diare’. Dalam kesempatan ini, kami juga mengucapkan
terima kasih kepada tutor dan semua pihak yang membantu dalam menyelesaikan
laporan tutorial ini.

Kami menyadari laporan yang kami buat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata kami
mengharapkan laporan tutorial ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan,16 Maret 2020

Hormat kami, Kelompok 2


DATA PELAKSANAAN TUTORIAL

1) JUDUL BLOK
DIGESTIVE SYSTEM
2) JUDUL TUTORIAL
DIARE
3) NAMA TUTOR
dr. Sufida, SpPA
4) DATA PELAKSANAAN TUTORIAL
 TUTORIAL I
HARI/TANGGAL : SENIN, 09 Maret 2020
WAKTU : 08.00 – 10.00 WIB
TEMPAT : RUANG TUTORIAL 2
 TUTORIAL II
HARI/TANGGAL : KAMIS, 12 Maret 2020
WAKTU : 07.30 – 09.30 WIB

TEMPAT : RUANG TUTORIAL 2

PEMICU:

Seorang ibu membawa anaknya berobat ke rumah sakit dengan keluhan mencret dan
muntah. Mencret sudah berlangsung selama 3 hari dengan frekuensi rata-rata 4-6x/hari,
konsistensi tinja cair, dan banyak. Muntah di alami sejak 2 hari yang lalu, dengan frekuensi 3-
4x/hari. Anak juga mengeluhkan sakit perut. Pemeriksaan di dapati seorang anak perempuan
umur 7 tahun, berat badan 20 kg, suhu tubuh 38,5 0 C, frekuensi denyut jantung 120 x/menit,
frekuensi pernapasan 24 x/menit.

Anak tampak lesu dan haus, mata agak cekung, bibir kering, tonus/turgor kulit abdomen
kurang. Jantung dan paru normal, hepar dan lien tidak teraba serta anggota gerak tidak ada
kelainan. Buang air kecil terakhir sekitar 6 jam yang lalu sebelum kerumah sakit. Ibu ingin
mengetahui penyakit anaknya dan mengetahui pengobatan.

MORE INFO :

Pada 1 hari terakhir ini dijumpai tinja berlendir disertai bercak darah.

Pemeriksaan laboratorium darah :

Hb 13 gr/dl, leukosit 12.000/mm3, hematocrit 42%.

Feses rutin : Darah samar (+), lender (+) 20-25/1pb, eritrosit 1-2/1pb
Kultur feses : E. Coli (+)

1. UNFAMILIAR TERMS

- Tonus/Turgor kulit : Tingkat kelenturan kulit untuk menentukan apakah anak kekurangan
cairan atau tidak
- Lien : Limpa

2. PROBLEM DEFINITION

- Pasien mengalami mencret, muntah, sakit perut, dan dehidrasi

3. BRAINSTORMING

- Mencret yaitu konsistensi tinja cair dan banyak


- Faktor penyebab adanya infeksi mikroorganisme yang mengakibatkan hipersekresi
- Diare menyebabkan dehidrasi karena tubuh kehilangan banyak cairan

4. ANALYZING THE PROBLEM

MIND MAP
Definisi
Penyebab Komplikasi

DIARE
Tatalaksana
Patofisiologi

Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan penunjang
Fisik
5. LEARNING ISSUES
1. DEFENISI DIARE
2. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI SALURAN CERNA BAWAH
3. PATOFISIOLOGI DIARE
4. DIAGNOSA BANDING DIARE
5. PEMERIKSAAN FISIK
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
7. PENATALAKSANAAN DIARE
8. KOMPLIKASI DIARE
9. DEFINISI DEHIDRASI
10. TANDA DAN GEJALA DEHIDRASI
11. PATOFISIOLOGI DIARE
12. DERAJAT DEHIDRASI
13. TATALAKSANA DEHIDRASI
14. 5 PILAR WHO TENTANG DIARE
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Definisi Diare
Diare merupakan perubahan konsistensi air tinja yang terjadi tiba tiba akibat kandungan
air di dalam tinja melebihi normal (10 ml/KgBB/hari) dengan peningkatan frekuensi defekasi
lebih dari 3 kali dalam 24 jam dan berlangsung kurang dari 14 hari1.
2. Anatomi,Histologi dan Fisiologi Saluran Pencernaan Bawah (Intestinum
Crassum)

a. Sekum
 Anatomi
Bagian pertama intestinum crissum yang berlanjut dengan colon
desendens. Sekum merupakan kantong usus buntu, dengan panjang dan lebar
kira kira 7,5 cm, terletak di quadran bawah kanan, tempatnya terletak pada
fossa iliaca di inferior taut ileum terminalis dan sekum. Sekum biasanya
terletak 2,5 cm di dalam ligamentum inguinale, hamper seluruhnya
diselubungi oleh peritoneum, dan dapat diangkat secara bebas. Namun, sekum
tidak memiliki mesenterium.

b. Appendix Vermiformis
 Anatomi
Apendix vermiformis berisi massa jaringan limfoid. Appendix
berasal dari aspek posteromedial sekum di sebelah inferior taut ileocaecal.
Appendix memiliki mesenterium triangular pendek, mesoappendix, yang
berasal dari sisi posterior mesenterium ileum terminalis. Mesoappendix
menempel pada sekum dan bagian proksimal appendix. Posisi appendix
bervariasi, tetapi biasanya retrocaecal.
c. Colon
 Anatomi
Colon memilik empat bagian yaitu asendens, transversum,
desendens, dan sigmoideum yang saling menggantikan satu sama lain
dalam arcus. Colon pertama tama terletak di kanan intestinum tenue,
kemudian berturut-turut ke superior dan anteriornya, kiri, dan akhirnya di
inferior intestinum tenue. Colon asendens adalah bagian kedua
intestinum crissum. Colon tersebut berjalan di superior pada sisi kanan
cavitas abdominalis dari sekum ke lobus dextra hepatis. Colon asendens
lebih sempit daripada sekum akibatnya terletak retroperitoneal di
sepanjang sisi kanan dinding abdomen posterior. Colon transversum
adalah bagian ketiga,paling panjang dan paling mobil pada intestinum
crissum. Colon tersebut menyilang abdomen dari flexura colica
sinister ,tempatnya membengkok di inferior menjadi colon desendens.
Colon desendes mengisi posisi retroperitoneal secara sekunder diantara
flexura coli sinister dan fossa iliaca sinister,dimana colon ini berlanjut
dengan colon sigmoideum. Colon sigmoideum yang di tandai dengan
lengkung berbentuk huruf S dengan panjang yang biasanya 40 cm,
menghubungkan colon desendens dan rectum. Colon sigmoideum
memanjang dari fossa iliaca ke segmen S3,tempatnya bergabung dengan
rectum. Colon sigmoideum biasanya memiliki mesenterium panjang
sehingga bebas bergerak, terutama bagian tengahnya.
d. Rektum dan Canalis Analis
Rektum adalah bagian terminal terfiksasi (terutama retroperitoneal dan
subperitoneal) pada intestinum crissum. Rectum merupakan kelanjutan colon
sigmoideum setinggi vertebra S3. Taut pada ujung inferior mesenterium colon
sigmoideum. Rectum berlanjut di inferior dengan canalis analis. Bagian
bagian intestinum crrasum tersebut dideskripsikan bersama pelvis2.

 Histologi Apendiks (Pandangan Panorama, Potongan Tranversal)


Gambar ini merupakan potongan melintang apendiks vermiformis
dengan pembesaran lemah. Morfologinya serupa dengan morfologi kolon,
kecuali ada modifikasi-modifikasi tertentu. Pada perbandingan antara
mukosa spendiks dan mukosa kolon, epitel pelapis me- ngandung banyak
sel goblet, lamina propria di bawahnya mempunyai kelenjar usus (kriptus
Lieberkühn), dan terdapat muskularis mukosa. Kelenjar usus di apendiks
relatif kurang berkembang, lebih pendek, dan sering terpisah lebih jauh
antar satu sama lain dibandingkan dengan yang di kolon. Jaringan limfe
difus di lamina propria banyak dijumpai dan sering ditemukan di
submukosa. Nodulus limfatik dengan sentrum germinativum banyak
ditemukan dan sangat khas untuk apendiks. Nodulus-nodulus ini berada di
lamina propria dan mungkin meluas dari epitel permukaan hingga
submukosa. Submukosa memiliki banyak pembuluh darah. Muskularis
eksterna terdiri dari lapisan sirkuular dalam dan lapisan longitudinal luar.
Ganglion parasimpatis mienterikus terletak di antara lapisan otot polos
dalam dan luar muskularis distema. Lapisan terluar apendiks adalah serosa
yang di bawahnya mengandung sel adipose.

 Histologi Kolon dan Mesenterium (Pandangan Panorama,Potongan


Transversal)
Dinding kolon memiliki lapisan lapisan dasar yang sama seperti
usus halus. Mukosa terdiri dari epitel kolumnar selapis,kelenjar usus,
lamina propria, dan muskularis mukosa. Submucosa di bawahnya
mengandung sel jaringan ikat, berbagai pembuluh darah, dan saraf. Dua
lapisan otot polos membentuk muskularis eksterna. Serosa membungkus
kolon transversum dan kolon sigmoid. Terdapat beberapa modifikasi di
dinding kolon yang membedakannya dari bagian saluran cerna yang lain.
Kolon tidak memiliki vilus atau plika sirkularis, dan permukaan
luminal mukosa terlihat licin. Pada saat kolon tidak teregang, mukosa dan
submoksa memperlihatkan lipatan temporer. Di lamina propria dan
submokusa kolon,terdapat nodulus limfatik.
Lapisan otot polos muskularis externa kolon mengalami
modifikasi. Lapisan otot sirkular dalam bersifat kontinu di dinding kolon,
sementara lapisan otot luar memadat menjadi 3 pita longitudinal lebar
yang dinamai taenia koli. Terdapat satu lapisan otot longitudinal luar yang
sangat tipis dan sering terputus, di antara taenia koli. Sel ganglion
parasimpatis pleksus saraf mienterikus ditemukan di antara lapisan lapisan
otot polos muskularis eksterna.
Kolon transversum dan sigmoid melekat pada dinding tubuh
melalui mesenterium. Karena itu serosa adalah lapisan terluar.

 Histologi rectum ( Pandangan Panorama, Potongan Tranversal )


Histologi rektum atas mirip dengan histologi kolon. Epitel
permukaan lumen adalah epitel kolumnar selapis dengan striated (brush)
border dan sel goblet. Kelenjar usus , sel adiposa , dan nodulus limfatik di
lamina propria. Kelenjar usus lebih panjang, lebih panjang, dan terisi
dengan sel piala. Di bawah lamina propria, ada muskularis mukosa.
Lipatan longitudinal di rektum atas dan kolon temporer. Lipatan ini
mengandung inti submukosa yang disimpan oleh mukosa. Lipatan
longitudinal permanen (kolom rektal) ditemukan di rektum bawah dan
kanalis anus. Taenia koli pada kolon berlanjut hingga ke rektum tempat
muskularis eksterna memiliki lapisan otot polos sirkular dalam dan
longitudinal luar yang tipikal. Di antara lapisan kedua polos itu, terdapat
ganglion parasimpatis pleksus mienterikus (Auerbach). Adventisia
meminta sebagian, dan serosa mengambil bagian lain. Banyak kapal
darah ditemukan di submukosa dan adventisia.
 Histologi Taut Anorektum (Potongan Longitudinal)
Bagian atas di bawah taut anorektum merupakan bagian rektum
paling bawah. Bagian dari kanalis anus di bawah taut anorektum beralih
transisi dari epitel kolumnar selapis menjadi epitel skuamosa dikumpulkan
di kulit. Mukosa rektum mirip dengan mukosa kolon. Kelenjar usus lebih
pendek dan lebih pendek. Karena itu, lamina propria menjadi lebih
menonjol, jaringan limfatik berbeda, dan lebih banyak nodul limfatik
soliter. Mukosa muskularis dan usus saluran pencernaan berakhir pada taut
anorektal. Lamina propria diganti dengan jaringan ikat lamina propria
kanalis anus yang padat dan ireguler. Submukosa menyatu dengan
jaringan ikat lamina propria kanalis anus, suatu regio yang mengandung
banyak pembuluh darah. Pleksus hemoroid internus vena berada di
mukosa kanalis anus. rektum. Lapisan otot polos sirkular muskularis
eksterna meningkat ketebalannya di bagian atas kanalis anus dan
membentuk sfingter anus internus. Di bagian bawah kanalis anus, sfingter
anus internus diganti oleh otot rangka sfingter anus eksternus. Di sebelah
luar sfingter anus eksternus, ada otot rangka levator ani3.
 Fisiologi Saluran Pencernaan Bawah
Kolon normalnya menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus
per hari. Karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah
diselesaikan di usus halus, isi yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu
makanan yang tak-tercerna (misalnya selulosa), komponen empedu yang
tidak diserap, dan cairan. Kolon mengekstraksi H2O dan garam dari isi
lumennya untuk membentuk massa padat yang disebut feses untuk
dikeluarkan dari tubuh. Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan
tinja sebelum defekasi. Selulosa dan bahan lain yang tak-tercerna di dalam
diet membentuk sebagian besar massa dan membantu mempertahankan
keteraturan pergerakan usus dengan berkontribusi pada volume isi kolon.
Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat dan tidak
mendorong, yang sesuai fungsinya sebagai tempat penyerapan dan
penyimpanan. Motilitas utama kolon adalah kontraksi haustra yang dipicu
oleh ritmisitas autonom (BER) sel-sel otot polos kolon. Kontraksi ini,
yang menyebabkan kolon membentuk haustra, merupakan kontraksi
berbentuk cincin yang berosilasi yang serupa dengan segmentasi usus
halus tetapi terjadi lebih jarang. Waktu di antara dua kontraksi haustra
dapat mencapai tiga puluh menit, sementara kontraksi segmentasi di usus
halus berlangsung dengan frekuensi 9 hingga 12 kali per menit. Lokasi
kantong haustra secara bertahap berubah sewaktu segmen yang semula
melemas dan membentuk kantong mulai berkontraksi secara perlahan
sementara bagian yang tadinya berkontraksi melemas secar bersamaan
untuk membentuk kantong baru. Gerakan ini tidak mendorong isi usus
tetapi secara perlahan mengaduknya maju-mundur sehingga isi kolon
terpajan ke mukosa penye- rapan. Kontraksi haustra umumnya dikontrol
oleh refleks- refleks lokal yang melibatkan pleksus intrinsik.
Tiga atau empat kali sehari, umumnya setelah makan, terjadi
peningkatan mencolok motilitas saat segmen-segmen besar kolon asenden
dan transversum berkontraksi secara simultan, mendorong tinja sepertiga
hingga tiga perempat panjang kolon dalam beberapa detik. Kontraksi
masif ini, yang secara tepat dinamai pergerakan massa, mendorong isi
kolon ke bagian distal usus besar, tempat bahan disimpan hingga terjadi
defekasi. Ketika makanan masuk ke lambung, pergerakan massa dipicu di
kolon terutama oleh refleks gastrokolon, yang diperantarai dari lambung
ke kolon oleh gastrin dan saraf autonom ekstrinsik. Pada banyak orang,
refleks ini paling jelas setelah sarapan dan sering diikuti oleh keinginan
untuk buang air besar. Karena itu, ketika makanan masuk ke saluran cerna,
terpicu reileks-refleks yang memindahkan isi yang sudah ada ke bagian
distal untuk menyediakan tempat bagi makanan yang baru masuk. Refleks
gastroileum memindahkan isi usus halus yang masih ada ke dalam usus
besar, dan refleks gastrokolon mendorong isi kolon ke dalam rektum,
memicu refleks defekasi.
Feses dikeluarkan oleh refleks defekasi. Ketika pergerakan massa
di kolon mendorong tinja ke dalam rektum, peregangan yang terjadi di
rektum merangsang reseptor regang di dinding rektum, memicu refleks
defekasi. Refleks ini menyebabkan sfingter anus internus (yang me-
rupakan otot polos) melemas dan rektum dan kolon sigmoid berkontraksi
lebih kuat. Jika sfingter anus eksternus (yang merupakan otot rangka) juga
melemas, terjadi defekasi. Karena merupakan otot rangka, sfingter anus
eksternus berada di bawah kontrol volunter. Peregangan awal dinding
rektum disertai oleh timbulnya rasa ingin buang air besar. Jika keadaan
tidak memungkinkan defekasi, pengencangan sfingter anus eksternus
secara sengaja dapat mencegah defekasi meskipun refleks defekasi telah
aktif. Jika defekasi ditunda, dinding rektum yang semula teregang secara
perlahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda hingga
pergerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak tinja ke dalam
rektum dan kembali meregangkan rektum serta memicu refleks defekasi.
Selama periode inaktivitas, kedua sfingter tetap berkontraksi untuk
menjamin kontinensia tinja. Jika tetap terjadi, defekasi biasanya dibantu
oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi otot abdomen
dan ekspirasi paksa dengan glotis tertutup secara bersamaan. Tindakan ini
sangat meningkatkan tekanan intraabdomen, yang membantu mendorong
tinja4.
3. Patofisiologi diare

 PATOFISIOLOGI DIARE
Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam penyebab

diare, maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam tiga macam kelainan pokok yang

berupa:
a. Kelainan Gerakan Transmukosal Air dan Elektrolit

Gangguan reabsorbsi pada sebagian kecil usus halus sudah dapat

menyebabkan diare. Disamping itu peranan faktor infeksi pada patogenesis diare akut

adalah penting, karena dapat menyebabkan gangguan sekresi (diare sekretorik), difusi

(diare osmotik), malabsorbsi dan keluaran langsung. Faktor lain yang cukup penting

dalam diare adalah empedu, karena dehidroksilasi asam dioksikolik dalam empedu akan

mengganggu fungsi mukosa usus, sehingga sekresi cairan di jejunum dan kolon serta

menghambat reabsorbsi cairan di kolon. Diduga bakteri mikroflora usus turut memegang

peranan dalam pembentukan asam dioksikolik tersebut.

Hormon-hormon saluran diduga juga dapat mempengaruhi absorbsi air pada manusia,

antara lain gastrin, sekretin, kolesistokinin dan glikogen. Suatu perubahan pH cairan usus

seperti terjadi pada Sindrom Zollinger Ellison atau pada jejunitis dapat juga

menyebabkan diare.

b. Kelainan Laju Gerakan Bolus Makanan dalam Lumen Usus

Suatu proses absorbsi dapat berlangsung sempurna dan normal bila bolus

makanan tercampur baik dengan enzim-enzim saluran cerna dan berada dalam keadaan

yang cukup tercerna. Juga waktu sentuhan yang adekuat antara kim dan permukaan

mukosa usus halus diperlukan untuk absorbsi yang normal.

Motilitas usus merupakan faktor yang berperanan penting dalam ketahanan

lokal mukosa usus. Hipomotilitas dan stasis dapat menyebabkan mikroba usus

berkembang biak secara berlebihan, yang kemudian dapat merusak mukosa usus.

Kerusakan mukosa usus akan menimbulkan gangguan digesti dan absorbsi, yang

kemudian akan terjadi diare. Selain itu hipermotilitas dapat memberikan efek langsung

sebagai diare.
c. Kelainan Tekanan Osmotik dalam Lumen Usus

Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang melebihi

kapasitas dari pencernaan dan absorbsinya akan menimbulkan diare. Adanya malabsorbsi

karbohidrat, lemak, dan protein akan menimbulkan kenaikan daya tekanan osmotik intra

lumen, yang akan menimbulkan gangguan absorbsi air.

Malabsorbsi karbohidrat pada umumnya sebagai malabsorbsi laktosa, yang terjadi

karena defisiensi enzim laktase. Dalam hal ini laktosa yang terdapat dalam susu

mengalami hidrolisis yang tidak sempurna sehingga kurang diabsorbsi oleh usus halus.

Sebagai akibat diare, baik yang akut maupun kronis akan terjadi:

1. Kehilangan Air dan Elektrolit

Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi), serta gangguan keseimbangan asam basa

disebabkan oleh: (1) previous water losses, kehilangan cairan sebelum pengelolaan,

sebagai defisiensi cairan, (2) normal water losses, berupa kehilangan cairan karena fungsi

fisiologis, (3) concomittant water losses, berupa kehilangan cairan waktu pengelolaan,

dan (4) masukan makanan yang kurang selama sakit, berupa kekurangan masukan cairan

karena anoreksia atau muntah.

Mekanisme kekurangan cairan pada diare dapat terjadi karena: (1) pengeluaran

usus yang berlebihan, karena sekresi mukosa usus yang belebihan atau difusi cairan

tubuh akiban tekanan osmotik intra lumen yang tinggi, (2) masukan cairan yang kurang,

karena muntah, anoreksia, pembatasan makan dan minum, keluaran cairan tubuh yang

berlebihan (demam atau sesak napas).

2. Gangguan Gizi

Gangguan gizi pada penderita diare dapat terjadi karena: (1) masukan

makanan berkurang, (2) gangguan penyerapan makanan, (3) katabolisme dan, (4)

kehilangan langsung.
3. Perubahan Ekologi dan Ketahanan Usus

Kejadian diare akut pada umumnya disertai dengan kerusakan mukosa usus,

keadaan ini dapat diikuti dengan gangguan pencernaan karena deplesi enzim. Akibat

lebih lanjut adalah timbulnya hidrolisis nutrien yang kurang tercerna sehungga dapat

menimbulkan peningkatan hasil metabolit yang berupa substansi karbohidrat dan asam

hidrolisatnya. Keadaan ini akan merubah ekologi kimiawi isi lumen usus, yang dapat

menimbulkan keadaan bakteri tumbuh lampau, yang berarti merubah ekologi mikroba isi

usus. Bakteri tumbuh lampau akan memberikan kemungkinan terjadinya dekonjugasi

garam empedu sehingga terjadi peningkatan jumlah asam empedu yang dapat

memberikan timbulnya kerusakan mukosa usus lebih lanjut. Keadaan ini dapat pula

disertai dengan gangguan mekanisme ketahanan lokal pada usus, baik yang disebabkan

oleh kerusakan mukosa usus maupun perubahan ekologi isi usus5.

 PATOFISIOLOGI MUAL MUNTAH


Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa

mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator

utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf – saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf –

saraf ini menerima input dari :

 Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema


 Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena penyakit
 telinga tengah)
 Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)
 Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera
 fisik)
 Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)
Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus

berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.

a) Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan
distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.

b) Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap

stimulus kimia.

Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks

muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema.

Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral

dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum,

ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks

serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem

vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area

postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan

otak dapat langsung merangsang CTZ.

Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan

dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman.12 Nukleus

traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan

parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih.35

Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan

pada vestibular telinga tengah.

Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat

dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin,

histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke

pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat

muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan

otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah6.

4. Diagnosa Banding
 Diare akut(kurang dari 15 hari)
 Diare kronik(> 15 hari)
 Diare persisten (15-30 hari )
 Diare infektif(penyebabnya infeksi)
 Diare organik (anatomik, bakteriologik, hormonal atau toksikologik)
 Diare fungsional(bila tidak ditemukan penyebab organik)
Diare akut
Diare akut disebabkan oleh banyak penyebab antara lain
infeksi(bakteri, parasite, virus), keracunan makanan, efek obat-obat dan
lain-lain. Menurut world gastroenterology organization global guidelines
2005, etiologi diare akut dibagi atas empat penyabab:bakteri, virus,
parasite, dan non infeksi.

Infeksi terbagi atas 2, yaitu: enteral dan parenteral.


 Enteral
1. Bakteri: shigella sp, E.coli pathogen, salmonella sp, vibrio
cholera.
2. Virus: rotavirus dan adenovirus
3. Parasite: entamoeba histolyca
4. Worm: A. lumbricoides, cacing tambang, dan trichuris trichiura
5. Fungus: candida
 Parenteral
1. Intoksikasi makanan: makanan beracun atau yang mengandung
logam berat, makanan mengandung bakteri/toksi clostridium
perfringens, B. cereus, S. aureus, streptococcus anhaemo lyticus,
dll.
2. Alergi susu: susu sapi dan makanan tertentu.
3. Malabsorpsi: karbohidrat(monosakarida, disakarida, lemak,
protein, vitamin, dan mineral)
Bakteri

Salmonella+shigella (nausea, muntah, diare darah, demam, kram abdominal,


mialgia,sakit kepala, air)

Vibrio (muntah, nausea, diare tanpa darah, demam, nyeri abdomen, air)

E. coli+stapylococcus(nausea, muntah, demam, nyeri abdomen, tidak berdarah,


air)

Campylobacter(nyeri abdomen, diare berdarah, nyeri kepala, malaise,


demam ,air)

Virus

Rotavirus (nausea, muntah, nyeri abdomen, tanpa darah, air, demam 40 drajat, penurunan
kesadaran mudah haus, ujung jari terasa dingin,)

Adenovirus (masalah pernafasan, demam,flu, sakit tenggorokan,)

Spesifik diagnose:

 Diare akut disebabkan E. coli


 Diare akut disebabkan salmonella atau shigella
 Diare akut disebabkan vibrio
 Diare disebabkan campylobacter
 Diare disebabkan rotavirus
 Diare disebabkan adenovirus7,8.

5. Pemeriksaan Fisik
Tanda dan gejala awal diare ditandai dengan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu
meningkat, nafsu makan menurun, tinja cair (lendir dan tidak menutup kemungkinan
diikuti keluarnya darah, anus lecet, dehidrasi (bila terjadi dehidrasi berat maka volume
darah berkurang, nadi cepat dan kecil, denyut jantung cepat, tekanan darah turun,
keadaan menurun diakhiri dengan syok), berat badan menurun, turgor kulit menurun,
mata dan ubun-ubun cekung, mulut dan kulit menjadi kering9.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang intensif perlu dilakukan untuk mengetahui adanya
diare yang disertai kompikasi dan dehidrasi. Menurut William (2005), pemeriksaan darah
perlu dilakukan untuk mengetahui Analisa Gas Darah (AGD) yang menunjukan asidosis
metabolic. Pemeriksaan feses juga dilakukan untuk mengetahui :
a) Lekosit polimorfonuklear, yang membedakan antara infeksi bakteri dan infeksi
virus.
b) Kultur feses positif terhadap organisme yang merugikan.
c) Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat menegaskan
keberatanrotavirus dalam feses.
d) Nilai pH feses dibaah 6 dan adanya substansi yang berkurang dapat diketahui
adanya malaborbsi karbohidrat.

Menurut Cahyono (2014), terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk


penyakit diare, diantaranya :
a) Pemeriksaan darah rutin, LED (laju endap darah), atau CPR (C-reactive protein).
memberikan informasi mengenai tanda infeksi atau inflamasi.
b) Pemeriksaan fungsi ginjal dan elektrolit untuk menilai gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Pemeriksaan kolonoskopi untuk mengetahui penyebab diare.
Pemeriksaan CT scan bagi pasien yang mengalami nyeri perut hebat,
untukmengetahui adanya perforasi usus9.

7. Penatalaksanaan Diare
1. Pada keadaan awal dapat di berikan sediaan cairan/bubuk hidrasi peroral
setiap kali diare
Komposisi larutan peroral adalah 3,5g NaCl: 2,5g Na bikarbonat:
1,5g KCL: 20g Glukosa per liter air. Pemberian hidrasi melalui cairan
infus menggunakan sediaan berupa Ringer Lactat ataupun NaCL isitonis.
Jumlah cairan yang akan di berikan dapat menggunakan perhitungan
dengan skor Daldiyono atau di sesuaikan dengan banyak nya cairan yang
keluar dari tubuh yang dapat di nilai melalui perhitungan balans cairan
saat pasien di rawat. Rehidrasi harus di capai secepat mungkin.
Berdasarkan skor Daldiyono rehidrasi awal di capai optimal dalam 2 jam
pertama. Setelah itu pemberian cairan di sesuaikan dengan perhitungan
kebutuhan cairan berdasarkan kehilangan pada saat 2 jam pertama
tersebut. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3 maka
cairan dapat di berikan per oral. Pemberian selanjut nya adalah sesuai
perhitungan balans pasien.

2. Pengaturan Asupan Makanan

Pemberian asupan makanan di berikan secara normal, sebaiknya


dalam porsi kecil namun dengan frekuensi yang lebih sering. Pilih
makanan yang mengandung mikronutrien dan energi( pemenuhan
Kebutuhan kalori yang dapat di berikan bertahap sesuai toleransi pasien).
Menghindari makanan atau minuman yang mengandung susu karna dapat
terjadi nya intoleransi laktosa, demikian juga makanan yang pedas ataupun
mengandung lemak yang tinggi.
3. Pemberian Terapi Simtomatik
Pemberian antimotilitas seperti loperamid dengan dosis 4-6 mg/
hari pada dewasa di utamakan pada diare yang di alami oleh wisatawan
bila bersifat ringan atau sedang serta tidak ada kecurigaan suatu diare
inflamasi. Sebaik nya hindari pada diare yang di sertai darah dan
merupakan kontraindikasi pada diare yang di sertai dengan nyeri perut.
Pemberian antisekretori seperti bismuth subsalisilat dapat di
berikan dengan dosis 2 tablet yang boleh di ulang bila masih ada diare
tidak lebih dari 8 tablet per hari. Pemberian obat adsorbens seperti
attapulgite activated charcoal dapat di berikan, efektivitas penggunaan
lebih cepat pada kelompok pasien dibandingkan kontrol.
4. Pemberian Terapi Definitif
Shigellosis :
Ciprofloxacin 2x500 mg selama 3 hari atau kontrimoxazol 2x 960
mg selama 3 hari atau ceftriaxon 1 gram perhari selama 5 hari. Pada
pasien imunokompromais dapat di berikan antara 7-10 hari.

Salmonellosis(non typhoidal):
Ciprofloxacin 2x500 mg selama 3 hari atau kontrimoxazol 2x 960
mg perhari selama 5-7 hari atau ceftriaxon. Dapat di berikan lebih lama
pada pasien imunokompromais.
Kolera :
Tetrasiklin 4x 500 mg perhari selama 3 hari atau Doksisiklin 3x
100 mg sekali pemberian atau ciprofloxacin atau azitromisin

Amubiasis:
Metronidazole 3x 750 mg selama 5-10 hari.
Giardiasis:
Metronidazole 250 -750 mg 3 x perhari selama 7-10 hari10.

8. Komplikasi Diare
1. Dehidrasi
Dehidrasi meliputi dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dan dehidrasi berat.
Salah satu dari tanda dan gejala seseorang mengalami dehidrasi adalah kulit
kering, keriput, elastisitasnya (turgor) kulit buruk. Hal ini disebabkan oleh
kekurangan/ kehilangan banyak cairan yang diakibatkan oleh diare.

Pada dehidrasi berat akan tampak wajah pasien yang khas yaitu mata
cekung, pandangan kosong, tulang pipi menonjol, bibir, mukosa, mulut, serta
lidah kering dan pucat.

2. Demam
Demam sering ditemui pada kasus diare. Biasanya demam timbul jika
penyebab diare seperti bakteri masuk ke dalam sel epitel usus. Bakteri yang
masuk ke dalam tubuh akan dianggap sebagai antigen oleh tubuh. Bakteri tersebut
akan mengeluarkan toksin lipopolisakarida dan membrane sel. Sel yang bertugas
menghancukan zat-zat toksin atau infeksi tersebut adalah neutrophil dan makrofag
dengan cara fagosistosis. Sekresi fagosik inilah yang menginduksi timbulnya
demam pada saat diare.

3. Hipernatremia
Hipernatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam darah
lebih dari 145 mEq/Liter. Hipernatremia sering disebabkan oleh asupan makanan
yang tidak mencukupi, meningkatnya kehilangan cairan yang disebabkan oleh
diare, diare, demam, atau bahkan muntah.

4. Hiponatremia
Hiponatremia adalah kondisi gangguan elektrolit ketika kadar natrium
(sodium) dalam darah lebih rendah dari batas normal. Kadar natrium dalam tubuh
pada kondisi normal adalah 135-145 mEq/Liter. Pada kasus diare menyebabkan
tubuh kehilangan natrium. Dalam tubuh kita, natrium memiliki fungsi
mengendalikan kadar air dalam tubuh, menjaga tekanan darah, serta mengatur
system kerja saraf dan kinerja otot. Hiponatremia terjadi bila :

 jumlah asupan cairan melebihi kemampuan eksresi


 ketidakmampuan menekan sekresi ADH, misalnya pada kehilangan cairan
melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH
(syndrome of inappropriate ADH-secretion)
Hiponatremia terjadi pada anak yang hanya meminum air putih saja atau
hanya mengandung sedikit garam, ini sering terjadi pada anak yang mengalami
infeksi bakteri shigella dan malnutrisi berat dengan edemia.

5. Hipokalemia
Hipokalemia terjadi bila kadar natrium dalam plasma darah kurang dari
3,5 mEq/ Liter. Yang menyebabkan hypokalemia dapat dibagi menjadi :

1. Asupan kalium berkurang


2. Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cerna atau ginjal
ataupun keringat.
3. pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cerna antara lain seperti
muntah, diare, atau pemakaian obat pencahar
Hipokalemia ditandai dengan gejala kelemahan otot, gangguan fungsi hati,
dan gerakan peristaltik usus berkurang11.
9. Definisi Dehidrasi
Dehidrasi adalah kekurangan cairan tubuh karena jumlah cairan yang keluar lebih
banyak dari pada jumlah cairan yang masuk.. Pengeluaran air harus seimbang dengan
pemasukan air, apabila terjadi ketidakseimbangan cairan di dalam tubuh, akan timbul
kejadian dehidrasi9.

10. Tanda dan gejala dehidrasi


1.Berat badan turun
2.Turgor kulit berkurang
3.Mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung
4.Selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering
Pada dehidrasi berat,volume darah berkurang sehingga dapat terjadi renjatan
hipovolemik dengan gejala-gejalanya yaitu denyut jantung menjadi cepat,denyut
nadi menjadi cepat, tekanan darah menurun, penderita menjadi
lemah,kesadaran(apatis,somnolen,soporokomateus),penderita akan tampak pucat
dengan pernafasan yang cepat12.

11. Patofisiologi Dehidrasi

Dehidrasi dapat terjadi karena :

1. Kemiskinan air (water depletion)


2. Kemiskinan Natrium (sodium depletion)
3. Water and sodium depletion terjadi bersama-sama

selain penyebab timbulnya dehidrasi dapat dibedakan menjadi 2 hal yaitu :


a.Eksternal (dari luar tubuh )

b.Internal (dari dalam tubuh)

Kehilangan cairan tubuh dapat bersifat :


a. Normal
b. Abnormal13.

12. Derajat Dehidrasi


Derajat keparahan menurut AFIC (1999) dalam Kit dan Teng (2008), yaitu :
a. Dehidrasi Ringan
Ditandai dengan rasa haus, sakit kepala, kelelahan wajah memerah,
mulut dan kerongkongan kering. Dehidrasi ringan ini merupakan dehidrasi
yang terjadi yang terjadi dalam waktu singkat dan tidak berdampak parah,
tetapi jika dibiarkan terus-menerus akan nemimbulkan dampak yang
berbahaya.

b. Dehidrasi Sedang
Dehidrasi sedang biasa ditandai dengan detak jantung yang cepat,
pusing, tekanan darah rendah, lemah, volume urin rendah namun
kosentrasinya tinggi.

c. Dehidrasi berat
Ditandai dengan kejang, sirkulasi darah tidak lancar tubuhsemakin
melemah dan kegagalan fungsi ginjal14.
13. Tatalaksana Dehidrasi
a. Dehidrasi Berat
Dehidrasi berat adalah keadaan dimana seseorang kekurangan lebih
banyak cairan tubuh sekitar 10%. Anak dengan dehidrasi berat harus
segera ditangani dengan pemberian cairan intravena lalu bersamaan
dengan pemberian terapi oralit. Cairan intravena yang dapat digunakan
adalah Ringer laktat dan Ringer Asetat. Jika cairan tersebut tidak tersedia
maka disarankan untuk penggunaan garam normal (0,9%), sedangkan
larutan glukosa (5%dekstrosa) sangat tidak disarankan. Prosedur tata
laksana untuk dehidrasi berat adalah seperti tabel berikut.
b. Dehidrasi Ringan-Sedang

Nilai kembali anak setiap 15-30 menit hingga denyyut nadi


anak radial teraba. Jika dehidrasi anak tidak mengalami perbaikan beri
tetesan infus lebih cepat. Selanjutnya, nilai kembali anak dengan
memeriksa turgor, tingkat kesadaran, dan kemampuan anak untuk
minum sedikitnya setiap jam umtuk memastikan telah terjadi
perbaikan hidrasi. Keadaan mata cekung akan membaik lebih lama.
Pemberian tablet zinc selama 10 hari diikuti dengan tetap memberi
cairan oralit.
c. Tanpa Dehidrasi

Pada kasus ini, diare yang di alami pasien tidak memiliki gejala
atau tanda dehidrasi. Namun walaupun demikian tetap harus dilakukan
tindakan medis baik untuk pemulihan diare maupun tindakan
pencegahan dehidrasi15.

14. Lima Pilar Diare Menurut WHO

Langkah-langkah utama untuk mengobati diare antara lain:


1. Rehidrasi menggunakan larutan garam rehydrasi (ORS)
ORS adalah campuran air bersih, garam dan gula. ORS diserap ke
dalam usus kecil dan menggantikan air serta elektrolit yang hilang dalam
kotoran.
2. Suplemen zinc
Suplemen zinc mengurangi durasi serangan diare hingga 25% dan
dihubungkan dengan pengurangan volume tinja sebesar 30%.
3. Rehidrasi cairan intravena
Rehidrasi cairan intravena diberikan dalam kasus dehidrasi parah
atau syok.
4. Makanan kaya nutrisi
Malnutrisi dan diare dapat dipatahkan dengan terus memberikan
makanan kaya gizi termasuk asi - selama suatu peristiwa, dan dengan
memberikan makanan bergizi - termasuk asi eksklusif untuk enam bulan
pertama dalam kehidupan anak-anak ketika mereka sehat.

5. Berkonsultasi dengan seorang ahli kesehatan

Konsultasi khususnya untuk manajemen diare yang terus-menerus


atau ketika ada darah di tinja atau jika ada tanda-tanda dehidrasi16.
BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadribata M, Setiyohadi B, Syam A, editors. Buku ajar


ilmu penyakit dalam. In: VI. Jakarta: InternaPublishing; p. 1899.

2. Moore K, Dalley A. Anatomi berorientasi klinis. In: 5th ed.

3. Eroschenko. Atlas histologi. 12th ed. Penerbit Buku Kedokteran EGC;

4. Sherwood L. Fisiologi manusia dan sel ke sistem. 8th ed.

5. Oliver J. Diare. Hilos Tensados. 2019;1:1–476.

6. Salindri A. BAB II Tinjauan Pustaka Gastritis. Univ Muhammadiyah Malang [Internet].


2018;11–29. Available from: http://repository.unpas.ac.id/37105/1/BAB II.pdf

7. Simadribata M, Daldiyono K. Buku ajar ilmu penyakit dalam. In p. 1901–4.

8. referat-CHF @ id.scribd.com [Internet]. Available from:


https://id.scribd.com/doc/112857927/referat-CHF

9. Goyena R, Fallis A. GAMBARAN TINGKAT KONSUMSI AIR DAN STATUS


DEHIDRASI ATLET PENCAK SILAT TAPAK SUCI PUTRA MUHAMMADIYAH
KOTA SEMARANGitle No Title. J Chem Inf Model. 2017;53(9):1689–99.

10. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. In: VI. Jakarta:
InternaPublishing; 2015. p. 1907.

11. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. In: Setiati S, editor.
Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 1–933.

12. Amin LZ. Tatalaksana Diare Akut. Cdk-230 [Internet]. 2015;42(7):505. Available from:
https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/52162755/08_230CME-
Tatalaksana_Diare_Akut.pdf?1489577167=&response-content-disposition=inline
%3B+filename
%3DCONTINUING_MEDICAL_EDUCATION_Tatalaksana.pdf&Expires=1593783253
&Signature=Wwe4eKzedhp-
xhawXjK8Y7ASXxsxQxHLDUEI6pnW40zE0Zssb0f2y9PFoIW8qRSLWVysWwhu6FCe
LocwBQyf5C74m6uUvCbnwtuTDpAlMyaPPQQ87pGcAJf4AuyFPPHJlhYEZRnjJGaMv
zsvfo8hzVj6qSbOpVcPjGb3JP5Q6I~4TwCZoKfnc2OQNWNAzHhHXQ1bjnprewAb-
HKC9w4A5slJBqNRPyZC2zHu-fXQeJnxzmt-
A2qU7fbTO7OFXihpEifE1LXmeC8GaasdP~FFJ~~nzyAkSzaZgoYsz3hZLDcaI9awdc-
I6G7NbWrKaR2rHw-LmnBHLxJEYx5n9QsNSA__&Key-Pair-
Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA

13. FKUI SP bagian PA. Patologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1973.

14. Tim Adaptasi Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Tim Adaptasi
Indonesia, editor. World Health Organization; 2009. 133–135 p.

15. Tim Adaptasi Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Tim Adaptasi
Indonesia, editor. World Health Organization; 2009. 131–145 p.

16. Diarrhoeal disease. WHO [Internet]. 2017; Available from: https://www.who.int/news-


room/fact-sheets/detail/diarrhoeal-disease
LAMPIRAN

1. DEFENISI DIARE (ELGA-19000080)


2. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI SALURAN CERNA BAWAH
(ELGA-19000080)
3. PATOFISIOLOGI DIARE (MAIKEL-19000082)
4. DIAGNOSA BANDING DIARE (NATA-19000066)
5. PEMERIKSAAN FISIK (ADIT-19000096)
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG (ADIT-19000096)
7. PENATALAKSANAAN DIARE (INDAH-19000010)
8. KOMPLIKASI DIARE (DESI-19000027)
9. DEFINISI DEHIDRASI (ADIT-19000096)
10. TANDA DAN GEJALA DEHIDRASI (RIO-19000104)
11. PATOFISIOLOGI DEHIDRASI (RENRY-19000073)
12. DERAJAT DEHIDRASI (GRACE-19000085)
13. TATALAKSANA DEHIDRASI (YOSEFIN-19000055)
14. 5 PILAR WHO TENTANG DIARE (ERSA-19000068)

Anda mungkin juga menyukai