Tahapan tindakan :
1. Operator menggunakan APD dan melakukan sterilisasi diri dengan mencuci tangan 6
langkah WHO.
2. Operator melakukan asepsis pada area kerja menggunakan povidon iodine.
3. Operator melakukan anestesi topical dengan benzokain atau xylocaine menggunakan
cotton pellet.
4. Operator melakukan anastesi blok N. Alveolaris Inferior (N. Alveolaris Inferior dan N.
lingualis) ditambahkan blok N. Bukalis. atau lakukan blok N. Mandibularis.
Gambar 1. Anastesi blok mandibula
A. Gigi Impaksi
Perkembangan dan pertumbuhan gigi sering mengalami gangguan pada saat
erupsi. Gigi yang tidak berhasil erupsi dengan sempurna dan terpendam dalam rahang
dengan posisi yang abnormal disebut impaksi. Frekuensi impaksi gigi yang paling sering
terjadi pada gigi bungsu atau molar ketiga rahang bawah (Fitri dkk, 2016). Proses
pembentukan benih gigi bungsu diawali sebelum usia 12 tahun dan pertumbuhannya
berakhir pada usia sekitar 25 tahun. Pada usia tersebut gigi bungsu akan terbentuk
sempurna. Secara garis besar pertumbuhan gigi bungsu berlangsung, sebagai berikut:
Dalam proses pertumbuhan gigi ke dalam rongga mulut, benih gigi akan menembus
tulang alveolar dan mukosa gingiva di atas benih gigi. Hal itu terjadi akibat dorongan ke
arah permukaan karena pertumbuhan/ pertambahan panjang akar gigi disertai retraksi
operkulum/gingiva yang semula menutupinya (Rahayu, 2014).
Gigi bungsu terletak di bagian kanan, kiri, atas dan bawah rongga mulut. Adanya
gigi impaksi, disebabkan karena sebab lokal dan sistemik. Sebab lokal terjadi karena gigi-
gigi yang tidak teratur, berkurangnya ruang. Sebab sistemik meliputi misalnya masalah
genetik, ketiadaan benih, benih terbentuk namun impaksi dan yang tidak kalah penting
adalah pengaruh nutrisi. Masalah genetik biasanya merupakan kondisi yang diwarisi dari
orang tua baik dari ayah maupun ibu. Contohnya orang tua yang memiliki lengkung
rahang kecil, dengan ukuran gigi geligi relatif besar dapat menurunkan kondisi tersebut
pada keturunannya. Seseorang biasanya dengan mudah diduga memiliki gigi bungsu
impaksi bila gigi di bagian anterior tampak berjejal. Gigi bungsu tumbuh sempurna pada
usia pubertas atau dewasa muda yaitu saat pertumbuhan rahang telah selesai, dan seluruh
gigi geligi telah menghuni rahang. Pada saat itu, posisi benih dan pembentukannya telah
mencapai tahap akhir. Selain itu, kalsifikasi tulang telah sempurna dan kompak, yang
sulit untuk ditembus oleh benih gigi bungsu sehingga terjadi gangguan erupsi. Faktor lain
yaitu nutrisi, terutama berhubungan dengan bentuk makanan. Makanan yang dikonsumsi
manusia modern cenderung lebih lunak sehingga kurang merangsang pertumbuhan dan
perkembangan lengkung rahang. Proses mengunyah makanan yang keras dianggap dapat
merangsang pertumbuhan rahang karena terjadi aktivasi otot mastikasi sehingga rahang
terangsang untuk tumbuh maksimal (Rahayu, 2014).
Selain faktor-faktor tersebut, impaksi terjadi karena benih gigi malposisi atau
benih terbentuk dalam berbagai angulasi yaitu mesial, distal, vertikal, dan horisontal yang
mengakibatkan jalur erupsi yang salah arah. Impaksi mesial merupakan malposisi yang
paling sering ditemukan, diikuti oleh impaksi vertikal, horisontal dan yang paling jarang
adalah impaksi distal, seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 4. Angulasi gigi impaksi
Ke-empat tipe angulasi benih gigi impaksi di atas dapat erupsi sebagian (partially/soft-
tissue impacted) yaitu hanya sebagian mahkota gigi yang mengalami erupsi. Gigi telah
menembus tulang tetapi tetap terletak dibawah mukosa gingiva. Gigi bungsu juga dapat
sama sekali tidak mengalami erupsi, atau disebut impaksi totalis (totally/bony impacted).
Dalam hal ini gigi bungsu tetap terbenam di dalam tulang rahang (Rahayu, 2014).
C. Odontektomi
Odontektomi adalah prosedur operasi yang bertujuan untuk mengeluarkan gigi
impaksi yang dilakukan dengan tindakan pembedahan yang meliputi pembuatan flap dan
pengambilan tulang yang mengelilinginya (Fitri dkk, 2016). Gigi impaksi merupakan
salah satu gangguan perkembangan dan pertumbuhan gigi-geligi. Frekuensi gangguan
perkembangan dan pertumbuhan terbanyak pada gigi molar ketiga baik di rahang bawah
maupun di rahang atas diikuti gigi kaninus rahang atas, premolar rahang bawah, kaninus
rahang bawah, premolar rahang atas, insisivus sentralis rahang atas dan insisivus lateralis
rahang atas (Rahayu, 2014).
Odontektomi sebaiknya dilakukan pada saat pasien masih muda (usia 25-26
tahun) sebagai tindakan profilaktik atau pencegahan terhadap terjadinya patologi
(Pedersen, 2012). Odontektomi lebih mudah dilakukan pada pasien muda usia saat
mahkota gigi baru saja terbentuk, jaringan tulang sekitar juga masih cukup lunak
sehingga trauma pembedahan minimal. Odontektomi pada pasien yang berusia
diatas 40 tahun, tulangnya sudah sangat kompak dan kurang elastis, juga sudah
terjadi ankilosis gigi pada soketnya, menyebabkan trauma pembedahan yang lebih
besar (Rahayu, 2014).
E. Teknik Anastesi
Anastesi yang digunakan pada prosedur odontektomi adalah anastesi blok nervus
mandibula inferior. Larutan anastesi disuntikkan pada atau sekitar batang saraf utama
sehingga mampu menganastesi daerah yang luas yang mendapat inervasi dari
percabangan saraf utama tersebut. Saraf yang teranastesi adalah nervus alveolaris inferior
dan cabang-cabangnya, yaitu rami dentalis, nervus mentalis, dan nervus incisivus.
Indikasi dari teknik anastesi ini salah satunya adalah untuk anastesi jaringan pulpa gigi-
gigi posterior rahang bawah. Teknik dari anastesi nervus alveolaris mandibula inferior
yaitu direct dan indirect. Pada simulasi kali ini, yang digunakan adalah teknik indirek.
Teknik Indirek Blok N. Alveolaris Inferior adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi anatomi dimulai dengan perabaan ujung jari menyusuri muccobucofold
vestibulum ke arah posterior sampai teraba peninggian tulang pada linea oblique
eksterna. Lalu perabaan bergeser kearah medial hingga menemukan cekungan yaitu
coronoid notch, dengan ujung jari menunjuk kearah linea oblique interna.
2. Insersikan jarum dari arah C/P kontralateral setinggi 1 cm dari dataran oklusal
dengan bevel jarum menghadap ke tulang.
3. Jika sudah mengenai tulang, spuit digeser ke permukaan oklusal ipsilateral, sejajar
occlusal plane dengan insersi sekitar 5-6 cm untuk mencapai pterygomandibular
space. Jarum dimasukkan kearah posterior sejauh kira-kira 10 mm sambil menelusuri
tulang line oblique interna.
4. Jarum dibelokkan kearah kontralateral dengan insersi semakin dalam sampai ujung
jarum terasa menyentuh tulang.
5. Lakukan aspirasi, bila (-) lanjutkan deponir larutan anastesi 1 cc untuk n. alveolaris
inferior.
6. Kemudian ditarik sekitar 10-15 mm, lakukan aspirasi kembali bila (-) deponir
anastesi sebanyak 0,5 cc untuk n. lingualis.
7. Setelah selesai jarum ditarik keluar dari mukosa dengan perlahan-lahan.
F. Flap
Pembuatan flap mucoperiosteal diperlukan untuk memperoleh akses yang jelas
terhadap gigi yang akan dicabut atau daerah pembedahan. Prinsip–prinsip dalam desain
flap meliputi:
1. Harus memperoleh suplai darah yang cukup. Mukosa mulut penuh dengan pembuluh
darah dan dasar flap yang tidak terlalu sempit maka nekrosis karena iskemia tidak
akan terjadi.
a. Dasar flap harus lebih lebar dibanding bagian yang bebas. Lebar basis flap
berkaitan dengan Panjang keseluruhan flap, lebar basis paling tidak setengah kali
panjang flap
b. Hindari retraksi flap terlalu lama.
c. Mempertahankan suplai darah dengan tujuan untuk mencegah nekrosis ischemic
sebagian ataupun seluruh flap. Tindakan yang perlu dilakukan untuk
mempertahankan suplai darah adalah menghindari terpotongnya beberapa
pembuluh darah saat melakukan incisi.
d. Hindari ketegangan, jahitan yang berlebihan atau keduanya.
2. Usahakan menghindari saraf yang terletak didalam, contohnya n.mentalis
3. Tempatkan tepi sedemikian rupa sehingga terletak di atas tulang (paling tidak 3-
4mm dari tepi tulang yang rusak), sehingga tepinya didukung oleh tulang.
Pendukung yang baik dan adekuat dapat mencegah dehiensi flap. Dehiensi flap
dapat menimbulkan rasa sakit dan meningkatkan kemungkinan terbentuknya
jaringan parut.
4. Flap harus sesuai ukurannya dan terbuka penuh ( fully reflected ). Jangan terlalu kecil
dan jangan berlebihan karena dapat mengakibatkan invasi yang tidak perlu pada
tempat perlekatan otot dan meningkatkan morbiditas pasca pencabutan, misalnya
perdarahan, rasa sakit, dan pembengkakan.
5. Keteblan flap periosteum diambil secara menyeluruh jangan sampai jaringan
terkoyak. Jangan sampai sobek saat mengangkat flap.
Sebagian besar flap yang dibuat untuk tujuan bedah mulut adalah dibagian bukal,
karena rute ini merupakan rute yang paling langsung dan tidak rumit untuk mencapai gigi
yang terpendam atau fragmen ujung akar. Desain flap yang biasa digunakan untuk
mencabut gigi adalah flap envelope dengan atau tanpa perluasan ke bukal/labial. Berikut
ini merupakan bentuk dan klasifikasi flap:
1. Berdasarkan Lokasi
a. Bukal
b. Lingual
c. Palatal
2. Berdasarkan Ketebalan
a. Full thickness (mukoperiosteal)
b. Partial thickness (hanya mukosa)
3. Berdasarkan Outline
a. Triangular
Flap triangular adalah hasil dari insisi berbentuk L dengan insisi horizontal
yang dibuat sepanjang sulkus gingiva dan insisi vertikal atau miring. Insisi
vertikal dimulai kira-kira dilipatan vestibular dan meluas ke papilla interdental
gingiva. Pada kasus ini akan digunakan design flap triangular, karena gigi 48
berada di paling posterior dan akses terhalang gigi 47, sehingga pembuatan flap dari
bagian distobukal gigi 48 hingga distal gigi 47. Keuntungan flap ini adalah
visualisasi baik, persediaan darah yang cukup, penyembuhan dan stabilitas baik.
kekurangannya yaitu akses terbatas untuk melihat akar yang panjang.
e. Pedikel
Flap pedikel dibuat baik di bukal, lingual atau palatal. Biasanya digunakan untuk
migrasi atau transportasi untuk memperbaiki suatu cacat, misalnya fistula oroantral
atau nasoalveolar.
H. Prosedur Odontektomi
Berikut ini adalah prosedur odontektomi:
1. Operator mencuci tangan 6 langkah WHO dan menggunakan APD
2. Operator mempersiapkan alat dan bahan yang akan di gunakan, seperti diagnostic set,
bur tulang round dan fissure, scalpel, blade no. 15, forcep ekstraksi gigi 38/48, bein,
luksator, kuret, bonefile, rasparatorium, gunting bedah, jarum suturing, needle holder,
check retractor, lampu spiritus, burnisher, Spuit injeksi 3 cc, Pehacaine HCL 2%
Benzocaine, Povidone iodine Saline, Spongostan 2 buah, Benang Silk 3.0, Kapas
6. Desain flap full thickness (mucoperiosteal) modifikasi triangular dilakukan dari tepi
distal gigi 48 hingga mesial gigi 47.
8. Jika akses yang diperoleh telah adekuat maka dilakukan pengurangan tulang
menggunakan round bur/fissure di bagian bukal dan sedikit bagian distal.
9. Bagian furkasi dilakukan separasi menggunakan bur bulat kearah oklusal searah aksis
gigi, tidak boleh kearah horizontal untuk mencegah bagian bur mencapi lingual,
hingga seluruh gigi terpisah menjadi bagian distal dan mesial.
10. Penggunaan bein / luxator dilakukan untuk menggoyahkan gigi akar mesial. Setelah
dirasakan gigi mulai terluksasi maka dilakukan pengambilan dengan menggunakan
forcep.
11. Bein akar distal dengan cara mengurangi tulang bagian distal hingga terasa longgar
dan cukup untuk menggerakkan akar distal. Pengambilan akar distal dengan
menggunakan bein dan forcep.
12. Dilakukan kuretase jaringan granulasi pada socket paska pengambilan seluruh gigi,
dan penghalusan tepi-tepi tulang yang terasa tajam dengan bone file, di dep
menggunakan tampon serta dilakukan spooling dengan povidone iodine yang
dicampur salin dan dilakukan massage / pemijatan daerah socket.
13. Pemberian spongostan pada soket dan dilakukan suturing interrupted menggunakan
benang silk 3.0.
14. Suturing simple interrupted sebanyak 5 kali dimulai dari proksimal sisi distal terlebih
dahulu, dan berlajut hingga ke mesial.
15. Jika terjadi komplikasi perdarahan maka dilakukan kauterisasi dengan menggunakan
burnisher yang dipanaskan.
I. Teknik Suturing
Teknik simple interrupted adalah teknik penjahitan yang paling sering digunakan.
Jahitan ini bergerak dari 1 sisi luka, keluar menuju sisi lain luka, kemudian diikat dengan
simpul. Jahitan ini dapat dibuat dengan cepat dan tekanan pada masingmasing jahitan
dapat diatur. Jahitan berdiri sendiri. Jarak antar jahitan dan garis insisi bervariasi
tergantung pada kebutuhan dan kenyamanan. Jahitan ini menghasilkan kekuatan yang
baik. Tahapannya sebagai berikut:
1. Jarum masuk 2-3 mm dari batas flap (jaringan seluler) dan keluar pada jarak yang
sama di sisi yang berlawanan.
2. Kedua ujung benang ini kemudian diikat dalam simpul dan dipotong 0,8 cm di atas
simpul. Untuk menghindari robeknya flap, jarum harus melewati satu batas luka
tertentu dan minimal 0,5 cm dari tepi.
3. Jahitan yang terlalu kencang juga harus dihindari (risiko nekrosis jaringan), serta
posisi tumpang tindih pada luka ketika disimpul.
4. Keuntungan dari jahitan terputus adalah bahwa ketika jahitan ditempatkan dalam satu
baris, dilonggarkan salah satu sisi ,maka sisi yang lainnya tidak berpengaruh.
Archer, WH. Oral, Face and Neck Infections: Oral and Maxillofacial Surgery. W.B.
Saunders , Philadelphia, Toronto, 1974.
Dimitroulis G, 1997. A Synopsis of Minor Oral Surgery. Bostom : Linacre House.
Dwipayanti A, Adriatmoko W,Rochim A. Komplikasi post odontektomi gigi molar ketiga
rahang bawah impaksi. J PDGI. 2009;58(2):20-24.
Dym H., Ogle OE. 2001. Atlas of Minor Oral Surgery. Philadelphia, W.B.Saunders:
Company.
Edwyn Saleh. Strategi dalam Mengurangi Komplikasi Odontektomi Gigi Molar Ketiga
Bawah. 2006 jul;6(2)122-125
Fitri AM., Kasim A., Yuza AT., Impaksi gigi molar tiga rahang bawah dan sefalgia. J Ked
Gi Unpad. Desember., 2016 ; 28(3);148-154.
Howe, GE, 1993. Pencabutan Gigi Geligi, (The Extraction of teth), Alih Bahasa: Budiman,
JA. Jakarta :EGC.
Pedlar, J. Frame, JW. 2001. Oral Maxillofacial Surgery. London: Churchill. Livingstone.
Pedersen G.W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (Oral Surgery), Alih Bahasa: Purwanto,
Basoeseno. Jakarta: EGC; 2012. Hal 64-65
Peterson LJ. 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 4th ed. St Louis: Mosby.
Rahayu, Sri, 2014. Odontektomi, tatalaksana gigi bungsu impaksi. E-Journal WIDYA
Kesehatan dan Lingkungan, Vol 1(2), 81-89