Anda di halaman 1dari 8

DEFISIENSI VITAMIN B12 PADA PASIEN DENGAN TINITUS KRONIK

DAN GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING (NIHL)


ZECHARIA SHEMESH, MD, JOSEPH ATTIAS, DSc, MICHAL ORNAN, BA, NIVASHAPIRA,
PHD, DAN AMNON SHAHAR, MD

Pendahuluan:
Uji studi insiden defisiensi vitamin B12 pada tiga grup dari subjek terkena bising:
Pasien dengan tinitus kronik dan gangguan pendengaran akibat bising (NIHL) pasien dengan
NIHL saja, dan pasien dengan pendengaran normal.
Metode dan bahan:
Grup dari 113 orang tentara yang terpapar bising pada uji militer. Dengan rata-rata umur 39 tahun.
Tinitus kronik dengan NIHL ada 57 subjek. NIHL sendiri terdapat 29 subjek yang dipantau, dan
terdapat 27 subjek yang memiliki audiogram normal. Semua subjek digali dengan paparan bising
dan pola makan. Kemudian diukur kadar serum vitamin B12.
Hasil:
Pasien dengan tintus dan NIHL berhubungan dnegan defisiensi vitamin B12 sekitar 47% dari kasus
(blood level <250 pg/ml) ini lebih signifikan dibandingkan dengan NIHL dan subjek normal yang
memperlihatkan defisiensi B12 pada 27% dan 19 % tanpa membeda bedakan.
Kesimpulan:
Obsevasi ini menyarankan bahwa defisiensi vitamin B12 mengganggu fungsi dari jalur
pendengaran. Beberapa perbaikan pada tinitus dan terkait keluhan pada 12 pasien yang diobservasi
dengan mengikuti terapi penggantian vitamin B12. Penulis merekomendasikan bahwa penggunaan
rutin B12 akan menentukan kadar serum ketika dievaluasi pada pasien dengan tinitus kronik.

Tinitus kronik dapat menyebabkan gangguan pendengaran abnormal dan menjadi permannen dari
suara endogen tanpa diketahui adanya sumber eksogen. Salah satu faktor yang seringkali
berhubungan pada tinitus, terutama pada subjek muda, merupakan paparan suara bising yang
berbahaya. Patogenesis dari tinitus masih belum jelas. Bagaimanapun, beberapa hasil studi
penelitian dan Observasi klinis menyatakan bahwa terdapat hubungan tinitus pada demielinisasi
serabut saraf terhadap keadaan yang terdistorsi pada saat aktivitas saraf spontan.
Metabolisme, cobalamin termasuk yang menstabilkan aktivitas saraf. Vitamin B12 faktor penting
untuk metilisas protein dasar myelin dan fospolipid membrane sel. Gambaran klinis tertentu pada
defisiensi cobalamin dapat mempengaruhi sistem hematologi, gastrointestinal, dan sistem
saraf.gejala patologis termasuk demyelinisasi, degenerasi akson dan kematian saraf pada akhirnya.
Studi elektro fisiologis pada pasien dengan defisiensi vitamin B12 menunjukan sensori dan
motoric aksonopati, efek yang jelas pada saraf sensori, dan peningkatan waktu pusat konduksi.
Karena defisiensi cobalamin ini menjadi factor yang terlibat dalam disfungsi saraf mungkin ada
hubungan anatara tinitus yang mencerminkan aktivitas saraf abnormal dan kekurangan vitamin
B12.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui insidensi defisiensi vitamin B12 pada tiga grup dari
yang terpapar bising, dimana subjeknya Pasien dengan tinnitus kronik dan gangguan pendengaran
akibat bising (NIHL) pasien dengan NIHL saja , dan subjek yang menunjukkan audiogram normal.
Perbedaan dalam tingkat keparahan tinitus serta sensitivitas pendendengaran diuji dan
dibandingkan antara pasien dengan atau tanpa devisiensi B12. Selain itu efek terapi penggantian
vitamin B12 pada tinitus pada kelompok penderita tinitus defisiensi cobalamin juga dievalasi.
METODE
Kelompok penelitian terdiri dari 11 personel militer yang terpapar kebisingan pada daerah
militer, selama masa tugas mereka, dengan usia rata-rata 39,4 tahun . Tinitus kronis
didefinisikan sebagai tinitus yang berlangsung selama lebih dari 6 bulan dengan frekuensi
yang sering dan atau permanen serta cukup parah sehingga pasien harus pergi ke klinik untuk
mendapatkan pengobatan. Dari 113 subjek, 57 orang menderita tinnitus kronis dan NIHL.
Dua kelompok kontrol disusun termasuk 29 subjek dengan NIHL dan 27 yang memiliki
audiogram normal. Semua subjek kontrol diambil dari kumpulan personel militer yang sedang
menjalani evaluasi pendengaran berkala di institut kami. Setiap subjek menjalani evaluasi
medis yang terperinci termasuk anamnesis tentang paparan bising dan kebiasaan makan oleh
ahli gizi bersertifikat. Perhatian khusus diberikan pada faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap kekurangan cobalamin, seperti asupan yang tidak memadai, gangguan pencernaan,
dan obat-obatan. Selain itu, sampel darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap,
biokimia, tes fungsi tiroid, dan penentuan kadar kobalamin serum dan asam folat. Kadar
kobalamin serum ditentukan dengan metode radio-assay yang menggunakan alat Dualcount
Diagnostic Products Corporation, Los Angeles, CA. Semua tes darah dilakukan di Chaim
Sheba Medical Center, Israel. Penyerapan kobalamin bebas pada pasien dengan defisiensi
kobalamin dievaluasi dengan tes Schilling. Untuk menyingkirkan pasien dengan gangguan
kejiwaan yang berat, semua pasien tinnitus dinilai oleh psikiater dan dinilai dengan skala
Zung untuk depresi. Setelah anamnesis yang mendetail, terutama yang berkaitan dengan
riwayat paparan bising dan pemeriksaan otoskopi, setiap subjek menjalani evaluasi berikut ini:
1. Pemeriksaan audiologi konvensional ambang batas nada murni untuk rentang 0,25
hingga 8 kHz dan tes bicara.
2. Auditory brainstem evoked response (ABR) untuk menyingkirkan lesi retrocochlear.
3. Penilaian tinnitus yang terdiri dari lokalisasi tinnitus, nada tinnitus, kenyaringan
tinnitus dalam tingkat sensasi dB pada frekuensi nada tinnitusnya, dan laporan diri
pada kuesioner tinnitus (TQ).
Sekitar 90% dari semua subjek melaporkan nada tinnitus pada rentang 4 hingga 8 kHz,
dan tingkat kenyaringan tinnitus berkisar antara 0 hingga 6 dB pada tingkat persepsi.
Pengukuran ini diperoleh dengan menggunakan teknik pencocokan. Semua evaluasi
audiologi dilakukan di bilik kedap suara, dengan menggunakan audiometer GSI-16 dan
earphone yang telah dikalibrasi (TDH-49). Pada TQ, subjek diminta untuk memberi
peringkat 10 gejala yang berkaitan dengan berbagai sifat dan masalah yang terkait dengan
tinitus mereka pada skala 15 yang dibagi menjadi tiga tingkat keparahan: ringan, sedang,
dan berat. Akumulasi dari apa yang dirasakan pasien terhadap TQ menghasilkan profil
gejala tinitus. Kuesioner ini sebelumnya telah diterapkan padapenelitian tinnitus.
Kadar kobalamin serum di bawah 250 pg/ml dianggap sebagai defisiensi, kadar 180
hingga 250 pg/ml batas defisiensi, dan kadar di bawah 180 pg/ml sebagai kadar rendah
yang tidak normal atau pasti rendah. Prevalensi defisiensi kobalamin serum dihitung di
antara pasien tinnitus dan dibandingkan dengan dua kelompok terpapar bising tanpa
tinnitus. Perbedaan antara pasien tinnitus dengan dan tanpa defisiensi vitamin Bi2 dalam
sifat audiologis, gejala tinnitus menurut TQ, dan ambang batas pendengaran diperiksa.
Semua pasien tinnitus yang kekurangan kobalamin menerima terapi parenteral vitamin
1.000 qg per ampul seminggu sekali. Terapi diberikan hingga kadar kobalamin serum
meningkat di atas 350 pg/ml dalam sampel darah yang diambil 1 bulan setelah suntikan
terakhir. Dua belas dari pasien yang menyelesaikan terapi dan tidak menggunakan terapi
obat lain selama setidaknya 4 bulan setelah awal terapi dievaluasi kembali untuk
pengujian awal kemungkinan efek terapi kobalamin pada tinitus. Uji T berpasangan dan
tidak berpasangan Student tes serta analisis varians dua arah digunakan untuk penentuan
signifikansi statistik.
HASIL
Vitamin B,2 tingkat kelompok yang terpapar bising dengan dan tanpa tinnitus
dirangkum dalam Gambar 1. Di antara pasien tinnitus dengan NIHL, prevalensi
defisiensi kobalamin (m250 pg/ml) adalah 47%: pada subjek nontinnitus,
kejadiannya adalah 27% pada mereka yang memiliki NIHL dan 19% pada mereka
yang memiliki audio gram normal (Gbr 1). Tes B12 menunjukkan perbedaan
kelompok yang signifikan dalam prevalensi kekurangan vitamin

Gambar 1. Distribusi lavel vitamin B12 pada subjek yang terpapar bising dengan dan tanpa
tinitus.
Tingkatan vitamin B12 pada kelompok yang terpapar bising dan tanpa tinitus di jelaskan
pada Gambar 1. Pasien tinitus dengan NIHL prevalensi defisiensi kobalamin (≤ 250 pg/ml)
sebanyak 47% dengan subjek tanpa tinnitus, insidensi sebanyak 27% pada NIHL dan 19% pada
pasien dengan normal audiogram (gambar 1). menunjukan perbedaan kelompok yang signifikan
pada prevalensi defisiensi vitamin B12 diantara ketiga kelompok (df = 2, 𝑥 2 = 7.5, p< 0.023).
Uji Fisher’s Exact juga signifikan secara statistic (p<0.023). Saat tingkat ambang batas 180
pg/ml digunakan, kejadian defisiensi vitamin B12 pada kelompok tinnitus sebanyak 23%, pada
kelompok NIHL 10%, pada subjek dengan normal audiogram sebanyak 15%. Hasil ini
menunjukkan prevalensi yang tinggi, dengan tingkat keparahan yang lebih pada defisiensi serum
kobalamin pasien tinnitus. Anamnesis nutrisi tidak menunjukan adanya perbedaan diantara
ketiga kelompok. Semua pemeriksaan darah pada pasien tinnitus termasuk hitung darah lengkap,
biokimia, dan fungsi tiroid normal. Selain itu, penyerapan kobalamin-bebas juga utuh yang
ditunjukkan oleh tes schilling. Skala Zung untuk depresi dan wawancara psikiatri pada pasien
tinnitus tidak menunjukkan adanya gangguan psikiatri. Karakteristik audiologis pada pasien
tinnitus dengan dan tanpa defisiensi kobalamin dirangkum dalam table 1.

Tabel 1. Pengukuran Audiologis dari Tinnitus pada Pasien dengan dan Tanpa
Defisiensi Vitamin B12

Hanya kenyaringan suara tinnitus yang diukur dengan teknik pencocokan didapatkan
lebih tinggi untuk kedua telinga pada kelompok vitamin B12 yang normal dibandingkan
dengan kelompok defisiensi vitamin B12. Kenyaringan tinitus yang diukur lebih tinggi
menunjukkan tinitus yang lebih mengganggu, karena tingkat toleransi suara yang
berkurang. Pada pasien tinitus, terutama pada nada tinitus, biasanya terdapat sensory
hearing loss yang terkait dengan recruitment. Dengan demikian, nilai tingkat sensasi
yang rendah mungkin sebenarnya sesuai dengan suara yang keras. Gejala tinitus pada
pasien dengan dan tanpa defisiensi vitamin B12 digambarkan pada gambar 2.
Gambar 2. Profil gejala tinitus yang diperoleh dari tinitus kronis dengan (. . . . .) dan
tanpa (------) defisiensi vitamin B12 (P < 0.03). Gejala: (1) Frekuensi kejadian
(2)kenyaringan, (3) gangguan, (4) nada, (5) gangguan tidur, (6) gangguan konsentrasi,
(7) gangguan dalam lingkungan yang tenang, (8) gangguan di lingkungan yang bising,
(9) kegelisahan, (10) perasaan umum.

Terdapat kecenderungan pada keluhan tinnitus yang lebih parah pada pasien dengan
defisiensi vitamin B12 dibandingkan dengan pasien dengan kadar kobalamin yang normal.
Kecenderungan ini mencapai tingkat yang signifikan pada gejala kenyaringan dan gangguan
di lingkungan yang bising. Audiogram pada pasien tinitus dengan tingkat vitamin B12 yang
normal dan pada tingkatan defisiensi vitamin B12 digambarkan pada gambar 3.
Gambar 3. Audiogram rata-rata besar pasien tinnitus dengan kadar vitamin B12 yang
kurang (. . . . . ) dibandingkan dengan pasien tinnitus dengan kadar darah normal ( ----).

Ambang batas pada pasien dengan vitamin B12 yang normal lebih baik dibandingkan
dengan pasien defisiensi kobalamin (two way ANOVA-telinga kanan (frekuensi-ambang batas
kelompok X): (Telinga kanan: F = 28.1, df = 1, P < 0.0001; Telinga kiri: F= 15.1, df = 1, P =
<0.0001). Pasien tinitus dengan defisiensi kobalamin tidak berbeda dalam hal durasi dan
tingkat paparan bising yang dilaporkan atau dalam penggunaan proteksi telinga. Berbagai
latensi gelombang ABR puncak dan waktu kecepatan konduksi sentral serupa untuk kedua
kelompok pasien dengan tinitus. Profil gejala rata-rata sebelum dan sesudah cobalamin
replacement therapy pada 12 pasien tinitus disajikan pada gambar 4. Untuk hampir semua
gejala terdapat sedikit perbaikan. Perbaikan yang signifikan terlihat pada tiga gejala:
kenyaringan (t = 2.05, P < 0.02), gangguan pada lingkungan yang bising (t = 1.92, P < 0.03),
dan general feeling (t = 2.6, P < 0.01).
Gambar 4. Profil gejala dari 12 pasien tinnitus yang diperoleh sebelum (.........) dan 4 bulan
setelah (-----) terapi kobalamin pengganti (P <0,031). Gejala: (1) Frekuensi kejadian, (2)
kenyaringan, (3) gangguan, (4) nada, (5) gangguan pada tidur, (6) gangguan kon sentrasi, (7)
gangguan pada (8) gangguan di lingkungan yang bising, (9) kegelisahan, (10) general feeling

DISKUSI
Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi yang sangat tinggi (47%) dari defisiensi
vitamin b12 pada pasien dengan tinnitus kronis dan NIHL, ketika kriteria defisiensi ditetapkan
pada 250 pg/ml atau lebih rendah. Hal ini dibandingkan dengan kelompok NIHL (27%) atau
kelompok audiogram normal (19%), keduanya tanpa tinitus. Bahkan ketika ambang batas
vitamin B12 abnormal yang lebih ketat yaitu 180 pg/ml diterapkan, 23% pasien tinitus
ditemukan memiliki kadar di bawah atau pada ambang batas. Terlepas dari kriteria yang
diterapkan, defisiensi serum kobalamin lebih luas dan parah pada kelompok tinitus yang
terkait dengan paparan bising. Kenyaringan tinitus diukur dengan matching technique (teknik
pencocokan) dan tingkat keparahan tinitus yang dilaporkan sebagaimana dinilai oleh TQ
secara signifikan lebih parah pada pasien dengan defisiensi kobalamin dibandingan dengan
pasien tanpa defisiensi kobalamin (gambar 2). NIHL secara signifikan lebih parah pada pasien
tinitus yang kekurangan vitamin. Hal ini tidak mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam
parameter paparan bising karena tidak ada perbedaan yang signifikan dalam paparan bising
yang dilaporkan.
Berdasarkan penelitian ini, para penulis menilai adanya hubungan antara kekurangan
vitamin B12 dan disfungsi jalur pendengaran. Kekurangan vitamin B12 terlibat dalam patologi
neurologis perifer dan pusat. Penurunan produksi metionin akibat kekurangan kobalamin dapat
menyebabkan neuropati demielinasi sensorik. Jika kekurangan ini terus berlanjut, akan muncul
defisit neurologis dan hematologis yang parah (anemia megaloblastik), serta cacat struktural pada
membran sel. Namun, pasien tinnitus pada penelitia ini yang mengalami defisiensi vitamin B12
tidak menunjukkan defisit neurologis yang menonjol kecuali tinnitus dan gangguan pendengaran.
Pemeriksaan klinis dan laboratorium menunjukkan tidak ada penyakit gastrointestinal, tes darah
normal, dan penyerapan kobalamin yang utuh seperti yang diukur dengan tes schilling.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan tidak ada penyakit saluran cerna, tes darah normal, dan
penyerapan kobalamin yang utuh seperti yang diukur dengan tes Schilling. Gejala-gejala yang
dilaporkan seperti kerasnya suara tinnitus dan gangguan pada lingkungan yang bising lebih sering
terjadi pada kelompok pasien yang kekurangan vitamin B12. Oleh karena itu, disarankan agar
pasien dengan kadar vitamin B12 yang rendah dan kronis tinnitus yang parah,
dikombinasikan dengan gangguan fungsi pendengaran dan riwayat paparan berulang
terhadap suara impulsif, dapat dianggap menderita neuropati pendengaran. Para peneliti
lebih lanjut berhipotesis bahwa subjek dengan tingkat kobalamin yang rendah pada dua
kelompok yang terpapar bising berisiko tinggi untuk mengalami neuropati pendengaran
ini. Gejala klinis yang muncul dari neuropati ini adalah tinitus kronis. Tinnitus pada
subkelompok ini dapat dikaitkan terutama dengan perubahan yang disebabkan pada
aktivitas spontan atau kecepatan konduksi yang terkait dengan kerusakan mieli yang
disebabkan oleh vitamin B12 yang tidak memadai. Kelainan sistem saraf tanpa adanya
kelainan hematologi dan hasil tes Schilling yang normal juga telah dilaporkan pada 28%
dari 141 pasien berturut-turut dengan B12 serum yang rendah secara abnormal. Namun,
dalam penelitian ini, semua pasien tinnitus memiliki kobalamin serum yang rendah.
Pengamatan ini jarang terjadi di antara pasien dengan vitamin B12 yang tidak normal.
Penyebab kekurangan vitamin B12 pada kelompok pasien tinnitus dan subjek yang
terpapar bising tanpa tinnitus masih belum diketahui secara pasti. Ini mungkin akibat dari
asupan makanan harian yang tidak memadai, disfungsi pencernaan ringan, atau gangguan
metabolisme nutrisi. Tetapi tidak sepenuhnya karna gangguan pencernaan, karena tes ini
tidak memeriksa penyerapan vitamin B12 terkonjugasi, seperti yang ada dalam makanan
pasien. Beberapa perbaikan pada tinitus dan keluhan yang terkait diamati pada 12 pasien
yang mengikuti terapi penggantian kobalamin. Meskipun ruang lingkup penelitian ini
tidak ditujukan untuk menguji dengan benar efek terapi kobalamin terhadap tinitus,
namun perbaikan yang sedikit namun signifikan yang diamati harus diperhatikan. Tiga
gejala tinnitus termasuk seperti suara mendenging secara signifikan membaik setelah
koreksi kobalamin. Hasil ini disajikan di sini untuk menekankan bahwa terapi tambahan tidak
menyembuhkan pasien. Perbaikan subjektif yang ringan dapat dijelaskan oleh efek plasebo
dari suntikan kobalamin, dan kemungkinan ada beberapa faktor lain yang terkait dengan
gambaran klinis mereka. Namun demikian, karena pemberian vitamin yang berkepanjangan
Kekurangan B12 diketahui terlibat dalam kerusakan neurologis yang tidak dapat dibalikkan
ditambah dengan hasil penelitian ini, penulis sangat merekomendasikan bahwa selama evaluasi
pasien tinnitus kronis, kobalamin darah harus diperiksa dan, bila perlu, dikoreksi sebelum
memulai pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai