Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENGAMATAN

REKAYASA LINGKUNGAN

KETAHANAN PANGAN LAHAN GAMBUT

OLEH:

1. MADA ELROY AUDRI WIJAYA


2. MUHAMMAD ILHAM AZRIEL SHANDI P.W
3. MUHAMMAD NAUFAL RAFIF
4. MUHAMMAD REZA ARIFILLAH
5. MUHAMMAD SATRIA RAMADHAN
6. MUHAMMAD VIKRI ARDIANSYAH
7. NADIA HAFIDZA MAHARANI

0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Lahan basah, termasuk lahan gambut, memiliki peran kunci dalam mencapai
ketahanan pangan yang berkelanjutan. Di seluruh dunia, lahan basah berfungsi
sebagai ekosistem penting yang memberikan sejumlah manfaat ekologis,
termasuk sebagai sumber air, penyangga banjir, penyimpan karbon, dan habitat
bagi beragam jenis tumbuhan dan satwa liar. Salah satu ekosistem lahan basah
terbesar di dunia adalah lahan gambut.

Lahan gambut, yang banyak terdapat di wilayah tropis, adalah tipe lahan basah.
Lahan gambut tersusun atas lapisan-lapisan material organik yang memadat.
Namun, lahan gambut saat ini menghadapi tantangan serius. Eksploitasi dan
perubahan penggunaan lahan, termasuk penggundulan hutan, penambangan, dan
konversi lahan gambut menjadi pertanian atau perkebunan, telah menyebabkan
kerusakan yang signifikan pada ekosistem ini. Tantangan-tantangan tersebut
memiliki dampak besar pada ketahanan pangan, karena lahan gambut memiliki
potensi untuk mendukung produksi pangan yang berkelanjutan dan masyarakat
lokal yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.

Pentingnya lahan gambut dalam ketahanan pangan menciptakan kebutuhan


mendalam untuk memahami pengelolaan yang tepat dalam mengatasi
permasalahan yang ada. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas peran lahan
gambut dalam konteks ketahanan pangan, mengeksplorasi permasalahan yang
dihadapi, dan mengidentifikasi solusi yang berkelanjutan. Dengan pemahaman
yang lebih baik tentang lahan gambut dan metode pengelolaannya, kita dapat
mengambil langkah-langkah konkret menuju ketahanan pangan yang lebih kuat
dan menjaga ekosistem penting ini untuk generasi mendatang

1
1.2 PERMASALAHAN

Pengelolaan lahan basah, terutama lahan gambut, dalam konteks ketahanan


pangan dihadapkan pada berbagai permasalahan yang memerlukan perhatian
serius. Beberapa permasalahan utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah:
1.2.1 DEGRADASI LAHAN GAMBUT
Lahan gambut mengalami degradasi yang signifikan akibat kegiatan manusia,
seperti konversi lahan untuk pertanian, pembukaan lahan perkebunan, dan
penambangan gambut. Degradasi ini mengakibatkan penurunan kualitas tanah,
hilangnya biodiversitas, serta pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Hal ini
menyebabkan kerugian ekologis yang signifikan dan dapat mengganggu
ketahanan pangan

1.2.2 KUALITAS AIR

Lahan gambut berperan sebagai penyaring alami air dan memelihara kualitas air.
Degradasi lahan gambut dapat mengancam pasokan air bersih karena
mengakibatkan erosi, pencemaran air oleh nutrien, dan penurunan kualitas air
tanah. Hal ini berdampak negatif pada keberlanjutan produksi pangan dan
kehidupan masyarakat yang bergantung pada air bersih.

1.2.3 RESIKO KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

Lahan gambut yang mengering dan terdegradasi menjadi lebih rentan terhadap
kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran ini bukan hanya merusak ekosistem lahan
gambut, tetapi juga menyebabkan pelepasan besar-besaran gas rumah kaca yang
berkontribusi pada perubahan iklim global. Kebakaran juga dapat mengancam
ketahanan pangan dengan merusak tanaman dan infrastruktur pertanian.

2
1.2.4 KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN

Pengelolaan lahan gambut yang sukses untuk ketahanan pangan juga harus
mempertimbangkan keterlibatan masyarakat setempat. Ini termasuk hak dan
pengetahuan masyarakat lokal dalam pengelolaan lahan, serta keberlanjutan
pembangunan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.

1.2.5 PERATURAN DAN KEBIJAKAN


Ketidaksesuaian antara kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan
pengelolaan lahan gambut dengan tujuan ketahanan pangan seringkali menjadi
hambatan dalam upaya konservasi dan pengelolaan yang berkelanjutan.

3
BAB II
KAJIAN TEORI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
UNTUK KETAHANAN PANGAN

2.1 KONSEP KETAHANAN PANGAN


Konsep ketahanan pangan menjadi dasar dalam memahami peran lahan
gambut. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup akses terhadap makanan,
tetapi juga stabilitas pasokan pangan, kualitas pangan, dan akses terhadap
nutrisi. Ini menjadi dasar untuk mengevaluasi bagaimana pengelolaan lahan
gambut dapat berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan pangan yang
berkelanjutan.
2.2 EKOLOGI LAHAN GAMBUT
Ekologi lahan gambut menjadi elemen kunci yang mempengaruhi ketahanan
pangan. Karakteristik unik lahan gambut, seperti kemampuannya dalam
menyimpan karbon dan air, serta peranannya dalam mengendalikan perubahan
iklim, membuatnya menjadi aset berharga dalam menjaga produksi pangan
yang stabil dan lingkungan yang sehat.
2.3 PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan mencakup serangkaian praktik
untuk menjaga kualitas lahan, menghindari degradasi, dan mengoptimalkan
manfaat lingkungan. Dalam konteks ketahanan pangan, pengelolaan ini juga
harus mempertimbangkan keberlanjutan ekonomi bagi masyarakat lokal dan
berbagai aspek sosial yang terkait.
2.4 DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
Perubahan penggunaan lahan gambut, seperti konversi lahan gambut menjadi
perkebunan atau pertanian, memiliki dampak ekologis yang signifikan. Hal ini
dapat mencakup pelepasan karbon yang mempercepat perubahan iklim dan
menyebabkan kerusakan ekosistem, yang pada gilirannya dapat mengancam
ketahanan pangan.
2.5 PERATURAN DAN KEBIJAKAN
Peraturan dan kebijakan berperan penting dalam pengelolaan lahan gambut.
Memahami kerangka kerja hukum yang mengatur lahan gambut dapat
membantu dalam mengidentifikasi kendala dan peluang untuk meningkatkan

4
2.5 Peraturan dan Kebijakan
Peraturan dan kebijakan berperan penting dalam pengelolaan lahan gambut.
Memahami kerangka kerja hukum yang mengatur lahan gambut dapat
membantu dalam mengidentifikasi kendala dan peluang untuk meningkatkan
pengelolaan yang berkelanjutan. Dalam peraturan undang-undang ditulisa
dalam:
 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Pengelolaan Ekosistem Gambut
 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah
 Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1995 Tentang Pengembangan
Lahan Gambut Untuk Pertanian Tanaman Pangan Di Kalimantan
Tengah
 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara
Pengukuran Muka Air Tanah Di Titik Penataan Ekosistem Gambut
 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Pemulihan Fungsi
Ekosistem Gambut
 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri

5
BAB III

METODE PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

UNTUK KETAHANAN PANGAN

3.1 KONSEP KETAHANAN PANGAN

Konsep ketahanan pangan menjadi dasar yang penting dalam pemahaman peran lahan
gambut dalam mendukung ketahanan pangan. Ketahanan pangan bukan hanya tentang
ketersediaan makanan, melainkan juga tentang akses terhadap pangan, stabilitas
pasokan, kualitas pangan, dan pemenuhan nutrisi. Dalam konteks ini, pengelolaan
lahan gambut perlu dievaluasi dari perspektif ketahanan pangan yang lebih luas.

Ketahanan pangan yang berkelanjutan membutuhkan pemahaman tentang bagaimana


lahan gambut dapat berperan dalam menjaga produksi pangan yang stabil dan
lingkungan yang sehat. Hal ini mencakup aspek-aspek seperti pengembangan
agroforestri di lahan gambut, pengurangan risiko kebakaran hutan, dan peningkatan
keberlanjutan ekonomi bagi masyarakat lokal yang mengandalkan sumber daya lahan
gambut.

3.2 EKOLOGI LAHAN GAMBUT

Ekologi lahan gambut adalah faktor kunci yang memengaruhi ketahanan pangan.
Lahan gambut memiliki karakteristik unik, termasuk kemampuannya untuk
menyimpan karbon dalam jumlah besar, serta fungsi penting dalam mengatur siklus
air dan iklim. Di samping itu, ekosistem lahan gambut juga menyediakan habitat bagi
berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar.

Dalam upaya mendukung ketahanan pangan, memahami ekologi lahan gambut


menjadi penting. Praktik pengelolaan yang mempertahankan struktur dan fungsi
ekosistem lahan gambut akan membantu dalam menjaga ketersediaan air, menjaga
keberlanjutan produksi pangan, dan mengurangi dampak perubahan iklim.

6
3.3 PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT YANG BERKELANJUTAN

Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan mencakup serangkaian praktik yang


dirancang untuk menjaga kualitas lahan, mencegah degradasi, dan mengoptimalkan
manfaat lingkungan. Dalam konteks ketahanan pangan, pengelolaan ini juga harus
memperhatikan aspek sosial dan ekonomi yang terkait.

Pengelolaan berkelanjutan lahan gambut dapat mencakup prinsip-prinsip seperti


menjaga kedalaman air tanah, mendukung vegetasi asli lahan gambut, dan mengelola
risiko kebakaran hutan. Upaya ini tidak hanya membantu melindungi lahan gambut
sebagai aset ekologis berharga tetapi juga mendukung produktivitas pertanian yang
berkelanjutan.

3.4 DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT

Perubahan penggunaan lahan gambut, seperti konversi lahan gambut menjadi


perkebunan atau pertanian, memiliki dampak yang signifikan pada ekosistem lahan
gambut. Perubahan ini dapat menyebabkan pelepasan karbon ke atmosfer, yang
berkontribusi pada perubahan iklim global. Dampaknya juga mencakup hilangnya
habitat satwa liar, yang bisa memiliki efek negatif pada biodiversitas dan ketahanan
pangan.

3.5 PERATURAN DAN KEBIJAKAN TERKAIT

Regulasi dan kebijakan pemerintah memainkan peran kunci dalam pengelolaan lahan
gambut. Memahami kerangka kerja hukum yang mengatur lahan gambut, termasuk
regulasi yang berkaitan dengan penggunaan lahan, hak masyarakat lokal, dan
perlindungan ekosistem, sangat penting dalam upaya untuk menjaga dan mengelola
lahan gambut dengan berkelanjutan.

7
BAB IV

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN

UTNUK BUDIDAYA TANAMAN PANGAN

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN DENGAN BUDIDAYA


TANAMAN PANGAN

1. DRAINASE

Di Indonesia, pembuatan saluran drainase di lahan gambut sebenarnya sudah


dipraktikkan sejak lama, namun dalam jumlah sedikit dan ukuran yang kecil.
Seiring dengan alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit, jumlah
saluran drainase semakin bertambah. Hal ini dapat memicu terjadi subsiden.
Dalam kondisi alami, lahan gambut selalu dalam keadaan jenuh air (anaerob).
Sebaliknya, sebagian besar tanaman yang dibudiyakan memerlukan kondisi yang
aerob. Upaya untuk mengatasi hal yang kontradiktif ini, maka dilakukan
pembuatan saluran drainase untuk menurunkan permukaan air tanah hanya sebatas
untuk menciptakan kondisi aerob dizona perakaran tanaman agar akar tanaman
tidak terendam dan tanaman dapat tumbuh secara optimal. Namun, pembuatan
saluran drainase atau kanal-kanal yang melintasi lapisan gambut tebal, akan
berdampak negatif dalam jangka panjang. Pada tahun 1996, program kanalisasi
mencincang habis hamparan gambut diantara sungai besar Sabangau, Kahayan,
Kapuas dan Barito dalam proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar yang dibangun
pada tahun tersebut. Yang berakibat pada perubahan drastis neraca air pada daerah
aliran sungai (DAS) tersebut, sehingga kawasan eks Proyek Lahan Gambut Sejuta
Hektar menjadi penghasil asap terbesar di Kalimantan Tengah dan diperburuk
dengan akibat dari pembuatan kanal tersebut yang menyebabkan terjadi
perubahan ekosistem di area tersebut.

8
2. PENGELOLAAN AIR
Pembuatan saluran drainase pada lahan gambut bertujuan untuk menurunkan
permukaan air tanah, menciptakan kondisi aerob di zona perakaran tanaman, dan
mengurangi konsentrasi asam-asam organik. Namun demikian, gambut tidak
boleh terlalu kering karena apabila gambut mengalami kekeringan, maka gambut
akan rusak dan menimbulkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang tinggi. Oleh
karena itu, untuk kebutuhan budidaya perlu dibuat canal blocking yang dilengkapi
dengan pintu air guna menyalurkan kelebihan air hingga batas yang tidak
membuat gambut mengalami degradasi akibat terjadi kekeringan.
3. PEMUPUKAN
Pemupukan pada lahan gambut diperlukan karena gambut sangat miskin mineral
dan hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang diperlukan pada lahan
gambut adalah pupuk lengkap terutama yang mengandung N, P, K, Ca, Mg dan
unsur mikro Cu, Zn dan B. Daya pegang (sorption power) hara tanah gambut
rendah. Oleh karenanya, pemupukan pada lahan gambut harus dilakukan secara
bertahap pada takaran rendah agar pupuk tidak terbuang percuma akibat tercuci.
4. PENGATURAN POLA TANAM
Pengaturan pola tanam dengan menggunakan tanaman pangan dan sayuran, dapat
mengurangi emisi CO2. Pengaturan pola tanam di lahan gambut ditujukan untuk
mencegah lahan terbuka dalam waktu lama sehingga dapat mencegah terjadi emisi
GRK. Perlakuan replanting merupakan salah satu contoh penerapan pola tanam
yang memungkinkan tanah gambut tidak terbuka. Penanaman tanaman sela
diantara tanaman inang dapat mengurangi emisi GRK sekaligus meningkatkan
sekuestrasi karbon.

9
5. PENUTUP TANAH SEBAGAI PENCEGAH KERUSAKAN LAHAN GAMBUT
Semakin tinggi suhu udara dan tanah dapat menyebabkan emisi GRK akan
semakin tinggi. Warna gambut yang gelap cenderung menyerap suhu, sehingga
gambut yang terekspos akan terasa sangat panas yang dapat menyebabkan gambut
cepat kering dan rawan kebakaran. Sehingga, untuk mengurangi emisi GRK dari
lahan gambut, maka gambut harus diusahakan tertutup vegetasi. Upaya menanam
tanaman penutup tanah, selain mengurangi dapat emisi, juga meningkatkan
sekuestrasi karbon sehingga emisi menjadi lebih kecil lagi. Tanaman-tanaman sela
di perkebunan akan sangat membantu mempertahankan kelembaban tanah dan
mitigasi kebakaran lahan gambut. Tanaman in situ seperti pakis (Stenochiaena
palustris) juga bisa dimanfaatkan sebagai tanaman penutup dan bahkan
penggunaan tanaman ini dapat menjadikan lebih efisien karena biaya menjadi
lebih murah. Penutup tanah pada gambut juga dapat berfungsi untuk menghindari
penurunan permukaan tanah (subsidence). Permukaan tanah harus dipertahankan
agar gambut tidak gundul.
6. PEMBUKAAN LAHAN GAMBUT
Emisi karbon paling masif terjadi saat kebakaran gambut, secara sengaja maupun
tidak. Penyiapan lahan dengan sistem membakar menyebabkan cadangan karbon
hilang pada akhirnya mengarah pada habisnya lapisan gambut. Petani di
Kalimantan Barat sering menerapkan sistem pembakaran lahan sebelum menanam
tanaman pangan, khususnya jagung. Setiap musim, lapisan gambut yang terbakar
sekitar 3-5 cm. Subiksa et al. (2011) dan Afni (2017) mengukur besarnya emisi
karbon, dalam satu tahun dengan dua kali musim tanam sekitar 110,1 ton
CO2/ha/tahun (dengan asumsi density gambut sekitar 50 kg/m3 atau 0.05 ton/
m3 ). Kebakaran lahan, biasanya terjadi diantara bulan Januari – Mei. Daerah
yang paling banyak memiliki titik api antara lain Riau dan Kalimantan Timur, dan
puncaknya terjadi pada bulan Februari - Maret. Aktivitas pembakaran untuk
pembukaan lahan masih menjadi pilihan praktis bagi masyarakat. Budaya seperti
ini harus diubah dengan melakukan sosialisasi persiapan lahan tanpa bakar
(PLTB) dan penerapan peraturan perundang-undangan.

10
Para akademisi dan pemerintah harus secara bersama-sama mengawal upaya ini
agar gambut lestari. Pembakaran lahan dapat menyebabkan hilangnya cadangan
karbon sehingga lapisan gambut semakin tipis bahkan habis.Bila yang tertinggal
adalah lapisan substratum yang mengandung mineral berpirit atau pasir kuarsa,
maka pada lahan tersebut akan terjadi kemerosotan kesuburan tanah. Mereka
harus dapat mengedukasi petani bahwa tindakan membakar gambut untuk
memperoleh abu hanya untuk sementara dapat memperbaiki kesuburan tanah.
Petani harus diarahkan agar membakar serasah tanaman dilakukan secara
terkendali dengan melokalisir tempat pembakaran serasah. Dengan cara ini dapat
mencegah kebakaran gambut yang semakin meluas. Abu sisa pembakaran dapat
memberikan efek ameliorasi yang dapat meningkatkan pH dan kandungan basa-
basa dalam tanah sehingga tanaman dapat tumbuh lebih baik. Bila pembakaran
serasah harus dilakukan langsung di lapangan, maka harus dipastikan bahwa
gambut di bawahnya jenuh air supaya gambutnya tidak ikut terbakar. Upaya
alternatif pengalihan cara tradisional pembukaan lahan dari membakar kepada
metode tanpa membakar harus tetap diupayakan menjaga kelestarian lahan
gambut. Penggunaan bio-harvester bisa dijadikan sebagai alternatif untuk
pembukaan lahan, namun alatnya masih tergolong mahal. Sementara ini, upaya
menjaga kelestarian lahan gambut yang digunakan untuk lahan pertanian yang
sudah eksis dapat dilakukan dengan metode ameliorasi dan pemupukan. Guna
mendukung hal ini, pemerintah bersama-sama dengan unit terkait dapat menyusun
kebijakan subsidi pupuk dan amelioran untuk para petani.

11
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
TENTANG PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
UNTUK KETAHANAN PANGAN

Lahan gambut adalah lahan dengan kondisi anaerob atau kondisi lahan yang tergenang air.
Lahan gambut banyak mengandung serasah dan kaya akan bahan organik tapi belum
terdekomposisi secara sempurna. Gambut sangat berpotensi untuk dikelola menjadi lahan
budidaya tanaman pangan dan sayuran. Pengelolaan gambut sebagai lahan budidaya secara
berkelanjutan sangat dapat dilakukan. Pemanfataan gambut sebagai lahan budidaya tanaman
pangan atau sayuran dapat dilakukan dengan sistem surjan, bagian guludan ditanami tanaman
yang tidak toleran dengan kelebihan air dan bagian lembah ditanam dengan tanaman yang
toleran dengan kelebihan air misalnya padi. Pengaturan pola tanam harus disesuaikan dengan
kondisi gambut. Agar budidaya tanaman pangan dan sayuran dapat dilakukan secara
berkelanjutan, maka jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang mampu beradaptasi
dengan kondisi gambut. Bukan lahan gambut dipaksa untuk mengikuti kebtuhan penggunaan
lahan. Pengelolaan gambut harus berorientasi pada upaya tetap menjaga ekosistem alami
gambut. Ekosistem gambut dapat dipelihara dengan cara mempertahankan kelembaban
gambut. Gambut jangan diberikan perlakuan yang membuatnya mengalami kekeringan
karena dapat berdampak pada terjadinya emisi Gas Rumah Kaca, gambut menjadi hidrofobik
dan rawan terjadi kebakaran lahan. Pembangunan pertanian berbasis kesesuaian lahan di
lahan gambut harus melibatkan partisipasi masyarakat

12
DAFTAR PUSTAKA:

1. Melling, L., & Hatano, R. (2009). Greenhouse gas balance of a tropical peatland in
Central Kalimantan, Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition, 55(2), 171-179.
2. Wösten, J. H. M., Clymans, E., & Page, S. E. (2008). Peat‐water interrelationships in
a tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena, 73(2), 212-224.
3. Hergoualc'h, K., & Verchot, L. V. (2011). Stocks and fluxes of carbon associated with
land use change in Southeast Asian tropical peatlands: A review. Global
Biogeochemical Cycles, 25(2).
4. Rieley, J. O., & Page, S. E. (2005). Wise use of tropical peatlands: focus on Southeast
Asia. Development and Environment Reports, 14, 1-92.
5. Miettinen, J., Shi, C., & Liew, S. C. (2016). Land cover distribution in the peatlands
of Peninsular Malaysia, Sumatra and Borneo in 2015 with changes since 1990. Global
Ecology and Conservation, 6, 67-78.
6. Badan Ketahanan Pangan (2018). Indonesia menuju lumbung pangan dunia.
7. Balai Penelitian Lahan Rawa. (2018). Sistem surjan di rawa untungkan petani.
8. Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian (2006). Pedoman pengelolaan limbah industri
kelapa sawit. Jakarta: Ditjen Pengolahan Hasil Pertanian, Departemen Pertanian
9. Hartatik, W. (2003). Pemanfaatan beberapa jenis fosfat alam dan SP-36 pada tanah
gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral dalam kaitannya dengan
pertumbuhan tanaman padi (Disertasi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.
10. Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. & Page, S. (2006). Peat-CO2, Assessment of
CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia.
11. Pangaribuan, N. (2015). Soil chemical properties of histosols and soybean (glycine
max l. merr) growth and productivity due applications biofertilizer indigenous and
ameliorant (Dissertation). University of Padjajaran Bandung, Bandung.
12. Subiksa, IGM., Suganda, H. & Purnomo, J. (2009). Pengembangan formula pupuk
untuk lahan gambut sebagai penyedia hara dan menekan emisi gas rumah kaca
(GRK). Laporan Penelitian Kerjasama antara Balai Penelitian Tanah dengan
Departemen Pendidikan Nasional.
13. Widodo. T. B. P. & Suliansah, I. (2009). Eksplorasi, seleksi, karakterisasi varietas padi
toleran asam-asam organik, dan ameliorasisebagai upaya meningkatkan produktivitas
sawah gambut. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Taman Siswa
Padang.

13

Anda mungkin juga menyukai