Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN SIMULASI ODONTEKTOMI

Nama Mahasiswa : Nurul Noviasari


NIPP : 20204020039
DPJP : drg. Edwyn Saleh, Sp. BMM

MODUL ORAL SURGERY AND EMERGENCY


PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2022
ODONTEKTOMI KLAS IA MESIOANGULAR

Impaksi molar 3 klas I A mesioangular memiliki makna:


1. Klas I: Ruangan yang tersedia cukup untuk erupsi molar ketiga antara batas anterior
ascending ramus dengan distal gigi molar kedua
2. Posisi A: Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada setinggi garis oklusal molar kedua.
3. Mesioangular: Gigi molar ketiga bawah mengalami tilting terhadap gigi molar kedua ke
arah mesial.

Tahapan tindakan :

1. Operator menggunakan APD dan melakukan sterilisasi diri dengan mencuci tangan 6
langkah WHO.
2. Operator melakukan asepsis pada area kerja menggunakan povidon iodine.
3. Operator melakukan anestesi topical dengan benzokain atau xylocaine menggunakan
cotton pellet.
4. Operator melakukan anastesi blok N. Alveolaris Inferior (N. Alveolaris Inferior dan N.
lingualis) ditambahkan blok N. Bukalis. atau lakukan blok N. Mandibularis.
Gambar 1. Anastesi blok mandibula

5. Lakukan incisi secara horizontal dengan scalpel nomor blade 15.


a. Nomor 10 untuk incisi pada kulit.
b. Nomor 11 untuk incisi abses.
c. Nomor 12 untuk melepaskan benang jahit operasi celah palatum.
d. Nomor 15 untuk incisi kecil pada mukosa.
e. Nomor 20 untuk incisi kulit biasanya lebih besar, nomor 20 sama fungsinya dengan
10.
6. Setelah incisi (dilakukan dari puncak tulang alveolar lalu masuk ke sulcus ginggiva)
pembukaan dengan desain flap full thickness (mucoperiosteal) modifikasi triangular.
7. Dilakukan pemisahan mukoperiosteum dengan tulang menggunakan raspatorium hingga
terlihat area tulang yang akan dilakukan pengurangan

8. Lakukan pengurangan tulang dengan bur tulang bentuk round.


9. Lakukan separasi tergantung dari posisi giginya dan kenyamanannya, ada yang di tengah
mahkota, atau mahkota dibagi 2, separasi menggunakan bur fissure high speed.
10. Penggunaan bein / luxator dilakukan untuk menggoyahkan gigi akar mesial. Setelah
dirasakan gigi mulai terluksasi maka dilakukan pengambilan dengan menggunakan
forcep.
11. Bein akar distal dengan cara mengurangi tulang bagian distal hingga terasa longgar dan
cukup untuk menggerakkan akar distal. Pengambilan akar distal dengan menggunakan
bein dan forcep.
12. Dilakukan kuretase jaringan granulasi pada socket paska pengambilan seluruh gigi, dan
penghalusan tepi-tepi tulang yang terasa tajam dengan bone file, di dep menggunakan
tampon serta dilakukan spooling dengan povidone iodin yang dicampur salin dan
dilakukan massage / pemijatan daerah socket.
13. Pemberian spongostan pada soket dan dilakukan suturing interrupted menggunakan
benang silk 3.0.
14. Suturing simple interrupted sebanyak 5 x dimulai dari proksimal sisi distal terlebih
dahulu, dan berlajut hingga ke mesial.

Gambar 2. Suturing interrupted


15. Jika terjadi komplikasi perdarahan maka dilakukan kauterisasi dengan menggunakan
burnisher yang dipanaskan.

16. Hemostasis memberikan tampon yang diletakkan (digigit) diatas soket.


17. Instruksi pasca pembedahan:
a. Minum obat yang diresepkan seusai anjuran pakai (analgetik dan antibiotik).
Pemberian medikasi berupa:
1) Antibiotik: Amoxicilin 500 mg, Jika alergi diberikan Clindamycin 300 mg
dikonsumsi 3x sehari selama 5 hari.
2) Analgesik: Asam mefenamat 500 mg, jika ada riwayat asam lambung diberikan
ibuprofen 400 mg. Diminum jika sakit 3x sehari selama 3 hari, dapat dihentikan
jika tidak terasa sakit.
b. Kompres dingin jika ada pembengkakan.
c. Istirahat yang cukup.
d. Diet makanan yang dingin dan cair (hindari makanan hangat dan panas).
e. Tetap menyikat gigi 2x sehari pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. Lakukan
penyikatan secara hati-hati pada gigi-gigi lainnya, hindari area pasca pembedahan.
f. Bila masih terdapat pendarahan atau rasa sakit yang tidak tertahankan maka pasien
instruksikan kembali ke dokter gigi.
g. Kontrol pelepasan jahitan satu minggu setelah tindakan.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gigi Impaksi
Perkembangan dan pertumbuhan gigi sering mengalami gangguan pada saat
erupsi. Gigi yang tidak berhasil erupsi dengan sempurna dan terpendam dalam rahang
dengan posisi yang abnormal disebut impaksi. Frekuensi impaksi gigi yang paling sering
terjadi pada gigi bungsu atau molar ketiga rahang bawah (Fitri dkk, 2016). Proses
pembentukan benih gigi bungsu diawali sebelum usia 12 tahun dan pertumbuhannya
berakhir pada usia sekitar 25 tahun. Pada usia tersebut gigi bungsu akan terbentuk
sempurna. Secara garis besar pertumbuhan gigi bungsu berlangsung, sebagai berikut:

Gambar 3. Anatomi dan pertumbuhan gigi bungsu

Dalam proses pertumbuhan gigi ke dalam rongga mulut, benih gigi akan menembus
tulang alveolar dan mukosa gingiva di atas benih gigi. Hal itu terjadi akibat dorongan ke
arah permukaan karena pertumbuhan/ pertambahan panjang akar gigi disertai retraksi
operkulum/gingiva yang semula menutupinya (Rahayu, 2014).
Gigi bungsu terletak di bagian kanan, kiri, atas dan bawah rongga mulut. Adanya
gigi impaksi, disebabkan karena sebab lokal dan sistemik. Sebab lokal terjadi karena gigi-
gigi yang tidak teratur, berkurangnya ruang. Sebab sistemik meliputi misalnya masalah
genetik, ketiadaan benih, benih terbentuk namun impaksi dan yang tidak kalah penting
adalah pengaruh nutrisi. Masalah genetik biasanya merupakan kondisi yang diwarisi dari
orang tua baik dari ayah maupun ibu. Contohnya orang tua yang memiliki lengkung
rahang kecil, dengan ukuran gigi geligi relatif besar dapat menurunkan kondisi tersebut
pada keturunannya. Seseorang biasanya dengan mudah diduga memiliki gigi bungsu
impaksi bila gigi di bagian anterior tampak berjejal. Gigi bungsu tumbuh sempurna pada
usia pubertas atau dewasa muda yaitu saat pertumbuhan rahang telah selesai, dan seluruh
gigi geligi telah menghuni rahang. Pada saat itu, posisi benih dan pembentukannya telah
mencapai tahap akhir. Selain itu, kalsifikasi tulang telah sempurna dan kompak, yang
sulit untuk ditembus oleh benih gigi bungsu sehingga terjadi gangguan erupsi. Faktor lain
yaitu nutrisi, terutama berhubungan dengan bentuk makanan. Makanan yang dikonsumsi
manusia modern cenderung lebih lunak sehingga kurang merangsang pertumbuhan dan
perkembangan lengkung rahang. Proses mengunyah makanan yang keras dianggap dapat
merangsang pertumbuhan rahang karena terjadi aktivasi otot mastikasi sehingga rahang
terangsang untuk tumbuh maksimal (Rahayu, 2014).
Selain faktor-faktor tersebut, impaksi terjadi karena benih gigi malposisi atau
benih terbentuk dalam berbagai angulasi yaitu mesial, distal, vertikal, dan horisontal yang
mengakibatkan jalur erupsi yang salah arah. Impaksi mesial merupakan malposisi yang
paling sering ditemukan, diikuti oleh impaksi vertikal, horisontal dan yang paling jarang
adalah impaksi distal, seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 4. Angulasi gigi impaksi
Ke-empat tipe angulasi benih gigi impaksi di atas dapat erupsi sebagian (partially/soft-
tissue impacted) yaitu hanya sebagian mahkota gigi yang mengalami erupsi. Gigi telah
menembus tulang tetapi tetap terletak dibawah mukosa gingiva. Gigi bungsu juga dapat
sama sekali tidak mengalami erupsi, atau disebut impaksi totalis (totally/bony impacted).
Dalam hal ini gigi bungsu tetap terbenam di dalam tulang rahang (Rahayu, 2014).

Gambar 2. Erupsi gigi impaksi (sebagian atau total)


Gigi bungsu impaksi, dapat terjadi tanpa gejala atau hanya menimbulkan rasa
nyeri tumpul pada rahang, yang menyebar sampai ke leher, telinga dan daerah temporal
(migrain). Hal itu terjadi akibat penekanan gigi pada nervus alveolaris inferior yang
terletak didekatnya. Menurut Archer (1974) dalam Rahayu (2014), gigi impaksi yang
tidak ditangani dengan baik, dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti karies dentis,
infeksi dan pembentukan kista atau tumor.

B. Klasifikasi Gigi Impaksi


Klasifikasi gigi impaksi berdasarkan hubungan dengan ramus mandibula, inklinasi
dan kedalaman dapat dilihat berdasarkan klasifikasi menurut Pell and Gregory, George
Winter dan Archer.
1. Klasifikasi menurut Pell and Gregory
a) Berdasarkan hubungan antara ramus mandibula dengan molar kedua dengan cara
membandingkan lebar mesio-distal molar ketiga dengan jarak antara bagian
distalmolar kedua ke ramus mandibula.
1) Klas I: Ruangan yang tersedia cukup untuk erupsi molar ketiga antara batas
anterior ascending ramus dengan distal gigi molar kedua.
2) Klas II: Ruangan yang tersedia untuk erupsi molar ketiga antara batas anterior
ascending ramus dengan distal gigi molar kedua kurang dari ukuran mesio-
distal molar ketiga.
3) Klas III: Seluruh atau sebagian besar molar ketiga berada dalam ramus
mandibular.
b) Berdasarkan kedalaman relatif dalam hubungan terhadap garis servikal molar
kedua rahang bawah.
1) Posisi A: Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada setinggi garis oklusal molar
kedua.
2) Posisi B: Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada di bawah garis oklusal
tetapi masih lebih tinggi daripada garis servikal molar kedua.
3) Posisi C: Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada di bawah garis servikal
molar kedua.
Gambar 5. Klasifikasi impaksi menurut Pell dan Gregory

2. Klasifikasi menurut George Winter


Klasifikasi yang dicetuskan oleh George Winter ini cukup sederhana. Gigi
impaksi digolongkan berdasarkan posisi gigi molar tiga terhadap gigi molar dua atau
berdasarkan aksis panjang gigi impaksi dengan aksis panjang gigi molar kedua,
diposisikan sebagai berikut:
a) Mesioangular (miring ke mesial)
Gigi molar ketiga bawah mengalami tilting terhadap gigi molar kedua ke arah
mesial.
b) Distoangular (miring ke distal)
Axis panjang molar ketiga bawah mengarah ke arah distal atau posterior
menjauhi molar kedua.
c) Vertikal
Axis panjang gigi molar ketiga bawah berada pada arah yang sama dengan axis
panjang gigi molar kedua bawah.
d) Horizontal
Axis panjang gigi molar ketiga bawah mendatar secara horizontal terhadap axis
panjang gigi molar kedua bawah.
Gambar 6. Klasifikasi impaksi menurut winter
3. Klasifikasi menurut Archer
Adapun klasifikasi untuk impaksi yang terjadi di rahang atas menurut Archer
berdasarkan hubungan molar tiga dengan sinus maksilaris.
a) Sinus Approximation (SA) : Bila tidak dibatasi tulang, atau ada lapisan tulang
yang tipis diantara gigi impaksi dengan sinus maksilaris.
b) Non Sinus Approximation (NSA) : Bila terdapat ketebalan tulang yang lebih dari
2 mm antara gigi molar tiga dengan sinus maksilaris.

C. Odontektomi
Odontektomi adalah prosedur operasi yang bertujuan untuk mengeluarkan gigi
impaksi yang dilakukan dengan tindakan pembedahan yang meliputi pembuatan flap dan
pengambilan tulang yang mengelilinginya (Fitri dkk, 2016). Gigi impaksi merupakan
salah satu gangguan perkembangan dan pertumbuhan gigi-geligi. Frekuensi gangguan
perkembangan dan pertumbuhan terbanyak pada gigi molar ketiga baik di rahang bawah
maupun di rahang atas diikuti gigi kaninus rahang atas, premolar rahang bawah, kaninus
rahang bawah, premolar rahang atas, insisivus sentralis rahang atas dan insisivus lateralis
rahang atas (Rahayu, 2014).
Odontektomi sebaiknya dilakukan pada saat pasien masih muda (usia 25-26
tahun) sebagai tindakan profilaktik atau pencegahan terhadap terjadinya patologi
(Pedersen, 2012). Odontektomi lebih mudah dilakukan pada pasien muda usia saat
mahkota gigi baru saja terbentuk, jaringan tulang sekitar juga masih cukup lunak
sehingga trauma pembedahan minimal. Odontektomi pada pasien yang berusia
diatas 40 tahun, tulangnya sudah sangat kompak dan kurang elastis, juga sudah
terjadi ankilosis gigi pada soketnya, menyebabkan trauma pembedahan yang lebih
besar (Rahayu, 2014).

D. Indikasi dan Kontraindikasi Odontektomi


Menurut Pederson (2012), indikasi tindakan odontektomi sebagai berikut:
1) Terjadinya perikoronitis
2) Terjadinya abses perikoronal dan abses lain
3) Adanya infeksi (fokus selulitis)
4) Adanya keadaan patologi (odontogenik)
5) Terdapat pembentukan kista odontogenik dan neoplasma
6) Mempertahankan stabilitas hasil perawatan orthodonsi
7) Apabila molar kedua didekatnya dicabut dan kemungkinan erupsi normal atau
berfungsinya molar ketiga impaksi sangat kecil.
Sedangkan, kontraindikasi odontektomi menurut Pederson (2012) yaitu:
1) Pasien yang tidak menghendaki giginya dicabut
2) Pasien yang gigi molar ketiganya diperkirakan akan erupsi secara normal dan dapat
berfungsi dengan baik
3) Pasien dengan riwayat penyakit sistemik dan risiko komplikasi dinilai tinggi
4) Kemungkinan besar akan terjadi kerusakan pada struktur penting disekitarnya atau
kerusakan tulang pendukung yang luas.

E. Teknik Anastesi
Anastesi yang digunakan pada prosedur odontektomi adalah anastesi blok nervus
mandibula inferior. Larutan anastesi disuntikkan pada atau sekitar batang saraf utama
sehingga mampu menganastesi daerah yang luas yang mendapat inervasi dari
percabangan saraf utama tersebut. Saraf yang teranastesi adalah nervus alveolaris inferior
dan cabang-cabangnya, yaitu rami dentalis, nervus mentalis, dan nervus incisivus.
Indikasi dari teknik anastesi ini salah satunya adalah untuk anastesi jaringan pulpa gigi-
gigi posterior rahang bawah. Teknik dari anastesi nervus alveolaris mandibula inferior
yaitu direct dan indirect. Pada simulasi kali ini, yang digunakan adalah teknik indirek.
Teknik Indirek Blok N. Alveolaris Inferior adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi anatomi dimulai dengan perabaan ujung jari menyusuri muccobucofold
vestibulum ke arah posterior sampai teraba peninggian tulang pada linea oblique
eksterna. Lalu perabaan bergeser kearah medial hingga menemukan cekungan yaitu
coronoid notch, dengan ujung jari menunjuk kearah linea oblique interna.
2. Insersikan jarum dari arah C/P kontralateral setinggi 1 cm dari dataran oklusal
dengan bevel jarum menghadap ke tulang.
3. Jika sudah mengenai tulang, spuit digeser ke permukaan oklusal ipsilateral, sejajar
occlusal plane dengan insersi sekitar 5-6 cm untuk mencapai pterygomandibular
space. Jarum dimasukkan kearah posterior sejauh kira-kira 10 mm sambil menelusuri
tulang line oblique interna.
4. Jarum dibelokkan kearah kontralateral dengan insersi semakin dalam sampai ujung
jarum terasa menyentuh tulang.
5. Lakukan aspirasi, bila (-) lanjutkan deponir larutan anastesi 1 cc untuk n. alveolaris
inferior.
6. Kemudian ditarik sekitar 10-15 mm, lakukan aspirasi kembali bila (-) deponir
anastesi sebanyak 0,5 cc untuk n. lingualis.
7. Setelah selesai jarum ditarik keluar dari mukosa dengan perlahan-lahan.

F. Flap
Pembuatan flap mucoperiosteal diperlukan untuk memperoleh akses yang jelas
terhadap gigi yang akan dicabut atau daerah pembedahan. Prinsip–prinsip dalam desain
flap meliputi:
1. Harus memperoleh suplai darah yang cukup. Mukosa mulut penuh dengan pembuluh
darah dan dasar flap yang tidak terlalu sempit maka nekrosis karena iskemia tidak
akan terjadi.
a. Dasar flap harus lebih lebar dibanding bagian yang bebas. Lebar basis flap
berkaitan dengan Panjang keseluruhan flap, lebar basis paling tidak setengah kali
panjang flap
b. Hindari retraksi flap terlalu lama.
c. Mempertahankan suplai darah dengan tujuan untuk mencegah nekrosis ischemic
sebagian ataupun seluruh flap. Tindakan yang perlu dilakukan untuk
mempertahankan suplai darah adalah menghindari terpotongnya beberapa
pembuluh darah saat melakukan incisi.
d. Hindari ketegangan, jahitan yang berlebihan atau keduanya.
2. Usahakan menghindari saraf yang terletak didalam, contohnya n.mentalis
3. Tempatkan tepi sedemikian rupa sehingga terletak di atas tulang (paling tidak 3-
4mm dari tepi tulang yang rusak), sehingga tepinya didukung oleh tulang.
Pendukung yang baik dan adekuat dapat mencegah dehiensi flap. Dehiensi flap
dapat menimbulkan rasa sakit dan meningkatkan kemungkinan terbentuknya
jaringan parut.
4. Flap harus sesuai ukurannya dan terbuka penuh ( fully reflected ). Jangan terlalu kecil
dan jangan berlebihan karena dapat mengakibatkan invasi yang tidak perlu pada
tempat perlekatan otot dan meningkatkan morbiditas pasca pencabutan, misalnya
perdarahan, rasa sakit, dan pembengkakan.
5. Keteblan flap  periosteum diambil secara menyeluruh jangan sampai jaringan
terkoyak. Jangan sampai sobek saat mengangkat flap.

Sebagian besar flap yang dibuat untuk tujuan bedah mulut adalah dibagian bukal,
karena rute ini merupakan rute yang paling langsung dan tidak rumit untuk mencapai gigi
yang terpendam atau fragmen ujung akar. Desain flap yang biasa digunakan untuk
mencabut gigi adalah flap envelope dengan atau tanpa perluasan ke bukal/labial. Berikut
ini merupakan bentuk dan klasifikasi flap:
1. Berdasarkan Lokasi
a. Bukal
b. Lingual
c. Palatal
2. Berdasarkan Ketebalan
a. Full thickness (mukoperiosteal)
b. Partial thickness (hanya mukosa)
3. Berdasarkan Outline
a. Triangular
Flap triangular adalah hasil dari insisi berbentuk L dengan insisi horizontal
yang dibuat sepanjang sulkus gingiva dan insisi vertikal atau miring. Insisi
vertikal dimulai kira-kira dilipatan vestibular dan meluas ke papilla interdental
gingiva. Pada kasus ini akan digunakan design flap triangular, karena gigi 48
berada di paling posterior dan akses terhalang gigi 47, sehingga pembuatan flap dari
bagian distobukal gigi 48 hingga distal gigi 47. Keuntungan flap ini adalah
visualisasi baik, persediaan darah yang cukup, penyembuhan dan stabilitas baik.
kekurangannya yaitu akses terbatas untuk melihat akar yang panjang.

Gambar 7. Flap triangular


b. Envelope
Desain elemen horizontal dari tepi flap dipotong pada krevis gingiva dan
biasanya melalui beberapa bagian dari satu atau beberapa papila interdental.
Pengangkatan dimungkinkan oleh adanya insisi pembebas diagonal (diagonal
relieving incision) yang luas ke atas melalui gingiva cekat sampai ke mukosa yang
tidak berkeratin. Dua insisi pembebas biasanya dibuat pada waktu pengangkatan
flap di daerah anterior, satu insisi tunggal pada sebelah anterior biasanya memberi
akses cukup pada gigi-gigi belakang. Pada kasus-kasus khusus yang kehilangan
tulang apikalnya minimal dan akarnya lurus maka insisi horizontal hanya perlu
dibuat disekeliling leher gigi bersangkutan. Bila ragu-ragu buatlah insisi horizontal
meliputi leher dua gigi atau lebih.
Indikasi penggunaan flap envelope yaitu pada kasus eksostotis yang akan
dilakukan perawatan alveolektomi, kista globulomaksilaris, kista traumatik (kista
tulang soliter), fistula oroantral.
Gambar 8. Flap envelope
c. Trapezoid
Teknik ini hampir sama dengan triangular, dibuat dengan membuat insisi
horizontal pada tepi gingiva kemudian dilakukan dua kali insisi serong seperlunya
pada sebelah mesial dan juga distal. Keuntungan dari teknik ini adalah perluasan
akses yang sempurna, memungkinkan untuk pencabutan satu atau dua gigi, tidak
menghasilkan tegangan jaringan, penutupan kembali ke posisi awal lebih mudah
sehingga mempercepat penyembuhan. Kerugian teknik ini adalah dapat
menyebabkan resesi gingiva.

Gambar 9. Flap trapezoid


d. Semilunar
Kelebihannya memberikan perlekatan gingiva dan sebagian besar mukosa cekat
tetap terpelihara dengan baik walaupun tetap diperoleh jalan masuk ke regio apikal
dan sekitarnya. Sedangkan kekurangannya flap sukar diangkat, aksesnya minimum
dan tidak mudah diperluas. Bila sebelum operasi, perencanaannya salah maka
kehilangan tulang yang tak terduga, memungkinkan tepi-tepi flap menutupi rongga,
oleh karena mukosa banyak mengandung pembuluh darah, baik selama operasi
maupun sesudahnya akibat penutupan yang tidak tepat. Tepi-tepi jahitan
kemungkinan besar terjadi infeksi dan hal ini akan memperlambat penyembuhan.
Indikasi penggunaan desain flap tepi semilunar pada kasus kista nasoalveolar.

Gambar 10. Flap semilunar

e. Pedikel
Flap pedikel dibuat baik di bukal, lingual atau palatal. Biasanya digunakan untuk
migrasi atau transportasi untuk memperbaiki suatu cacat, misalnya fistula oroantral
atau nasoalveolar.

G. Ekstraksi Gigi dengan Metode Open Method


Pencabutan gigi teknik open method adalah teknik mengeluarkan gigi dengan cara
pembedahan dengan melakukan pemotongan gigi atau tulang. Prinsip pada teknik ini
adalah pembuatan flap, membuang sebagian tulang, pemotongan gigi, pengangkatan gigi,
penghalusan tulang, kuretase, dan penjahitan. Pencabutan gigi dengan teknik open
method diindikasikan untuk kasus sebagai berikut :
1. Adanya riwayat kesulitan atau kegagalan pencabutan gigi sebelumnya.
2. Adanya gigi yang menahan usaha pencabutan intra-alveolar bila diaplikasikan
tekanan yang sedang besarnya
3. Sisa akar yang tidak bisa dipegang dengan tang atau dikeluarkan dengan elevator,
khususnya yang berdekatan dengan sinus maksilaris
4. Bila ingin dipasangkan geligi tiruan imediat atau beberapa saat setelah pencabutan.
Metode ini memungkinkan dilakukannya penghalusan tulang alveolar agar protesa
dapat dipasang.
5. Gigi hipersementosis dan ankilosis.
6. Gigi dilaserasi atau geminasi.
7. Gigi dengan restorasi yang luas, khususnya bila saluran akar telah dirawat atau pulpa
telah nonvital.
8. Gigi dengan gambaran radiografi bentuk akar yang rumit, atau akar yang kurang
menguntungkan atau berlawanan dengan arah pencabutan.

H. Prosedur Odontektomi
Berikut ini adalah prosedur odontektomi:
1. Operator mencuci tangan 6 langkah WHO dan menggunakan APD
2. Operator mempersiapkan alat dan bahan yang akan di gunakan, seperti diagnostic set,
bur tulang round dan fissure, scalpel, blade no. 15, forcep ekstraksi gigi 38/48, bein,
luksator, kuret, bonefile, rasparatorium, gunting bedah, jarum suturing, needle holder,
check retractor, lampu spiritus, burnisher, Spuit injeksi 3 cc, Pehacaine HCL 2%
Benzocaine, Povidone iodine Saline, Spongostan 2 buah, Benang Silk 3.0, Kapas

3. Asepsis, melakukan desinfeksi dengan menggunakan kapas yang diolesi povidone


iodine pada area yang akan dilakukan anastesi dan flap.

4. Anastesi topical dengan menggunakan benzocaine pada area insersi jarum.

5. Anastesi blok dengan larutan anastesi pehacaine HCL sebanyak 1 cc untuk


n.alveolaris inferior dan 0.5 cc untuk n. lingualis serta 0.5 cc untuk n.bucalis.

6. Desain flap full thickness (mucoperiosteal) modifikasi triangular dilakukan dari tepi
distal gigi 48 hingga mesial gigi 47.

7. Dilakukan pemisahan mukoperiosteum dengan tulang menggunakan raspatorium


hingga terlihat area tulang yang akan dilakukan pengurangan.

8. Jika akses yang diperoleh telah adekuat maka dilakukan pengurangan tulang
menggunakan round bur/fissure di bagian bukal dan sedikit bagian distal.
9. Bagian furkasi dilakukan separasi menggunakan bur bulat kearah oklusal searah aksis
gigi, tidak boleh kearah horizontal untuk mencegah bagian bur mencapi lingual,
hingga seluruh gigi terpisah menjadi bagian distal dan mesial.

10. Penggunaan bein / luxator dilakukan untuk menggoyahkan gigi akar mesial. Setelah
dirasakan gigi mulai terluksasi maka dilakukan pengambilan dengan menggunakan
forcep.

11. Bein akar distal dengan cara mengurangi tulang bagian distal hingga terasa longgar
dan cukup untuk menggerakkan akar distal. Pengambilan akar distal dengan
menggunakan bein dan forcep.

12. Dilakukan kuretase jaringan granulasi pada socket paska pengambilan seluruh gigi,
dan penghalusan tepi-tepi tulang yang terasa tajam dengan bone file, di dep
menggunakan tampon serta dilakukan spooling dengan povidone iodine yang
dicampur salin dan dilakukan massage / pemijatan daerah socket.

13. Pemberian spongostan pada soket dan dilakukan suturing interrupted menggunakan
benang silk 3.0.

14. Suturing simple interrupted sebanyak 5 kali dimulai dari proksimal sisi distal terlebih
dahulu, dan berlajut hingga ke mesial.

15. Jika terjadi komplikasi perdarahan maka dilakukan kauterisasi dengan menggunakan
burnisher yang dipanaskan.

16. Pasien diinstruksikan menggigit tampon selama 15-30 menit.

I. Teknik Suturing
Teknik simple interrupted adalah teknik penjahitan yang paling sering digunakan.
Jahitan ini bergerak dari 1 sisi luka, keluar menuju sisi lain luka, kemudian diikat dengan
simpul. Jahitan ini dapat dibuat dengan cepat dan tekanan pada masingmasing jahitan
dapat diatur. Jahitan berdiri sendiri. Jarak antar jahitan dan garis insisi bervariasi
tergantung pada kebutuhan dan kenyamanan. Jahitan ini menghasilkan kekuatan yang
baik. Tahapannya sebagai berikut:
1. Jarum masuk 2-3 mm dari batas flap (jaringan seluler) dan keluar pada jarak yang
sama di sisi yang berlawanan.
2. Kedua ujung benang ini kemudian diikat dalam simpul dan dipotong 0,8 cm di atas
simpul. Untuk menghindari robeknya flap, jarum harus melewati satu batas luka
tertentu dan minimal 0,5 cm dari tepi.
3. Jahitan yang terlalu kencang juga harus dihindari (risiko nekrosis jaringan), serta
posisi tumpang tindih pada luka ketika disimpul.
4. Keuntungan dari jahitan terputus adalah bahwa ketika jahitan ditempatkan dalam satu
baris, dilonggarkan salah satu sisi ,maka sisi yang lainnya tidak berpengaruh.

Gambar 11.Teknik suturing interrupted


J. Intruksi pasca odontektomi
1. Menjaga kebersihan gigi dengan menyikat gigi 2x sehari dan menggunakan obat
kumur, waktu yang tepat adalah setelah makan pagi dan sebelum tidur malam.
2. Mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk kecukupan nutrisi karena sangat
mempengaruhi kecepatan dalam penyembuhan luka paska odontektomi. Pada kondisi
paska bedah vitamin B kompleks sebagai koenzim untuk penyembuhan perlu
diperhatikan karena banyak terbuang melalui darah atau cairan karena sifatnya
mudah larut dalam air. Air minum dengan elektrolit dapat mengganti cairan yang
terbuang selama pembedahan.
3. Melakukan kompres pada wajah yang meliputi kompres es 24 jam pertama paska
operasi pada wajah dapat mengurangi pembengkakan yaitu dengan menggunakan
kantung es yang diliputi kain dilakukan selama 30 menit. Apabila pasien merasa
terlalu dingin, maka kompres dilepas sesaat untuk menghindari terjadinya nekrosis
jaringan.
Selain kompres dingin, adapun kompres hangat pada wajah, Memberikan
kompres hangat yang dilakukan pada hari ke 2 paska odontektomi selama 15 menit
dengan suhu 38 derajat celcius secara intermitten 3 x sehari akan mengurangi
pembengkakan. Kompres hangat dilakukan pada daerah yang mengalami inflamasi
atau pembengkakan sehingga terjadi fasodilatasi pada daerah sekitar. Hal ini akan
mempermudahkan terjadinya resorbsi cairan inflamasi ke dalam pembuluh darah,
sehingga akan mengurangi rasa sakit. Efek kompres hangat juga akan meningkatkan
elastisitas jaringan kolagen, mengurangi ketegangan otot, mengurangi pembengkakan
dan meningkatkan aliran darah.
4. Gigit tampon selama 30 menit sampai 1 jam
5. Minum obat sesuai yang dianjurkan dalam resep
6. Kontrol 1 minggu untuk lepas jahitan.
7. Tidak makan dan minum yang panas pada hari pertama paska operasi, makan makanan
yang keras atau kasar yang dapat melukai daerah operasi, dan tidak menghisap daerah
bekas operasi
8. Tidak sering berkumur dan meludah
9. Tidak menyentuh luka bekas pencabutan dengan lidah atau jari;
10. Hindari merokok, beraktivitas berat, dan konsumsi alkohol.
K. Proses penyembuhan luka
Proses penyembuhan luka terjadi dalam 3 fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi
dan
fase remodeling. Perbedaan biochemical dan fisiologis mengkarakteristikkan setiap fase.
1. Fase inflamasi : Fase ini dikarakteristikkan dengan peningkatan permeabilitas
vaskuler, pelepasan sitokin melalui daya tarik sel pada mekanisme selektif. Pada
umumnya proses ini dipicu oleh platelet yang melepas kemotaksis sitokin untuk sel
polymorphonuclear leukocytes (PMNs) dan makrofag, yang akan melepas faktor
pelarut termasuk TNF- α dan IL-1. Fase ini berlangsung kira-kira selama 3 hari. Sel
utama yang terlibat adalah PMNs dan makrofag. PMNs merupakan sel pertama yang
muncul dan akan menjadi sel dominan selama 48 jam. PMNs merupakan asal dari
banyak mediator inflamasi, seperti komplemen. Monosit muncul setelah PMNs, dan
akan mencapai jumlah maksimum selama 24 jam. Monosit akan berkembang
menjadi makrofag yang akan membersihkan luka. Sebagian kecil bakteri dapat
dihancurkan oleh makrofag. Tetapi bila dalam jumlah banyak maka leukosit tidak
dapat mengatasinya dan akan terjadi infeksi.
2. Fase proliferasi : setelah debris dan bakteri pada luka dihancurkan, substrat untuk
sintesis kolagen dibentuk. Fase ini dikarakteristikkan migrasi dan proliferasi sel
tambahan, angiogenesis, dan produksi kolagen pada luka yang menghasilkan
peningkatan kekuatan luka. Sel utama pada fase ini adalah sel fibroblas. Growth
factor dari derivat makrofag bertindak pada level yang berbeda pada fibroblas,
mendukung migrasi, menyebabkan proliferasi dan mendukung aktivitas sintesis
kolagen. Kontinuitas jaringan diperbaiki selama fase ini, secara umum melibatkan
neoangiogenesis dan re-epitelisasi. Matriks sementara yang telah berada pada luka
menghasilkan tempat sitokin, sinyal ini dapat menyambungkan sel spesifik untuk
menjalankan tugasnya. Selama fase ini, protein bekerja sebagai reseptor untuk faktor
kemotaktik dan memiliki peran terpenting. Protein ini diatur pada permukaan sel dan
berhubungan dengan kolagen serta fibronektin dari matriks sementara. Aktivitas dari
sel mesenkim sangat penting dan terbatasnya faktor yang memungkinkan
pembentukan jaringan granulasi. Fase ini terjadi 3 hari setelah fase inisial. Kunci dari
sitokin untuk kemotaksis dan aktivitas sel mesenkim adalah PDGF dan THF-β.
PDGF dilepaskan oleh granula platelet, di mana TGF-β diproduksi dari jaringan
makrofag. Dengan adanya stimulus, sel mesenkim bergerak menuju area lesi dan
setelah mencapai fibroblast dan makrofag mulai memproduksi protein dan matriks
ekstraseluler yang kemudian terdapat banyak faktor, seperti glycosamicanes,
proteoglycans. Sejalan dengan ini neo-angiogenesis diaktifkan. Vascular endothelial
growth factor (VEGF) dan fibroblast growth factor (β-FGF) adalah faktor pelarut
paling penting untuk memacu neo-angiogenesis. Fibroblas dari jaringan granulasi
dangat fleksibel dan dapat juga berubah menjadi miofibroblas yang akan
mengaktifkan kontraksi area sekitar luka.
3. Fase remodeling : fase ini disebut juga fase maturasi. Fase ini dikarakteristikkan
dengan pembentukan kembali dan memperkuat kolagen pada luka melalui cross-
linking intermolekul. Fase ini termasuk menyusun kembali kolagen yang sudah
disintesis sebelumnya. Fase remodeling adalah fase terpanjang dari proses
penyembuhan dan mungkin berakhir antara beberapa minggu hingga beberapa bulan.
Pada orang dewasa, maturasi luka dapat berlangsung selama 9 sampai 12 bulan.
Durasi dari fase ini mempengaruhi jaringan. Karakteristik selanjutnya fase ini terdiri
dari penurunan bertahap neo-vaskularisasi dan penggantian matriks sementara.
Awalnya terbentuk sebagai serat longgar dan kemudian digantikan secara bertahap
oleh jaringan kolagen. Kolagen juga diatur ulang melalui proses proteolisis dan
neosintesis. Selama hari pertama pembentukan bekas luka, yang terutama diproduksi
adalah kolagen tipe III. Melalui kolagenase ini selanjutnya akan digantikan kolagen
tipe I yang memberikan kekuatan tarik dan elastisitas yang lebih baik. Bekas luka
menjadi lebih rata, kurang menonjol, lebih pucat dan fleksibel.

L. Komplikasi pasca odontektomi


Komplikasi yang dapat terjadi pasca odontektomi dapat timbul pada saat dan setelah
pembedahan, akibat faktor iatrogenic. Berikut ini beberapa jenis komplikasi yang
kemungkinan terjadi saat dan setelah operatif:
1. Perdarahan
Faktor penyebab komplikasi ekstraksi terbagi menjadi factor lokal dan sistemik.
Faktor lokal diantaranya terpotongnya arteri lingualis, terpotongnya pembuluh darah
pada saat splitting bifurkasi gigi. Cara penatalaksanaan perdarahan tersebut bisa
dengan dep dengan tampon, kauterisasi manual / elektrik, injeksi Asam Tranexamat
melalui intramuscular atau intravena. Sedangkan faktor sistemik seperti adanya
riwayat penyakit gangguan koagulasi, hemostasis, jantung, dsb. Oleh karena itu perlu
dilakukan pencegahan dengan pemberian yaitu vitamin K yang diminum 2 x sehari
pada saat medikasi sebelum tindakan operatif atau pengecekkan lab sebelum
dilakukan tindakan bedah untuk mengetahui CT (Clotting Time), BT (Bleeding
Time), PT (Protrhombin Time), APTT (activated Partial Thromboplastin Time).
2. Nyeri
Adanya inflamasi dan infeksi kronis pada gigi yang akan dilakukan pencabutan dapat
menyebabkan efek anastesi tidak tercapai secara adekuat, sehingga perlu pemberian
medikasi sebelum pencabutan secara tepat. Penanganan nyeri pada saat operatif
dapat dilakukan dengan anastesi blok ulang atau anastesi lidokain murni. Jika masih
terdapat nyeri setelah anastesi ulang maka perlu dilakukan penundaan pencabutan
dan pemberian medikasi ulang.
3. Edema
Secara fisiologis pada pasien usia muda, 24-48 jam pasca bedah, akan terjadi edema
pipi dan munculnya perasaan kurang nyaman. Hal itu memang merupakan bagian
proses penyembuhan. Trismus atau spasme muskulus masseter dapat dicegah dengan
memotivasi pasien agar membuka mulut lebar berulangkali sejak hari pertama
setelah pembedahan. Pada pasien berusia di atas 50 tahun, edema dapat terjadi
sampai lima hari.
4. Dry socket (alveolitis)
Komplikasi infeksi pasca bedah juga dapat terjadi pada soket bekas tempat gigi
impaksi, nyeri berdenyut menyebar sampai telinga dan timbul halitosis, bau tidak
sedap yang berasal dari soket. Keadaan itu disebabkan karena telah terjadi localized
osteomyelitis atau alveolar osteitis yang dikenal pula dengan sebutan dry socket,
yang menyebabkan masa penyembuhan lebih lama
5. Parastesi
Cedera nervus alveolaris inferior, yang mengakibatkan parestesia labial inferior
sampai dagu pada sisi yang sama. Parestesia dapat bersifat sementara ataupun
permanen, tergantung pada besarnya rudapaksa terhadap saraf tersebut. Cedera dapat
terjadi sekaligus, mengenai arteri dan vena alveolaris inferior yang berjalan sejajar
dengan nervus tersebut, yang dapat menimbulkan perdarahan hebat.
6. Trismus
Tindakan operatif bedah minor yang terlalu lama dapat menyebabkan kesulitan
membuka mulut. Oleh karena itu perlu dilakukan ekstraksi yang atraumatik dan
meminimalisir terjadinya komplikasi.

M. Medikasi pasca operasi


Medikasi yang diberikan pasca operatif berupa antibiotic, antiinlamasi, analgetik
untuk meminimalisir berbagai komplikasi. Sebagai lini utama, antibiotik golongan
penisilin tetap merupakan obat pilihan, namun jika terdapat alergi pada obat golongan
penisilin dapat diberikan alternatif berupa klindamisin dengan dosis 300 mg selama 3-5
hari. Untuk penghilang nyeri ringan biasanya cukup diberikan tablet ibuprofen 400- 800
mg atau asetaminofen 500 mg 3-4 kali sehari, selama 2-3 hari. Agar lebih efektif,
sebaiknya obat langsung diminum segera setelah tindakan bedah karena diperlukan waktu
sekitar 1 jam untuk mendapatkan efek maksimal obat. Pada kasus odontektomi berat,
untuk nyeri sedang sampai berat, diberikan analgetik ideal yaitu dikombinasikan dengan
penambahan tablet codein 15-30 mg.
Pasien dianjurkan diet makanan berbentuk cair/lunak, protein tinggi, dan
meningkatkan kebersihan rongga mulut dengan merendam daerah pembedahan dengan
antiseptik oral klorheksidin 0,2% atau povidone iodine 1% yang akan dapat mempercepat
proses penyembuhan. Pasien diinstruksikan kontrol 1 minggu kemudian untuk melihat
proses penyembuhan luka dan pengambilan benang hecting.
DAFTAR PUSTAKA

Archer, WH. Oral, Face and Neck Infections: Oral and Maxillofacial Surgery. W.B.
Saunders , Philadelphia, Toronto, 1974.
Dimitroulis G, 1997. A Synopsis of Minor Oral Surgery. Bostom : Linacre House.
Dwipayanti A, Adriatmoko W,Rochim A. Komplikasi post odontektomi gigi molar ketiga
rahang bawah impaksi. J PDGI. 2009;58(2):20-24.

Dym H., Ogle OE. 2001. Atlas of Minor Oral Surgery. Philadelphia, W.B.Saunders:
Company.

Edwyn Saleh. Strategi dalam Mengurangi Komplikasi Odontektomi Gigi Molar Ketiga
Bawah. 2006 jul;6(2)122-125

Fitri AM., Kasim A., Yuza AT., Impaksi gigi molar tiga rahang bawah dan sefalgia. J Ked
Gi Unpad. Desember., 2016 ; 28(3);148-154.

Howe, GE, 1993. Pencabutan Gigi Geligi, (The Extraction of teth), Alih Bahasa: Budiman,
JA. Jakarta :EGC.

Hupp, J.R.. Principles of Management of Impacted Teeth: Contemporary Oral and


Maxillofacial Surgery 5th eds. Peterson LJ, Ellis E, Hupp JR, Tucker MR. Mosby, India,
2008.

Laskin, 1991. Clinicians Manual of Oral and Maxillofacial Surgery. Chicago.Quintessence


Publishing Co.

Pedlar, J. Frame, JW. 2001. Oral Maxillofacial Surgery. London: Churchill. Livingstone.

Pedersen G.W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (Oral Surgery), Alih Bahasa: Purwanto,
Basoeseno. Jakarta: EGC; 2012. Hal 64-65

Peterson LJ. 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 4th ed. St Louis: Mosby.
Rahayu, Sri, 2014. Odontektomi, tatalaksana gigi bungsu impaksi. E-Journal WIDYA
Kesehatan dan Lingkungan, Vol 1(2), 81-89

Anda mungkin juga menyukai