Anda di halaman 1dari 36

[Company name]

[Document
title]
[Document subtitle]

Nabila Afifah
[Date]
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT


atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga peulis dapat
menyelesaikan penulisan buku yang berjudul
“Menyempurnakan Kata Ulang”.

Adapun penulisan buku ini disusun untuk


memenuhi tugas bahasa Indonesia. Dalam penyusunan
buku ini penulis banyak mendapatkan dukungan, bantuan,
serta saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesepatan ini saya ingin menyampaikan terimakasih
kepada Dra. Maida Turnip, M.Hum selaku dosen
pengampu, dan Kedua orang tua saya yang selalu
meberikan doa dan dukungan.
Karena kebaikan semua pihak yang telah penulis
sebutkan tadi maka penulis menyelesaikan tugas
penulisan buku ini dengan sebaik-baiknya. Penulisan
buku ini memang masih jauh dari kata sempurna, tetapi
penulis sudah mengerjakan sebaik mungkin. Semoga
buku ini bermanfaat kedepannya. Demikian terima kasih.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................ 1


SEJARAH EJAAN BAHASA INDONESIA....................... 3
1. Ejaan van Ophuijsen (1901-1947) .............................. 6
2. Ejaan Repoeblik atau Ejaan Soewandi (1947–1956) .. 8
3. Ejaan Perubahan (1956-1961) ................................... 12
4. Ejaan Melindo (1961-1967) ...................................... 15
5. Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan Kasusastraan (LBK)
(1967-1972)....................................................................... 17
6. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (1972-
2015) ................................................................................. 19
7. Ejaan Bahasa Indonesia (2015-sekarang) ................. 21
MAKNA LOGO .................................................................. 24
MENYEMPURNAKAN KATA ULANG .......................... 26
ASYIKNYA MENGGAMBAR .......................................... 30
AKU BUKAN MATA DUITAN ......................................... 32
DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 34
SEJARAH EJAAN BAHASA INDONESIA

Ejaan Bahasa Indonesia mengalami perubahan


dalam kurun waktu 114 tahun, yakni dari tahun 1901
hingga tahun 2015. Pada tahun 1901 merupakan tonggak
awal perubahan ejaan dalam Bahasa melayu (Bahasa
Indonesia). Pembaharuan ejaan tersebut sebagai imbas
gerakan pembaruan ejaan yang telah dilakukan lebih dari
31 bahasa modern sejak awal abad ke-19. Pembaruan
ejaan (spelling reform) adalah tindakan untuk
memperbaiki sistem ejaan dengan membuatnya lebih
menggambarkan fonem yang ada dalam suatu bahasa.
Pembaruan ejaan sangat penting karena ejaan merupakan
salah satu kaidah bahasa, terutama dalam bahasa tulis,
yang harus dipatuhi oleh pemakai bahasa demi
keteraturan dan keseragaman bentuk. Keteraturan tersebut
akan berimplikasi pada ketepatan dan kejelasan makna.

Pembaharuan ejaan dalam bahasa Indonesia


mengalami tujuh kali perubahan seiring perubahan
kebijakan pemerintah. Pembaharuan ejaan juga dilakukan
karena kebutuhan pemakai bahasa Indonesia. Perubahan
ini dilandasi untuk memperkokoh jati diri bahasa
Indonesia.

Bahasa Indonesia merupakan varian dan


pengembangan dari bahasa Melayu yang telah digunakan
sejak abad ke-7 tidak hanya di Nusantara, tetapi hampir di
seluruh di Asia Tenggara. Bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia, yakni menjadi bahasa persatuan pada saat
deklarasi Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dan
diakui secara yuridis pada 18 Agustus 1945 melalui UUD
1945 (Samsuri, 1985:14). Pada awal abad ke-20, bahasa
Melayu terpecah menjadi dua. Indonesia di bawah
Belanda menggunakan Ejaan van Ophuijsen pada tahun
1901, sedangkan Malaysia di bawah Inggris
menggunakan ejaan Wilkinson pada tahun 1904.

Sejarah ejaan bahasa Indonesia diawali dengan


ditetapkannya Ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini dengan
menggunakan huruf Latin dan sistem ejaan bahasa
Belanda yang rancang oleh Charles A. van Ophuijsen.
Dalam pelaksanaannya, Ch. van Ophuijsen mendapat
bantuan dari Engku Nawawi dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim. Dengan adanya perubahan pada sisem
ejaan, maka ejaan bahasa Melayu yang pada awalnya
menggunakan aksara Arab Melayu (abjad Jawi) berubah
menjadi aksara Latin.

Sebelum kemerdekaan, ejaan yang diberlakukan


adalah Ejaan van Ophuijsen yang diresmikan pada 190.
Ejaan ini berlaku sampai dengan tahun 1947. Setelah
kemerdekaan, bahasa Indonesia mengalami enam kali
perubahan ejaan, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi
(1947− 1956), Ejaan Pembaharuan (1956− 1961), Ejaan
Melindo (1961− 1967), Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan
Kasusastraan (LBK) (1967− 1972), Ejaan yang
Disempurnakan (EYD) (1972− 2015), dan Ejaan Bahasa
Indonesia (EBI) (2015 sampai sekarang).

Perubahan ejaan bahasa Indonesia ini


dilatarbelakangi oleh dampak kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni yang telah menyebabkan
penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah
pemakaian, baik secara tulis maupun tulisan, menjadi
semakin luas. Di samping itu, perubahan ejaan bahasa
Indonesia diperlukan karena untuk memantapkan fungsi
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara juga menjadi
alasan dilakukannya perubahan (Karyati, 2016: 175).

Dari perubahan-perubahan tersebut terdapat tiga


sistem ejaan yang tidak sempat diberlakukan, yaitu Ejaan
pembaharuan, Ejaan Melindo, dan Ejaan LBK.
Perubahan-perubahan tersebut akan dijabarkan sebagai
berikut.

1. Ejaan van Ophuijsen (1901-1947)

Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu


terpecah menjadi dua. Indonesia di bawah
Belanda menggunakan Ejaan van Ophuijsen pada
tahun 1901, sedangkan Malaysia di bawah Inggris
menggunakan ejaan Wilkinson pada tahun 1904.

Ejaan van Ophuijsen dimulai pada tahun


1896 dan diawali dari penyususnan Kitab Logat
Melayu yang diperkasai oleh Charles A. van
Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer
dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan
tersebut diberi nama Ejaan van Ophuijsen atau
Ejaan Balai Pustaka. Dinamakan Ejaan van
Ophuijsen karena yang membuat adalah Charles
van Ophuijsen. Ejaan tersebut banyak mengalami
perubahan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun
1926 mendapat bentuk yang tetap. Ejaan van
Ophuijsen digunakan selama 46 tahun. Ejaan ini
baru diganti setelah dua tahun Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya. Berikut
beberapa sistem kaidah Ejaan van Ophuijsen.

Table 1. Ejaan van Ophuijesen

Huruf y Ditulis j
Saying Sajang
Saya Saja
Huruf u Ditulis oe
Umur oemoer
Sempurna sempoerna
Huruf j Ditulis dj
Jangan djangan
Jarum djaroem
Huruf c Ditulis tj
Cara Tjara
Cucu Tjoetjoe
Huruf kh Ditulis ch
Ikhlas Ichlas
Ikhtiar Ichtiar
Huruf k pada akhir kata atau suku kata ditulis
dengan tanda koma atas (‘)
Maklum Ma’loem
Rakyat Ra’yat
Ejaan Latin untuk bahasa Melayu mulai
ditulis oleh Pigafetta, selanjutnya oleh de
Houtman, Casper Wiltens, Sebastianus
Dancaert, dan Joannes Roman. Setelah tiga
abad kemudian ejaan ini baru mendapat
perhatian dengan ditetapkannya Ejaan van
Ophuijsen pada tahun 1901.

2. Ejaan Repoeblik atau Ejaan Soewandi (1947–


1956)

Penggunaan Ejaan Repoeblik atau Ejaan


Soewandi bertujuan untuk menyempurnakan Ejaan
van Ophuijsen yang dibicarakan dalam kongres
Bahasa Indonesia I, tahun 1938 di Solo. Hasil
Kongres menyebutkan bahwa Ejaan van Ophuijsen
untuk sementara waktu masih dapat digunakan,
tetapi karena mengingat kehematan dan
kesederhanaan, perlu dipikirkan perubahannya
(Muslich, 2010:160). Sembilan tahun kemudian,
harapan Kongres Bahasa Indonesia tersebut baru
terwujud, yakni dengan adanya Putusan Menteri
Pengadjaran Pendidikan dan Kebudajaan pada 15
April 1947 tentang perubahan ejaan baru.
Perubahan ejaan baru tersebut tertuang dalam surat
keputusan dengan No. 264/ Bhg. A/47 yang berisi
perubahan ejaan bahasa Indonesia agar lebih
sederhana. Ejaan baru ini dikenal dengan nama
Ejaan Soewandi yang diresmikan pada 19 Maret
1947. Berikut adalah perubahan dalam Ejaan
Soewandi.

Tabel 2. Ejaan Soewandi

Pasal Edjaan van Edjaan Keterangan


Ophuijsen Soewandi
1 a A ha, an, nah, Ahmad, hawa,
naskah
2 i ai hai, air, kail, pakai, pakian,
mulai disukai, mengenai
Dalam kata-kata mulai,
disukai, mengenai (mula,
suka, kena, dengan achiran
i) tak oesah dinjatakan titik
doea diatas hoeroef i
3 au au kau, engkau, tembakau,
gurau, lampau.
Berhoeboeng dengan pasal
19 au djoega akan dipakai
oentoek menggantikan aoe,
misalnja, kaum, laut, saur,
pauh, amu, bau (titik dua di
atas u ta’ dipakai, seperti
pada i djoega; lihat pasal 2)
4 B B batoe, baboe, sebab, nasib,
lembab
5 D D di, dik, dari, ahad, tekad,
Ahmad
6 Dj dj djoega, hoedjan, djandji
7 E E emas, soember, sate, tauge,
heran. Tanda-tanda diatas e
dalam praktik (soerat-
menjoerat, tik dan tjetak)
memang soedah banyak
dihapoeskan
8 G G gelang, gampang, balig
9 H H ha, ah, tahoen, tahan
10 I I ia, ilmu, kail, hasil
11 J J ja, saja, jakin, sajang
12 K K kami, anak, soekar
13 L L lama, hal, laloe
14 M m moe, kamoe, mau, mandi,
kolam
15 N n tani, nikmat, nenas, teman
16 Ng ng telinga, loebang, lengang
17 Nj nj njaman, anaknja, mengenja
18 O o oleh, bohong
19 Oe u guru, mau, laut (lihat pasal
3)
20 P p oepa, asap, pasir
21 R r baroe, rasa, pasar
22 S s bisa, soedah, basah, balas
23 T t satoe, toean, patah, koeat
24 Tj tj tjerita, tjertja, tjemburu,
tjukur. Katjang
25 W w sewa, wakil, kawan
26 Boenji hamzah selaloe ditulis dengan k pada achir soekoe,
misalnja, tak, rakjat, tidak, makna
27 Oelangan boleh ditoelis dengan angka doea (2), tetapi
haroes diperhatikan bagaimana jang dioelang itoe,
misalnja boekoe-boekoe, sekali-sekali, sekali-kali,
mudah-mudahan, berhoeboeng-hoeboengan, perlahan-
lahan, loekisan-loekisan, loekis-loekisan
28 Kata-kata baroe Bahasa Indonesia tidak oesah mendapat
pepet, misalnja: praktik (boekan peraktek), administrasi
(boekan administerasi), gledek (boekan geledek), stang
(boekan setang). Kata-kata lain jang e pepetnja
dihilangkan, ditetapkan dalam kamoes.
Beberapa perubahan penting dalam Ejaan
Soewandi adalah di pada diatas tidak dipisahkan.
Huruf oe diganti menjadi u. Misalnya, kata toetoep
menjadi tutup. Bunyi sentak diganti dengan huruf k.
Misalnya, rak’yat menjadi rakyat. Kata ulang boleh
ditulis dengan angka dua dengan pengulangan pada
kata dasarnya, misalnya, bermain-main menjadi
ber-main2. Tanda trema dihilangkan. Contohnya,
kata ta𝑎̈ t menjadi taat. Huruf e tidak dibedakan
sehingga tidak perlu adanya garis pada bagian atas
huruf. Contohnya, kata beras, sejuk, bebas dan
merah. Kosakata yang dalam bahasa sumber-nya
tidak memakai pepet, maka dalam kosakata bahasa
Indonesia juga tidak memakai pepet. Contohnya,
sastera menjadi sastra.

3. Ejaan Perubahan (1956-1961)

Pada tahun 1954 diadakan Kongres Bahasa


Indonesia II di Medan. Kongres ini diprakarsai oleh
Menteri Moehammad Yamin. Kongres ini
membicarakan perubahan sistem ejaan. Beberapa
keputusan Kongres adalah (1) ejaan
menggambarkan satu fonem dengan satu huruf, (2)
ejaan ditetapkan oleh badan yang kompeten, dan (3)
ejaan tersebut hendaknya praktis dan ilmiah. Oleh
karena itu, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan
Kebudayaan mengeluarkan surat keputusan pada 19
Juli 1956 bernomor 44876/S tentang pembentukan
panitia perumus ejaan baru. Panitia ini diketuai oleh
Priyono-Katoppo. Setelah bekerja selama setahun,
Badan yang dibentuk oleh Menteri berhasil
merumuskan patokan-patokan baru pada tahun
1957. Patokan-patokan tersebut terumus dalam
Ejaan Pembaharuan.

Ejaan Pembaharuan dimaksudkan untuk


menyempurnakan ejaan Soewandi. Ejaan
Pembaharuan membuat pedoman satu fonem
dengan satu huruf. Misalnya, kata menyanyi dalam
ejaan Soewandi ditulis menjanji menjadi meñañi
dalam ejaan Pembaharuan. Selain itu, berdiftong ai,
au, dan oi diucapkan menjadi ay, aw, dan oy.
Misalnya, kerbau menjadi kerbaw, sungai menjadi
sungay dan koboi menjadi koboy. Namun
sayangnya, ejaan ini tidak jadi diresmikan sehingga
belum pernah diberlakukan. Perubahan ejaan itu
tampak pada tabel di bawah ini.

Table 3. Ejaan Pembaharuan

No Gabungan konsonan Menjadi


1. dj j
2, tj Ts
3. ng ŋ
4. nj ń
5. sj š

Pada tabel di atas terlihat penyederhanaan


ejaan, yakni huruf yang berupa gabungan konsonan
disederhanakan menjadi satu huruf tunggal. Namun,
sistem E jaan Pembahar uan memiliki kelemahan,
yakni sulitnya menulis huruf ŋ, ń, dan š bila menulis
menggunakan mesin ketik karena pada mesin ketik
tidak ada tuts huruf ŋ, ń, dan š. Oleh karena itu,
sistem ejaan tersebut sangat menyulitkan bagi
penggunanya.
4. Ejaan Melindo (1961-1967)

Ejaan Melindo adalah sistem ejaan Latin


yang termuat dalam Pengumuman Bersama
Edjaan Bahasa Melayu-Indonesia (Melindo)
sebagai hasil usaha penyatuan sistem ejaan dengan
huruf Latin di Indonesia dan Persekutuan Tanah
Melayu. Keputusan ini dilakukan dalam
Perjanjian Persahabatan Indonesia dan Malaysia
pada tahun 1959.

Pengupayaan perubahan ini karena pada


akhir tahun 1950-an para pemakai ejaan Ejaan
Republik mulai merasakan kelemahan ejaan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya kosakata
yang menyulitkan dalam penulisannya, yakni
adanya satu fonem yang dilambangkan dengan
dua huruf, misalnya, dj, tj, sj, ng, dan ch. Oleh
karena itu, agar tidak menyulitkan dalam
penulisannya, para pakar bahasa menghendaki
satu lambang untuk satu bunyi. Di samping karena
faktor internal kelemahan sistem ejaan Republik,
juga karena adanya amanah dari hasil Kongres
Bahasa Indonesia II di Medan (1954). Perubahan
yang terjadi antara lain sebagai berikut.

Table 4. Ejaan Melindo

Ejaan Indonesia Ejaan Malaysia Sejak tahun 1972


(sebelum 1972) (sebelum 1972)
tj ch c
dj j j
ch kh kh
nj ny sy
sj sh sy
j y y
oe* u u

Pembaharuan ejaan tersebut menghasilkan


satu fonem dilambangkan dengan satu huruf.
Misalnya, huruf diganti menjadi dj, huruf diganti
menjadi j, huruf tj menjadi c, huruf ng menjadi η,
dan huruf nj menjadi konsep bersama itu
memperlihatkan bahwa satu bunyi bahasa
dilambangkan dengan satu huruf. Salah satu
lambang itu adalah huruf j sebagai pengganti dj,
huruf c sebagai pengganti huruf tj, huruf η sebagai
pengganti ng, dan huruf ή. Berikut adalah
pemakaiannya.

Table 5. Perubahan Ejaan Soewandi menjadi Ejaan Melindo

No Ejaan Soewandi Ejaan Melindo


1. Sedjadjar Sejajar
2. Mentjutji Mencuci
3. Menganga meηaηa
4. Berjanji berήaήi

Rencana peresmian ejaan bersama pada


1962 tersebut gagal karena terdapat beberapa
kesulitan teknis penulisannya dan adanya
konfrontasi Indonesia dengan Malaysia.

5. Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan


Kasusastraan (LBK) (1967-1972)

Pada tahun 1967 Lembaga Bahasa dan


Kesusastraan (sekarang bernama Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa)
mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan ini
merupakan kelanjutan dari upaya yang sudah
dirintis oleh panitia Ejaan Melindo. Para
pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia
Ejaan LBK, juga dari panitia ejaan dari Malaysia.
Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep
ejaan yang kemudian diberi nama Ejaan Baru.
Panitia itu bekerja atas dasar surat keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal
19 September 1967 No.062/67. Menteri P dan K
saat itu bernama Sarino Mangunpranoto.
Perubahan yang terdapat dalam Ejaan Baru
(Ejaan LBK) adalah huruf tj diganti c, j diganti y,
nj diganti ny, sj diganti sy, dan ch diganti kh. Huruf
asing seperti z, y, dan f disahkan menjadi ejaan
bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
pemakaian yang sangat produktif. Huruf e tidak
dibedakan pepet atau bukan, alasannya tidak
banyak kata yang berpasangan dengan variasi
huruf yang menimbulkan salah pengertian. Pada
intinya, hampir tidak ada perbedaan berarti di
antara ejaan LBK dan EYD, kecuali pada rincian
kaidah-kaidah saja. Namun, ejaan ini juga tidak
sempat diresmikan karena menimbulkan reaksi
dari publik karena dianggap meniru ejaan
Malaysia, serta keperluan untuk mengganti ejaan
belum benar-benar mendesak.

6. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan


(1972-2015)

Ejaan Soewandi berlaku sampai tahun 1972


yang kemudian digantikan oleh Ejaan yang
Disempurnakan (EYD) pada masa menteri
Mashuri Saleh. Pada 23 Mei Menteri Pelajaran
Malaysia, Tun Hussein Onn, dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri
Saleh, menandatangani pernyataan bersama
tentang Ejaan Baru dan Ejaan yang
Disempurnakan. Sebagai menteri, Mashuri
menandai pergantian ejaan itu dengan mencopot
nama jalan yang melintas di depan kantor
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dari
tulisan Djl. Tjilatjap menjadi Jl. Cilacap.
Pada tanggal 16 Agustus 1972, sistem ejaan
Latin dan bahasa Indonesia mulai berlaku
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 tahun
1972. Ejaan baru bersama di Malaysia dikenal
dengan nama Ejaan Rumi Bersama (ERB).
Sementara itu, di Indonesia dikenal dengan nama
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
(EYD). EYD resmi berlaku pada tanggal 17
Agustus 1972 berdasarkan pidato kenegaraan
ketika memperingati hari Kemerdekaan Republik
Indonesia yang ke-27. EYD ditetapkan oleh
Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972,
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menerbitkan buku “Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” dengan
penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas.
Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 Nomor
0196/U/1975 memberlakukan “Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”
dan “Pedoman Umum Pembentukan Istilah”.
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
(EYD) mengalami perubahan, yakni EYD Edisi I
(1972− 1987), EYD Edisi II (1987− 2009), dan
EYD Edisi III (2009− 2015).

7. Ejaan Bahasa Indonesia (2015-sekarang)

Setelah 43 tahun, yakni dari 1972 sampai


dengan 2015, terjadi perubahan ejaan lagi, yakni
perubahan dari Ejaan yang Disempurnakan (EYD)
menjadi Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Perubahan
ini terjadi pada masa pemerintahan Joko Widodo
dan Anis Baswedan sebagai Menteri Pendidikan
dan Kebudaan Republik Indonesia. Dengan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015, EBI
diresmikan pada tanggal 26 November 2015 di
Jakarta. Pada tanggal 30 November 2015, EBI
diundangkan di Jakarta dengan ditandatangani
oleh Direktur Jendral Peraturan Perundang-
undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Widodo Ekatjahjana. Berita acara
salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia ditandatangani
oleh Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Aris
Soviyani (Kemendikbud, 2016: vi−vii).
Penetapan Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan tentang Pedoman Umum
EjaanBahasa Indonesia termuat dalam Pasal 1 (1)
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
dipergunakan bagi instansi pemerintah, swasta,
dan masyarakat dalam penmggunaan bahasa
Indonesia secara baik dan benar; (2) Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 2
berbunyi “Pada saat Peraturan Menteri ini mulai
berlaku, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Pasal 3
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan, yakni pada tanggal 30 November
2015. Ketetapan tersebut ditandatangani oleh
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Widodo Ekatjahjana.
MAKNA LOGO

Halo kawan! Saya Nabila Afifah Utami, saya akan


memberi tahu kepada kalian tentang makna dari logo
saya. Logo saya adalah sebuah masker yang memiliki
seekor kupu-kupu di pojok kanan atas. Masker yang kita
tahu adalah sebuah benda yang dapat melindungi kita dari
barabaya virus, debu, dan kotoran yang kita hirup. Maka
dari itu, tujuan saya memberi logo masker pada PT saya
karena saya berharap kedepannya PT saya dapat
melindungi banyak orang dari bala bahaya yang akan
dating.

Makna dari seekor kupu-kupu di pojok kanan atas


masker itu karena kupu-kupu melambangkan sebuah
perjuangan. Perjuang kupu-kupu sangat panjang mulai
dari telur, larva, pupa hingga akhirnya menjadi kupu-
kupu. Selain itu, kupu-kupu juga memiliki makna
kebebasan dan cinta.

Dan untuk nama PT saya memberi nama PT tersebut


dari singktan nama kedua Orang Tua saya yaitu
“PEWAN” singkatan dari Pendi Guanawan yaitu nama
ayah saya, dan “DIH” singkatan dari Dian Hanifah yaitu
nama mamah saya. Alasan saya memberi nama tersebut
karena mereka adalah tujuan saya untuk sukses hingga
bisa membuat PT ini.
MENYEMPURNAKAN KATA ULANG

Kata ulang adalah kata dasar yang mengalami


pengulangan (reduplikasi), hingga membentuk makna
yang berbeda. Menurut ahli bahasa, kata ulang dibagi
menjadi empat jenis, yakni: kata ulang utuh, kata ulang
utuh berubah bunyi, kata ulang sebagian, dan kata ulang
berimbuhan. Adapun pengertian dari keempat jenis kata
ulang dan penulisannya yang benar menurut Pedoman
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai
berikut.

1. Kata ulang utuh


Kata ulang utuh (dwilingga) adalah jenis kata ulang
yang terjadi pada seluruh kata dasar.

Contoh:

• Di Jakarta, kita melihat gedung-gedung


pencakar langit.
• Sungai-sungai di Yogyakarta mengalir ke
selatan.
• Kantor-kantor selalu libur pada hari
Minggu.

2. Kata ulang utuh berubah bunyi


Ciri kata ulang utuh berubah bunyi (dwilingga salin
suara), dimana bentuk pengulangannya terjadi pada
seluruh kata dasar, namun terdapat fonem (huruf) yang
berubah.
Contoh:

• Orang-orang berjalan hilir-mudik di trotoar.


• Gerak-gerik orang di seberang jalan itu
sangat mencurigakan.
• Pada malam lebaran, orang-orang
mengadakan acara ramah-tamah.

3. Kata ulang sebagian

Ciri kata ulang sebagian (dwipurwa), dimana


bentuk pengulangannya terjadi pada suku awal kata
dasar.
Contoh:

• Seorang lelaki harus berani bertanggung


jawab.
• Tetangga kiri-kanan selalu berkumpul di
rumah ketua RT.
• Kita harus mempelajari petuah leluhur yang
ditulis dalam buku kuno.

4. Kata ulang berimbuhan

Ciri ulang berimbuhan, dimana bentuk


pengulangannya mendapat imbuhan (afiks).

Contoh:

• Anak-anak berkejar-kejaran di
halaman.
• Jangan berlari-larian di dalam rumah!
• Sebelum berkelahi, kedua pemuda itu
bersenggol-senggolan badan.

Catatan:

Di samping empat jenis kata ulang di atas, terdapat


kata ulang semu. Kata ulang yang sejatinya bukan
kata ulang, melainkan kata dasar. Yang termasuk kata
ulang semu, antara lain: kunang-kunang, kura-kura,
biri-biri, ubur-ubur, cumi-cumi, lumba-lumba, panji-
panji, kuda- kuda, dan sebagainya.
ASYIKNYA MENGGAMBAR

Menggambar adalah hobi ku sedari kecil.


Menggambar adalah kegitatan yang mengasyikan, sedari
dulu aku suka menggambar dan mewarnai, meskipun
gambarku tidak sebagus gambar teman-temanku tapi aku
tetap suka menggambar. Karena bagi aku menggambar
sangatlah menyenangkan, walaupun tidak setiap hari juga
aku menggambar tapi menggambar adalah hal yang
paling konsisten yang selalu aku lakukan dari aku kecil
hingga sekrang.
Aku menggambar di saat aku sedang bosan aku
pasti menggambar, tidak peduli hasil gambarku bagus
atau tidak yang penting aku menggambar. Funfact
meskipun aku suka menggambar tapi aku selalu
kesuliatan menggambar manusia yang realistis. Maka dari
itu aku lebih sering menggambar flora, fauna, alam,
benda, dan hal-hal yang berbau abstrak.
Disaat aku menggambar, aku merasa seolah-olah
aku memasuki dunia yang berbeda. Aku bisa melupakan
semua masalah dan stres sejenak, dan fokus sepenuhnya
pada gambar yang sedang aku gambar. Rasanya seperti
healing, di mana pikiran aku menjadi tenang dan terfokus
pada detail-detail kecil yang sedang aku gambar. Hal ini
adalah bentuk pelarian sehat yang aku bangun.
Maka dari itu, sedari dulu aku suka sekali
menggambar karena dengan menggambar aku bisa
melupakan semua yang aku pikirkan dan rasakan, karena
aku hanya terfokus dengan detail-detail gambar yang
sedang aku buat. Jadi gambar adalah hal terasyik yang ada
dihidupku.
AKU BUKAN MATA DUITAN

Aku bukan mata duitan. Uang adalah bagian


penting dalam kehidupan kita. Kita memerlukannya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, untuk mencukupi
kebutuhan keluarga, dan untuk mencapai beberapa
impian. Namun, uang bukanlah segalanya dalam hidupku.

Bagi aku, hidup adalah tentang pengalaman, tentang


belajar, dan tentang berbagi. Aku menempatkan nilai pada
saat-saat berharga yang aku habiskan dengan orang-orang
yang aku cintai. Aku merasa kaya ketika aku bisa
membantu orang lain, memberikan kontribusi pada
masyarakat, dan menjadikan dunia ini tempat yang lebih
baik.

Aku percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat


diukur dengan jumlah uang yang kita miliki. Itu datang
dari rasa puas dengan siapa kita, apa yang kita lakukan,
dan bagaimana kita berkontribusi pada dunia ini. Sebagai
manusia, kita memiliki kapasitas untuk menciptakan
hubungan yang bermakna, membantu sesama, dan
mengembangkan diri. Itulah yang membuat aku merasa
kaya, walaupun aku tidak bisa dianggap mata duitan.

Jadi, meskipun dunia mungkin terkadang terasa


dikuasai oleh keinginan untuk mengumpulkan kekayaan,
ingatlah bahwa tidak semua dari kita adalah mata duitan.
Banyak di antara kita yang mencari makna yang lebih
dalam dalam hidup, yang memberikan nilai pada hal-hal
yang sejati, yang percaya bahwa kebahagiaan tidak selalu
ada dalam saldo bank, tetapi dalam hati dan tindakan kita.
Aku bukan mata duitan, aku adalah manusia yang mencari
arti dalam setiap langkah hidupku.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S. W. (2015). Baku Induk Mahir Bahasa dan

Sastra Indonesia, Pedoman Praktis Menulis

dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Araska

Publisher.

Alwi, H. d. (2023). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.

Badudu, J. S. (1989). Inilah Bahasa Indonesia yang

Benar. Jakarta: Pustaka Setia.

Utami, N. (2023). Menyempurnakan Kata Ulang. Depok:

PT. Pewandih.

Website:

http://PT.PEWANDIH.web.id

Anda mungkin juga menyukai