MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Belajar dan Pembelajaran
Yang dibina oleh Puger Honggowiyono
Oleh:
Ahmad Hikam H (120534431474)
Ardi Mukti Wibowo (120534431466)
Monika Faswia Fahmi (120534400670)
Randy Arsuma P (120534431455)
Puji syukur kita selalu panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas segala nikmat yang
telah diberikan kepada kita semua sehingga penyusunan makalah dengan judul
“Hakikat Belajar dan pembelajaran” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam selalu kita kirimkan kepada panutan dan tauladan hidup kita, yakni
nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa hidup kita ini dari zaman kegelapan ke
zaman terang-benderang.
Dalam penyusunan makalah ini. Penulis tidak dapat menyelesaikan makalah ini
tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis sangat
berterima kasih kepada Dosen mata kuliah Belajar dan Pembelajaran dan teman-teman
yang telah mendukung pembuatan makalah ini.
Sungguh merupakan suatu kebanggaan dari penulis apabila makalah ini dapat
terpakai sesuai fungsinya, dan pembacanya dapat mengerti dengan jelas apa yang
dibahas didalamnya. Tidak lupa juga penulis menerima kritikan dan saran yang
membangun, yang sangat diharapkan demi memperbaiki pembuatan makalah di
kemudian hari.
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting
dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005)
menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui
kegiatan belajar.
Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa belajar dapat diartikan sebagai suatu
proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi
dengan lingkungannya.
Proses belajar pada hakekatnya juga merupakan kegiatan mental yang tidak dapat
dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar tidak
dapat disaksikan. Manusia hanya mungkin dapat menyaksikan dari adanya gejala-gejala
perubahan perilaku yang tampak. Oleh karena itu, George R. Knight (1982: 82)
menganjurkan lebih banyak kebebasan untuk berekspresi bagi peserta didik dan
lingkungan yang lebih terbuka sehingga peserta didik dapat mengerahkan energinya
dengan cara yang efektif. Lebih lanjut, peserta didik harus dianggap sebagai makhluk
yang dinamis, sehingga harus diberi kesempatan untuk menentukan harapan dan tujuan
mereka dan guru (pendidik) lebih berperan sebagai penasehat, penunjuk jalan, dan rekan
seperjalanan. Guru bukanlah satu-satunya orang yang paling tahu. Oleh karena itu,
pembelajaran harus berpusat pada peserta didik (child centered), tidak tergantung pada
text book atau metode pengajaran tekstual.
1.2.Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin diajukan penulis pada makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.3.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.4.Manfaat Penulisan
Hasil penulisan makalah ini diharapkan mempunyai manfaat teoritis dan manfaat
praktif, sebagai berikut:
PEMBAHASAN
a. Hakekat Belajar
Belajar adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang
mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan berbuat (W.
Gulö, 2002: 23).
Pada dasarnya belajar merupakan tahapan perubahan prilaku siswa yang relatif
positif dan mantap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses
kognitif (syah, 2003), dengan kata lain belajar merupakan kegiatan berproses yang
terdiri dari beberapa tahap. Tahapan dalam belajar tergantung pada fase-fase belajar, dan
salah satu tahapannya adalah yang dikemukakan oleh witting yaitu :
Definisi yang lain menyebutkan bahwa belajar adalah sebuah proses yang dilakukan
oleh individu untuk memperoleh sebuah perubahan tingkah laku yang menetap, baik
yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi
sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan
(Roziqin, 2007: 62).
Dari berbagai definisi para ahli di atas, dapat disimpulkan adanya beberapa ciri belajar,
yaitu:
1. Apa pun yang dipelajari siswa, dialah yang harus belajar bukan orang lain.
2. Setiap siswa belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya
3. Siswa akan dapat belajar dengan baik bila mendapat penguatan langsung pada
setiap langkah yang dilakukan selama proses belajar.
4. Penguasaan yang sempurna dari setiap langkah yang dilakukan siswa akan
membuat proses belajar lebih berarti.
5. Motivasi belajar siswa akan lebih meningkat apabila ia diberikan tanggung
jawab dan kepercayaan penuh atas belajarnya.
Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah
perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari
perubahan perilaku, yaitu :
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu
yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan
menjadi bagian yang melekat dalam dirinya.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik
tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
b. Hakekat Pembelajaran
Secara umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan
terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka pembelajaran
dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa,
sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik (Darsono, 2000:
24). Adapun yang dimaksud dengan proses pembelajaran adalah sarana dan cara
bagaimana suatu generasi belajar, atau dengan kata lain bagaimana sarana belajar itu
secara efektif digunakan. Hal ini tentu berbeda dengan proses belajar yang diartikan
sebagai cara bagaimana para pembelajar itu memiliki dan mengakses isi pelajaran itu
sendiri (Tilaar, 2002: 128).
Keaktifan peserta didik ini tidak hanya dituntut secara fisik saja, tetapi juga dari
segi kejiwaan. Apabila hanya fisik peserta didik saja yang aktif, tetapi pikiran dan
mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai.
Ini sama halnya dengan peserta didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan
perubahan di dalam dirinya (Fathurrohman & Sutikno, 2007: 9).
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan
lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Dan tugas guru
adalah mengkoordinasikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku
bagi peserta didik. Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai usaha sadar pendidik
untuk membantu peserta didik agar mereka dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan
minatnya. Disini pendidik berperan sebagai fasilitator yang menyediakan fasilitas dan
menciptakan situasi yang mendukung peningkatan kemampuan belajar peserta didik.
Dari segi guru tujuan instruksional dan tujuan pembelajaran merupakan pedoman
tindak mengajar dengan acuan berbeda. Tujuan instruksiona (umum dan khusus)
dijabarkan dari kurikulum yang berlaku secara legal di sekolah.
Dari segi siswa, sasaran belajar tersebut murupakan panduan belajar. Panduan
belajar tersebut harus diikuti, sebab mengisyaratkan kriteria keberhasilan belajar.
Keberhasilan belajar siswa merupakan prasyarat belajar selanjutnya. Keberhasilan
belajar siswa berarti tercapainya tujuan belajar siswa dengan demikian merupakan
tercapainya tujuan instruksional dan sekaligus tujuan belajar bagi siswa.
Siswa dalah subjek yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Dalam kegiatan tersebut siswa mengalami tindak mengajar, dan merespon dengan
tindak belajar. Pada umumnya semula siswa belum menyadari pentingnya belajar.
Berkat informasi guru tentang sasaran belajar, maka siswa mengetahui apa dan arti
bahan belajar beginya.
Siswa mengalami suatu perses belajar. Dalam proses belajar tersebut siswa
menggnakan kemampuan mentalnya untuk mempelajari bahan belajar. Kemempuan-
kemampuan kognitif, afektif, psikomotor yang dibelajarkan dengan bahan belajar
menjadi semakin rinci dan menguat. Adanya informasi tentang sasaran belajar, adanya
penguatan-penguatan, adanya evaluasi dan keberhasikan belajar, menyebabkan siswa
semakin sadarakan kemampuan dirinya.
Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang
dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberi
kontribusi terhadap penggunakan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar.
Menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan (Baharuddin, H dan Esa Nur Wahyuni,
2007:88). Beberapa konsep belajar menurut aliran kognitivisme yaitu Teori Gestalt
yang berkembang di Jerman dengan pendiri utamanya Max Wertheimer, dibantu oleh
Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka (Sukmadinata, Nana Syaodih, 2009:170). Teori ini
menjelaskan bahwa belajar harus dimulai dari keseluruhan, baru kemudian kepada
bagian-bagian. Belajar Gestalt menekankan pemahaman atau insight untuk mencari dan
mendapatkan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Selain itu, teori ini juga
menekankan pentingnya pengmatan terhadap stimuli di dalam lingkungan dan faktor-
faktor yang mempengaruhi pengamatan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Piaget, Bruner, dan
Ausubel dalam Afid Burhanuddin (2011:17), (1) belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahaman, (2) perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan
perilaku, (3) asumsinya bahwa setiap orang telah mempunyai pengalaman dan
pengetahuan di dalam dirinya, yang berupa struktur kognitif, (4) proses belajar akan
berjalan baik bila materi pelajaran yang baru, beradaptasi (berkesinambungan) dengan
struktur kognitif yang dimiliki siswa.
Generalisasi,Deskriminasi,dan Pembelajaran
Faktor lain yang juga penting dalam teori belajar pengkondisian klasik Pavlov
adalah generalisasi,deskriminasi,dan pelemahan.
a. Generalisasi.
Dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur
begitu mendengar suara-suara yang mirirp dengan bel, contoh suara peluit (karena
anjing mengeluarkan air liur ketika bel dipasangkan dengan makanan). Jadi,generalisasi
melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi
asli untuk menghasilkan respon serupa. Contoh, seorang peserta didik merasa gugup
ketika dikritik atas hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran matematika. Ketika
mempersiapkan ujian Fisika, peserta didik tersbut akan merasakan gugup karena kedua
pelajaran sama-sama berupa hitungan. Jadi kegugupan peserta didik tersebut hasil
generalisasi dari melakukan ujian mata pelajaran satu kepada mata pelajaran lain yang
mirip.
b. Deskriminasi.
Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov
memberikan makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi yang
lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian dikelas yang
berbeda, pesrta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian bahasa
Indonesia dan sejarah karena keduanya merupakan subjek yang berbeda.
c. Pelemahan (extincition).
Proses melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus tak
terkondisi. Pavlov membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan.
Akhirnya, dengan hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mngeluarkan air liur.
Contoh, kritikan guru yang terus menerus pada hasil ujian yang jelek, membuat peserta
didik tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya peserta didik pernah mendapat nilai
ujian yang bagus dan sangat termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning klasik digunakan untuk mengembangkan
sikap yang menguntungkan terhadap pesrta didik untuk termotivasi belajar dan
membantu guru untuk melatih kebiasaan positif pesrta didik.
2) Skinner
B.F.Skinner terkenal dengan teori pengkondisian operan (operant conditioning)
atau juga disebut pengkondisian instrumental (instrumental conditioning), yaitu suatu
bentuk pembelajaran dimana konsekuensi perilaku menghasilkan berbagai kemungkinan
terjadinya perilaku tersebut. Penggunaan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan untuk mengubah perilaku itulah yang disebut dengan pengkondisian
operan.
Prinsip teori Skinner ini adalah hukum akibat, penguatan atau penghargaan,dan
konsekuensi. Prinsip hukum akibat menjelaskan bahwa perilaku yang diikuti hasil
positif akan diperkuat dan perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemah.
Penguatan merupakan suatu konsekuensi yang meningkatkan peluang terjadinya suatu
perilaku. Konsekuensi adalah suatu kondisi yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan yang terjadi setelah perilaku dan memengaruhi frekuensi prilaku pada
waktu yang akan dating. Konsekuensi yang menyenangkan disebut tindakan penguatan
dan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman.
a. Penguatan (Reinforcement)
Menurut Skinner, untuk memperkuat perilaku atau menegaskan perilaku
diperlukan suatu penguatan (reinforcement). Ada juga jenis penguatan, yaitu penguatan
positif dan penguatan negative.
2) Partial Reinfocement
Penguatan diberikan dengan menggunakan jadwal tertentu.
Jadwal Rasio Tetap (Fixed interval Schedule – FI),
yaitu pemberian penguatan berdasarkan frekuensi atau jumlah respon/tingkah laku
tertentu secara tetap. Contoh: Guru TK berkata, “Jika kalian sudah selesei mengerjakan
10 saol, kalian mendapat hadiah permen.” Tanpa peduli jumlah waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan soal tersebut. Siswa mampu menyelesaikan 10 soal (jumlah
perilaku yang diharapkan) dan mendapat hadiah permen (merupakan satu penguatan).
Dalam pembelajaran, pelaksanaan penguatan ini dapat ditingkatkan jumlah perilakunya
secara bertahap, misalnya meningkat mulai 5 soal dapat dikerjakan mendapat satu
penguatan (FR-5), meningkat menjadi 10 soal mampu dikerjakan satu penguatan (FR-
10), dan seterusnya. Akhirnya, pesrta didik diharapkan mampu mengerjakan banyak
soal dengan satu penguatan atau bahkan tanpa adanya penguatan.
Jadwal Internal Tetap (Fixed Interval Schedule-FI),
Pemberian penguatan berdasarkan jumlah waktu tertentu secara tetap. Dalam, FI jumlah
waktunya yang tetap. Contoh ini sangat cocok digunakan seorang ibu untuk melatih
anak kecilnya agar mengurangi kebiasaan makan atau minum susu berlebihan. Ibu
berkata pada susternya, “Si Badu hanya diberikan susu setiap 1 jam sekali”. Jadi,
meskipun Si Bedu menangis, karena belum 1 jam, suster tidak boleh memberikan susu.
Minum susu setiap 1 jam (perilaku yang diharapkan) dan pemberian susu oleh suster
(penguatan yang diberikan). Jumlah waktu bisa ditingkatkan nenjadi setiap 2 jam (FI-2),
3 jam (FI-3) sampai akhirnya menjadi 4 sekali (FI-4).
Jadwal Rasio Variabel ( Variable Ratio Schedule – VR),
Pemberian penguatan berdasarkan perilaku, tetapi jumlah perilakunya tidak tetap. Jadi,
penguatan tetap diberikan untuk perilaku yang diharapkan, tetapi jumlah perilakunya
tidak tetap. Contoh paling tepat adalah permainan anak-anak dengan cara memasukkan
koin ke mesin untuk mendapatkan hidak tahu pada perilakuadiah. Anak tersebut tidak
tahu pada perilaku memasukkan koin yang ke berapa kali, baru memperoleh
hadiah.Contoh dalam pembelajaran adalah guru akan memberi nilai tambahan setiap
peserta didik (dari 40 peserta didik di kelas) yang menjawab benar. Peserta didik akan
mencoba untuk menjawab belum tentu benar berkalli-kali- VR ) dan tambahan nilai
(penguat VR).
Jadwal Interval Variabel (Variabel Interval Schedule – VI)
Pemberian penguatan pada suatu perilaku, tetapi jumlah waktunya tidak tetap yaitu
tidak dapat ditentukan kapan waktunya tidak tetap. Jika dalam VR, jumlah perilakunya
tetap. Dalam VI, jumlah waktunya tidak tetap. Contoh, guru secara acak melakukan
pemeriksaan secara keliling di kelas terhadap pekerjaan peserta didik yang menjawab
benar dan guru memneri pujian setiap menemukan jawaban benar peserta didik. Peserta
didik tidak tahu kapan guru menghampiri dan melihat pekerjaannya serta memujinya
jika jawabannya benar. Karena peserta didik tidak tahu kapan gurunyamenghampiri,
peserta didik tersebut selalu berusaha mengerjakan dengan benar setiap saat. Peserta
didik mengerjakan benarsetiap saat (perilaku-VI) dan guru yang sempat menghampiri
dan memberi pujian pada waktu yang tidak tetap (penguatan-VI).
3) Keefektifan Hukuman
Hukuman hendaknya diberikan untuk perilaku yang sesuai. Terkadang hukuman
diberikan terlalu berat, terlalu ringan, bahkan bentuk hukuman yang tidak ada kaitan
dengan pperilaku yang ingin dihilangkan. Contoh: peserta didik yang tidak mengerjakan
PR harus keliling lapangan 10 X (hukuman tidak sesuai), mungkin hukuman yang
cocok, peserta didik diberikan PR yang lebih banyak daripada temannya, dan lain-lain.
3) Thondike
Teori belajar Thondike di kenal dengan istilah koneksionisme (connectionism).
Teori ini memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya
asosiasi atau menghubungkan antara kesan indera (stimulus) dengan dorongan yang
muncul untuk bertindak (respon), yang di sebut dengan connecting. Dalam teori ini juga
di kenal istilah selecting, yaitu stimulus yang beraneka ragam di lingkungan melalui
proses mencoba-coba dan gagal (trial &error). Setiap organisme jika dihadapkan
dengan situasi baru akan melakukan tindakan tindakan yang sifatnya coba-coba. Jika
dalam mencoba itu secara kebetulan ada tindakan yang dianggap memenuhi tuntutan
situasi, tindakan yang kebetulan cocok itu akan “di pegang”. Karena latihan yang terus
menerus, waktu yang digunakan untuk coba-coba itu semakin lama semakin efisien.
Dalem teori ini, proses tersebut terjadi secara mekanistik, tanpa penalaran, tidak melihat
situasi keseluruhan, dan terjadinya secara bertahap.
Percobaan Thorndike adalah sebagai berikut. Seekor kucing yang lapar dimasukkan
ke dalam kandang tertutup yang ada pintunya, tetapi pintu tersebut di beri pedal, apabila
pedal di injak, pintu terbuka. Di luar kandang diletakkan sepiring makanan (daging).
Apa reaksi kucing/ Mula-mula kucing bergerak ke sana ke mari ml pintu mencoba-coba
hendak keluar dari kandang. Lama kelamaan pada suatu ketika secara kebetulan terinjak
pedal pintu oleh salah satu kakinya. Pintu kandang terbuka dan kucing keluarlah menuju
makanan.
Percobaan di ulangi lagi. Tingkah laku itu meskipun sama seperti pada percobaan
pertama, hanya waktu yang dibutuhkan untuk bergerak ke sana ke mari lebih singkat.
Setalah diadakan percobaan berkali-kali, akhirnya kucing itu tidak perlu lagi kesana
kemari, tetapi langsung menginjak pedal pintu dan terus keluar menuju makanan. Dalam
teori koneksionisme, di kenal dengan hukum-hukum Thorndike, yaitu hukum akibat
(low of effect), hukum kesiapan(law of readiness), dan hukum latihan (law of exercise)
a. Hukum Akibat (Low of Effect)
Suati tindakan atau tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang
menyenangkan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diulangi, di ingat, dan dipelajari
dengan sebaik-baiknya.
Suatu tindakan/tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang tidak
menyenangkan (tidak cocok dengan tuntutan situasi) akan dihilangkan atau dilupakan.
Tingkah laku ini terjadi secara otomatis. Contoh: Jika dapat membuat lampion dengan
rapi, peserta didik merasa sangat puas karenamendapat pujian. Tindakan tersebut akan
diulangi, di ingat, dan depelajari dengan sebaik-baiknya bahkan berusaha menjadi lebih
baik lagi.
b. Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Kesiapan untuk bereaksi terhadapsuatu stimilus yang di hadapi sehingga reaksi
tersebut menjadi memuaskan. Pernyataan tersebut dapa dijabarkan sebagai berikut:
Jika individu siap melakukan tindakan, melakukan tindakan itu akan menimbulkan
kepuasan. Contoh: Peserta didik yang merasa sangat siap menghadapi ulangan dengan
belajar keras, mengikuti ulangan merupakan suatu tindakan yang menyenangkan karena
dapat mengerjakan dengan benar.
Jika hubungan antara stimulus & respon dihentikan untuk periode tertentu,
koneksinya akan melemah (law of dis-use). Contoh: Keterampilan peserta didik
menangkap bola itu terjadi karena latihan. Jika latihan menangkap bola dihentikan
dalam jangka waktu yang relative lama (tidak di latih), lama kelamaan keterampilan
menangkap bola menjadi berkurang atau bahkan hilang (hubungan S-R melemah).
Tanpa informasi atau umpan balik yang memberi “reward” hanya terjadi perubahan
kecil dalam distribusi respons.
4) E.RGuthrie
Menurur Guthrie,tingkah laku manusia itu secara keseluruhan merupakan
rangkaian tingkah laku yang terjadi atas unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan
respon-respon dari stimulus sebelumnya dan kemudian unit respon tersebut menjadi
stimulus yang kemudian akan menimbulkan respon bagi unit tingkah laku yang
berikutnya. Demikian seterusnya sehingga merupakan deretan tingkah laku yang terus
menerus. Jadi proses terbentuknya rangkaian tingkah laku tersebut terjadi dengan
kondisioning melalui proses asosiasi antara nit tingkah laku yang satu dengan unit
tingkah laku lainya menjadi semakin kuat. Prinsip belajar pembentukan tingkah laku ini
disebut law association.
Menurut Guthrie,untuk memperbaiki tingkah laku yang jelek harus dilihat
dari rentetan unit-unit tingkah lakunya,kemudian diusahakan untuk menghilangkan atau
mengganti unit tingkah laku yang tidak baik dengan tingkah laku yang seharusnya.
Tiga metode mengubah tinhkah laku menurut tingkah laku ini,yaitu:
a) Metode respon bertentangan
b) Metode membosankan
c) Metode mengubah lingkungan
Dalam proses belajar di kelas, menurut Nurhadi dkk, (2004), siswa perlu
dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya,
dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan
kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pngetahuan di benak mereka sendiri.
Esensi dari teori konstruktivisme ini adalah ide. Siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu, maka
belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan
“menerima” pengetahuan.
Oleh karena itu, Slavin menyatakan bahwa dalam proses belajar dan
pembelajaran siswa harus terlibat aktif dan siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan
pembelajaran di kelas. Guru dapat memfasilitasi proses ini dengan mengajar
menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan
bagi siswa. Untuk itu, guru harus memberi kesepatan pada siswa untuk menemukan atau
mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, di samping mengajarkan siswa untuk
menyadari dan sadar akan strategi belajar mereka sendiri.
2. Sejarah Konstruktivisme
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan.
Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha keras Jean Piaget
dan Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif ke arah
perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser
karena ada sebuah informasi baru yang diterima melalui proses
keseimbangan(dissequilibrium). Selain itu, Jean Piaget dan Vygotsky juga menekankan
pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi
kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan peubahan secara
konseptual. Berikut ini kan dibahas konsep Jean Piaget dan Vygotsky tentang belajar
yang merupakan dasar bagi pendekatan konstruktivisme dalam belajar.
Proses adaptasi ialah proses yang berisi dua kegiatan.Pertama, menggabugkan atau
mengintegrasikan pengetahuan yang diterima oleh manusia tau disebut dengan
asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur
pengetahuan baru, sehingga akan terjadi keseimbangan (equilibrium). Dalam proses
daptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep dasar, yaitu skemata, asimilasi,
akomodasi, dan keseimbangan.
Pertama, skemata. Yaitu suatu struktur mental atau koqnitif yang dengannya
seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan
sekitarnya,Manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia
cenderung mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya. Hal itu mengakibatkan
adanya sejumlah struktur psikiogis yang berbeda bentuknya pada setiap fase atau
tingkatan perkembangan tingkah laku dan kegiatan berpikir manusia. Struktur ini
disebut struktur pikiran(intellectual scheme). Dengan demikian, pikiran harus memiliki
sutu struktur yaitu skema yang berfungsi melakukan adaptasi dengan lingkungan dan
menata lingkungan itu secara intelektual.
Secara sederhana skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau
kategori yang digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungan. Skemata ini
senantiasa berkembang. Rtinya, ketika kecil seorang anak hanya memiliki beberpa
skemata saja, tapi setelah beranjak dewasa skemataanya secar berangsur-angsur
bertambah banyak, luas, beraneka ragam, dan kompleks. Perkembangan ini
dimungkinkan oleh stimulus-stimulus yang dialaminya yang kemudian diorganisasikan
dalam pikirannya. Piaget mengatakan bahwaskemata orang dewasa berkembangmulai
dari skemata anak melalui proses adaptasi sampai pada penataan dan organisasi. Makin
mampu seseorang membedakan satu stimulus dengan stimulus lainnya, makin banyak
skemata yang dimilikinya. Dengan demikian, skemata adalah struktur kognitif yang
selalu berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan danya perubahan tersebut
adalah asimilasi dan akomodasi.
Kedua, asimilasi. Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan pengalaman bar
ketika seserang memdukan stimulus atau persepsi kedalam skemata atau perilaku yang
sudah ada. Misalnya, seorang anak belum pernah melihat seekor ayam. Stimulus ayam,
yang dialaminya akan diolah dalam pikirannya, dicocok-cocokkan dengan skemata-
skemata yan telah ada dalam struktur mentalnya. Mungkin saja skemata yang paling
dekat dengan ayam adalah burung, maka ia menyebut ayam itu itu dengan burung besar
karena stimulus ayam diasimilasikan ke dalam skmata burung. Nanti, ketika
dipahaminya bahwa hewan itu bukan burung besar melainkan ayam, maka terbentuklah
skemata ayam dalam struktur pikiran anak itu.
Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam asimilasi, individu
memaksakan struktur yang ada padanya kepada stimulus yang masuk. Artinya, stimulus
dipaksa untuk memasuki salah satu yang cocok dalam struktur mental individu yang
bersangkutan. Sebaliknya dalam akomodasi individu dipaksa mengubah struktur
mentalnya akan cocok dengan stimulus yang baru itu. Dengan kata lain, asimilasi
bersama-samaa dengan akomodasi secara terkoordinasi dan terintegrasi menjadi
penyebab teradinya adaptasi intelektual dan perkembangan struktur intelektual.
Proses adaptasi juga dipengaruhi oleh faktor herediter dan lingkungan, sehingga
hal ini mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan proses asimilasi,
akomodasi, dan keseimbangan. Faktor keturunan yang baik berkaitan dengan proses-
proses adaptasi akan memengaruhi, walaupu faktor lingkungan lebih memiliki
pengaruh.
Proses adaptasi manusia dalam menghadapi pengetahuan baru juga ditentukan oleh fase
perkembangan kognitifnya. Jean Piaget membagi fase perkembangan manusia kedalam
empat fase perkembangan, yaitu :
Concrete 7-11 Pada saat ini anak dapat berfikir secara logis
Operational mengenai peristiwa-peristiwa yang kongkret dan
mengklasifikasikan benda-benda kedalam
bentuk-bentuk yang berbeda.
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karenanya guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir mereka.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tapi tidak asing.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-teman.
Salah satu konsep dasar pendekatan konstruktivisme dalam blajar adalah adanya
interaksi sosial individu dengan ligkungannya. Menurut Vygotsky, belajar adalah
sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama,belajar merupakan proses
secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses
yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga,
lanjut Vygotsky munculnya perilaku seseorang karena intervening kedua elemen
tersebut. Pada saat seseorang mendapatkan stimulus dari lingkungannya, ia akan
menggunakan fisiknya berupa alat inderanya untuk menangkap atau menyerap stimulus
tersebut, kemudian dengan menggunakan syaraf otaknya, informasi yang telah diterima
tersebut diolah.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih
mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam
penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah
interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial
dalam belajar.
Menurut Vygotsky, fungsi mental tingkat tinggi biasanya ada dalam percakapan
atau komunikasi dan kerjasama diantara individu-individu (proses sosialiasi) sebelum
akhirnya itu berada pada diri individu (internalisasi). Oleh karena itu, pada saat
seseorang berbagi pengetahuan dengan orang lain, dan akhirnya pengtahuan itu menjadi
pengetahuan personal, disebut dengan private speech.Disini Vygotsky ingin
menjelaskan bahwa adanya kesadaran sebagai akhir dari sosialisasi tersebut.
Naive psychology, yaitu tahap kedua dari perkembangan bahasa ketika seorang
anak mengeksplore atau menggali objek-objek konkret dalam dunia mereka. Pada tahap
ini anak mulai memberi nama atau label terhadap objek-objek tersebut dan telah
mengucapkan beberapa kata dalam berbicara. Ia dapat memahami pemahaman verbal
dan dapat menngggunakannya untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga
hal ini dapat lebih mengembangkan kemampuan bahasanya yang akan memengaruhi
cara berpikir dan lebih meningkatkan hubungannya dengan orang lain.
Egocentric Speech. Tahap ini terjadi ketika anak berusia 3 tahun. Pada tahap ini,
anak selalu melakukan percakapan tanpa memedulikan orag ain atau apakah orang lain
mendengarkan mereka atau tidak.
Inner speech. Tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam mengarahkan
perilaku seseorang. Misalnya, pikiran seorang gadis kecil usia 5 tahun yang ingin
mengambil buku di atas lemari. Ketika ia meraih buku itu dengan tangan, ternyata
tagannya tidak dapat mecapai buku tersebut. Kemudian ia mengataakan pada dirinya,
“aku butuh kursi untuk mengambil buku itu”. Selanjutnya ia mengambil kursi dan naik
kursi untuk mengambil buku, dan ia mengatakan pada dirinya, “Ok, sedikit agi aku
dapat meraih buku itu. Oh ya, aku harus berjinjit agar dapat meraih buku itu”. Dari
contoh tesebut dapat dilihat bagaimana ucapan yang ditujukn pda dirinya sendiri dapat
memberikan arah bagi perilakunya. Sama dengan gadis kecil tersebut, orang dewasa
sering juga meggunakan inner speech untuk mengarahkan perilaku dan menyelesaikan
tugas-tugas sulit yang harus dipecahkan.
Ide dasar lain dari teori belajar Vygotsky adalah scaffolding. Scaffolding adalah
memberikan dukungan dan bantuan kepada seorang anak yang sedang pada awal
belajar, kemudian sedikit demi sedikit mengurangi dukungan atau bantuan tersebut
setelah anak mampu untuk menyelesaikan problem dari tugas yang dihadapinya. Ini
ditujukan agar anak dapat belajar mandiri. Contohnya, sorang ibu yan
menggunakan scaffolding untuk membantu anaknya belajar menyemr sepaunya sendiri,
mula-mula ia dibantu dengan instruksi dan contoh bagaimana membersihkan sepatu, ib
tersebut membbiarkan anakna sendiri melakukan tugas tersebut.
c. Generative learning. Strategi ini menekankan pada adanya iintegrasi yang aktif
antara materi dan pengetahuan yang baru diperoleh oleh skemata. Sehingga dengan
menggunakan pendekatan generative learning diharapkan siswa lebih melakukan proses
adaptsi ketika menghadapi stimulus baru. Selain itu juga, generative learning ini
mengajarkan sebua metode yng untuk melakukan kegiatan mental saat belajar, seperti
membuat pertanyaan, kesimpulan, atau analogi-analogi terhadap apa yang sedang
dipelajarinya.
Yang sangat penting daam teori konstrukivisme adalah bahwa dalam proses
belajar siswalah yang harus mendapatkan tekanan. Merekalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Mereka yang
harus bertanggugjawab terhadap hasil belajarrnya penekanan belajar siswa aktif ini
dalam dunia pendidikan, terlebih di Indonesia kiranya sangat penting dan perlu
dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri
sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu mejadi orang yang
kritis menganalisis suatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja. Kita para
pendidik diajak untuk tidak mematikan kerativitas mereka, tetapi menunjukkan apakah
gagasan, ide, dan interprestasi mereka itu sungguh berjalan dan berlaku.
a. Memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri
Kekurangannya:
d. Fleksibilitas kurikulum mungkin masih sulit diterima oleh guru yang terbiasa
dengan kurikulum yang terkontrol.
e. Siswa dan orang tua mungkin memerlukan waktu beradaptasi dengan proses
belajar dan mengajar yang baru.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga
menyebabkan munculnya perubahan perilaku mental karena adanya interaksi individu
dengan lingkungan yang disadari.
Piaget: teori pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke
dalam suatu realitas, adapun proses-proses baku yang di gunakan untuk menjelaskan
proses mencapai pengertian. Skema/ skemata, Yaitu suatu struktur mental atau koqnitif
yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi
lingkungan sekitarnya, Asimilasi, Yaitu proses koqnitif yang dengannya seseorang
mengintegrasikan persepsi konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola
yang sudah ada di dalam pikirannya, Akomodasi,Dapat terjadi dalam menghadapi
rangsangan atau suatu pengalaman yang baru, karena seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah
ada. Equilibration adalah proses dari disequilibirium ke equilibrium yang berjalan terus
melalui asimilasi dan akomodasi. Equilibration akan membuat seseorang dapat
menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skemata), bila terjadi adanya
ketidak seimbangan, maka seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan
asimilasi dan akomodasi. Teori adaptasi Intelek, Skema dapat di kembangkan dan di
ubah melalui proses asimilasi dan akomodasi. Skema berkembang seturut
perkembangan intelektual, khususnya dalam taraf operasional formal.
Vygotsky: Salah satu konsep dasar pendekatan menurut Vygotsky adalah adanya
interaksi sosial individu dengan lingkungannya. menurut Vygotsky, belajar adalah
sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan proses
secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses
yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan sosial dan budaya.
Dari uraian di atas kiranya dapat di simpulkan bahwa Teori Belajar behavioristik
adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respon. Tokoh penting dalam teori belajar behaviorisme
secara teoritik antara lain adalah : Pavlov. Skinner, E.L.Thorndke,dan E.R.Guthrie.
Adapun Aplikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran yaitu meningkatkan
perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku- perilaku yang tidak diinginkan.
Metode behavioristik ini sesuai untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan juga sesuai diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi peran orang dewasa.
3.2. Saran
Sehubungan dengan hasil penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada
para pembaca agar diadakan pengkajian lanjutan yang berjudul sama dengan makalah
ini, agar ditemukan pengertian dari hakekat belajar dan pembelajaran yang lebih baik.
3. Belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi
lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responsnya menurun.
Pernyataan berikut merupakan pendapat…..
a. Skinner.
b. Piaget.
c. Gagne.
d. Rogers.
e. Gagne & Rogers.
9. Ranah perilaku yang merupakan salah satu ranah kognitif adalah kecuali,,,
a. Pengetahuan.
b. Pemahaman.
c. Fasilitas.
d. Analisis.
e. Sintesis.
2.5
1. “siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide” merupakan pendapat dari…
a. Nurhadi, dkk.
b. J. Piaget
c. Vygotsky
d. Slavin
e. Winataputra
2. Dalam teori konstruksivisme yang harus aktif dalam proses pembelajaran
adalah…
a. Siswa
b. Guru
c. Kepala Sekolah
d. Wali Murid
e. Kepala Tata Usaha
3. “adanya interaksi sosial individu dengan lingkungannya” merupakan konsep
dasar pendekatan menurut…
a. Nurhadi,dkk
b. J. Piaget
c. Vygotsky
d. Slavin
e. Winataputra
4. menurut Vygotsky, belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemen
penting, yaitu…
a. proses secara biologi dan proses secara psikososial
b. proses secara psikologi dan proses secara biologi
c. proses secara fisika dan proses secara psikososial
d. proses secara matematik dan proses secara biologi
e. proses secara kimia dan proses secara biologi
5. Yang merupakan strategi belajar konstruksivisme adalah…
a. Individual learning
b. Multimedia learning
c. Ultimate learning
d. Top-down processing
e. Under ground learning
6. Strategi belajar yang menekankan pada adanya integrasi yang aktif antara materi
dan pengetahuan yang baru diperoleh oleh skemata adalah…
a. Cooperative learning
b. Top-down processing
c. Smart learning
d. Ultimate learning
e. Generative learning
7. Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha keras…
a. Slavin dan Nurhadi
b. Jean Piaget dan Vygotsky
c. Slavin dan Vygotsky
d. Nurhadi dan Vygotsky
e. Jean Piaget dan Nurhadi
8. Jean Piaget membagi fase perkembangan manusia ke dalam …. fase
perkembangan.
a. 1
b. 2
c. 3
d. 4
e. 5
9. Vygotsky menekankan pentingnya peran …. bagi perkembangan belajar
seseorang.
a. Kecerdasan emosi
b. interaksi social
c. Kekuatan Fisik
d. Kurikulum
e. Guru
10. Pengetahuan itu sendiri rekaan dan bersifat….
a. Stabil
b. Elastic
c. Permanen
d. Tidak stabil
e. Reversibel
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrohman, Pupuh dan Sutikno, Sobry. 2007. Strategi Belajar Mengajar melalui
Penanaman Konsep Umum & Konsep Islam. Cet. II, Bandung: Refika Aditama.
Knight, George R. 1982. Issues and Alternatives in Educational Philosphy. Cet. XII,
Michigan: Andrews University Press.
Naim, Ngainun dan Patoni, Achmad. 2007. Materi Penyusunan Desain Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam (MPDP-PAI). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Roziqin, Muhammad Zainur. 2007. Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola
Interkasi Guru-Murid di Era Global. Malang: Averroes Press.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Cet. IV,
Bandung: Remaja Rosdakarya.