Anda di halaman 1dari 50

HAKEKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Belajar dan Pembelajaran
Yang dibina oleh Puger Honggowiyono

Oleh:
Ahmad Hikam H (120534431474)
Ardi Mukti Wibowo (120534431466)
Monika Faswia Fahmi (120534400670)
Randy Arsuma P (120534431455)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
MARET 2013
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kita selalu panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas segala nikmat yang
telah diberikan kepada kita semua sehingga penyusunan makalah dengan judul
“Hakikat Belajar dan pembelajaran” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam selalu kita kirimkan kepada panutan dan tauladan hidup kita, yakni
nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa hidup kita ini dari zaman kegelapan ke
zaman terang-benderang.

Dalam penyusunan makalah ini. Penulis tidak dapat menyelesaikan makalah ini
tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis sangat
berterima kasih kepada Dosen mata kuliah Belajar dan Pembelajaran dan teman-teman
yang telah mendukung pembuatan makalah ini.

Sungguh merupakan suatu kebanggaan dari penulis apabila makalah ini dapat
terpakai sesuai fungsinya, dan pembacanya dapat mengerti dengan jelas apa yang
dibahas didalamnya. Tidak lupa juga penulis menerima kritikan dan saran yang
membangun, yang sangat diharapkan demi memperbaiki pembuatan makalah di
kemudian hari.

Malang, 7 Maret 2013

Penulis,
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pendidikan menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS


adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

Revolusi di bidang teknologi komunikasi dan informasi ternyata telah


mempengaruhi hampir seluruh sendi-sendi kehidupan manusia modern, termasuk dalam
dunia pendidikan dengan munculnya istilah-istilah seperti e-learning, e-book sampai e-
education. Revolusi ini juga berpengaruh pada paradigma pendidikan akan “tempat”
belajar, dimana gedung sekolah yang berdiri tegak dengan atap dan dinding akan
semakin tak populer karena manusia bisa belajar di mana saja dengan bantuan teknologi.
Di sini yang terpenting adalah interaksi manusia itu dengan materi pelajaran dan proses
terusannya, pemahaman dan penguasaan ilmu. Di mana (sekolah?) atau kapan (pagi atau
siang?) tidak lagi menjadi pertanyaan penting sebab otak manusia sekarang sudah
terbiasa dengan konsep ruang dan waktu yang bersifat relatif.

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting
dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005)
menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui
kegiatan belajar.

Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa belajar dapat diartikan sebagai suatu
proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi
dengan lingkungannya.

Proses belajar pada hakekatnya juga merupakan kegiatan mental yang tidak dapat
dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar tidak
dapat disaksikan. Manusia hanya mungkin dapat menyaksikan dari adanya gejala-gejala
perubahan perilaku yang tampak. Oleh karena itu, George R. Knight (1982: 82)
menganjurkan lebih banyak kebebasan untuk berekspresi bagi peserta didik dan
lingkungan yang lebih terbuka sehingga peserta didik dapat mengerahkan energinya
dengan cara yang efektif. Lebih lanjut, peserta didik harus dianggap sebagai makhluk
yang dinamis, sehingga harus diberi kesempatan untuk menentukan harapan dan tujuan
mereka dan guru (pendidik) lebih berperan sebagai penasehat, penunjuk jalan, dan rekan
seperjalanan. Guru bukanlah satu-satunya orang yang paling tahu. Oleh karena itu,
pembelajaran harus berpusat pada peserta didik (child centered), tidak tergantung pada
text book atau metode pengajaran tekstual.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis mengajukan makalah yang


berjudul “ Hakekat Belajar dan Pembelajaran” yang nantinya dapat memperjelas
pengertian dan hakekat dari belajar.

1.2.Rumusan Masalah

Adapun masalah yang ingin diajukan penulis pada makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Jelaskan yang dimaksud dengan belajar dan pembelajaran?


2. Jelaskan tujuan dari belajar dan pembelajaran?
3. Jelaskan konsep-konsep belajar?

1.3.Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari belajar dan pembelajaran.


2. Untuk mengetahui dan memahami tujuan dari belajar dan pembelajaran.
3. Untuk mengetahui dan memahami konsep-konsep belajar.

1.4.Manfaat Penulisan

Hasil penulisan makalah ini diharapkan mempunyai manfaat teoritis dan manfaat
praktif, sebagai berikut:

1. Manfaat bagi mahasiswa diharapkan dapat meningkatkan pemahaman


mahasiswa terhadap hakekat belajar dan pembelajaran.
2. Manfaat bagi penulis sendiri selain untuk meningkatkan pemahaman penulis
sekaligus juga sebagai salah satu syarat penilaian pada pata kuliah Belajar dan
Pembelajaran.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Belajar dan Pembelajaran

a. Hakekat Belajar

Belajar adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang
mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan berbuat (W.
Gulö, 2002: 23).

Pada dasarnya belajar merupakan tahapan perubahan prilaku siswa yang relatif
positif dan mantap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses
kognitif (syah, 2003), dengan kata lain belajar merupakan kegiatan berproses yang
terdiri dari beberapa tahap. Tahapan dalam belajar tergantung pada fase-fase belajar, dan
salah satu tahapannya adalah yang dikemukakan oleh witting yaitu :

 Tahap acquisition, yaitu tahapan perolehan informasi;


 Tahap storage, yaitu tahapan penyimpanan informasi;
 Tahap retrieval, yaitu tahapan pendekatan kembali informasi (Syah, 2003).

Definisi yang lain menyebutkan bahwa belajar adalah sebuah proses yang dilakukan
oleh individu untuk memperoleh sebuah perubahan tingkah laku yang menetap, baik
yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi
sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan
(Roziqin, 2007: 62).

Dari berbagai definisi para ahli di atas, dapat disimpulkan adanya beberapa ciri belajar,
yaitu:

1. Belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku (change behavior).


2. Perubahan perilaku relative permanent. Ini berarti, bahwa perubahan tingkah
laku yang terjadi karena belajar untuk waktu tertentu akan tetap atau tidak
berubah-ubah.
3. Perubahan tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada saat proses belajar
sedang berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial
4. Perubahan tingkah laku merupakan hasillatihan atau pengalaman
5. Pengalaman atau latihan itu dapat memberi penguatan.

Di dalam tugas melaksanakan proses belajar mengajar, seorang guru perlu


memperhatikan beberapa prinsip belajar berikut:

1. Apa pun yang dipelajari siswa, dialah yang harus belajar bukan orang lain.
2. Setiap siswa belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya
3. Siswa akan dapat belajar dengan baik bila mendapat penguatan langsung pada
setiap langkah yang dilakukan selama proses belajar.
4. Penguasaan yang sempurna dari setiap langkah yang dilakukan siswa akan
membuat proses belajar lebih berarti.
5. Motivasi belajar siswa akan lebih meningkat apabila ia diberikan tanggung
jawab dan kepercayaan penuh atas belajarnya.

Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah
perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari
perubahan perilaku, yaitu :

1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).

Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu
yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).

Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya


merupakan kelanjutan dari keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya.

3. Perubahan yang fungsional.

Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan


hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa
mendatang.

4. Perubahan yang bersifat positif.

Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah


kemajuan.

5. Perubahan yang bersifat aktif.

Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya


melakukan perubahan.

6. Perubahan yang bersifat pemanen.

Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan
menjadi bagian yang melekat dalam dirinya.

7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.

Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik
tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.

8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.


Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata,
tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. seorang
guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan
dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.

b. Hakekat Pembelajaran

Secara umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan
terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka pembelajaran
dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa,
sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik (Darsono, 2000:
24). Adapun yang dimaksud dengan proses pembelajaran adalah sarana dan cara
bagaimana suatu generasi belajar, atau dengan kata lain bagaimana sarana belajar itu
secara efektif digunakan. Hal ini tentu berbeda dengan proses belajar yang diartikan
sebagai cara bagaimana para pembelajar itu memiliki dan mengakses isi pelajaran itu
sendiri (Tilaar, 2002: 128).

Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa pembelajaran


membutuhkan hubungan dialogis yang sungguh-sungguh antara guru dan peserta didik,
dimana penekanannya adalah pada proses pembelajaran oleh peserta didik (student of
learning), dan bukan pengajaran oleh guru (teacher of teaching) (Suryosubroto, 1997:
34). Konsep seperti ini membawa konsekuensi kepada fokus pembelajaran yang lebih
ditekankan pada keaktifan peserta didik sehingga proses yang terjadi dapat menjelaskan
sejauh mana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh
peserta didik.

Keaktifan peserta didik ini tidak hanya dituntut secara fisik saja, tetapi juga dari
segi kejiwaan. Apabila hanya fisik peserta didik saja yang aktif, tetapi pikiran dan
mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai.
Ini sama halnya dengan peserta didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan
perubahan di dalam dirinya (Fathurrohman & Sutikno, 2007: 9).
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan
lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Dan tugas guru
adalah mengkoordinasikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku
bagi peserta didik. Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai usaha sadar pendidik
untuk membantu peserta didik agar mereka dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan
minatnya. Disini pendidik berperan sebagai fasilitator yang menyediakan fasilitas dan
menciptakan situasi yang mendukung peningkatan kemampuan belajar peserta didik.

Fungsi-fungsi pembelajaran yaitu sebagai berikut:

 Pembelajaran sebagai sistem

Pembelajaran sebagai sistem terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisir


antara lain tujuan pembelajaran , materi pembelajaran , strategi dan metode
pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga , pengorganisasian kelas, evaluasi
pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran (remedial dan pengayaan).

 Pembelajaran sebagai proses

Pembelajaran sebagai proses merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru


dalam rangka membuat siswa belaja, meliputi:

1. Persiapan, merencanakan program pengajaran tahunan, semester, dan


penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) dan penyiapan perangkat
kelengkapannya antara lain alat peraga, dan alat evaluasi, buku atau media cetak
lainnya.
2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan
pembelajaran yang telah dibuatnya. Banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau
strategi dan metode-metode pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang
penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru , persepsi, dan sikapnya
terhadap siswa;
3. Menindaklanjuti pembelajaran yang telah dikelolanya. Kegiatan pasca
pembelajaran ini dapat berbentuk enrichment (pengayaan), dapat pula berupa
pemberian layanan remedial teaching bagi siswa yang berkesulitan belajar.

Ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut :

1. Merupakan upaya sadar dan disengaja


2. Pembelajaran harus membuat siswa belajar
3. Tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan
4. Pelaksanaannya terkendali, baik isinya, waktu, proses maupun hasil

2.2. Tujuan Belajar dan Pembelajaran

a. Tujuan Intruksional, Tujuan Pembelajaran, dan Tujuan Belajar

Guru-guru merumuskan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional


khusus. Tujuan instruksional khusus juga disebut sebagai sasaran belajar siswa. Tujuan
instruksional khusus mempertimbangkan pengetahuan awal dan kebutuhan belajar
siswa.

Dari segi guru tujuan instruksional dan tujuan pembelajaran merupakan pedoman
tindak mengajar dengan acuan berbeda. Tujuan instruksiona (umum dan khusus)
dijabarkan dari kurikulum yang berlaku secara legal di sekolah.

Dari segi siswa, sasaran belajar tersebut murupakan panduan belajar. Panduan
belajar tersebut harus diikuti, sebab mengisyaratkan kriteria keberhasilan belajar.
Keberhasilan belajar siswa merupakan prasyarat belajar selanjutnya. Keberhasilan
belajar siswa berarti tercapainya tujuan belajar siswa dengan demikian merupakan
tercapainya tujuan instruksional dan sekaligus tujuan belajar bagi siswa.

b. Siswa dan Tujuan Belajar

Siswa dalah subjek yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Dalam kegiatan tersebut siswa mengalami tindak mengajar, dan merespon dengan
tindak belajar. Pada umumnya semula siswa belum menyadari pentingnya belajar.
Berkat informasi guru tentang sasaran belajar, maka siswa mengetahui apa dan arti
bahan belajar beginya.

Siswa mengalami suatu perses belajar. Dalam proses belajar tersebut siswa
menggnakan kemampuan mentalnya untuk mempelajari bahan belajar. Kemempuan-
kemampuan kognitif, afektif, psikomotor yang dibelajarkan dengan bahan belajar
menjadi semakin rinci dan menguat. Adanya informasi tentang sasaran belajar, adanya
penguatan-penguatan, adanya evaluasi dan keberhasikan belajar, menyebabkan siswa
semakin sadarakan kemampuan dirinya.

2.3 Teori Belajar Kognitivisme

1. Teori Perkembangan Kognitif Peaget

Menurut Peaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik,yaitu


suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem saraf
dengan makin bertambahnya umur seseorang maka makin komplekslah susunan sel
sarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang
menuju kedewasaan akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang
akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur
kognitifnya. Peaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat
didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan
mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.

Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi


aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Peaget yakin bahwa
pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya
perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya,
khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada
akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis.

2. Pengertian Teori Belajar Kognitivisme

Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang
dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberi
kontribusi terhadap penggunakan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar.
Menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan (Baharuddin, H dan Esa Nur Wahyuni,
2007:88). Beberapa konsep belajar menurut aliran kognitivisme yaitu Teori Gestalt
yang berkembang di Jerman dengan pendiri utamanya Max Wertheimer, dibantu oleh
Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka (Sukmadinata, Nana Syaodih, 2009:170). Teori ini
menjelaskan bahwa belajar harus dimulai dari keseluruhan, baru kemudian kepada
bagian-bagian. Belajar Gestalt menekankan pemahaman atau insight untuk mencari dan
mendapatkan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Selain itu, teori ini juga
menekankan pentingnya pengmatan terhadap stimuli di dalam lingkungan dan faktor-
faktor yang mempengaruhi pengamatan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Piaget, Bruner, dan
Ausubel dalam Afid Burhanuddin (2011:17), (1) belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahaman, (2) perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan
perilaku, (3) asumsinya bahwa setiap orang telah mempunyai pengalaman dan
pengetahuan di dalam dirinya, yang berupa struktur kognitif, (4) proses belajar akan
berjalan baik bila materi pelajaran yang baru, beradaptasi (berkesinambungan) dengan
struktur kognitif yang dimiliki siswa.

Teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan memfokuskan pada perubahan


proses mental dan struktur yang terjadi sebagai hasil dari upaya untuk memahami dunia.
teori belajar kognitif yang digunakan untuk menjelaskan tugas-tugas yang sederhana
seperti mengingat nomor telepon dan kompleks seperti pemecahan masalah yang tidak
jelas.

Teori belajar kognitif didasarkan pada empat prinsip dasar:

a. Pembelajar aktif dalam upaya untuk memahami pengalaman.


b. Pemahaman bahwa pelajar mengembangkan tergantung pada apa yang
telah mereka ketahui.
c. Belajar membangun pemahaman dari pada catatan.
d. Belajar adalah perubahan dalam struktur mental seseorang.

2.4 Teori Belajar Behaviorisme

1. Pengertian Teori Behavioristik


Dalam teori behavioristik, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja,
yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal
dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar
artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak
mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional;
behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-
faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku
manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap
lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal
ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus).
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah
munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis
artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan
penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku
belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya.
Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkah laku siswa
merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang
pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik
biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-
bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-
bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul,
1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti
Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan
situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini
tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran
berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan
behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka
tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan
unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan
berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar
tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Menurut Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang itu
untuk belajar antara lain sebagai berikut:
1. Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
2. Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
3. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman;
4. Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru,
baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi;
5. Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman;
6. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar
2. Landasan Filosofis Teori Belajar Behavioristik
Dalam melaksanakan teori ini ada beberpa prinsip yang harus diperhatikan.
Prinsip-prinsip itu adalah;
a) Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari
jiwa atau mental yang abstrak.
b) Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem
untuk sciene, harus dihindari.
c) Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya
subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
d) Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh
para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya
pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan
mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap
terjadi.
e) Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat
positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
f) Banyak ahli membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal dan
yang lebih belakangan.

3. Teori Belajar Menurut Beberapa Tokoh


1) Pavlov
Ivan Pavlov terkenal dengan teori kondisioning klasik(classical
conditioning),yaitu sejenis pembelajaran dimana sebuah organisme belajar untuk
menghubungkan atau mengasosiasikan stimulus dengan respon. Dalam pengkondisian
klasik,sebuah stimulus netral (contoh:bel) menjadi diasosiasikan dengan stimulus yang
mempunyai makna (contoh:makanan) dan mendatangkan kepastian untuk
mendatangkan respon yang sama. Untuk memahami teori kondisioning klasik secara
menyeluruh perlu dipahami bahwa ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua
jenis stimulus tersebut adalah stimulus yang tdak terkondisi (unconditioned stimulus-
UCS),yaitu stimulus yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa didahului dengan
pembelajaran apa pun (contoh:makanan) dan stimulus terkondisi (conditioned
stimimulus-CS), yaitu stimulus yang sebelumnya bersifat netral,akhirnya
mendatangakan sebuah respon yang terkondisi setelah diasosiasikan dengan stimulus
tidak terkondisi(contoh:suara bel sebelum makan dating).
Dua respon tersebut adalah respon yang tidak terkondisi (unconditioned respon-
UCS), yaitu sebuah respon yang tidak terkondisi (contoh:keluarnya air liur anjing
setelah melihat makanan) dan respon bterkondisi(conditioned respon-CR), yaitu sebuah
respon yang dipelajari terhadap stimulus yang terkondisi yang terjadi setelah terkondidi
dipasangkan dengan stimulus terkondisi(contoh:keluarnya air liur anjing setelah melihat
makanan yang bersama dengan suara bel).

 Generalisasi,Deskriminasi,dan Pembelajaran
Faktor lain yang juga penting dalam teori belajar pengkondisian klasik Pavlov
adalah generalisasi,deskriminasi,dan pelemahan.
a. Generalisasi.
Dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur
begitu mendengar suara-suara yang mirirp dengan bel, contoh suara peluit (karena
anjing mengeluarkan air liur ketika bel dipasangkan dengan makanan). Jadi,generalisasi
melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi
asli untuk menghasilkan respon serupa. Contoh, seorang peserta didik merasa gugup
ketika dikritik atas hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran matematika. Ketika
mempersiapkan ujian Fisika, peserta didik tersbut akan merasakan gugup karena kedua
pelajaran sama-sama berupa hitungan. Jadi kegugupan peserta didik tersebut hasil
generalisasi dari melakukan ujian mata pelajaran satu kepada mata pelajaran lain yang
mirip.

b. Deskriminasi.
Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov
memberikan makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi yang
lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian dikelas yang
berbeda, pesrta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian bahasa
Indonesia dan sejarah karena keduanya merupakan subjek yang berbeda.

c. Pelemahan (extincition).
Proses melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus tak
terkondisi. Pavlov membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan.
Akhirnya, dengan hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mngeluarkan air liur.
Contoh, kritikan guru yang terus menerus pada hasil ujian yang jelek, membuat peserta
didik tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya peserta didik pernah mendapat nilai
ujian yang bagus dan sangat termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning klasik digunakan untuk mengembangkan
sikap yang menguntungkan terhadap pesrta didik untuk termotivasi belajar dan
membantu guru untuk melatih kebiasaan positif pesrta didik.

2) Skinner
B.F.Skinner terkenal dengan teori pengkondisian operan (operant conditioning)
atau juga disebut pengkondisian instrumental (instrumental conditioning), yaitu suatu
bentuk pembelajaran dimana konsekuensi perilaku menghasilkan berbagai kemungkinan
terjadinya perilaku tersebut. Penggunaan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan untuk mengubah perilaku itulah yang disebut dengan pengkondisian
operan.
Prinsip teori Skinner ini adalah hukum akibat, penguatan atau penghargaan,dan
konsekuensi. Prinsip hukum akibat menjelaskan bahwa perilaku yang diikuti hasil
positif akan diperkuat dan perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemah.
Penguatan merupakan suatu konsekuensi yang meningkatkan peluang terjadinya suatu
perilaku. Konsekuensi adalah suatu kondisi yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan yang terjadi setelah perilaku dan memengaruhi frekuensi prilaku pada
waktu yang akan dating. Konsekuensi yang menyenangkan disebut tindakan penguatan
dan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman.

a. Penguatan (Reinforcement)
Menurut Skinner, untuk memperkuat perilaku atau menegaskan perilaku
diperlukan suatu penguatan (reinforcement). Ada juga jenis penguatan, yaitu penguatan
positif dan penguatan negative.

 Penguatan positif (positive reninforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari


suatu respon akan meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang mengandung
penghargaan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti oleh
stimulus menyenangkan. Contoh, peserta didik yang selalu rajin belajar sehingga
mendapat rangking satu akan diberi hadiah sepeda oleh orang tuanya. Perilaku yang
ingin diulang atau ditingkatkan adalah rajin belajar sehingga menjadi rangking satu dan
penguatan positif/stimulus menyenangkan adalah pemberian sepeda.
 Penguatan negatif (negatve reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi
dari suatu respon akan meningkat karena diikuti dengan suatu stimulus yang tidak
menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat
karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, pesreta
didik sering bertanya dan guru menghilangkan/tidak mengkritik terhadap pertanyaan
yang tidak berkenan dihati guru sehingga peserta didik akan sering bertanta. Jadi,
perilaku yang ingin di ulangi atau ditingkatkan adlah sering bertanya dan stimulus yang
tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan adalah kritikan guru sehingga peserta didik
tidak malu dan akan sering bertanya karena guru tidak mengkritik pertanyaan yang tidak
berbobot/melenceng.
b. Hukuman
Hukuman (punishmen) yaitu suatu konsekuensi yang menurunkan peluang
terjadinya suatu perilaku. Jadi, perilaku yang tidak diharapkan akan menurun atau
bahkan hilang karena diberikan suatu stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh,
peserta didik yang berperilaku mencontek akan diberikan sanksi, yaitu jawabannya tidak
diperiksa dan nilainya 0 (stimulus yang tidak menyenangkan/hukuman). Perilaku yang
ingin dihilangkan adalah perilaku mencontek dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0
(stimulus yang tidak menyenangkan atau hukuman).
Perbedaan antara penguatan negatif dan hukuman terletak pada perilaku yang
ditimbulkan. Pada penguatan negatif, menghilangkan stimulus yang tidak
menyenangkan (kritik) untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan (sering bertanya).
Pada hukuman, pemberian stimulus yang tidak menyenangkan nilai 0 untuk
menghilangkan perilaku yang tidak diharapkan (perilaku mencontek).

 Jadwal Pemberian Penguatan


1) Continuos Reinforcement
Penguatan diberikan secara terus menerus setiap pemunculan respon atau
perilaku yang diharapkan. Contoh, setiap anak mau mengerjakan PR (meskipun banyak
yang salah), orang tua selalu menghilangkan kritikan (menghilangkan stimulus tidak
menyenangkan/memberikan penguat negatif). Setiap anak mau membantu memakai
sepatu sendiri ketika akan berangkat sekolah, orang tua selalu memuji (memberikan
stimulus yang menyenangkan/penguat positif).

2) Partial Reinfocement
Penguatan diberikan dengan menggunakan jadwal tertentu.
 Jadwal Rasio Tetap (Fixed interval Schedule – FI),
yaitu pemberian penguatan berdasarkan frekuensi atau jumlah respon/tingkah laku
tertentu secara tetap. Contoh: Guru TK berkata, “Jika kalian sudah selesei mengerjakan
10 saol, kalian mendapat hadiah permen.” Tanpa peduli jumlah waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan soal tersebut. Siswa mampu menyelesaikan 10 soal (jumlah
perilaku yang diharapkan) dan mendapat hadiah permen (merupakan satu penguatan).
Dalam pembelajaran, pelaksanaan penguatan ini dapat ditingkatkan jumlah perilakunya
secara bertahap, misalnya meningkat mulai 5 soal dapat dikerjakan mendapat satu
penguatan (FR-5), meningkat menjadi 10 soal mampu dikerjakan satu penguatan (FR-
10), dan seterusnya. Akhirnya, pesrta didik diharapkan mampu mengerjakan banyak
soal dengan satu penguatan atau bahkan tanpa adanya penguatan.
 Jadwal Internal Tetap (Fixed Interval Schedule-FI),
Pemberian penguatan berdasarkan jumlah waktu tertentu secara tetap. Dalam, FI jumlah
waktunya yang tetap. Contoh ini sangat cocok digunakan seorang ibu untuk melatih
anak kecilnya agar mengurangi kebiasaan makan atau minum susu berlebihan. Ibu
berkata pada susternya, “Si Badu hanya diberikan susu setiap 1 jam sekali”. Jadi,
meskipun Si Bedu menangis, karena belum 1 jam, suster tidak boleh memberikan susu.
Minum susu setiap 1 jam (perilaku yang diharapkan) dan pemberian susu oleh suster
(penguatan yang diberikan). Jumlah waktu bisa ditingkatkan nenjadi setiap 2 jam (FI-2),
3 jam (FI-3) sampai akhirnya menjadi 4 sekali (FI-4).
 Jadwal Rasio Variabel ( Variable Ratio Schedule – VR),
Pemberian penguatan berdasarkan perilaku, tetapi jumlah perilakunya tidak tetap. Jadi,
penguatan tetap diberikan untuk perilaku yang diharapkan, tetapi jumlah perilakunya
tidak tetap. Contoh paling tepat adalah permainan anak-anak dengan cara memasukkan
koin ke mesin untuk mendapatkan hidak tahu pada perilakuadiah. Anak tersebut tidak
tahu pada perilaku memasukkan koin yang ke berapa kali, baru memperoleh
hadiah.Contoh dalam pembelajaran adalah guru akan memberi nilai tambahan setiap
peserta didik (dari 40 peserta didik di kelas) yang menjawab benar. Peserta didik akan
mencoba untuk menjawab belum tentu benar berkalli-kali- VR ) dan tambahan nilai
(penguat VR).
 Jadwal Interval Variabel (Variabel Interval Schedule – VI)
Pemberian penguatan pada suatu perilaku, tetapi jumlah waktunya tidak tetap yaitu
tidak dapat ditentukan kapan waktunya tidak tetap. Jika dalam VR, jumlah perilakunya
tetap. Dalam VI, jumlah waktunya tidak tetap. Contoh, guru secara acak melakukan
pemeriksaan secara keliling di kelas terhadap pekerjaan peserta didik yang menjawab
benar dan guru memneri pujian setiap menemukan jawaban benar peserta didik. Peserta
didik tidak tahu kapan guru menghampiri dan melihat pekerjaannya serta memujinya
jika jawabannya benar. Karena peserta didik tidak tahu kapan gurunyamenghampiri,
peserta didik tersebut selalu berusaha mengerjakan dengan benar setiap saat. Peserta
didik mengerjakan benarsetiap saat (perilaku-VI) dan guru yang sempat menghampiri
dan memberi pujian pada waktu yang tidak tetap (penguatan-VI).
3) Keefektifan Hukuman
Hukuman hendaknya diberikan untuk perilaku yang sesuai. Terkadang hukuman
diberikan terlalu berat, terlalu ringan, bahkan bentuk hukuman yang tidak ada kaitan
dengan pperilaku yang ingin dihilangkan. Contoh: peserta didik yang tidak mengerjakan
PR harus keliling lapangan 10 X (hukuman tidak sesuai), mungkin hukuman yang
cocok, peserta didik diberikan PR yang lebih banyak daripada temannya, dan lain-lain.

3) Thondike
Teori belajar Thondike di kenal dengan istilah koneksionisme (connectionism).
Teori ini memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya
asosiasi atau menghubungkan antara kesan indera (stimulus) dengan dorongan yang
muncul untuk bertindak (respon), yang di sebut dengan connecting. Dalam teori ini juga
di kenal istilah selecting, yaitu stimulus yang beraneka ragam di lingkungan melalui
proses mencoba-coba dan gagal (trial &error). Setiap organisme jika dihadapkan
dengan situasi baru akan melakukan tindakan tindakan yang sifatnya coba-coba. Jika
dalam mencoba itu secara kebetulan ada tindakan yang dianggap memenuhi tuntutan
situasi, tindakan yang kebetulan cocok itu akan “di pegang”. Karena latihan yang terus
menerus, waktu yang digunakan untuk coba-coba itu semakin lama semakin efisien.
Dalem teori ini, proses tersebut terjadi secara mekanistik, tanpa penalaran, tidak melihat
situasi keseluruhan, dan terjadinya secara bertahap.
Percobaan Thorndike adalah sebagai berikut. Seekor kucing yang lapar dimasukkan
ke dalam kandang tertutup yang ada pintunya, tetapi pintu tersebut di beri pedal, apabila
pedal di injak, pintu terbuka. Di luar kandang diletakkan sepiring makanan (daging).
Apa reaksi kucing/ Mula-mula kucing bergerak ke sana ke mari ml pintu mencoba-coba
hendak keluar dari kandang. Lama kelamaan pada suatu ketika secara kebetulan terinjak
pedal pintu oleh salah satu kakinya. Pintu kandang terbuka dan kucing keluarlah menuju
makanan.
Percobaan di ulangi lagi. Tingkah laku itu meskipun sama seperti pada percobaan
pertama, hanya waktu yang dibutuhkan untuk bergerak ke sana ke mari lebih singkat.
Setalah diadakan percobaan berkali-kali, akhirnya kucing itu tidak perlu lagi kesana
kemari, tetapi langsung menginjak pedal pintu dan terus keluar menuju makanan. Dalam
teori koneksionisme, di kenal dengan hukum-hukum Thorndike, yaitu hukum akibat
(low of effect), hukum kesiapan(law of readiness), dan hukum latihan (law of exercise)
a. Hukum Akibat (Low of Effect)
Suati tindakan atau tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang
menyenangkan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diulangi, di ingat, dan dipelajari
dengan sebaik-baiknya.
Suatu tindakan/tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang tidak
menyenangkan (tidak cocok dengan tuntutan situasi) akan dihilangkan atau dilupakan.
Tingkah laku ini terjadi secara otomatis. Contoh: Jika dapat membuat lampion dengan
rapi, peserta didik merasa sangat puas karenamendapat pujian. Tindakan tersebut akan
diulangi, di ingat, dan depelajari dengan sebaik-baiknya bahkan berusaha menjadi lebih
baik lagi.
b. Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Kesiapan untuk bereaksi terhadapsuatu stimilus yang di hadapi sehingga reaksi
tersebut menjadi memuaskan. Pernyataan tersebut dapa dijabarkan sebagai berikut:
 Jika individu siap melakukan tindakan, melakukan tindakan itu akan menimbulkan
kepuasan. Contoh: Peserta didik yang merasa sangat siap menghadapi ulangan dengan
belajar keras, mengikuti ulangan merupakan suatu tindakan yang menyenangkan karena
dapat mengerjakan dengan benar.

 Individu siap melakukan tindakan, tidak melakukan tindakan akan menimbulakan


kesalahan. Contoh: Peserta didik yang merasa sangat siap menghadapi ulangan dengan
belajar keras, maka tidak mengikuti ulangan dengan belajar keras, maka tidak mengikuti
ulangan karena ulangan dibatalkan akan menimbulkan rasa tidak puas, mungkin jengkel
karena usahanya percuma.
 Jika individu tidak siap melakukan tindakan, maka melakukan tindakan akan
menimbulkan kekesalan. Contoh: Peserta didik tidak siap (tidak belajar) untuk
menghadapi ulangan yang mendadak , maka tindakan mengikuti ulangan akan
menimbulkan kekesalan (merasa tidak menyenangkan-khawatir nilai jelek).
Jadi dalam melakukan suatu perbuatan (belajar), sering akan di capai hasil yang
memuaskan apabila individu siap menerima dan melakukan sesuatu dengan tidak ada
hambatan.
c. Hukum Latihan (Law of Exercise)
Prinsip dalam latihan ini adalah tingkat frekuensi untuk mempraktikkan
(seiringnya menggunakan hubungan stimulus-respon), sehingga hubungan tersebut
semakin kuat. Praktik tersebut lebih efektif jika disertai reward. Hukum ini mengenai
istilah law of use dan low of disuse.
 Makin sering hubungan antara stimulus & respon dilakukan maka akan makin
kuat koneksinya (law of use). Contoh: Guru melempar bola akan peserta didik harus
menangkapnya bola (respon). Jika sering dipraktikan, hubungan stimulus-respon
semakin kuat, yang akhirnya peserta didik menjadi terampil menangkap bola.

 Jika hubungan antara stimulus & respon dihentikan untuk periode tertentu,
koneksinya akan melemah (law of dis-use). Contoh: Keterampilan peserta didik
menangkap bola itu terjadi karena latihan. Jika latihan menangkap bola dihentikan
dalam jangka waktu yang relative lama (tidak di latih), lama kelamaan keterampilan
menangkap bola menjadi berkurang atau bahkan hilang (hubungan S-R melemah).
Tanpa informasi atau umpan balik yang memberi “reward” hanya terjadi perubahan
kecil dalam distribusi respons.
4) E.RGuthrie
Menurur Guthrie,tingkah laku manusia itu secara keseluruhan merupakan
rangkaian tingkah laku yang terjadi atas unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan
respon-respon dari stimulus sebelumnya dan kemudian unit respon tersebut menjadi
stimulus yang kemudian akan menimbulkan respon bagi unit tingkah laku yang
berikutnya. Demikian seterusnya sehingga merupakan deretan tingkah laku yang terus
menerus. Jadi proses terbentuknya rangkaian tingkah laku tersebut terjadi dengan
kondisioning melalui proses asosiasi antara nit tingkah laku yang satu dengan unit
tingkah laku lainya menjadi semakin kuat. Prinsip belajar pembentukan tingkah laku ini
disebut law association.
Menurut Guthrie,untuk memperbaiki tingkah laku yang jelek harus dilihat
dari rentetan unit-unit tingkah lakunya,kemudian diusahakan untuk menghilangkan atau
mengganti unit tingkah laku yang tidak baik dengan tingkah laku yang seharusnya.
Tiga metode mengubah tinhkah laku menurut tingkah laku ini,yaitu:
a) Metode respon bertentangan
b) Metode membosankan
c) Metode mengubah lingkungan

 Prinsip Belajar Behaviorisme


Untuk mengaitkan teori behaviorisme dengan praktik pembelajaran,perlu
dipahami terlebih dulu,mengenai prinsip belajar menerut behaviorisme. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Teori ini beranggapan bahwa yabg dimaksud dengan belajar adalah perubahan tingkah
laku.seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukan
perubahan tingkah laku tertentu. Perubahan perilaku itu bias negative atau positif
bergantung apa yang ingin dipelajari.
2. Hasil belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati,yang terjadi karena
hubungan stimulus dan respon,sedangkan proses yang terjadi antara stimulus
respon,yang tidak dapat diamati itu tidak penting.
3. Perlunya Reinforcement untul memunculkan perilaku yang diharapkan. Respons akan
semakin kuat jikareinforcement(baik positif maupun negative) ditambah.
Penekanan proses belajar menurut teori behaviorisme ini adalah hubungan
stimulus dan respon. Dengan demikian,agar pembelajaran dikelas menjadi
efektif,hendakya guru perlu memperhatikan hal-hal berikut:
a. Guru hendaknya memilih jenis stimulus yang tepat untuk diberikan kepada peserta
didik agar peserta dapat memberikan respon yang diharapkan.
b. Guru hendaknya menentukan jenis respon yang harus dimunculkan oleh peserta didik.
Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukan peserta didik benar-benar sesuai
dengan apa yang diharapkan,guru harus mampu menetapkan bahwa respons itu dapat
diamati dan diuku.
c. Guru perlu memberikan reward yang tepat untuk meningkatkan perilaku yang
diharapkan muncul dari peserta didiknya.
d. Guru hendaknya segera memberikan umpan balik secara langsung,sehingga sipelajar
dapat mengetahui apakah respons yang diberikan telah benar tau belum.

 Meningkatkan Perilaku yang Diinginkan


Enam strategi pengkondisian operan dapat dignakan untuk meningkatkan
perilaku yang diinginkan,yaitu :memilih penguat yang efektif,membuat penguat yang
bergantung dan tepat waktu,memilih jadwal terbaikuntuk penguatan,mempertimbangkan
membuat perjanjian kontrak,menggunakan penguatan negative secara efektif,dan
menggunakan arahan seta pembentukan
1. Memilih Penguat yang Efektif
Guru harus mampu menemukan penguat mana yang berhasil dengan paling baik
untuk setiap peserta didiknya, yaitu membedakan setiap individu dalam menggunakan
penguat tertentu. Satu jenis penguat tertentu untuk peserta didik A belum tentu cocok
untuk peserta didik B. contoh: peserta didik A cocok dengan penguat pujian,peserta
didikC cocok dengan aktivitas dengan diberikan aktivitas tertentu yang disukai, dan
lain-lain. Untuk mengetahui penguat mana yang disukai dapat ditanyakan langsung
kepada peserta didik tentang penguat mana yang paling disukai atau dengan memeriksa
sejarah penguatan dari guru lain.

2. Membuat penguat menjadi bergantung pada tepat dan waktu.


Agar penguat efektif, guru harus memberikan penguat secara tepat waktu dan segera
mungkin setelah anak menampilkan perilaku tertentu yang diharapkan.

3. Pilih jadwal terbaik untuk penguatan


Guru harus memilih jadwal penguatan terbaik sesuai dengan tuntutan perilaku
peserta didik yang diharapkan guru. Pilihan jadwal tersebut adalah; jadwal rasio tetap,
jadwal rasio variabel, jadwal interval tetap, dan jadwal interval variabel, dan ke empat
jenis jadwal penguatan sudah diuraikan sebelumnya.

4. Pertimbangan untuk Membuat Kontrak


Analisis perilaku terapan menyarankan bahwa kontrak kelas seharusnya merupakan
hasil masukan dari guru maupun peserta didik. Pembuatan kontrak melibatkan
pembuatan ketergantungan penguatan secara tertulis. Jika masalah timbul, dan peserta
didik ingkar janji, guru dapat menunjukkan kontrak yang telah mereka setujui.

5. Gunakan Pnguatan Negatif secara efektif


Penguatan negative, meningkatkan frekuensi respon dengan menghilangkan stimulus
yang tidak disukai. Contoh: stimulus guru yang sering mengkritik atau tidak menghargai
jawaban serta pertanyaan peserta didik harus dihilangkan agar frekuensi bertanya dan
frekuensi berani menjawab semakin meningkat.

6. Gunakan Arahan dan Pembentukan


Arahan merupakan stimulus yang ditambahkan atau isyarat yang diberikan tepat
sebelum terjadinya kemungkinan peningkatan respon yang diinginkan. Arahan
membantu perilaku terjadi. Setelah peserta didik secara konsisten memperlihatkan
respon yang benar, arahan tidak lagi dibutuhkan. Jika arahan belum mampu membuat
peserta didik menampilkan perilaku yang diharapkan, guru perlu membantu dengan
pembentukan. Pembentukan (shaping) melibatkan pembelajaran perilaku baru dengan
memperkuat perkiraan secara berturut-turut terhadap suatu perilaku sasaran.

 Mengurangi Perilaku yang Tidak Diinginkan


Ada beberapa langkah yang dapat digunaka guru untuk mengurangi perilaku
anak yang tidak diinginkan, seperti: menganggu teman, memonopoli diskusi kelas,
bersikap sok tau pada guru (Alberto & Troutman dalam Santrouck)
1. Gunakan Penguatan Deferensial
Dalam penguatan deferensial, guru memperkuat perilaku yang lebih pantas atau
perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan anak tersebut. Contoh: guru dapat
memperkuat pesrta didik untuk melakukan aktivitas pembelajaran dengan
memanfaatkan komputer dari pada komputer hanya dipakai untuk memainkan game.
2. Hentikan Penguatan (Extinction)
Tanpa disengaja guru memberikan penguatan positif yang justru membuat perilaku
pesrta didik yang tidak diharapkan semakin terpelihara. Dengan demikian,guru harus
segera menghentikan penguatan positif tersbut agar perilaku yang tidak diharapkan
menurun atau hilang dan guru memberikan penguatan positif lagi setelah perilaku yang
diharapkan muncul. Contoh, guru selalu memberi perhatian pada pesrta didik yang
selalu bertanya dan menjawab dalam acara diskusi kelompok, akhirnya ada pesrta didik
yang tanpa sadar mendominasi peserta didik lain hanya untuk mengejar pujian atau
nilai. Dalam kasus ini, guru segera menghentikan penguatan dengan cara meminta
pesrta didik tersebut agar memberi kesempatan pada teman lain yang belum aktif.
3. Hilangkan Stimulus yang Diinginkan
Jika menghentikan pemberian penguatan tetap tidak berhasil meningkatkan respon
diharapkan, penghilangan stimulus yang diinginkan harus dilakukan oleh guru, dengan
cara time out dan respon cost. Time out adalah penghentian penguatan positif terhadap
seseorang untuk sementara yaitu hamper sama dengan penghentian penguatan, yang
berbeda adalah waktu penghentian penguatan positif lebih lama sampai terbentuk lagi
perilaku yang diingikan.
Biaya respon (respon cost) adalah menjauhkan atau menganbil penguatan-penguatan
positif dari seseorang, seperti peserta didik kehilangan hak istimewa tertentu, guru dapat
menghilangkan waktu 10 menit istirahatnya atau menghilangkan haknya untuk menjadi
pemantau kelas.
4. Hadirkan Stimulus yang Tidak Disukai (Hukuman)
Jenis stimulus yang tidak disukai dan paling umum digunakan guru adalah teguran
verbal serta disertai dengan kerutan dahi atau kontak mata. Tindakan ini lebih efektif
digunakan ketika guru berada dekat dengan peserta didik. Teeguran tidak harus disertai
bentakan atau teriakan, yang seringkali hanya menaikkan tingkat kegaduhan dikelas dan
menjadikan guru sebagai model yang tidak terkendali bagi peserta didik.
2.5 Konsep Belajar Konstruksivisme

1. Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar


Pendekatan konstruktivisme dalam belajar dan pembelajaran didasarkan pada
perpaduan antara beberapa penelitian dalam psikologi kognitif dan psikologi sosial,
sebagaimana teknik-teknik dalam modifikasi perilaku yang didasarkan pada
teori operant conditioning dalam psikologi behavioral. Premis dasarnya ialah bahwa
inividu harus secara aktif “membangun” pengetahun dan keterampilannya dan informasi
yang ada diperoleh dalam proses membangun kerangka oleh pelajar dari lingkungan di
luar dirinya.

Konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia


membangun atau menciptakan pengetahuan dengan mencoba memberi makna pada
pengetahuan sesuai pengalamannya. Pengetahuan itu sendiri rekaan dan bersifat tidak
stabil. Oleh karena itu, pemahaman yang diperoleh manusia senantiasa bersifat tentatif
dan tidak lengkap. Pemahaman manusia akan semakin mendalam dan kuat jika teruji
dengan pengalaman-pengalaman baru.

Secara filosofis, belajar menurut teori konstruktivisme adalah membangun


pegetahuan sedikit demi sedikit, yang kemuian hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak sekonyong-konyong pengetahuan adalah bukan seperangkat fakta-
fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstuksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Perspektif konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang


lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai
penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai
penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan
mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya
memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun
pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman,
struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki. Dengan demikian, pemahaman atau
pengetahuan dapat dikatakan bersifat subyektif oleh karena sesuai dengan proses yang
digunakan seseorang untuk mengkonstruksi pemahaman tersebut.

Belajar, menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekadar menghafal, akan


tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah
hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian”
tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses
mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna
mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.

Dalam proses belajar di kelas, menurut Nurhadi dkk, (2004), siswa perlu
dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya,
dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan
kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pngetahuan di benak mereka sendiri.
Esensi dari teori konstruktivisme ini adalah ide. Siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu, maka
belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan
“menerima” pengetahuan.

Oleh karena itu, Slavin menyatakan bahwa dalam proses belajar dan
pembelajaran siswa harus terlibat aktif dan siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan
pembelajaran di kelas. Guru dapat memfasilitasi proses ini dengan mengajar
menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan
bagi siswa. Untuk itu, guru harus memberi kesepatan pada siswa untuk menemukan atau
mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, di samping mengajarkan siswa untuk
menyadari dan sadar akan strategi belajar mereka sendiri.

2. Sejarah Konstruktivisme
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan.
Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha keras Jean Piaget
dan Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif ke arah
perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser
karena ada sebuah informasi baru yang diterima melalui proses
keseimbangan(dissequilibrium). Selain itu, Jean Piaget dan Vygotsky juga menekankan
pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi
kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan peubahan secara
konseptual. Berikut ini kan dibahas konsep Jean Piaget dan Vygotsky tentang belajar
yang merupakan dasar bagi pendekatan konstruktivisme dalam belajar.

a. Konsep Belajar Konstruktivisme Jean Piaget

Teori belajar konstruktivistik disumbangkan oleh Jean Piaget, yang merupakan


salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor konstruktivisme. Pandangan-
pandangan Jean Piaget seorang psikolog kelahiran Swiss (1896-1980), percaya bahwa
belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif
peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan
objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh
pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada
siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan
berbagai hal dari lingkungan.

Piaget dalam Winataputra (2007:6.8) menjelaskan pentingnya berbagai faktor


internal seseorang seperti tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam proses belajar. Berbagai faktor internal
tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang, serta bagaimana dia
mengembangkan struktur dan strategi kognitif, dan emosinya.

Dalam mengimplementasikan teori belajar ini, digunakan strategi pendekatan diskusi


dan praktik, sehingga memungkinkan peserta didik untuk berinteraksi dengan
lingkungannya baik peralatan yang ada ataupun dengan teman sebaya untuk menemukan
pengetahuan baru. Dalam hal ini peran guru hanya mendorong agar mereka saling
memberi pengalaman ataupun pengetahuan sehingga proses pembelajaran menjadi
menarik bagi mereka. Waktu untuk mempresentasikan di akhir pelajaran merupakan
usaha untuk melibatkan siswa di hadapan siswa yang lain sehingga diharapkan dapat
memotivasi siswa lainnya untuk berusaha melakukan hal yang sama di lain kesempatan.
Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti
sebuah kotak-kotak yng masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda.
Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing
individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru akan
dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia. Oleh
karena itu, pada saat manusia belajar, sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya,
yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi.

Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang


diterimanya dengan srtuktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudh ada
sebelumnya dalam otak. Melalui proses organisasi inilah, manusia dapat memahami
sebuah infformasi baru yang didapatnya degan menyesuaikan informasi tersebut dengan
struktur pengetahuan yang dimilikinya sehimgga manusia dapa mengasimilasikan atau
mengakomodasikan informasi atau pengetahuan tersebut.

Proses adaptasi ialah proses yang berisi dua kegiatan.Pertama, menggabugkan atau
mengintegrasikan pengetahuan yang diterima oleh manusia tau disebut dengan
asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur
pengetahuan baru, sehingga akan terjadi keseimbangan (equilibrium). Dalam proses
daptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep dasar, yaitu skemata, asimilasi,
akomodasi, dan keseimbangan.

Pertama, skemata. Yaitu suatu struktur mental atau koqnitif yang dengannya
seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan
sekitarnya,Manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia
cenderung mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya. Hal itu mengakibatkan
adanya sejumlah struktur psikiogis yang berbeda bentuknya pada setiap fase atau
tingkatan perkembangan tingkah laku dan kegiatan berpikir manusia. Struktur ini
disebut struktur pikiran(intellectual scheme). Dengan demikian, pikiran harus memiliki
sutu struktur yaitu skema yang berfungsi melakukan adaptasi dengan lingkungan dan
menata lingkungan itu secara intelektual.
Secara sederhana skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau
kategori yang digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungan. Skemata ini
senantiasa berkembang. Rtinya, ketika kecil seorang anak hanya memiliki beberpa
skemata saja, tapi setelah beranjak dewasa skemataanya secar berangsur-angsur
bertambah banyak, luas, beraneka ragam, dan kompleks. Perkembangan ini
dimungkinkan oleh stimulus-stimulus yang dialaminya yang kemudian diorganisasikan
dalam pikirannya. Piaget mengatakan bahwaskemata orang dewasa berkembangmulai
dari skemata anak melalui proses adaptasi sampai pada penataan dan organisasi. Makin
mampu seseorang membedakan satu stimulus dengan stimulus lainnya, makin banyak
skemata yang dimilikinya. Dengan demikian, skemata adalah struktur kognitif yang
selalu berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan danya perubahan tersebut
adalah asimilasi dan akomodasi.

Kedua, asimilasi. Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan pengalaman bar
ketika seserang memdukan stimulus atau persepsi kedalam skemata atau perilaku yang
sudah ada. Misalnya, seorang anak belum pernah melihat seekor ayam. Stimulus ayam,
yang dialaminya akan diolah dalam pikirannya, dicocok-cocokkan dengan skemata-
skemata yan telah ada dalam struktur mentalnya. Mungkin saja skemata yang paling
dekat dengan ayam adalah burung, maka ia menyebut ayam itu itu dengan burung besar
karena stimulus ayam diasimilasikan ke dalam skmata burung. Nanti, ketika
dipahaminya bahwa hewan itu bukan burung besar melainkan ayam, maka terbentuklah
skemata ayam dalam struktur pikiran anak itu.

Asimilasi pada dasarnya tidak mengubah skemata, tetapi memengaruhi atau


memungkinkan pertumbuhan skemata. Dengan demikian, asimilasi adalah proses
kognitif individu dalam usahanya meadapasi dii dengan lingkungannya. Asimilasi
terjadi secara kontinu, berlangsun terus-menerus dalam perkembangan kehidupan
intelektua anak.

Ketiga, akomodasi. Akomodasi adalah suatu proses struktur kognitif yang


berlangsung sesuai dengan pengalaman baru. Proses kognitif tersebut meghasilkan
terbentuknya skemata baru dan berubahnya skemata lama. Disini, tampak terjadi
perubahan secara kualitatif, sedangkan pada asimilasi terjadi perubahan secara
kuantitatif. Jadi, pada hakikatya akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau
pengembangan skemata. Sebelum terjadi akomodasi, ketika anak menerima stimulus
yang baru, struktur mentalnya menjadi goyah atau disebut tidak stabil. Bersamaan
terjadinya proses akomodasi, aka struktur metal tersebut menjadi stabil lagi. Begitu ada
stimulus baru lagi, maka struktur mentalnya akan kembali goyah dan selanjutnya setelah
terjadi proses akomodasi akan stabil lagi. Begitulah proses asimilasi dan akomodasi
terjadi terus-menerus dan menjadikan skemata manusia berkembang bersama dengan
waktu dan bertambahnya pengalaman. Mula-mula skemata seseorang masih bersifat
sangat umum dan global, kurang teliti, bahkan terkadang kurang cepat, tetapi melalui
proses asimilasi dan akomodasi, skemata yang kuran tepat dan kurang teliti tersebut
diubah menjadi lebih tepat dan lebih teliti.

Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam asimilasi, individu
memaksakan struktur yang ada padanya kepada stimulus yang masuk. Artinya, stimulus
dipaksa untuk memasuki salah satu yang cocok dalam struktur mental individu yang
bersangkutan. Sebaliknya dalam akomodasi individu dipaksa mengubah struktur
mentalnya akan cocok dengan stimulus yang baru itu. Dengan kata lain, asimilasi
bersama-samaa dengan akomodasi secara terkoordinasi dan terintegrasi menjadi
penyebab teradinya adaptasi intelektual dan perkembangan struktur intelektual.

Keempat, keseimbangan (equilibrium). Dalam proses adaptasi terhadap


lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur menta atau skemata yang stabil.
Stabil dalam artian adanya keseimbangan antara proses dan proses akomodasi.
Seandainya hanya terjadi asimilasi secara kontinu, maka yang bersangkutan hanya akan
memiliki beberapa skemata global dan ia tidak dapat meliha perbedaan antara berbagai
hal. Sebaliknya, jika akomodasi saja yang terajadi secara kontinu, maka individu hanya
akan memiliki skemata yang kecil-kecil saja, dan mereka tidak memiliki skemata yang
umum. Individe tersebut tidak akan memiliki persamaan-persamaan di antara berbagai
hal. Itulah sebabnya ada keserasian diantara asimilasi dan akomodasi yang oleh Jean
Piaget disebut dengan keseimbangan atau equilibrum.

Proses adaptasi juga dipengaruhi oleh faktor herediter dan lingkungan, sehingga
hal ini mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan proses asimilasi,
akomodasi, dan keseimbangan. Faktor keturunan yang baik berkaitan dengan proses-
proses adaptasi akan memengaruhi, walaupu faktor lingkungan lebih memiliki
pengaruh.

Jelaslah, proses adaptasi adalah keseimbangan antara proses-proses asimilasi dan


akomodasi. Apabila idividu melalui proses asimilasinya tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan, terjadilah ketidakseimbangan. Keseimbangan itulah yang
mendorong terjadinya proses akomodasi dimana struktur kognitifnya sebelumnya
mengalami perubahan atau penambahan skema sehingga terciptalah keseimbangan. Jadi,
perkembangan intelektual adalah suatu proes yang kontinu dari keadaan seimbang dan
yang terjadi setiap saat, pada fase perkembangan manusia.

Proses adaptasi manusia dalam menghadapi pengetahuan baru juga ditentukan oleh fase
perkembangan kognitifnya. Jean Piaget membagi fase perkembangan manusia kedalam
empat fase perkembangan, yaitu :

Tahap Usia/Tahun Gambaran

Sensorimotor 0-2 Bayi bergerak dari tindakan reflex instingtif pada


saat lahir samapi permulaan pemikiran simbolis.
Bayi membangun suatu pemahaman tentang
dunia melalui pengkoordinasian pengalaman-
penglaman sensor dengan tindakan fisik.

Operational 2-7 Anak mulai mengintepretasikan dunia dengan


kata-kata dan gambar-gambar

Kata-kata dan gambar-gambar ini menunjukkan


adanya peningkatan pemikiran simbollis dan
melampaui hubungan informasi sensor dan tindak
fisik.

Concrete 7-11 Pada saat ini anak dapat berfikir secara logis
Operational mengenai peristiwa-peristiwa yang kongkret dan
mengklasifikasikan benda-benda kedalam
bentuk-bentuk yang berbeda.

Formal 11-15 Anak remaja berfikir dengan cara yagn lebih


Operation abstrak dan logis pemikiran lebih idelistik.

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran yaitu :

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karenanya guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir mereka.

2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

3. Bahan yang dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tapi tidak asing.

4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-teman.

b. Konsep Belajar Konstruktivisme Vygotsky

Salah satu konsep dasar pendekatan konstruktivisme dalam blajar adalah adanya
interaksi sosial individu dengan ligkungannya. Menurut Vygotsky, belajar adalah
sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama,belajar merupakan proses
secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses
yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga,
lanjut Vygotsky munculnya perilaku seseorang karena intervening kedua elemen
tersebut. Pada saat seseorang mendapatkan stimulus dari lingkungannya, ia akan
menggunakan fisiknya berupa alat inderanya untuk menangkap atau menyerap stimulus
tersebut, kemudian dengan menggunakan syaraf otaknya, informasi yang telah diterima
tersebut diolah.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih
mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam
penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah
interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial
dalam belajar.

Vygotsky menekankan pentingnya peran interksi sosial bagi perkembangan


belajar seseorang. Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang anak dalam
perkembangan zone proximal yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika
ia melakukan perilaku sosial. Zone ini juga dapat diartikan sebagai seorang anak yang
tidak dapat melakukan sesuatu sendiri tetapi memerlukan bantuan kelompok atau orang
dewasa. Dalam bela jar, zone proximal ini dapat dipahami pula sebagai selisih antara
apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya atau dengan bantuan orang
dewasa. Maksimalnya perkembangan zone proximal ini tergantung pada intensifnya
interaksi antara seseorang dan lingkungan sosial.

Menurut Vygotsky, fungsi mental tingkat tinggi biasanya ada dalam percakapan
atau komunikasi dan kerjasama diantara individu-individu (proses sosialiasi) sebelum
akhirnya itu berada pada diri individu (internalisasi). Oleh karena itu, pada saat
seseorang berbagi pengetahuan dengan orang lain, dan akhirnya pengtahuan itu menjadi
pengetahuan personal, disebut dengan private speech.Disini Vygotsky ingin
menjelaskan bahwa adanya kesadaran sebagai akhir dari sosialisasi tersebut.

Menurut Vygotsky, pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan kognitif telah


melahirkan konsep perrkembangan kognitif. Perkembangan kognitif manusia ini
berkaitan erat dengan perkembangan bahasanya. Karena bahasa merupakan kekuatan
bagi perkembangan menta manusia, untuk itu Vygotsky membagi perkembangan
kognitif yang didasarkan pada perkembangan bahasa menjadi empat tahap.

Preintelectual speech, yaitu tahp awal dalam perkembangan kognitif ketika


manusia baru lahir, yang ditunjukkan dengan adanya proses dasar secara biologis
(menangis, mengoceh, dan gerakan-gerakan tubuh seperti menghentakkan kaki,
menggoyanggoyangkan tangan) yang secara perlahan-lahan berkembang menjadi
bentuk yang lebih sempurna seperti berbicara dan berperilaku. Manusia dilahirkan
dengan kemampuan bahasa untuk digunakan berinteraksi dengan lingkungannya
sehingga perkembangan bahasa menjadi lebih maksimal.

Naive psychology, yaitu tahap kedua dari perkembangan bahasa ketika seorang
anak mengeksplore atau menggali objek-objek konkret dalam dunia mereka. Pada tahap
ini anak mulai memberi nama atau label terhadap objek-objek tersebut dan telah
mengucapkan beberapa kata dalam berbicara. Ia dapat memahami pemahaman verbal
dan dapat menngggunakannya untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga
hal ini dapat lebih mengembangkan kemampuan bahasanya yang akan memengaruhi
cara berpikir dan lebih meningkatkan hubungannya dengan orang lain.

Egocentric Speech. Tahap ini terjadi ketika anak berusia 3 tahun. Pada tahap ini,
anak selalu melakukan percakapan tanpa memedulikan orag ain atau apakah orang lain
mendengarkan mereka atau tidak.

Inner speech. Tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam mengarahkan
perilaku seseorang. Misalnya, pikiran seorang gadis kecil usia 5 tahun yang ingin
mengambil buku di atas lemari. Ketika ia meraih buku itu dengan tangan, ternyata
tagannya tidak dapat mecapai buku tersebut. Kemudian ia mengataakan pada dirinya,
“aku butuh kursi untuk mengambil buku itu”. Selanjutnya ia mengambil kursi dan naik
kursi untuk mengambil buku, dan ia mengatakan pada dirinya, “Ok, sedikit agi aku
dapat meraih buku itu. Oh ya, aku harus berjinjit agar dapat meraih buku itu”. Dari
contoh tesebut dapat dilihat bagaimana ucapan yang ditujukn pda dirinya sendiri dapat
memberikan arah bagi perilakunya. Sama dengan gadis kecil tersebut, orang dewasa
sering juga meggunakan inner speech untuk mengarahkan perilaku dan menyelesaikan
tugas-tugas sulit yang harus dipecahkan.

Ide dasar lain dari teori belajar Vygotsky adalah scaffolding. Scaffolding adalah
memberikan dukungan dan bantuan kepada seorang anak yang sedang pada awal
belajar, kemudian sedikit demi sedikit mengurangi dukungan atau bantuan tersebut
setelah anak mampu untuk menyelesaikan problem dari tugas yang dihadapinya. Ini
ditujukan agar anak dapat belajar mandiri. Contohnya, sorang ibu yan
menggunakan scaffolding untuk membantu anaknya belajar menyemr sepaunya sendiri,
mula-mula ia dibantu dengan instruksi dan contoh bagaimana membersihkan sepatu, ib
tersebut membbiarkan anakna sendiri melakukan tugas tersebut.

3. Strategi belajar Konstruktivisme


Pendekatan konstruktivisme memiliki beberapa strategi dalam proses belajar.
Strategi-strategi belajar tersebut adalah :

a. Top-down processing. Dalam pembelajaran konstruktivisme siswa belajar


dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan atau
menemukan keterampilan yang dibutuhkan. Msalnyam siwa diminta uuntu menulis
kalimat-kalimat, kemudian dia akan bbelajar uuntukk membaca, bellajar tentang tata
bahasa kalimat kkalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis tiik dan komnya.
Bellajar dengan pendekatan top-down processing ini berbeda dengan
pendekatan bottom-up processing yang tradisional dimana ketrampilan dibangun secara
perlahan-han melalui ketrampilan.

b. Cooperative learning. Yaitu strategi yang digunakan untuk proses belajar,


dimana siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-konsep yang
sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa lain*tentang problem yang
dihadapinya. Dalam strategi cooperative learning siswa belajar dalam pasangan-
pasangan atau kelompok untuksaling membantu memecahkan problem yang
dihadapi.Cooperative learning ini lebih menekankan pada lingkungan sosial belajar dan
menjadian kelompok belajarsebagai tempat untuk mendapatkan konsep-konsep dasar
yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky.

c. Generative learning. Strategi ini menekankan pada adanya iintegrasi yang aktif
antara materi dan pengetahuan yang baru diperoleh oleh skemata. Sehingga dengan
menggunakan pendekatan generative learning diharapkan siswa lebih melakukan proses
adaptsi ketika menghadapi stimulus baru. Selain itu juga, generative learning ini
mengajarkan sebua metode yng untuk melakukan kegiatan mental saat belajar, seperti
membuat pertanyaan, kesimpulan, atau analogi-analogi terhadap apa yang sedang
dipelajarinya.

Yang sangat penting daam teori konstrukivisme adalah bahwa dalam proses
belajar siswalah yang harus mendapatkan tekanan. Merekalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Mereka yang
harus bertanggugjawab terhadap hasil belajarrnya penekanan belajar siswa aktif ini
dalam dunia pendidikan, terlebih di Indonesia kiranya sangat penting dan perlu
dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri
sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu mejadi orang yang
kritis menganalisis suatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja. Kita para
pendidik diajak untuk tidak mematikan kerativitas mereka, tetapi menunjukkan apakah
gagasan, ide, dan interprestasi mereka itu sungguh berjalan dan berlaku.

4. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Konstrutivistik


Kelebihannya:

a. Memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri

b. Mengembangkan kemapuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari


sendiri jawabannya.

c. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian aau pemahaman konsep


secara lengkap

d. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.

e. Akan menghasilkan atau menemukan sebuah keterampilan yang di butuhkan


karena belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan.

f. Siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-konsep yang


sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa yang lain tentang problem yang
dihadapi.
g. Siswa menjadi lebih melakukan proses adaptasi ketika menghadapi stimulus baru.

Kekurangannya:

a. Sulit mengubah keyakinan Guru yang sudah terstruktur bertahun-tahun


menggunakan pendekatan tradisional.

b. Guru Konstruktivistik dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan pelajaran


dan memilih atau menggunakan media.

c. Pendekatan konstruktivis menuntut perubahan siswa evaluasi, yang mungkin


belum bisa diterima oleh otoritas pendidik dalam waktu yang dekat.

d. Fleksibilitas kurikulum mungkin masih sulit diterima oleh guru yang terbiasa
dengan kurikulum yang terkontrol.

e. Siswa dan orang tua mungkin memerlukan waktu beradaptasi dengan proses
belajar dan mengajar yang baru.

BAB III

PENUTUP
3.1.Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga
menyebabkan munculnya perubahan perilaku mental karena adanya interaksi individu
dengan lingkungan yang disadari.

Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan,


sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik.

Tujuan belajar dan pembelajaran mencakup tujuan intruksional, tujuan


pembelajaran, dan tujuan belajar

Teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan memfokuskan pada perubahan


proses mental dan struktur yang terjadi sebagai hasil dari upaya untuk memahami dunia.
teori belajar kognitif yang digunakan untuk menjelaskan tugas-tugas yang sederhana
seperti mengingat nomor telepon dan kompleks seperti pemecahan masalah yang tidak
jelas.

Teori Belajar Konstruktivistik

Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses


pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Belajar lebih
diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan
berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang
kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.

Tokoh-Tokoh Belajar yang bersifat Konstruktivistik adalah:

Piaget: teori pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke
dalam suatu realitas, adapun proses-proses baku yang di gunakan untuk menjelaskan
proses mencapai pengertian. Skema/ skemata, Yaitu suatu struktur mental atau koqnitif
yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi
lingkungan sekitarnya, Asimilasi, Yaitu proses koqnitif yang dengannya seseorang
mengintegrasikan persepsi konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola
yang sudah ada di dalam pikirannya, Akomodasi,Dapat terjadi dalam menghadapi
rangsangan atau suatu pengalaman yang baru, karena seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah
ada. Equilibration adalah proses dari disequilibirium ke equilibrium yang berjalan terus
melalui asimilasi dan akomodasi. Equilibration akan membuat seseorang dapat
menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skemata), bila terjadi adanya
ketidak seimbangan, maka seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan
asimilasi dan akomodasi. Teori adaptasi Intelek, Skema dapat di kembangkan dan di
ubah melalui proses asimilasi dan akomodasi. Skema berkembang seturut
perkembangan intelektual, khususnya dalam taraf operasional formal.

Vygotsky: Salah satu konsep dasar pendekatan menurut Vygotsky adalah adanya
interaksi sosial individu dengan lingkungannya. menurut Vygotsky, belajar adalah
sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan proses
secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses
yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan sosial dan budaya.

Dari uraian di atas kiranya dapat di simpulkan bahwa Teori Belajar behavioristik
adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respon. Tokoh penting dalam teori belajar behaviorisme
secara teoritik antara lain adalah : Pavlov. Skinner, E.L.Thorndke,dan E.R.Guthrie.
Adapun Aplikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran yaitu meningkatkan
perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku- perilaku yang tidak diinginkan.
Metode behavioristik ini sesuai untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan juga sesuai diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi peran orang dewasa.

3.2. Saran
Sehubungan dengan hasil penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada
para pembaca agar diadakan pengkajian lanjutan yang berjudul sama dengan makalah
ini, agar ditemukan pengertian dari hakekat belajar dan pembelajaran yang lebih baik.

2.1 DAN 2.2

1. Memperoleh hasil belajar dan pengalaman hidup merupakan…..


a. Tempat belajar.
b. Proses belajar.
c. Tujuan belajar.
d. Hasil belajar.
e. Faedah belajar.

2. Dimanakah tempat belajar itu?


a. Sekolah.
b. Bimbingan belajar.
c. Khursus.
d. Tempat sepi.
e. Semua tempat.

3. Belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi
lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responsnya menurun.
Pernyataan berikut merupakan pendapat…..
a. Skinner.
b. Piaget.
c. Gagne.
d. Rogers.
e. Gagne & Rogers.

4. Kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri.


Kemampuan inii meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan
masalah. Hal ini merupakan kapabilitas siswa menurut Gagne yang berupa….
a. Informasi verbal.
b. Keterampilan intelektual.
c. Strategi kognitif.
d. Keterampilan motorik.
e. Sikap.

5. Kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan koordinasi,


sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. Hal ini merupakan kapabilitas
siswa menurut Gagne yang berupa….
a. Informasi verbal.
b. Keterampilan intelektual.
c. Strategi kognitif.
d. Keterampilan motorik.
e. Sikap.

6. Kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap


obyek tersebut. Hal ini merupakan kapabilitas siswa menurut Gagne yang
berupa….
a. Informasi verbal.
b. Keterampilan intelektual.
c. Strategi kognitif.
d. Keterampilan motorik.
e. Sikap.

7. Pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus


menerus dengan lingkungan. Merupakan pengertian belajar menurut…
a. Skinner.
b. Piaget.
c. Gagne.
d. Rogers.
e. Gagne & Rogers.

8. Menurut Piaget pengetahuan meliputi fase-fase yaitu,,,


a. Eksplorasi dan penggalian.
b. Penalaran, penerimaan, dan pengaplikasian.
c. Eksplorasi dan pengenalan konsep.
d. Eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep.
e. Penalaran, dan aplikasi.

9. Ranah perilaku yang merupakan salah satu ranah kognitif adalah kecuali,,,
a. Pengetahuan.
b. Pemahaman.
c. Fasilitas.
d. Analisis.
e. Sintesis.

10. Kondisi eksternal yang berpengaruh pada belajar adalah kecuali,,,


a. Bahan belajar.
b. Media dan sumber belajar.
c. Suasana belajar.
d. Subjek pembelajar itu sendiri.
e. Penghargaan.

2.5
1. “siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide” merupakan pendapat dari…
a. Nurhadi, dkk.
b. J. Piaget
c. Vygotsky
d. Slavin
e. Winataputra
2. Dalam teori konstruksivisme yang harus aktif dalam proses pembelajaran
adalah…
a. Siswa
b. Guru
c. Kepala Sekolah
d. Wali Murid
e. Kepala Tata Usaha
3. “adanya interaksi sosial individu dengan lingkungannya” merupakan konsep
dasar pendekatan menurut…
a. Nurhadi,dkk
b. J. Piaget
c. Vygotsky
d. Slavin
e. Winataputra
4. menurut Vygotsky, belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemen
penting, yaitu…
a. proses secara biologi dan proses secara psikososial
b. proses secara psikologi dan proses secara biologi
c. proses secara fisika dan proses secara psikososial
d. proses secara matematik dan proses secara biologi
e. proses secara kimia dan proses secara biologi
5. Yang merupakan strategi belajar konstruksivisme adalah…
a. Individual learning
b. Multimedia learning
c. Ultimate learning
d. Top-down processing
e. Under ground learning
6. Strategi belajar yang menekankan pada adanya integrasi yang aktif antara materi
dan pengetahuan yang baru diperoleh oleh skemata adalah…
a. Cooperative learning
b. Top-down processing
c. Smart learning
d. Ultimate learning
e. Generative learning
7. Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha keras…
a. Slavin dan Nurhadi
b. Jean Piaget dan Vygotsky
c. Slavin dan Vygotsky
d. Nurhadi dan Vygotsky
e. Jean Piaget dan Nurhadi
8. Jean Piaget membagi fase perkembangan manusia ke dalam …. fase
perkembangan.
a. 1
b. 2
c. 3
d. 4
e. 5
9. Vygotsky menekankan pentingnya peran …. bagi perkembangan belajar
seseorang.
a. Kecerdasan emosi
b. interaksi social
c. Kekuatan Fisik
d. Kurikulum
e. Guru
10. Pengetahuan itu sendiri rekaan dan bersifat….
a. Stabil
b. Elastic
c. Permanen
d. Tidak stabil
e. Reversibel

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin, Wahyuni. 2010. Teori belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz


Media.
Darsono, Max, dkk. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.

Fathurrohman, Pupuh dan Sutikno, Sobry. 2007. Strategi Belajar Mengajar melalui
Penanaman Konsep Umum & Konsep Islam. Cet. II, Bandung: Refika Aditama.

Gulö, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo.

Knight, George R. 1982. Issues and Alternatives in Educational Philosphy. Cet. XII,
Michigan: Andrews University Press.

Naim, Ngainun dan Patoni, Achmad. 2007. Materi Penyusunan Desain Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam (MPDP-PAI). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roziqin, Muhammad Zainur. 2007. Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola
Interkasi Guru-Murid di Era Global. Malang: Averroes Press.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Cet. IV,
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suryosubroto, B. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan. Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia;


Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Cet. III, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai