Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas

segala Berkat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

penulisan makalah dengan judul “Manajemen Bencana di Indonesia”. Makalah ini

dibuat untuk memenuhi persyaratan Ujian Dinas Tingkat II Tahun 2016 yang

diadakan di Provinsi Maluku Utara dan Sekaligus untuk menambah wawasan penulis

dalam penanggulan bencana di Indonesia. Penulis mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan

makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis

telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga

dapat selesai dengan baik. Oleh sebab itu, penulis dengan rendah hati menerima

saran dan kritik guna penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan

dan memberikan referensi yang bermakna bagi para pembaca.

Tobelo, Maret 2016


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami dan

aktivitas manusia, seperti letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor. Karena

ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat,

sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan

sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk

mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini

berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu

dengan ketidakberdayaan".

Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia

berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk

Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya posisi

Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa

bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman

bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan menduduki peringkat tiga untuk

ancaman gempa serta enam untuk banjir

Sejauh ini upaya pemerintah dalam membentuk masyarakat yang siap dan

siaga dalam menghadapi bencana telah diimplementasikan dengan adanya Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana serta

dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang memiliki tugas dan

tanggung jawab penuh dalam mengkoordinasi institusi dan lembaga dalam

menanggulangi bencana. Peraturan terkait dengan kesiapsiagaan bencana di tingkat

sekolah pun telah disahkan dalam Peraturan Kepala Badan Nasional

Penanggulangan Bencana Nomor 04 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sekolah

Aman dari Bencana. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2008 telah

menerbitkan Pengembangan Model-Model Kurikulum Pendidikan Layanan Khusus

Pendidikan Non Formal Paket A untuk Daerah Bencana Alam.


Kesiapsiagaan merupakan tindakan yang dilakukan pada masa pra bencana

(sebelum terjadi bencana). Tujuan dilakukannya kesiapsiagaan bencana adalah

untuk mengurangi risiko (dampak) yang diakibatkan oleh adanya bencana. Nick

Carter (Deny Haryati, dkk, 2006: 5) menjelaskan bahwa, kesiapsiagaan adalah

Tindakan - tindakan yang memungkinkan pemerintah, organisasi, masyarakat,

komunitas dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara

cepat dan tepat guna. Tindakan kesiapsiagaan juga meliputi penyusunan

penanggulangan bencana, pemeliharaan sumber daya dan pelatihan personil.

Kesiapsiagaan juga meliputi penyusunan rencana tanggap darurat, artinya

dengan adanya rencana tersebut masyarakat dapat mengetahui tindakan-Tindakan

yang harus dilakukan pada saat terjadi bencana. Tentunya rancangan tanggap

darurat bencana akan sangat tergantung pada jenis ancaman, kerentanan dan risiko

yang mungkin terjadi di wilayah masing-masing wilayah. Kesiapsiagaan perlu

dilakukan di berbagai komunitas, tidak hanya di tingkat masyarakat saja. Komunitas

sekolah pun juga perlu melakukan kesiapsiagaan demi terciptanya warga sekolah

(kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa) yang siap dan siaga terhadap bencana

Di Indonesia sendiri kesiapan untuk menghadapi bencana masih dinilai kurang.

Tidak semua telah siap dan siaga dalam menghadapi bencana. Kondisi tersebut

dapat kita temukan dengan mudah disekitar kita. Yang telah siap dan siaga dalam

menghadapi bencana memiliki kriteria

1. memiliki pengetahuan dalam menghadapi dan menanggulangi bencana

2. adanya rencana tanggap darurat

3. adanya system peringatan dini

4. kebijakan dan panduan menggenai penangulangan bencana

Sebaliknya yang belum siap dan siaga ditandai dengan tidak adanya pelatihan

kesiapsiagaan bencana, tidak adanya sistem peringatan dini, dan rencana tanggap

darurat Artinya masih masyarakat yang kurang siap dan siaga dalam menghadapi

bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama Januari 2013

mencatat ada 119 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB juga mencatat

akibatnya ada sekitar 126 orang meninggal akibat kejadian tersebut. kejadian

bencana belum semua dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian bencana

menyebabkan 126 orang meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi, 940

rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah rusak ringan. Untuk

mengatasi bencana tersebut, BNPB telah melakukan penanggulangan bencana baik

kesiapsiagaan maupun penanganan tanggap darurat. Untuk siaga darurat dan

tanggap darurat banjir dan longsor sejak akhir Desember 2012 hingga sekarang,

BNPB telah mendistribusikan dana siap pakai sekitar Rp 180 milyar ke berbagai

daerah di Indonesia yang terkena bencana.

Namun, penerapan manajemen bencana di Indonesia masih terkendala

berbagai masalah, antara lain kurangnya data dan informasi kebencanaan, baik di

tingkat masyarakat umum maupun di tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data

dan informasi spasial kebencanaan merupakan salah satu permasalahan yang

menyebabkan manajemen bencana di Indonesia berjalan kurang optimal.

Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit dilakukankarena data yang

beredar memiliki banyak versi dan sulit divalidasi kebenarannya.

Dari uraian diatas, terlihat bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem

manajemen bencana dan Kurangnya Kesiapan Masyarakat dalam Menghadapi

Bencana merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan risiko bencana menjadi

besar. Sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau

meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.


B. Identifikasi Masalah

Dengan terjadinya hal tersebut dapat menarik perhatian penulis untuk

melakukan penulisan makalah ini, sekaligus menganalisis Pengertian tentang :

1. Apa Saja Batasan dan Strategi strategi Kesiapsiagaan dalam menghadapi

bencana menurut para Ahli

2. Bagaimana Pendekatan, Sistem dan Tahap-tahap yang ada dalam

Manajemen Penanggulangan Bencana di Indonesia.

3. Penjelasan Tentang Prinsip – prinsip dan Asas-asas Penanggulangan

Bencana Menurut UU No. 24 tahun 2007

C. Metode Penulisan

Adapun dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif

karena untuk menggambarkan atau menjelaskan suatu hal yang kemudian

diklasifikasikan sehinga dapat diambil satu kesimpulan. Kesimpulan tersebut dapat

lebih mempermudah dalam melakukan pengamatan, dengan begitu dalam

penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif.

Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran pengertian

yang sebenarnya dari pertanyaan yang ada di bagian IDENTIFIKASI MASALAH.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut:
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Identifikasi Masalah

C. Metode Penulisan

D. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PEMBAHASAN/ ANALISIS

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Bencana

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik

oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian

harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana

disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana

alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian

peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,

epidemi. dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi

konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.5

Sedangkan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB,

2008) bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh

faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian

harta benda, dan dampak psikologis. Bencana itu sendiri dapat diklasifikasikan

menjadi 2 kategori : bencana alam atau lingkungan dan bencana yang terjadi karena

ulah manusia atau ciptaannya (tekonologi), (Gustin, 2005: 61).


Bencana alam meliputi seperti angin puyuh, tornado, banjir, serta gempa bumi.

Sementara contoh lain dari bencana yang disebabkan oleh ulah manusia atau

inciden teknologi meputi kecelakan material, kecelakaan radiologi, kecelakaan

transportasi, peledakan bom serta kegagalan listrik.

2.2. Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan bukan lagi menjadi istilah yang asing bagi kita. Istilah ini kerap

dikaitkan dengan peristiwa bencana. Kesiapsiagaan (preparedness) adalah setiap

aktivitas sebelum terjadi bencana yang bertujuan untukmengembangkan kapabilitas

operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi (Heru

Susetyo, 2006:1). Nick Carter (Deny Hayati, dkk, 2006: 5) memaparkan setiap

aktifitas bencana yang dilakukan merupakan upaya terpadu seluruh elemen dalam

masyarakat, termasuk masyarakat sebagai individu. Setiap elemen secara terpadu

dan terorganisir bersama-sama mengupayakan untuk dapat merespon bencana

dengan efektif, tepat guna dan berdaya guna. UNISDR (Dheny Prasetyo

danFlorensia Malau (ed), (2013: 7) menjelaskan kesiapsiagaan adalah

upayamengembangkan pengetahuan dan kapasitas pemerintah, lembaga,

masyarakat dan perorangan dalam mengantisipasi, merespon dan pulih secara

efektif dari dampak-dampak peristiwa atau kondisi bencana yang mungkin ada,

segera ada atau saat ini ada. Sedangkan Achmad Jaelani (2008:53) menjelaskan

bahwa kesiapsiagaan mencakup upaya-upaya yang memungkinkan pemerintah,

masyarakat dan individu merespon secara cepatsituasi bencana secara efektif

dengan menggunakan kapasitas sendiri

Berdasarkan pemikiran para ahli dalam pemaparan di atas dapat diketahui

bahwa kesiapsiagaan merupakan tindakan yang dilakukan pada masa pra bencana.

Kesiapsiagaan bencana merupakan kepentingan semua lembaga, masyarakat dan

individu. Masing-masing komponen dalam stakeholders memiliki peran yang berbeda

dan harus dipadukan untuk dapat mencapai kesiapsiagaan secara menyeluruh.

Artinya, setiap lembaga dan masyarakat memiliki kewajiban dan peran dalam

menanggulangi bencana dan menyiapkan diri untuk dapat menghadapi bencana


dengan cepat dan tepat. Tidak hanya lembaga dan masyarakat secara komunitas

saja, akan tetapi individu pun juga harus menyiapkan diri mereka sendiri. Setiap

individu harus mampu mengetahuai dan mampu melakukan tindakan-tindakan dalam

merespon bencana. Dari pendapat para ahli tersebut, penulis membatasi pengertian

kesiapsiagaan sebagai upaya yang dilakukan pada masa pra bencana yang

memungkinkan pemerintah, organisasi, masyarakat maupun individu untuk dapat

menghadapi bencana yang mungkin akan terjadi dengan cara cepat dan tepat.

2.3. Status Keadaan Darurat Bencana

Status Keadaan Darurat Bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh

Pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi lembaga yang diberi

tugas untuk menanggulangi bencana yang dimulai sejak status siaga darurat,

tanggap darurat, dan transisi darurat ke pemulihan.

2.4. Status Siaga Darurat Bencana

Status Siaga Darurat Bencana adalah keadaan terdapat potensi bencana,

yang merupakan peningkatan eskalasi ancaman yang penentunya didasarkan atas

hasil pemantauan yang akurat oleh instansi yang berwenang dan juga

mempertimbangkan kondisi nyata/dampak yang terjadi di masyarakat. Penetapan

status siaga darurat bencana dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah atas

usulan kepala BNPB/BPBD.

2.5. Status Tanggap Darurat Bencana

Status Tanggap Darurat Bencana adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak

buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,

harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan pengurusan pengungsi,

penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

2.6. Status Transisi Darurat Bencana ke Pemulihan


Status Transisi Darurat Bencana ke Pemulihan adalah keadaan dimana

penanganan darurat bersifat sementara/permanen (berdasarkan kajian teknis dari

instansi yang berwenang) dengan tujuan agar sarana prasarana vital serta kegiatan

sosial ekonomi masyarakat segera berfungsi, yang dilakukan sejak berlangsungnya

tanggap darurat sampai dengan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi dimulai.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Definisi dan Jenis Bencana

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik

oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian

harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana

disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana

alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian

peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,

epidemi. dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan

oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang

meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.5

3.2.Tahapan Bencana

Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu : tahap pra-disaster, tahap

serangan atau saat terjadi bencana (impact), tahap emergensi dan tahap

rekonstruksi. Dari ke-empat tahap ini, tahap pra disaster memegang peran yang

sangat strategis.

a. Tahap Pra-Disaster
Tahap ini dikenal juga sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya mulai

saat sebelum terjadi bencana sampai tahap serangan atau impact. Tahap ini

dipandang oleh para ahli sebagai tahap yang sangat strategis karena pada tahap

pra bencana ini masyarakat perlu dilatih tanggap terhadap bencana yang akan

dijumpainya kelak. Latihan yang diberikan kepada petugas dan masyarakat akan

sangat berdampak kepada jumlah besarnya korban saat bencana menyerang

(impact), peringatan dini dikenalkan kepada masyarakat pada tahap pra

bencana.

b. Tahap Serangan atau Terjadinya Bencana (Impact phase)

Pada tahap serangan atau terjadinya bencana (Impact phase) merupakan

fase terjadinya klimaks bencana. Inilah saat-saat dimana, manusia sekuat

tenaga mencoba ntuk bertahan hidup. Waktunya bisa terjadi beberapa detik

sampai beberapa minggu atau bahkan bulan. Tahap serangan dimulai saat

bencana menyerang sampai serang berhenti.

c. Tahap Emergensi

Tahap emergensi dimulai sejak berakhirnya serangan bencana yang

pertama.Tahap emergensi bisa terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan.

Pada tahap emergensi, hari-hari minggu pertama yang menolong korban

bencana adalah masyarakat awam atau awam khusus yaitu masyarakat dari

lokasi dan sekitar tempat bencana.

Karakteristik korban pada tahap emergensi minggu pertama adalah : korban

dengan masalah Airway dan Breathing (jalan nafas dan pernafasan), yang sudah

ditolong dan berlanjut ke masalah lain, korban dengan luka sayat, tusuk,

terhantam benda tumpul, patah tulang ekstremitas dan tulang belakang, trauma

kepala, luka bakar bila ledakan bom atau gunung api atau ledakan pabrik kimia

atau nuklir atau gas. Pada minggu ke dua dan selanjutnya, karakteristik korban

mulai berbeda karena terkait dengan kekurangan makan, sanitasi lingkungan

dan air bersih, atau personal higiene. Masalah kesehatan dapat berupa sakit

lambung (maag), diare, kulit, malaria atau penyakit akibat gigitan serangga.

d. Tahap Rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal, sarana umum seperti

sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan warga. Pada tahap

rekonstruksi ini yang dibangun tidak saja kebutuhan fisik tetapi yang lebih utama

yang perlu kita bangun kembali adalah budaya. Kita perlu melakukan

rekonstruksi budaya, melakukan re-orientasi nilai-nilai dan norma-norma hidup

yang lebih baik yang lebih beradab. Dengan melakukan rekonstruksi budaya

kepada masyarakat korban bencana, kita berharap kehidupan mereka lebih baik

bila dibanding sebelum terjadi bencana. Situasi ini seharusnya bisa dijadikan

momentum oleh pemerintah untuk membangun kembali Indonesia yang lebih

baik, lebih beradab, lebih santun, lebih cerdas hidupnya lebih memiliki daya

saing di dunia internasional.

3.3. Definisi Manajemen Bencana

Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan manajemen

bencana (disaster management) adalah serangkaian upaya yang meliputi

penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan

pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.7

Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami pergeseran

paradigma dari pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik

(menyeluruh). Pada pendekatan konvensial bencana itu suatu peristiwa atau

kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan

pertolongan, sehingga manajemen bencana lebih fokus pada hal yang bersifat

bantuan (relief) dan tanggap darurat (emergency response). Selanjutnya

paradigma manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan pengelolaan

risiko yang lebih fokus pada upaya-upaya pencegahan dan mitigasi, baik yang

bersifat struktural maupun non-struktural di daerah-daerah yang rawan terhadap

bencana, dan upaya membangun kesiap-siagaan.

Sebagai salah satu tindak lanjut dalam menghadapi perubahan paradigma

manajemen bencana tersebut, pada bulan Januari tahun 2005 di Kobe-Jepang,

diselengkarakan Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference


on Disaster Reduction) yang menghasilkan beberapa substansi dasar dalam

mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan

lingkungan. Substansi dasar tersebut yang seanjutnya merupakan lima prioritas

kegiatan untuk tahun 2005‐2015 yaitu: 7

1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun

daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat.

2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencanaserta menerapkan

sitem peringatan dini

3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan membangun kesadaran

kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua

tingkat masyarakat.

4. Mengurangi faktor‐faktor penyebab risiko bencana.

5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan

masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif

3.4. Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana

Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan

penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, tahap tanggap darurat, dan

tahap pascabencana.9

1. Pada Pra Bencana

Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :

a. Situasi Tidak Terjadi Bencana

Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang

berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu

tidak menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan

penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :

 perencanaan penanggulangan bencana;

 pengurangan risiko bencana;

 pencegahan;
 pemaduan dalam perencanaan pembangunan;

 persyaratan analisis risiko bencana;

 pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;

 pendidikan dan pelatihan; dan

 persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

b. Situasi Terdapat Potensi Bencana

Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan:

 Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian

serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.5

 Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan

pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat

tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh

lembaga yang berwenang5.

 Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk

mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik

maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi

ancaman bencana.

Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi

stakeholder, oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.

2. Tahap Tanggap Darurat

Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk

yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,

harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan,

pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat

meliputi:

a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber

daya dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah


korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi

pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam

maupun buatan.

b. penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan status darurat

bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana.

c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, dilakukan dengan

memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang

terjadi pada suatu daerah melalui upaya pencarian dan penyelamatan

korban, pertolongan darurat, dan/atau evakuasi korban.

d. pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan kebutuhan air

bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan

psikososial; dan penampungan dan tempat hunian.

e. perlindungan terhadap kelompok rentan, dilakukan dengan memberikan

prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi,

pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial. Kelompok rentan yang

dimaksud terdiri atas bayi, balita, anak-anak, ibu yang sedang mengandung

atau menyusui;, penyandang cacat, dan orang lanjut usia.

f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

Tahap tindakan dalam tanggap daruratdibagi menjadi dua fase yaitu fase

akut dan fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut

fase penyelamatan dan pertolongan medis darurat sedangkan fase sub akut

terjadi sejak 2-3 minggu.

3. Pasca Bencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana

meliputi:
a. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek

pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada

wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau

berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan

masyarakat pada wilayah pascabencana.5

b. Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua

prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik

pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama

tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,

tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat

dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah

pascabencana.5

3.4. Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana

Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No.

24 tahun 2007, yaitu: 5

1. Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah

bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat

dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.

2. prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila

terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan

diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.

3. koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi”

adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang

baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan”

adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor

secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling

mendukung.

4. berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya

guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan

dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang
dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan

penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi

kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya

yang berlebihan.

5. transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi”

adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat

dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas”

adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat

dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.

6. Kemitraan

7. Pemberdayaan

8. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah

bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan

yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa

pun.

9. Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang

menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana,

terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

3.5 Asas-asas Dalam Penanggulangan Bencana

Penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007

berasaskan:

1. kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi

dalam penanggulangan bencana sehingga undang-undang ini memberikan

perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan

martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan” adalah bahwa setiap materi

muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan

keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

3. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Yang dimaksud

dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah


bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh

berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara lain, agama, suku,

ras, golongan, gender, atau status sosial.

4. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang dimaksud dengan “asas

keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam

penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial

dan lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa

materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan

keselarasan tata kehidupan dan lingkungan. Yang dimaksud dengan ”asas

keserasian” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan

bencana mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial

masyarakat.

5. ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud dengan “asas ketertiban

dan kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam

penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam

masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah bahwa

penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab

bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong.

7. Kelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan “asas kelestarian

lingkungan hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam

penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan untuk

generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi kepentingan

bangsa dan negara.

8. ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan “asas ilmu

pengetahuan dan teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan

bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara

optimal sehingga mempermudah dan mempercepat proses

penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi

bencana, maupun pada tahap pasca bencana


3.5. Pendekatan Manajemen Penanggulangan Bencana

Manajemen bencana yang komprehensif didasarkan pada empat

komponen: mitigasi, kesiapsiagaan, cepat tanggap dan pemulihan (Coppola,

2007: 8). Meskipun berbagai terminologi sering digunakan dalam

menggambarkan empat hal tersebut, manajemen bencana secara efektif

memanfaatkan setiap komponen dalam cara berikut:

1. MITIGASI

Merupakan usaha-usaha untuk mengurangi atau menghilangkan bahaya.

Mitigasi berusaha untuk "mengobati" bahaya yang mempengaruhi

masyarakat untuk tingkat yang lebih rendah. Mitigasi bencana

merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak

utama dari manajemen bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu

mengurangi atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul,

maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana,

yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman Dapat dikatakan bahwa

mitigasi merupakanupaya yang dilakukan untuk mengurangi resiko

bahaya untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan.

2. KESIAPSIAGAAN

Merupakan usaha-usaha untuk memperlengkapi orang-orang yang

mungkin terkena dampak oleh bencana atau yang mungkin dapat

membantu mereka yang terkena dampak dengan alat untuk

meningkatkan kesempatan mereka untuk bertahan hidup dan untuk

meminimalkan kerugian keuangan dan lainnya. Jika melihat pengertian


diatas, kesiapsiagaanmerupakan sebuah aksi dalam menghadapi

bencana yang dilakukan untuk menghadapi respon dan konsekuensi dari

terjadinya sebuah bencana. Kesiapsiagaan berbeda dengan mitigasi,

walaupun kedua tahapan tersebut beradapa dalam ruang lingkup yang

sama yaitu, pra bencana.Yang membedakanadalah bahwa

kesiapsiagaan merupakan tindakan dimana setiap individu akan yang

terkena bencana mengetahui apa yang harus dikerjakan sebagai

tindakan utama dalam menghadapi bencana. Semetara mitigasi

perupakan persiapan atau usaha yang dilakukan untuk mengurangi

dampak bencana.

3. TANGGAP DARURAT

Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang digunakan

dgn segera pada saat kejadian bencana utk menangani dampak buruk

yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelematan dan evakuasi

korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,

pengurusan pengungsi, penyelematan serta pemulihan sarana dan

prasarana.

4. PEMULIHAN
Pemulihan adalahserangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi

masyarakatdan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan

memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, sarana dengan

melakukan upaya rehabilitasi.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Simpulan
Indonesia merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan

manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan terencana.

Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan


kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan

pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen bencana di

mulai dari tahap pra bencana, tahap tanggap darurat, dan tahap pasca

bencana.

Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk

meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan

bencana menggunakan prinsip triage.

4.2. Saran
Masalah penanggulangan bencana tidak hanya menjadi beban pemerintah

atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga diperlukan dukungan dari

masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap lapisan dapat ikut

berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana.

Anda mungkin juga menyukai