Anda di halaman 1dari 2

Eksistensi Bahasa Indonesia Dalam Konteks Sejarah dan Tingkatan Kesantunan

Abstrak:
Bahasa Indonesia tidak secara gamblang melekat pada masyarakat Indonesia. Ia memiliki asal usul
yang melatar belakangi penetapan bahasa negara. Banyak versi sejarah atau hikayat yang berbeda-
beda dalam menceritakan sejarah bahasa Indonesia, dengan inti yang sama bahasa Indonesia lahir dari
tulang rusuk bahasa Melayu Riau yang telah di sempurnakan. Disisi lain, bahasa Indonesia juga
tampak hangat dan relevan bagi seluruh suku yang ada di Indonesia. Dimana bahasa Indonesia tanpa
pandang bulu meratakan semua hanya dengan suatu suku kata, tidak ada tingkatan kesantunan untuk
orang yang lebih tua dan orang yang di muliakan. Untuk itu kajian ini mengulang sedikit sejarah
bagaimana bangsa Indonesia memiliki bahasa yang unik dan mudah dipelajari, serta memaparkan
mengapa bahasa Indonesia mudah berkembang dengan tanpa adanya tingkatan kesantunan. Metode
yang digunakan dalam kajian ini menggunakan penelitian kualitatif serta pengumpulan data yang
mana akan di bandingkan dan di sajikan ulang dalam bentuk lain.

Kata kunci : Sejarah singkat bahasa Indonesia, tingkatan kesantunan berbahasa


Pendahuluan:
Bahasa menjadi tolak ukur atau patokan bagi setiap negara dalam berinteraksi, berpendapat, dan kerja
sama. Tanpa bahasa semua negara seakan tuli dan hanya bisa mengangguk-angguk tanpa mengerti.
Lantas, bagaimana bisa suatu negara tanpa bahasa. Untuk itu bahasa Indonesia hadir mengisi
kekosongan akan ketulian tersebut dengan menepatkan bahasa Indonesia menjadi bahasa negara
Republik Indonesia. Menelisik kelahiran bahasa Indonesia, tidak lepas dari bahasa Melayu yang
menjadi penyokong lahirnya bahasa Indonesia. Bahasa melayu merupakan turunan bahasa
Austronesia Purba, dimulai sebagai satu dari beberapa varian bahasa yang saling berhubungan erat
dan digunakan di Kalimantan Barat, kurang lebih dua juta tahun lalu (James T. Collins. Hal 4.
Yayasan obor Indonesia. 2005). Bahasa Melayu juga sudah dipakai sebagai bahasa perantara (lingua
franca), bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan hampir di seluruh Asia Tenggara (Tato
Nuryanto. Vol.1, No. 1, 2015), akan tetapi yang dipakai sebagai rujukan bahasa Indonesia ialah bahasa
Melayu Riau yang di anggap paling murni lafalnya serta paling baik dalam tatanan bahasa dan ejaan.
Pasalnya Raja Ali Haji dari Kerajaan Riau-Lingga yang sekarang disebut Provinsi Kepulauan Riau,
melakukan pembinaan intensif sejak abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20. Dengan upaya
tersebut, bahasa Melayu mengalami perubahan pelafalannya dan ejaan serta tata bahasanya menjadi
baku. Dengan demikian, memungkinkan bahasa Melayu Riau menjadi bahasa baku, yang biasa
disebut bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi itu, pada Kongres I Pemuda Indonesia, 2 Mei
1926 diberi nama baru dan pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dikukuhkan sebagai
bahasa Indonesia (Nicolas Panama. Oktober 2019).
Namun, setiap kelebihan pastilah ada kekurangan dalam suatu hal yakni, pada tingkatan kesantunan
bahasa Indonesia yang di nilai kurang memandang derajat seseorang, sebab sebagian masyarakat
kurang tahu akan beberapa tingkatan bahasa. Mereka menghantam lurus semua percakapan pada siapa
pun bahkan kedua orang tuanya. Padahal banyak tingkatan bahasa di dalam masyarakat yang
dibedakan antara lain: bahasa resmi, bahasa semiresmi, bahasa pergaulan, bahasa vulgar. Fenomena
tersebut juga terjadi di bumi Parahyangan dimana tingkatan bahasa tersebut disebut undak-usuk basa.
Begitu juga dengan daerah-daerah lain yang mempunyai tingkatan bahasa sendiri, yang saling
berkaitan (Dheni Harmaen. Vol. IV, No. 1, Juli 2012). Hal anehnya bahasa Indonesia lebih cepat
menyebar layaknya virus di udara hampa. Berbeda dengan bahasa daerah yang mulai punah termakan
zaman. Lantaran faktor ketiadaan pewaris bahasa serta ketiadaan pengajaran sejak dini oleh para
orang tua. Mengenai perkembangan tersebut, menjadi tolak ukur adanya pembakuan bahasa dan
pembukuan bahasa menjadi satu kamus bahasa Indonesia, serta aturan Ejaan Yang telah Di
sempurnakan (EYD).

Metode penelitian:
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode
pengumpulan data yang menekankan pada kualitas data atau kedalaman data yang diperoleh.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan penelitian sekunder yakni,
mengumpulkan data yang ada dalam bentuk teks baik artikel, jurnal, maupun yang lain seperti gambar
dan audio.
Analisis data yang digunakan ialah dengan pendekatan Phenomenological Research yang mengarah
pada pengumpulan data tanpa observasi. Jadi, hanya mengumpulkan data serta membandingkan dan
baru menarik kesimpulan yang baik dan benar.

Anda mungkin juga menyukai