1. Pengertian al-Insân
Jika dilihat dari aspek bahasa, kata ( إنسانInsân) menurut Ibn Mandzhur diambil dari tiga akar
kata, yaitu; ( َأَنَسanasa), ( َأَّنَسannasa) serta ( َنِس َيnasiya).
Kata ( َأَنَسanasa) memiliki arti ( َأْبَص َرabshara), ‘( َع ِلَمalima), ( ِإْس َتاَذ َنistȃdzana). Kata َأْبَص َر
(abshara) berarti melihat, bernalar, berpikir. Dengannya manusia dapat mengambil pelajaran
dari apa yang mereka lihat. Kata ‘( َع ِلَمalima) berarti mengetahui atau berilmu. Dengan ilmunya
manusia dapat membedakan suatu perkara apakah itu benar atau salah. Sedangkan kata ِإْسَتاَذ َن
(istȃdzana) memiliki arti meminta izin. Manusia merupakan makhluk yang beradab yang kadang
meminta izin ketika akan melakukan sesuatu atau menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.
Berdasarkan pembedahan kata ini, al-Insân dapat diartikan sebagai makhluk yang mempunyai
kemampuan untuk menalar, makhluk yang berilmu serta makhluk yang beradab.[1]
Kata ( َأَّنَسannasa) berarti jinak, ramah.[2] Manusia merupakan makhluk yang bersahabat dan
ramah pergaulan.
Sedangkan kata ( َنِس َيnasiya) berarti lupa.[3] Manusia merupakan makhluk yang memiliki sifat
lupa.
Quraish Shihab mengartikan kata Insân sebagai seorang yang harmonis, tampak, lemah lembut
atau pelupa.[4] Dalam bahasa inggris al-Insân disebut sebagai human (manusia).
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat di simpulkan bahwa al-Insân dapat diartikan sebagai
makhluk yang memiliki kemampuan menalar dan berpikir yang dengannya manusia dapat
mengambil pelajaran dari apa yang mereka lihat sehingga ia dapat maju dan berkembang. Ia
merupakan makhluk yang berilmu, sehingga dengan ilmunya ia dapat membedakan suatu
perkara apakah itu benar atau salah. Ia merupakan makhluk yang pada hakikatnya memiliki adab
sehingga ia tidak suka merampas dengan mengambil hak orang lain tanpa meminta izin. Ia
merupakan makhluk yang pada hakikatnya ramah dalam pergaulan serta bersahabat dengan
lingkungan, namun terkadang ia lupa (Khilaf) sehingga dengan mudah dipengaruhi Syaithan
untuk melaju ke jalan yang salah.
Kata al-Insân dinyatakan dalam Alquran sebanyak 65 kali dalam 43 surat.[5] Secara umum kata
al-Insân dalam Alquran diartikan sebagai manusia, namun istilah manusia dalam Alquran tidak
hanya al-Insân. Terdapat sekitar 4 istilah lain selain al-Insân dalam Alquran untuk pengistilahan
manusia, yakni al-Ins, al-Basyar, al-Nâs, serta Banî Ȃdam.
Secara sepintas jika kita lihat manusia dan hewan itu tidak ada bedanya. Manusia dan hewan
sama-sama merupakan makhluk hidup yang memiliki nafsu dan naluri. Perbedaan antara
manusia dan hewan terletak pada akal pikiran yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Akal
pikiran itu membantu manusia untuk dapat mengatur nafsu dan nalurinya sesuai dengan situasi
dan kondisi lingkungan sedangkan binatang hanya dikaruniai nafsu dan naluri tanpa memiliki
akal. Manusia mempunyai aturan dan hukum yang merupakan manifestasi dari akal sehingga
dengannya manusia dapat hidup lebih teratur. Berbeda dengan hewan yang hanya bergantung
pada hukum alam sebagai manifestasi dari naluri mereka. Kehidupan mereka sepenuhnya diatur
oleh alam. Manusia dengan akalnya mampu menguasai alam dan menjadikan alam tunduk
terhadap manusia. Akal yang dimiliki manusia membantunya untuk mengelola serta mengolah
apa yang terdapat di alam sebagai pemenuh kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya. Semua itu
Allah karuniakan agar manusia menggunakan akalnya karena akallah yang membedakan
manusia dengan hewan.
Semakin berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), manusia semakin banyak
menciptakan alat-alat untuk mempermudah melakukan pekerjaan. Hal inilah yang membuat
sebagian orang menjadi malas untuk menggunakan akalnya karena semua kebutuhan yang ia
butuhkan dapat dengan mudah dan instan tersedia. Memang hal tersebut merupakan sebuah
kewajaran karena berdasarkan salah satu arti dari al-Insân yang diartikan sebagai pelupa, mausia
menjadi lupa akan tugas dan fungsinya di muka bumi ini. Maka untuk mengingatkan manusia
agar tidak terlelap dalam dunianya dan menjadi budak dari alam, Allah mengutus seorang rasul
serta menurunkan wahyu-Nya melalui rasul tersebut berupa Alquran.
Terkadang sering kita mendengar istilah “Manusia adalah hewan yang berpikir”. Istilah tersebut
merupakan sentilan bagi manusia yang malas menggunakan akal pikirannya. Maksud dari istilah
tersebut bukan untuk menyamakan manusia dengna hewan, tetapi justru istilah tersebut
membatasi pengertian manusia terhadap hewan. Manusia yang tidak menggunakan akal
pikirannya tidak jauh berbeda dengan hewan, karena telah dibahas sebelumnya bahwa yang
membedakan manusia dan hewan yaitu terletak pada akal dan pikiran yang dikaruniakan oleh
Allah. Manusia dan hewan sama-sama memiliki hawa nafsu, naluri serta insting. Kasarnya
manusia itu tidak pantas disebut sebagai manusia jika mereka tidak mau menggunakan akalnya
dan manusia yang seperti itu lebih pantas jika disamakan dengan hewan.
Menurut Koentjaraningrat, naluri adalah suatu keadaan dalam kesadaran individu manusia yang
tidak ditimbulkan karena pengaruh pengetahuannya, tetapi karena sudah terkandung dalam gen
yang dibawanya sejak lahir.[7] Begitupun juga naluri yang ada pada binatang, naluri mereka
timbul berdasarkan kesadaran yang memang sudah terkandung dalam gen yang dibawanya sejak
lahir dan tidak harus melakukan pembelajaran terlebih dahulu. Mereka melakukan suatu
perbuatan karena memang mereka sudah melakukan hal itu sejak lahir. Akal yang dimiliki
manusia membuatnya dapat menciptakan karya serta budaya ataupun mengembangkan ilmu
pengetahuan. Istilah kata naluri dan budaya sama-sama berarti tingkah laku manusia. Budaya
adalah manifestasi dari akal pikiran manusia. Budaya sangatlah berbeda dengan naluri. Menurut
Ralph Linton, kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun.
Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan yang bersifat duniawi. Karena itu, tiap masyarakat
memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dan setiap manusia adalah makhluk yang berbudaya.[8]
Pemaparan tersebut memberikan penjelasan pada kita bahwa budaya dan naluri merupakan
seuatu istilah yang sangat berbeda. Budaya merupakan buah hasil dari pemikiran manusia dan
dibutuhkan suatu pembelajaran untuk mendapatkannya. Sedangkan naluri merupakan kesadaran
pada diri manusia yang tidak memerlukan suatu pembelajaran untuk mendapatkannya, karena
naluri merupakan sifat dan kesadaran yang telah melekat pada diri manusia.
Manusia seutuhnya adalah mereka yang mau menggunakan akalnya untuk berpikir terutama
memikirkan tentang kebesaran-kebesaran Allah. Allah memberikan manusia karunia berupa akal
pikiran karena Allah sebelumnya telah merencanakan untuk mengutusnya ke bumi sebagai
khalifah (Pemimpin) sebagaimana yang tertera dalam surat al-Baqârah ayat 30:
َو ِإْذ َقاَل َر ُّبَك ِلْلَم ٰٓلِئَك ِة ِإِّنى َج اِع ٌل ِفى اَأْلْر ِض َخ ِليَفًة ۖ َقاُلٓو ۟ا َأَتْج َع ُل ِفيَها َم ن ُيْفِس ُد ِفيَها َو َيْس ِفُك الِّد َم ٓاَء َو َنْح ُن ُنَس ِّبُح ِبَحْم ِد َك َو ُنَق ِّدُس
٣۰: ﴾َلَكۖ َقاَل ِإِّنٓى َأْعَلُم َم ا اَل َتْع َلُم وَن ﴿البقرة
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang Khalfah di muka bumi,” Mereka berkata, “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (Khalifah) di muka bumi orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.”[9]
Tugas dan fungsi manusia sebagai Khalifah di muka bumi ini adalah peran tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan. Allah menciptakan jin dan manusia semata-mata hanya untuk
beribadah. Dalam hal ini, ibadah yang dimaksud bukan ibadah yang hanya sebatas menjalankan
syari‘at agama, namun ibadah dalam pengertian umum yang merupakan sebuah ketundukkan
secara penuh terhadap kekuasaan Allah.[10]
Khalifah dapat diartikan sebagai pengganti dengan maksud menggantikan kedudukan yang
sebelumnya di pegang oleh orang lain. Manusia sebagai Khalifah di bumi sebagai pengganti
tugas jin yang sebelumnya Allah perintahkan untuk memakmurkan bumi, tetapi mereka malah
berbuat kerusakan terhadapnya. Tugas manusia sebagai pengganti jin yaitu memakmurkan bumi
dengan menjalankan hukum-hukum Allah yang telah Allah tetapkan sebelumnya.[11]
Sebagai seorang Khalifah, manusia harus menggunakan akal dan pikiran yang telah Allah
karuniakan kepadanya untuk memimpin, memperbaiki, menjaga, melestarikan alam, serta
menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Karunia akal pikiran yang Allah berikan
kepada kita bukan untuk merusak alam, karena dengan merusak alam, berarti kita telah merusak
diri kita sendiri dengan kehilangan tempat untuk bertahan hidup, karena manusia sangat
bergantung pada alam untuk bertahan hidup.
Oleh karena itu selain dibekali wahyu dari Allah, para utusan tersebut diberi suatu kelebihan
berupa kekuatan luarbiasa yang berada diluar nalar manusia sehingga mereka yang melihatnya
menjadi tunduk dan patuh serta percaya akan kebenaran yang dibawanya. Namun mengingat
akal manusia yang pada awal fase perkembangannya tidak melihat sesuatu yang dapat lebuh
menarik perrhatiannya selain mukjizat-mukjizat alamiah yang bersifat inderawi karena akal
mereka belum mencapai puncak pengetahuan dan pemikirannya, maka yang paling relevan
adalah jika setiap rasul itu di utus kepada setiap umatnya masing-masing secara khusus dan
mukjizatnya pun yang sejenis dengan kemampuan akal mereka pada kala itu.[13] Bila dukungan
Allah kepada rasul-rasul terdahulu berupa ayat-ayat kauniyah yang memukau mata dan tidak ada
jalan bagi akal untuk menentangnya, maka mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi
Muhammad berupa mukjizat ‘aqliyah yakni mukjizat yang bersifat rasional, berdialog dengan
akal manusia dan menantang mereka untuk selamanya. Mukjizat tersebut adalah Alquran dengan
segala ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya serta berita-berita tentang masa lalu serta
masa yang akan datang.[14]
Sejak diturunkannya, Alquran sudah menantang manusia untuk membuat sesuatu yang serupa
dengannya. Semaju apapun akal manusia, hingga sekarang mereka tidak mampu menjawab
tantangan tersebut, karena dalam firman-Nya Allah telah menjelaskan bahwa Alquran tidak akan
mungkin ditandingi sekalipun manusia berkoalisi dengan jin untuk membuat tandingannya.
Kelemahan akal yang bersifat subtansif ini merupakan pengakuan akal itu sendiri bahwa Alquran
adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai pedoman dan pembimbing bagi
manusia akhir zaman yang lebih rentan melakukan kekhilafan karena kemampuan akalnya yang
sudah cukup tinggi. Salahsatu aspek mukjizat Alqur’an yaitu dari segi bahasanya yang tinggi dan
saling berkaitan satu sama lainnya. Dalam hal ini yang menjadi kajian dalam karya ilmiah ini
yaitu mengenai istilah Manusia yang diistilahkan dengan beberapa kata dalam Alquran. Salah
satunya yaitu pengistilahan makna manusia dengan kata al-Insân.
Telah dibahas sebelumnya bahwa kata al-Insân dinyatakan dalam Alquran sebanyak 65 kali
dalam 43 surat.[15] Telah dijelaskan pula bahwa istilah al-Insân dalam Alquran umumnya
digunakan untuk menggambarkan keistimewaan manusia serta sering dihubungkan dengan
proses penciptaannya. Berikut ini beberapa macam pengistilahan manusia yang Allah gunakan
dengan kata al-Insân dalam Alquran:
a. Pengistilahan al-Insân dalam perintah Allah agar manusia memikirkan kebesaran
Allah. Beberapa ayat Alquran yang membahas hal ini yaitu:
S. al-Thariq ayat 5.
۵﴿ ﴾َفۡل َيۡن ُظِر اِاۡل ۡن َس اُن ِمَّم ُخ ِلَؕق
Artinya: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?”[16]
S. al-Hijr ayat 26.
۲۶﴿ ﴾َو َلـَقۡد َخ َلۡق َنا اِاۡل ۡن َس اَن ِم ۡن َص ۡل َص اٍل ِّم ۡن َح َم ٍا َّم ۡس ُنۡو ٍۚن
Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”.[17]
S. al-Mu‘minûn ayat 12.
۱۲﴿ ۚ﴾َو َلَقۡد َخ َلۡق َنا اِاۡل ۡن َس اَن ِم ۡن ُس ٰل َلٍة ِّم ۡن ِط ۡي ٍن
Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah.”[18]
S. al-Nahl ayat 4.
۴﴿ ﴾َخ َلَق اِاۡل ۡن َس اَن ِم ۡن ُّنـۡط َفٍة َفِاَذ ا ُهَو َخ ِص ۡي ٌم ُّم ِبۡي ٌن
Artinya: “Dia Telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang
nyata.”[19]
S. al-‘Alaq ayat 2.
۲﴿ ﴾َخ َلَق اِاۡل ۡن َس اَن ِم ۡن َع َلٍق
ۚ
Artinya: “Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”[20]
S. al-Tîn ayat 4.
۴﴿ ﴾َلَقۡد َخ َلۡق َنا اِاۡل ۡن َس اَن ِفۤۡى َاۡح َس ِن َتۡق ِو ۡي ٍم
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.”[21]
e. al-Insân dalam menceritakan keadaan manusia ketika hari kiamat. Beberapa ayat
Alquran yang membahas hal ini yaitu:
S. al-Isrâ’ ayat 13.
ٰۤط
۱۳﴿ ﴾َو ُك َّل ِاۡن َس اٍن َاۡل َزۡم ٰن ُه ِٕٮَرٗه ِفۡى ُع ُنِقٖهؕ َو ُنۡخ ِر ُج َلٗه َيۡو َم اۡل ِقٰي َم ِة ِكٰت ًبا َّيۡل ٰق ٮُه َم ۡن ُش ۡو ًرا
Artinya: “Dan tiap-tiap manusia itu Telah kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana
tetapnya kalung) pada lehernya. dan kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah Kitab
yang dijumpainya terbuka.”[35]
S. al-Zalzalah ayat 3.
۳﴿ ۚ﴾َو َقاَل اِاۡل ۡن َس اُن َم ا َلَها
Artinya: “Dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”[36]
S. al-Qiyâmah ayat 10.
۱۰﴿ ۚ﴾َيُقۡو ُل اِاۡل ۡن َس اُن َيۡو َم ِٕٮٍذ َاۡي َن اۡل َم َفُّر
Artinya: “Pada hari itu manusia berkata: “Ke mana tempat berlari?”[37]
S. al-Qiyâmah ayat 13.
۱۳﴿ ﴾ُيَنَّبُؤا اِاۡل ۡن َس اُن َيۡو َم ِٕٮٍۢذ ِبَم ا َقَّد َم َو َاَّخ َؕر
Artinya: “Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang Telah dikerjakannya dan apa
yang dilalaikannya.”[38]
S. al-Qiyâmah ayat 14.
۱۴﴿ ﴾َبِل اِاۡل ۡن َس اُن َع ٰل ى َنۡف ِسٖه َبِص ۡي َۙر ٌة
Artinya: “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri.”[39]
S. al-Qiyâmah ayat 36.
۳۶﴿ ﴾َاَيۡح َس ُب اِاۡل ۡن َس اُن َاۡن ُّيۡت َر َك ُسًدؕى
Artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung
jawaban)?”[40]
Implikasi dari pengistilahan al-Insân, yaitu bahwa setiap manusia harus menggunakan akalnya
dengan sebaik-baiknya agar dapat meningkatkan kualitas ilmu, iman dan amalnya agar mereka
semakin bertakwa. Selain itu, manusia harus melaksanakan proses pembelajaran sepanjang
hidupnya karena kita hidup tak lain hanyalah untuk belajar, serta mengamalkan ilmunya agar
bermanfaat dan diberkahi oleh Allah. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah
keluar dari kodrat aslinya.[41].
a. Al-Basyar
Kata ( الَبَش ٌرal-Basyar) berasal dari kata ba’, syin, dan ra’ بشرyang berarti menguliti/ mengupas
(buah), memotong tipis hingga terlihat kulitnya, meperhatikan, sesuatu yang tampak baik dan
indah, bergembira, menggembirakan, menggauli, kulit luar, kulit yang dikupas atau
memperhatikan dan mengurus sesuatu.[42] Kata al-Basyar dalam Alquran umumnya digunakan
dalam menggambarkan manusia sebagai makhluk biologis yang mempunyai sifat-sifat biologis
seperti makan, minum, hubungan seksual, dll. Penamaan kata ini menunjukkan makna bahwa
secara biologis mendominasi manusia adalah pada kulitnya. Pada aspek ini terlihat perbedaan
umum biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi oleh bulu atau rambut.[43]
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang
memilki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan seperti makan, minum, kebahagiaan, dsb.
Kata al-Basyar dalam Alquran dinyatakan sebanyak 38 kali dalam 26 surat.[44] Berikut salah
satu contoh ayat yang didalamnya terdapat kata al-Basyar:
Artinya: “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu, jika kamu melihat seorang
manusia, maka katakanlah; “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.””
(Q.S. Maryam 19: 26).
Implikasi dari pengistilahan al-Basyar, yaitu bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa
dirinya memiliki nafsu, memiliki tugas untuk mengembangkan dorongan nafsu positif dan
mengurangi dorongan nafsu negatif agar hidupnya tetap terarah. Tiap manusia juga harus
menyadari adanya perkembangan pada dirinya serta tidak boleh membahayakan dirinya baik
secara fisik maupun mental. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah keluar
dari kodrat aslinya.[45]
b. Al-Nâs
Kata al-Nâs الَناسmerupakan bentuk jamak dari kata al-Insân إنسان. Dalam Alquran kata al-Nâs
digunakan untuk menyatakan manusia sebagai makhluk yang memiliki suatu komunitas
masyarakat serta etnik budaya sekaligus sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu
sama lain. Kata al-Nâs juga digunakan untuk membahas persoalan-persoalan hukum umat
manusia yang mencakup perintah dan larangan.[46]
Kata al-Nâs dalam Alquran disebukan sebanyak 241 kali dalam 55 surat.[47] Kata al-Insân dan
al-Nâs ini merupakan istilah kata yang paling banyak digunakan dalam Alquran untuk
mengistilahkan manusia.[48] Berikut merupakan salah satu contoh ayat Alquran yang di
dalamnya terdapat kata al-Nâs:
Artinya : “Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal,” (Q.S. al-Hujurât 49: 13).
Implikasi dari pengistilahan al-Nâs, yaitu bahwa setiap manusia harus melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan masyarakat karena berdasarkan kodratmya manusia merupakan makhluk
sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Bentuk pelaksanaannya dapat dilakukan pada
masyarakat di sekitarnya seperti ta‘amul (berkomunikasi dan berinteraksi sosial secara tertib,
saling mengenal, saling tolong menolong, bermusyawarah, bersikap santun, menjaga tali
silaturahmi, saling menasehati, dll. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah
keluar dari kodrat aslinya.[49]
c. Banî Ȃdam
Kata ( بني أدمBanî Ȃdam) atau ( ذّرية أدمDzurriyat Ȃdam) memiliki arti anak cucu atau keturunan
Adam. Kedua istilah ini digunakan untuk mengistilahkan manusia yang dikaitkan dengan kata
adam yang merupakan sebutan bagi manusia pertama yang diciptakan Allah. Secara umum,
penggunaan kata ini dalam Alquran yaitu untuk menunjukkan bahwa setiap manusia merupakan
keturunan dari Nabi Adam dan asal usul setiap manusia pun berasal darinya.
Kata Banî Ȃdam disebukan sebanyak 7 kali dalam 4 surat, sedangkan Dzurriyatu Ȃdam
disebutkan hanya sekali dalam surah Maryam ayat 58 .[50] Berikut merupakan salah satu contoh
ayat Alquran yang di dalamnya terdapat kata Banî Ȃdam serta Dzurriyatu Ȃdam:
Kata Banî Ȃdam:
Artinya: “Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang paling
baik,. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan
mereka selalu ingat.” (Q.S. al-A‘râf 7: 26)
Kata Dzurriyatu Ȃdam:
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang Telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi
dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang kami angkat bersama Nuh, dan dari
keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang Telah kami beri petunjuk dan Telah
kami pilih. apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka
mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Q.S. Maryam 19: 58)
Implikasi dari pengistilahan banî Ȃdam, yaitu bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa
dirinya mempunyai keluarga yang jelas yang merupakan kelebihan dan keistimewaan manusia
karena kejelasan keluarga hanya dimiliki oleh manusia. Selain itu, manusia untuk menetapkan
adanya keluarga harus ditempuh melalui pernikahan yang sah, setiap aktifitas untuk keperluan
keluarga selama tidak bertentangan dengan syari‘at maka statusnya adalah amal shalih dan
ibadah, setiap anggota keluarga memiliki tugas dan kewajibannya masing-masing serta
melaksanakan fungsi keluarganya masing-masing. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka
manusia telah keluar dari kodrat aslinya.[51].
d. Al-Ins
Kata اإلنسal-Ins memiliki makna yang serupa dengan kata al-Insân, namun akar kata Al-Ins
lebih ditekankan pada kata ( َأَّنَسannasa) yang berarti jinak atau ramah, karena kata ini selalu
disandingkan dengan kata jîn atau jân dalam Alquran.[52] Jinn atau jân berasal dari kata جّن
(Janna) yang artinya menjadi gelap, menutupi, menyembunyikan, sehingga dapat diartikan
sebagai yang tersembunyi.[53] Kata al-Ins selalu disandingkan dengan kata jîn atau jân dalam
Alquran karena antara kedua kata ini saling berlawanan satu sama lain. Antara manusia dan Jin
itu saling berlawanan dalam sifatnya. Manusia bersifat kasat mata dan jinak, sedangkan jin
bersifat tak kasat mata serta merupakan makhluk yang liar.
Kata al-Ins disebukan sebanyak 18 kali dalam 9 surat,.[54] Berikut merupakan salah satu contoh
ayat Alquran yang di dalamnya terdapat kata al-Ins:
Artinya: “Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari
golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan
kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata: “Kami menjadi saksi atas
diri kami sendiri”, kehidupan dunia Telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri
mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S. al-An‘âm 6: 130).
Implikasi dari pengistilahan al-Ins, yaitu bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa dirinya
mempunyai kodrat sebagai manusia yang jinak, yaitu yang taat pada perintah Tuhannya dan
selalu memperhatikan hukum-hukum yang bersangkutan dengannya serta nersikap ramah
terhadap lingkungan sekitar. Jika manusia keluar dari implikasi ini, maka manusia telah keluar
dari kodrat aslinya.
[1]Ibnu Mandzhur, Lisan al-‘Arab, (Baerut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, 1988), hal. 306-314
[2]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), cet. 14, hal. 43.
[3]Ibid, hal. 1416.
[4]Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996), hal. 280.
[5]Muhammad Fuad ‘Abdul Bâqi, Mu‘jâm al-Mufahras li al-Fâdz al-Qur‘ân al-Karîm, (Bairût:
Dârul Fikri, 1987), hal. 93-94.
[6]Nasaruddin Umar, Kajian Tematik Al-Qur’an tentang Kemasyarakatan : Wanita dalam
Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: Angkasa, 2008), hal. 235.
[7]Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineke Cipta, 1990), hal.109.
[8]Ralph Linton, Cultural Background of Personality, (New york: Appleton-Century-Crofth,
1947), Hal.30.
[9] Q.S. al-Baqârah [2] : 30.
[10] Nurjannah, “Tugas dan Fungsi Manusia (Ibadah dan Khalifah)” dalam Tahdits, vol. 01, No.
1, 2013, hal. 126.
[11] Ibid.
[12]Mannâ’ Khalîl Al-Qaththân, Mahâbits fî ‘Ulûm al-Qur‘ân, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1995), hal. 249
[13]Ibid.
[14] Ibid.
[15]Bâqi, Loc.Cit.
[16] Q.S. al-Thariq [86] : 5.
[17] Q.S. al-Hijr [15]: 26.
[18] Q.S. al-Mu‘minûn [23]: 12.
[19] Q.S. al-Nahl [16]: 4.
[20] Q.S. al-‘Alaq [96]: 2.
[21] Q.S. al-Tîn [95]: 4.
[22] Q.S. al-Nisâ [4]: 28.
[23] Q.S. al-Qâf [50]: 16.
[24] Q.S. Fushilat [41]: 49.
[25] Q.S. al-Balad [90]: 4.
[26] Q.S. al-Yûsuf [12]: 5.
[27] Q.S. al-Yûnus [10]: 12.
[28] Q.S. al-Hûd [11]: 9.
[29] Q.S. al-Isrâ’ [17]: 100.
[30] Q.S. al-Kahfi [18]: 54.
[31] Q.S. al-Zumar [39]: 8.
[32] Q.S. al-Najm [53]: 39.
[33] Q.S. al-Rahmân [55]: 3-4.
[34] Q.S. al-Ankabût [29]: 8.
[35] Q.S. al-Isrâ’ [17]: 13.
[36] Q.S. al-Zalzalah [99]: 3.
[37] Q.S. al-Qiyâmah [75]: 10.
[38] Q.S. al-Qiyâmah [75]: 13.
[39] Q.S. al-Qiyâmah [75]: 14.
[40] Q.S. al-Qiyâmah [75]: 36.
[41] http://darussalam-online.com/kajian/ahad-subuh/istilah-manusia-di-dalam-alquran/
dipublikasikan pada kamis 16 Januari 2014 pukul 06:43, diakses pada 29 Desember 2014
[42] Munawwir, Op.Cit., hal. 85-86.
[43]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 2.
[44]Bâqi, Op.Cit., hal. 120-121
[45] darussalam-online.com, Loc.Cit
[46] Umar, Op.Cit., hal. 239.
[47] Bâqi, Op.Cit., hal. 726-729
[48] Shihab, Loc.Cit.
[49] darussalam-online.com, Loc.Cit.
[50] Bâqi, Op.Cit., hal. 24-25.
[51] darussalam-online.com, Loc.Cit.
[52] Munawwir, Loc.Cit.
[53] Munawwir, Op.Cit., hal. 215
[54] Bâqi, Op.Cit., hal. 93.